Tuesday, February 5, 2008

tarian mabuk Allah


Mari Kemari
Datang..Datanglah

Mari kemari
datanglah...
siapapun dirimu.

Pengelana, Peragu, dan Pecinta
mari..kemari datanglah

Tak penting kau percaya atau tidak..

Mari, kemari … datanglah

Kami bukanlah caravan yang patah hati ...

atau pintu-pintu dari keputus asa-an,

Mari kemari datanglah...

Meski kau telah jatuh ribuan kali,

Meski kau telah patahkan ribuan janji,

Mari kemari datang...

datanglah sekali lagi…

( Mawlana Jalaludin Rumi )
Read More

cinta...




Kisah ini dimulai dari kebencian. Seorang menantu yang berambisi menghabisi nyawa mertuanya lantaran kesal dengan sikap mertuanya,” cerita Seno Hadi Sumitro mengutip dalam buku The Power of Love, Kamis (25/10) malam itu.
Dengan khidmat, seratusan hadirin yang tergabung dalam Rotary Club Solo Kartini itu pun menyimak kisah-kisah bijak yang diambil dari Negeri Tirai Bambu, China.”Saya akan memberikan ramuan, yang secara perlahan obat itu akan menghabisi nyawa mertuamu. Namun, syaratnya kamu harus tekun menyuguhkan ramuan ini dan siap melayani mertuamu setiap hari. Siang-malam,” lanjut Sumitro.Alhasil, ketekunannya melayani mertuanya setiap hari rupanya membuahkan hasil. Namun bukan sebuah kematian mertua yang ia temukan. Melainkan perubahan sikap mertuanya yang menjadi penyayang kepada dirinya. Bahkan saking sayangnya, mertua itu kerap membanggakan menantunya melebihi anaknya sendiri di hadapan saudara-saudaranya. Sebaliknya, kebencian menantu pun menjadi berbalik 100%. Dia menjadi penyayang bukan main kepada mertuanya.”Lalu bagaimana dengan reaksi racun yang selama ini diberikan menantu kepada mertuanya?” tanya Sumitro kepada hadirin di Sasana Mangun Suka nDalem Wuryaningratan Solo. Belum sempat hadirin menjawab, Sumitro terlebih dulu menyahut, ”Racun itu ada di dalam hati sang menantu yang kini telah sembuh karena kekuatan cinta!”Karena kekuatan cinta itulah, terang Sumitro, maka segala kebencian yang tumbuh di hati menantu dan mertua pun akhirnya sirna. Sumitro rupanya mampu mengakhiri akhir ceritanya dengan klimaks. Tepuk tangan hadirin pun pecah, memenuhi gedung yang berkemilau cahaya lilin dan lampu kecil itu.Presiden Rotary Club Solo Kartini, Ina Primani mengungkapkan, perkumpulan yang dia pimpin itu memang bertujuan untuk perjuangan cinta kasih kemanusiaan. Organisasi itu, tegas Ina, bukan hanya di Solo atau di Indonesia. Melainkan sudah mendunia yang berpusat di Amerika Serikat. - Aries Susanto
Read More

penghormatan terakhir buatmu...



Syahdu sekali anak-anak kecil itu menyanyikan lagu Gugur Bunga. Suranya yang parau, seperti memahami betul bendera setengah tiang yang berdiri di sana.
Suara mereka sesekali tenggelam oleh sirine mobil yang terdengar bersahut-sahutan. Seiring dengan itu, orang-orang yang berkerumun di kawasan Jurug pun maju ke badan jalan, ingin menyaksikan lebih dekat lagi jenazah mantan pemimpinnya yang telah pulang ke negeri keabadian. Selamanya...”Ini kesempatan terakhir saya untuk memberikan penghormatan terakhir kepada Pak Harto. Beliau adalah presiden yang tak ada duanya,” ujar Mbah Citro, 73, salah satu warga Badran, Pucangsawit, Jebres saat ditanya Espos, Senin (28/1).Pagi itu, Mbah Citro berjalan kaki dari rumahnya ke kawasan Jurug hanya ingin menyaksikan jenazah tokoh yang dicintainya itu. Kabar meninggalnya Pak Harto bukan saja telah membuat hati Mbah Citro bersedih hati, namun juga merasa kehilangan kepala negara yang tiada taranya itu. Bagi Mbah Citro, sosok Soeharto memang merupakan figur yang amat dekat dengan orang-orang kecil seperti dirinya. ”Pak Harto niku orangnya sae. Dekat dengan wong cilik. Tapi sekarang, orang-orang cilik nyari makin susah. Apa-apa jadi mahal semua,” sekali lagi Mbah Citro mengungkapkan kekagumannya kepada Pak Harto dengan polosnya.Mbah Citro bukanlah seorang diri yang sangat mengagumi Pak Harto. Salah seorang dari Duren Sawit, Jakarta Timur, Widji Sutanto, 50, malah rela bersepeda angin dari rumahnya ke Karanganyar. Entah bagaimana ceritanya sampai tiba di Solo, yang jelas pagi itu kehadiran Widji di Kawasan Jurug cukup menyedot perhatian publik. Soalnya, dandanannya yang unik, dengan mengenakan sarung, berpeci, berbaju koko, bersandal jepit, serta bersepeda angin dia mendeklarasikan diri ingin ke Astana Giribangun untuk memberikan penghormatan terakhir kepada pemimpinnya itu. Demikian pula yang dikatakan Mujiono. Pensiunan salah satu pabrik tekstil di Solo tersebut juga mengaku sedih mendengar berita meninggalnya Pak Harto. ”Saya jadi berharap semoga ke depan ada Pak Harto-Pak Harto yang lain.” - Aries Susanto,

Read More

Sunday, February 3, 2008

perang


Read More

foto adik-adik











Read More

Saturday, February 2, 2008

suara terompet dalam kesunyian...

Suasana riuh ribuan warga Kota Solo yang berkumpul di sepanjang Jl Slamet Riyadi, Senin (31/12) malam, seakan lenyap tak berbekas ketika berada di lokasi pengungsian korban banjir. Cobalah tengok di sebuah Kampung Beton, Kelurahan Sewu. Di sana menjelang pergantian tahun 2007 ke 2008 seperti kawasan mati tak berpenghuni. Bahkan menjelang dini hari, malam masih berselimut gelap, tanpa lampu berpijar. Hanya nyala lilin kecil dan temaram lampu teplok yang menghiasi tenda-tenda pengungsian di tanggul. Warga Sewu pun hingga Selasa (1/1), terpaksa menghabiskan malam di pengungsian, lantaran air kembali merendam rumah-rumah mereka saat hujan deras mengguyur Solo sejak Minggu (30/12). Di Kampung itu tak ada bunyi terompet melengking seperti di kawasan Gladak Solo. Di sana juga tak ada ingar bingar arak-arakan sepeda motor dengan suara knalpot yang memekakkan telinga. Pendek kata, Kampung Beton itu seolah-olah benar-benar tersisih dari kebisingan kota.
Di di tanggul-tanggul Kampung Beton, puluhan warga, tua-muda, lelaki-perempuan, anak Balita-kaum Lansia, menikmati malam hanya dengan beralaskan tikar, berselimut kain tipis dan berlindung di bawah terpal dari gerimis hujan yang terus menerus mendera sepanjang malam. Mereka tak menghiraukan lagi dingin. Mereka menghabiskan malam sepanjang pergantian tahun itu di tenda pengungsian, bersama hewan ternak dan aneka perkakas rumah tangga.
”Kami sudah sangat lelah. Sejak banjir merendam rumah kami. Beginilah kondisi kami,” ujar Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan (LPMK) Sewu, Mulyono, saat mendampingi Espos ke Posko pengungsian di tanggul.
Seakan melepas kepiluan para korban banjir, sejumlah relawan mengusir sepi dengan memetik gitar dan bernyanyi.
Warga Kelurahan Sewu adalah sebagian kecil dari ribuan warga Solo yang terpaksa menikmati malam pergantian tahun baru di pengungsian.
Sama halnya warga Sangkrah. Menikmati malam tahun baru, mereka hanya merasakan kegetiran. Di kasur tipis yang ditutup dengan sarung serta plastik, warga terpaksa menginap kembali di pengungsian di tanggul. Ada yang menghabiskan malam sambil ngobrol. Ada pula yang memilih tidur berbungkus selimut untuk mengurangi rasa dingin menggigil.
Stres
Malam terus merangkak saat sejumlah anak Balita tiba-tiba menangis karena tubuh mereka digigit nyamuk. Sang ibu dengan seorang nenek yang menjaga di sampingnya segera berebut mendekap anak tersebut kemudian membalik bantal si anak dan memintanya tidur kembali.
Sementara di sudut lain terdengar teriakan sejumlah wanita serta anak-anak sibuk mengusir pria berusia setengah baya yang terus-menerus mengomel. Mul begitu pria itu dipanggil warga, mengalami stres berat akibat banjir. Mul tidak ingat lagi siapa keluarganya, isteri, serta siapa saja temannya.
Seperti malam itu Mul hanya mondar-mandir sambil berbicara menyesali nasib dengan dirinya sendiri.
”Tahun baru tetap saja tahun baru. Yang penting kami bisa selamat,” jelas Ketua RT 05/RW XIII, Tukino kepada Espos di sela-sela aktivitasnya membagikan obat masuk angin kepada warga.
Warga lain, Waginem mengaku sedih harus merayakan tahun baru di pengungsian. ”Kalau nasi bungkus melimpah. Yang kami perlukan sebenarnya hanya uang karena kami tidak bisa berbuat apa-apa tanpa itu. Harusnya di hari-hari seperti ini kami bisa bekerja untuk membiayai kebutuhan hidup,” tandasnya. Hampir sepekan tinggal di pengungsian, Waginem mengaku, membuatnya serasa lumpuh lantaran tidak bisa melakukan pekerjaan apapun.
Hal senada juga dilontarkan Wartini. ”Ini malam kelabu. Harapan saya supaya kami bisa hidup damai dan tenang,” ujarnya.
Bagi mereka yang menghabiskan malam di pengungsian keselamatan nyawa dan harta benda lebih berharga ketimbang sekadar meniup terompet merayakan pergantian tahun. Di tahun 2008 ini tak ada lagi banjir. Itulah harapan mereka.-Aries Susanto
Read More

Kahfita...


Nama bocah itu, Kahfita Nugraheni. Sebuah nama yang dipungut dari salah satu surat dalam Alquran, Al-Kahfi. Kata Nyomik Wasiati, ibu Kahfita, dengan nama itu dirinya berharap Kahfita bisa memiliki jiwa yang tangguh, setangguh Ashabul Kahfi dalam kisah Alquran itu. ”Dan Alhmadulillah, sejak kecil dia nggak pernah sakit. Padahal, setiap hari dia selalu ikut saya membersihkan makam Purwoloyo ini, meski hujan-hujan,” kisahnya.
Hari Rabu (12/12) siang itu, bocah yang belum mengenyam bangku TK itu sedang bermain riang. Dia tidak bermain di sekitar pekarangan rumahnya bersama teman-teman sebayanya. Melainkan, di sebuah permakaman bersama ratusan kijing.
Ya, di makam Purwoloyo Pucangsawit Jebres itulah, Kahfita menghabiskan masa-masa bermainnya bersama ibunya sebagai pembersih makam.
”Sejak berusia 20 hari setelah kelahirannya, Kahfita selalu ikut saya ke makam ini,” tambahnya.
Penghasilan wanita berputera tiga ini, berasal dari membersihkan sejumlah makam terluas se-Kecamatan Jebres itu memang tak seberapa. Begitu juga suaminya, Supardi, yang hanya berprofesi sebagai pekerja serabutan, pendapatannya pun berkala. Kala ada, kala tak ada. Namun, cita-cita Nyomik untuk membesarkan ketiga puteranya itu pantang surut.
”Uang pemberian dari ahli waris ini saya kumpulkan sedikit demi sedikit. Ada yang ngasih Rp 2.000, ada juga yang bermurah hati dengan ngasih Rp 5.000. Semuanya saya terima dengan ikhlas. Ini kan bukan pekerjaan hina dan tercela. Jadi saya tak perlu malu,” terangnya.
Keterjepitan ekonomi memang sudah mendera Nyomik sejak dirinya masih kecil. Bahkan, ketika dia menikah dan dikarunia putera pun kondisi ekonomi Nyomik tak berubah. Dia tetap sebagai tukang pembersih makam.
Meski demikian, ada secercah harapan yang membuat Nyomik sanggup bersabar dengan nasibnya itu. Harapan itu adalah putera-puteranya yang sekarang tengah mengejar matahari.
Rizky Fauziyah salah satunya. Siswi kelas VI SD Wonosaren II ini tak pernah absen meraih rangking tiga besar di sekolahnya sejak kelas 1 SD. Bahkan, Kepala SD Wonosaren 2, Teguh mengaku sangat berutang budi kepada siswi itu.
”Sekolah ini terangkat citranya karena kepandaian Fauziyah. Pintar dalang, dan pintar segalanya. Piala-piala di sekolah ini juga dia sebagai penyumbang terbanyak,” ujarnya kepada Esposbeberapa waktu lalu.
Menyaksikan puteranya yang berprestasi itu, Nyomik mengaku dianugerahi kenikmatan yang tiada tara. Sambil menyeka air matanya yang tiba-tiba meleleh di pipi, Nyomik pun berdoa, ”Biarlah saya saja yang menjadi pembersih makam ini. Anak-anak saya biar menggapai cita-citanya setinggi langit.” - Aries Susanto
Read More

orang kecil!

Sejarah peradaban selalu terjadi pergumulan hebat dengan orang-orang kecil.
Sejarah orang-orang besar di muka bumi, juga berkat keberadaan orang-orang kecil. Pun demikian dengan para pemimpin besar di dunia ini.

Mereka yang tercatat dengan tinta emas, adalah sosok yang selalu dielu-elukan orang-orang kecil.
Seorang negro dari Afrika Selatan, Nelson Mandela, akhirnya dijunjung tinggi oleh jutaan rakyatnya lantaran keberpihaknnya kepada orang-orang kecil dengan melawan sistem apartheid.
Begitu juga sang revolusioner Iran, Ayatullah Imam Khoimeini. Tokoh bersahaja itu mampu menggulingkan kediktatoran Shah Iran Reza Pahlevi juga karena keberpihaknnya dengan orang-orang kecil. Masih berderet-deret lagi tokoh-tokoh dunia yang cahayanya berkilauan hingga saat ini. Ada Mahatma Gandhi dengan gerakan Ahimsanya. Semuanya, selalu bersumbu pada orang-orang kecil. Ya, orang kecil adalah orang besar!
Namun jangan heran, jika banyak yang berjuang seolah-olah atas nama orang-orang kecil. Orang kecil dijunjung tinggi, agar dirinya menjadi lebih tinggi. Dan orang kecil pun dijadikan komoditi demi sebuah kekuasaan. Jika demikian kondisinya, tunggulah! Sebuah kekuasaan hanya berujung kehancuran tanpa kerelaan orang kecil.
”Tuhan pun bersemayam di hati orang-orang kecil,” demikian kata orang bijak. Ini bukan bermaksud menakut-nakuti para pemimpin di Solo. Namun, ketika orang-orang kecil di kawasan Mipitan Jebres itu mengharapkan kebesaran hati para pemimpinnya tak kunjung datang.
Hingga kini mereka masih menanti kejelasan sikap Pemkot terkait ganti rugi pembangunan jalan dan jembatan Mipitan. Orang kecil di kawasan Mipitan itu memang tak punya kekuasaan barang secuil pun untuk memaksa para pemimpinnya datang. Apalagi melakukan perlawanan. Mungkin, mereka masih merasa punya Tuhan sebagai tempat mengadu. Dan mungkin juga mereka sangat yakin, Tuhan berkehendak sesuka-Nya.
Kelemahan orang-orang kecil inilah yang membuat mereka sadar diri, dan tak ingin menuntut yang terlalu neka-neka kepada pemimpinnya. Mereka, bahkan sangat mendukung pembangunan proyek itu. Mereka hanya ingin tahu kejelasan nasibnya! Itu saja! Tak berlebih! - Aries Susanto Wartawan SOLOPOS Bertugas di Kota Solo
Read More

Pak Jono...

Pilu benar nasib Jono. Warga RT 01/ RW I Kelurahan Sewu itu bukan saja kehilangan harta bendanya, namun rumah satu-satunya di bantaran Sungai Bengawan Solo itu juga hanyut diseret air bah entah ke mana.

Padahal, rumah itu menjadi tempat bernaung dirinya serta keluarganya sebanyak lima jiwa. ”Termasuk cucu saya yang masih kecil ini,” ujarnya sambil mengusap kepala cucunya di tanggul pengungsian, Jumat (4/1).
Sudah sepekan ini, Jono tak lagi berkumpul dengan isteri dan anak-anaknya di dalam rumah seperti dulu kala. Rumah itu telah hanyut bersama dengan segala kenangannya. Sejumlah baju-baju, peralatan dapur, serta kasurnya juga hanyut bersama ke Sungai Bengawan Solo. Dan di tanggul pengungsian yang beratap terpal serta berlantai tanah becek itulah, Jono mengisi hari-harinya di sana dan harus rela berselimut dengan dinginnya angin malam. ”Ya beginilah kondisinya. Masak dan tidur di sini. Kalau malam dingin sekali,” tutur Ny Jono.
Ya, di tanggul itulah Jono membuat benteng pertahanan akhir. Padahal, sebelumnya Jono sudah bermimpi bakal merehab rumahnya dengan memakai bantuan dana dari kelurahan, yakni rumah tak layak huni (RTLH). Namun, apa daya banjir ternyata terlebih dahulu meruntuhkan mimpi-mimpinya itu.
Saat banjir datang, Jono sungguh tak menyangka. Soalnya, banjir datang dengan begitu cepatnya sementara dirinya dan keluarganya tengah terlelap dalam tidur. ”Saya kaget sekali. Karena tiba-tiba air sudah sedada saya,” sambung Ny Jono.
Maka, dengan segenap kemampuan yang mereka miliki, keluarga Jono pun berupaya menyelamatkan barang-barangnya dan memanggulnya ke tanggul. ”Air saat itu saya rasakan berguncang-guncang ke sana kemari. Dan karena saking kuatnya, kami pun lekas menuju tanggul. Esoknya saat banjir surut, rumah kami telah tiada,” kisahnya.
Bukan itu saja, akibat banjir itu juga membuat langkah kaki Jono terlihat tertatih-tatih. Soalnya telapak kakinya harus dijahit sebanyak empat jahitan lantaran tak sengaja menginjak kaca.
Salah satu putera Jono, Sri Muyekti yang juga mendirikan rumah di kawasan bantaran Bengawan Solo rupanya juga tak luput dari ganasnya arus sungai itu. Meski rumahnya tak sampai terseret arus seperti rumah orangtuanya, namun kondisinya sudah tak memungkinkan lagi untuk ditempati. ”Rumah saya sudah doyong. Sekarang saya ikut mertua. Anak saya masih bayi, kasihan kalau bermalam di tanggul.”
Keluarga Jono adalah satu dari ratusan keluarga yang bernasib malang di Solo. Mereka kini membutuhkan tempat bernaung layaknya tempat tinggal yang berdinding agar tak tertembus dinginnya angin malam. Bagi mereka tempat bernaung itu masih di awang-awang. - Aries Susanto
Read More

Tentang Blog

Ini hanya cerita tentang orang biasa. Tentang ketegarannya, kesabarannya, ketekunannya, kebesaran jiwanya, dan kepasrahan hidupnya kepada pemangku jagad ini.

Terpopuler

Designed ByBlogger Templates