Monday, April 7, 2008

catatan dari sudut kampus XV-tamat


--LIMA BELAS--
Selasa pagi, 15 November 2005 ini, aku tinggal di Ma’ul Hayati, artinya air kehidupan. Sesuai dengan kantor yang mendirikan: Dinas Pengairan. Di samping kiri ruang imaman, di sanalah aku bersama kawan lamaku, Rudiath Abdi tinggal. Hingga sekarang ini (kurang lebih tiga hari tinggal) kurasakan masih ada yang mengganjal. Beberapa orang yang lama tinggal di sini menatapku dengan mata curiga. “Siapa seorang
anak muda yang selama ini tinggal di samping masjid?” Lama-lama aku risih juga. Mungkin karena salahku, kenapa tak menemui pihak yang berwenang. Tapi siapa yang menjadi takmir masjid samping Janti ini? Sementara Rudiath hampir nyaris jarang terlihat di sini. Setiap kali ketemu pak Gito—orang yang tinggal di masjid samping kanan imaman—ia selalu menanyakan keberadaan Rudiath. “Lagi ngurusi persiapan acara di kampus, Mas. Katanya sih mau nggelar bedah buku. Baru saja dia nyari pembicara,” jawabku sekenanya. Dan selalu itu pertanyaan yang dilemparkan orang itu kepadaku. “Rudi di mana, Mas?”
Mulanya, tak ada niatan sama sekali aku tinggal di takmir masjid ini. Seperti umumnya anak kuliah, paling tidak ngekos. Tapi rupanya Allah menggariskan lain. Dibuatnya aku kelabakan persoalan ekonomi. Tak terkecuali ibu-bapakku. Keuangan di rumah lagi seret. Sementara pengeluaran saben hari tak pernah berhenti. Beli obat-obatan bapak yang terserang stroke, buat ngangsur kreditan sepeda motor, buat ongkos bulanan kuliah, buat nutup lubang yang kemarin-kemarin…..
Lalu aku nyari uang kos dari mana? Satu juta itu?! Uang kuliah, uang keseharian!! Dari mana?! Maka mau tak mau, jiwa militansi harus kujalani kembali. Hidup sekedarnya. Prihatin! Selama kebutuhan itu tak terlalu substansial, enyahkan!! Yang penting sekarang ini bisa merampungkan kuliah dalam tahun ini. Urusan tempat tinggal, selama ada yang tak bayar kenapa tak kucoba. Bukankah dulu ketika aku masih di rumah jarang tidur di kamarku sendiri. Aku lebih betah tidur bersama kawanku di masjid. Alasanku saat itu di masjid sangat efektif untuk membentengi diri. Berdekatan dengan-Nya. Mendisiplinkan diri, bangun malam, belajar dalam ketenangan, membuka cakrawala pergaulan dan mencari ketenangan hati.
Seperti sang revolusi Iran, Ayatullah Imam Khomeini yang memilih tinggal di serambi masjid. Ia bukan miskin papa, tapi seorang presiden kala itu. Jubah kesederhanaan telah mengukuhkan jiwanya untuk menjauhi gemerlap intan permata dan kekayaan istana. Aku bukan seperti dia, tapi aku ingin meneladani salah satu sifat agungnya, kebersahajaan. Dari sana lahir kamatangan sikap hidup yang lain; hilangnya perbedaan derajat antar manusia, gengsi, kemlente, tinggi hati dan membanggakan diri. Runtuhlah kesombongan!! Ia harus tunduk dalam kerendahan bumi…..
* * *
23 Januari 2006
“Kenapa aku selalu berharap kepada orang yang mebuatku larut dalam kesedihan …
Wajah seorang gadis berkaca mata itu hadir dalam mimpiku semalam. Meski sekelebat, pancarannya begitu kentara terlihat. Seperti dalam kenyataan, ia rupanya masih setia dengan kegiatan rebananya yang pernah kurintias semasa duduk di bangku SMU. Ia berseragam kuliah, mengikuti rombongan rebana sambil mempersilahkanku masuk ke ruang latihan. Aku terheran-heran, tak kuduga hatinya masih bertautan erat dengan komunitas musik tradisional yang ia rintis bersamaku dulu. Ah, Iffah!
Hampir dua tahun, semenjak kuikrarkan khusnul khatimah, tak pernah terlintas seraut wajahnya. Namun, kadangkala wajah kebersahajaannya menyelinap, menerobos alam bawah sadarku; mimpi.
* * *
Jum’at, 10 Februari 2006
Dalam sholat tasbihku, hatiku mengigau kesana kemari. Mengembara bersama sisa-sisa kenangan. Bukan kesucian Rabbku yang menjadi pusat konsentrasiku. Kepingan kenangan, satu persatu muncul, persis seperti sebuah foto dalam screen saver komputer. Hadir sekelebat, lalu lenyap.
Hingga di penghujung rakaat, aku sudah tah tahu berapa ratus kalimat tasbih yang meluncur dari mulutku, bukan dari hatikku. Suara nyaring Mbah Siroh lah yang tiba-tiba mengusir sekawanan was-wasil khonnas itu.
Sama, tatkala air dingin bak mandi kuguyur di ubun-ubun kesadaranku pagi ini. Lintasan masa depan menjajah ketenangan batin ini. Semestinya kupasrahkan utuh keresahan ini kepada-Nya.
* * *
Senin, 20 Februari 2006
Sepotong namaku terpampang di harian Radar Solo. Tak terlalu mencolok. Hanya di pinggir halaman koran. Tapi terlihat lain dari yang lainnya. Karena kolom pengumuman penerimaan calon repoter Radar Solo itu berwarna merah.
Pagi itu, aku langsung kasih kabar Topa. Ada rasa penyesalan dalam diri Topa, kenapa ia tak ikut mendaftar sebagaimana aku! “Aku kira kamu sudah tahu!“ ujarku saat ia menanyaiku. “Kamu pasti diterima di sana. Mantan wartawan dilawan!!“ guraunya, sekaligus menyemangatiku.
* * *
Selasa, 21 Februari 2006
Aku meluncur bersama motor antikku ke Solo, tempat kantor Radar itu bermukim. Tak terlalu sukar mencari kantornya, meski selama di Solo aku belum pernah ke sana. Di teras kantor, kulihat antrian calon reporter menanti panggilan tes. Suasana tenang, aku merasakan hawa dag-dig-dug. Pelamar yang lain juga merasakan yang sama.
Kini masa pertarungan itu telah tiba. Aku berhasil menyisihkan puluhan calon reporter lain dalam tes tulis dan tes wawancara itu. Setelah aku dan ke enam calon reporter lain dinyatakan bisa mengikuti proses reporter, akan aku tujukkan bahwa menulis berita bisa kuhasilkan di atas rata-rata. Selama 3 hari, mulai detik ini, aku akan membuktikkan sebagai reporter yang sudah berpengalaman. Ingat, mantan wartawan!
Lalu skripsiku gimana? Ah, gampang! Agustus 2006 pasti kelar. “Yang penting sekarang cari batu loncatan dulu. Ini kesempatan langkah!! Usia di atas 23 banyak yang tak dibutuhkan,” kata temanku. Dan yang lebih penting, sebelum Indani wisuda aku akan melamarnya. Titik!! Tak kan kubiarkan dirinya merana....
Jika tidak lulus seleksi akhir?! No problem!! Berarti jalan hidupku masih panjang!
Kaos merah yang kukenakan pagi ini adalah simbol keberanianku. Fighter!! Detik ini, aku akan berpentas sebagai wartawan lagi. Tangguh, cekatan, tak putus asa dan tawakal.....
Inilah masanya, aku meniti dunia kerja lagi. Ukuran kesuksesan itu rata-rata di atas usia 30 tahun. Aku masih punya waktu tujuh tahun untuk mewujudkan impian. Sepuluh tahun lagi, mengkristalkan impian. Sepuluh tahun lagi, masa-masa nubuah. Dan akhirnya kembali lagi ke pangkuan-Nya. Amiin…
* * *
Rabu, 22 Februari 2006
Tuhanku Yang Maha Perkasa
Hembuskan semua kekerdilan-kekerdilan hatiku
Targetku di Radar Solo hanya 1 bulan
Untuk mencari pengalaman saja
Tak lebih !!
Setelah itu aku minggat!
Aku mencari oase yang lebih memanusiakan!
* * *
Rabu Pahing, 22 Februari 2006
Aku Sungguh tak tahu, kenapa saat menginjakkan kaki di Radar Solo hawa gamang menyerangku. Sehari, pasca aku dinyatakan lolos seleksi menjadi wartawan, aku langsung merasakan ketidkcocokan dengan nuraniku. Pertama, pola interaksi yang terjadi terasa angkuh, sombong, dan kering. Hubungan antara pegawai dengan profesi seperti yang digambarkan, Karl Marx: Teralienasi. Dalam padang keterasingan itu aku merindukan Tuhanku, terutama saat malam menjelang.
Kedua, sepertinya aku tak bisa hidup dalam keterkungkungan, dalam pengawasan dan tuntutan atasan. Aku tak bisa melangkah dalam bingkai yang keluar dari kesadaranku. Selama ini aku menikmati jalan hidupku dengan totalitas, kemandirian dan keasyikan. Pendek ucap; tak keluar dari rel kebebasan.
Ketiga, Radar Solo seperti yang dulu kuramalkan, rupanya terseret dalam pola-pola pasar murni, yang keras, memalukan dan bertolak dengan idealisku. Radar Solo menjunjung tinggi “Agama“ baru. Agama baru itu adalah konflik, sport dan perempuan. Di mana idealisnya? Nyaris terhempas. Aku tak yakin, jadi wartawan Radar Solo mampu mengolah jiwa kemanusiaanku.
Keempat, jika kupaksakan berkarir di Radar Solo aku khawatir, waktu mahalku tersita habis untuk hal-hal artifisial dan remeh temeh. Bergantung dengan pasar, mewawancarai artis kacangan, memburu kriminalitas dan ah....tak banyak faedahnya.
Kelima, Radar Solo kurang menghargai setiap karyawan atau calon krunya. Kesejahteraannya sangat memprihatinkan. Wartawan diperas habis keringatnya, demi
persaingan dengan koran koran-koran kawakan, macam Solopos. Bayangkan, wartawan magang tak dikasih uang transport sama sekali.
Keenam, adalah alasan pribadi selain uang kantongku mepet, aku ingin lekas merampungkan skripsi. Dua bulan ke depan, dalam rencanaku skripsi sudah kelar, lalu aku akan daftar kerja di Jogja, yang mungkin lebih cocok dengan kecenderunganku. Biar bagaimanapun, iklim Jogja tetap lebih sejuk.
Ketujuh, dan keseterusnya, aku akan tetap bersihkukuh dalam pijakan idealis. Nilai-nilai luhur yang kutelan selama ini, tak akan kulebur begitu saja dalam persaingan pasar yang menjijikkan.
Tuhanku Yang Maha Hening, hamba yakin jalan yang kau bentangkan masih meluas samudra.
Apa yang kualami sepertinya mirip yang menimpa mas Taufik. Kerja di sana memang sangat memprihatinkan. Orang mungkin melihat kebahagiaan dari kacamata yang paling luar. Namun siapa yang tahu kedalaman hati seseorang.....
Besok pagi buta, aku akan pulang ke Jogja meninggalkan Radar Solo.
* * *
Kamis, 23 Februari 2006
Sebuah SMS dari sahabatiku usai kuambil keputusan itu;
“Nggak apa-apa sobat, kita memang selalu dihadapkan pada pilihan hidup. Insya Allah nanti ada kesempatan lain. Sekarang fokuskan menyelesaikan amanah orang tua dan keluarga.
Good luck friend.
Nadhiroh
17 : 57:41
* * *
Jum’at, 24 Februari 2006
Ada kebersamaan yang kurasa berat untuk pudar. Aku tak bisa bayangkan, bagaimana 3–4 tahun mendatang. Bagaimana kondisi pers kampusku setelah satu-persatu mereka lulus kuliah dan lepas. Tentu ada kerinduan yang terasa tersembunyi.
* * *
Sabtu, 25 Februari 2006
Aku merasa rileks, jika bergumul dengan orang-orang kecil. Dengan pedagang nasi angkringan, penjaja es beras kencur, dan segala manusia miskin-papa. Ada perasaan senasib-seperjuangan, saat nongkrong dan bercakap bersama mereka.
Tadi pagi, di tepi kampus, seorang pedagang minuman tradisional kuhampiri. Bapak itu bersama gerobak dorongnya setiap hari mangkal di samping proyek
pembangun kampus. Aku tak begitu peduli dengan debu-debu yang berterbangan. Mereka memang orang kecil. Selain kecil penghasilannya, kecil pula angan-angannya. Mereka tak pernah bermimpi untuk membangun mall-mall raksasa dan memanjakan pembeli. Mereka juga tidak pernah berangan untuk menabung buat masa depannya. Begitu pula, dia tak terobsesi untuk memanajemen dagangannya, lalu merambah lebih besar. Tak sampai di sana angannya. Sekali lagi pikirannya amat cekak dan sederhana; bisa menjual barang dagangannya itu saja sudah cukup! Tak peduli manajemen, keamanan, pembagian kerja dan segala hal yang berbau modernitas. Yang mereka inginkan, dangangan hari ini bisa terjual. Itu saja!! Seberapa besar keuntungan hari itu, bagi mereka sudah cukup.
Mereka bagiku jauh lebih mulia, ketimbang orang-orang yang mengandalkan terus status sosial dan gengsi. Di tengah deru mesin-mesin yang semakin canggih, mereka mengisi ruang-ruang yang terabaikan. Mereka sebenarnya pekerja keras. Mereka bukan pemalas.
* * *
Kamis, 9 Maret 2006
Duit hasil lomba penulisan karya ilmiah itu habis dalam sehari. Kini, aku kere lagi. Uang kiriman dari rumah juga tak kunjung datang. Tadi aku iseng melihat saldo uang di ATM, tapi masih seperti yang dulu. Kosong. Empat kali ini, aku njenguk ATM dengan resah yang sama.
130 ribu, lenyap untuk beli celana panjang dan rok panjang Indani. 55 ribu buat beli onderdil motorku. 140 ribu buat bayar hutang. 25 ribu buat syukuran temen-temen. Padahal besok untuk servis motor, aku musti ngrogoh saku lagi sekitar 20 ribu. Belum lagi rencana ke Solo dan beli rem kanvas motorku yang trepes. Haa..h, ludes deh uang 400 ribu itu. Aku tak tahu, musti bilang apa ma teman-teman yang belum kebagian jajan syukuran...
Tak ada uang tak banyak keinginan. Ada uang banyak keinginan. Tapi itu kebutuhan.
[Kamar kos, sayup-sayup “Sarjana Mudanya“ Iwan Fals mengalun]
* * *
16 Maret 2004
Kehadiran TV di kamar kos, secara drastis mengubah kebiasaanku. Waktu berlalu seperti dalam belenggu tayangan-tayangan hiburan. Selalu saja gambar-gambar yang bergerak itu menyedot sepasang mataku untuk melayaninya. Hingga larut malam pun, mataku masih enggan terpejam.
Apa yang kudapat dengan menjadi pemirsa setia si kotak ajaib itu? Adakah sesuatu yang bernilai positif, selain kesenangan-kesenangan sesaat, kekaguman, dan larut dalam rancangan sang produser TV. Bagaimanapun juga aneka macam tayangan itu tetaplah barang dagangan. Logika pasar yang berlaku. Siapa yang banyak digemari orang, itulah yang bakal disuguhkan.
Jika dagelan menjadi laris lantaran hadir sosok artis, kenapa tidak! Jika seruan-serua agama dikemas dengan cara mistik kenapa tidak! Jika tengah malam saat ngantuk berat menjadi terjaga lantaran disuguhkan tanyangan beraroma seks, kenapa tidak? Jika berita-berita kekerasan bisa menyedot perhatian kaum awam, kenapa tidak? Jika sinetron-sinetron remaja-gaul abis, seksi, hedonis, glamor, menjadi kegemaran anak-anak remaja, kenapa tidak? Bahkan jika berburu hantu dikemas dengan dramatis, penuh suspensi ternyata mampu membuat orang terpana, kenapa tidak? Semua serba demi tuntutan pasar. Laku-tidak! Kalau sudah dikebiri penonton, ganti acara lain.
TV, bagiku tetaplah makhluk alien yang tiba-tiba menyerobot masuk ke kamar privacy ratusan juta manusia. Dia bisa menjadi teman yang paling akrab. Dia memiliki daya sihir luar biasa. Yang tak dimiliki manusia dukun mana pun. Daya pikatnya amat kuat melebihi fatwa ulama’. Jika tak ingin terpenjara olehnya, matikan TVmu seperti saran dalam sebuah judul buku yang kulihat kemarin.
Kapan skripsiku kelar, jika makhluk aneh milik Indani itu masih bertengger di meja kamar kosku? Ada saatnya telinga dan mataku terkunci rapat. Hanya mencernak hal-hal yang bergizi; baca buku, majalah Tempo, artikel-artikel dan menggarap skripsi sambil alunan musik kitaro menemani. Atau sambil mendengar suara jangkerik dan kodok ngorek, meski sesekali suara bising pesawat melintas di atas kamar. Atau suara knalpot dan sirine mobil patroli polisi.
* * *
21 Maret 2006
Aku menduga keuangan di rumah sedang seret. Hampir dua bulan ini ATMku nyaris nol. Berulang kali aku menjenguk mesin pintar penyimpan uang itu, namun selalu nafas tertahan yang kurasa. “Saldo anda 0,00,” kata layar ATM itu.
Mungkin, depot tempat ibu memangku nasib sudah habis masa pemakaiannya. Karena Pak De akan memakai lahan itu untuk mata pencaharian anak bungsunya. Maklumlah, sekarang cari kerjaan susah.
Sementara ibuku jelas tak tega jika memakai lahan miliknya yang sekarang dipakai kemenakannya. Lahan itu juga tempat tumpuan hidup kemenakannya, kedua anak dan seorang istrinya. Jika ibuku meminta lahan itu, sama halnya membunuh mata pencaharian mereka. Tapi ibuku sendiri adalah orang yang dalam posisi dilema. Menganggur atau…
Ah…kenapa hidup selalu dalam posisi yang menentukan pilihan sama-sama pahit? Ibuku mengalah. Dia tak mungkin meminta lahanya di desa Cangkring itu untuk membuka depot, setelah depotnya yang dulu habis masa kontraknya. Resikonya, kini ibuku tak ada lagi uang untuk bisa dikirim ke bank untukku.
Bagaimana dengan kakak-kakakku? Ah, aku malu minta sama mereka. Mereka kukira juga mengalami nasib yang sama. Mereka juga menghidupi rumah tangga keseharian. Aku tak mau merepotkan mereka. Tak mau meminta.
Masku yang paling sulung, sekarang nedeng-nedeng persiapan nikah. Tentu uangnya terkuras untuk hajatan nikah itu. Apalagi kata ibu, sekarang gaji kakakku sudah tak seperti dulu lagi yang mengalir lancar. “Kakakmu sekarang ini ditempatkan di
Surabaya lagi Nak. Jadi gajinya kecil,” ujar ibuku yang masih kuingat kala itu.
Kini aku sendiri seperti dulu lagi. Berteman sepi dan sunyi. Pundi-pundi uang yang dulu mengalir ke tanganku, macet kini. Tabloid di Pemda Sleman sampai sekarang tak ada kejelasannya. Honor beberapa tulisanku sampai detik ini belum juga dikasih. Kerjasama penelitianku dengan PWI Jogja untuk bikin buku, sekarang juga berhenti. Beberapa aktifitasku di fakultas yang bisa menghasilkan uang juga stop, lantaran konsentrasiku di kamar kos nggarap skripsi. Wartawan di Radar Solo juga telah kulepas.
Sekarang ini, aku benar-benar pailit. Tak ada uang di kantong. Sepeda motor sudah saatnya diservice. Pinjamanku di bendahara pers kampus sudah mencapai 100 ribu. Apa yang kulakukan sekarang?! Nekad kerja, tapi menghacurkan masa-masa skripsiku? Atau………?!
Tuhan berkati hamba-Mu yang dhoif ini, ya Allah…………..
[Lorong jemuran kamar kos]
* * *
Kamis, Maret 2006
Cinta seorang wanita…
Indani selalu mengukur rasa cintaku dari perhatian. Sejauh mana perhatian yang kuberikan, sejauh itulah rasa cinta yang kupersembahkan buatnya. Semakin sering aku miscall atau SMS kepadanya, semakin dalam rasa cintaku padanya. Begitulah penilaian Indani menangkap arti cinta. Dan ketakmampuan untuk ajeg mencurahkan perhatian, meski sekedar miscall tentu beresiko buruk terhadap kebutuhan cinta. Hampir 90% konflik yang terjadi selama ini bermula dari persoalan yang kuanggap sepele itu: Perhatian!!
Seorang wanita akan melangkah dalam gemuruh perasaan yang terus mendidih. Gemuruh perasaan itulah yang menggerakkan seluruh niatannya, jika suasana hati lagi diserang perasaan was-was, prasangka, maka itulah sikap yang tercermin.
Sebesar apapun cinta dan pengorbanan yang kuberikan, jika prasangka sudah mengepungnya, maka runtuhlah bangunan cinta itu. Dan wanita akan lebih menuruti suasa jiwa.
* * *
Sabtu, 25 Maret 2006
Perasaanku terus-terusan dirundung gelisah. Sepertinya saben hari kekeruhan yang mengendap di sudut hati ini semakin menebal. Ya, kekeruan itu bersumber dari semakin liarnya segala indera ini. Hasrat pun terus bergemuruh. Keinginan-keinginan serasa semakin memabukkanku. Ketakutan-ketakutan pada sesuatu yang fana terus membayangiku…
Aku merasakan, kekhusukanku seolah menghilang saat aku sendiri bersama Tuhanku. Bayang-bayang peristiwa masa silam, mendatang, dan khayalan-khayalan selalu menyerobot alam kesadaranku, dan Gusti Maha Agung-ku tiba-tiba terlupa begitu saja.
Sudah saatnya cermin di jiwa ini kubersihkan kembali. Dengan air mata, dengan air keringat, dengan darah. Antara spiritual dan sosial harus dalam seimbang.
* * *
Jum’at 31 Maret 2006
Sebuah cerita masa lalu. Ungkapan yang tepat, saat aku didaulat jadi pemimpin umum pers kampus adalah “korban pelimpahan tanggung jawab”. Sehari setelah jabatan itu kupikul, satu persatu pengurus raib …
Ah, biarlah kenangan itu berlalu. Sekarang ini aku hanya berharap, pengurus baru pers kampus semoga eksis.
* * *
1 April 2006
Aku bertemu dengan seorang nenek yang baik hati. Tutur katanya lembut dan selalu menebarkan do’a-do’a. Nenek asal Magelang itu menyambutku dengan hangat. Segala hidang yang ia miliki, ia keluarkan semua demi memberikan yang terbaik buatku.
Siang itu, aku di emperan rumahnya yang sudah semakin renta. Tembok rumahnya sudah banyak yang berlumut. Lantainya terbiarkan berdaki. Kayu-kayu yang dimakan rayap terserak. Atappun sudah terlihat sorot cahaya matahari yang menyerobot, masuk melalui celah-celah genting yang menganga.
Nenek itu berjalan tergopoh, menghindar hujan yang mengguyur. Ia baru saja pulang dari sawah. Menjenguk tanaman-tanaman yang sudah terlihat menguning. “Nak, datang sudah lama, ya?” ucapnya seraya mengembangkan senyumnya.
* * *
5 April 2006
Inilah akhir dari perjalananku di sebuah pers mahasiswa. Segala daya dan upayaku sekarang harus lebih kufokkuskan pada studiku; merampungkan skripsi. Luka-luka masa lalu, biarlah jadi cerita, kelak di masa mendatang. Segala kekurangan, semoga lebih mendewasakan.
Tuhanku, ulurkan tangan–Mu. Belailah dengan kasih sayang hamba-Mu yang lemah ini. Hamba ingin kembali ke pangkuan-Mu.
Saat kutulis catatan ini, aku baru saja pulang dari perjalanan Jakarta-Bandung. Kutulis saat lagu sendu “Donna-donna, Ost Film GIE” mengalun. Sementara screen saver pada monitor itu terus menampilkan foto kawan-kawan pers kampus. Haru saat berpisah…
* * *
--ENAM BELAS--
15 April 2006
Peristiwa tadi Shubuh.
Subuh itu aku bergegas bangun, mengambil air wudhu lalu menunaikan sholat shubuh. Agak ganjil memang. Biasanya akhir-akhir ini bangunku selalu di atas jam 06.00 pagi. Bahkan biasanya ketika riuh pasar dan jalan raya sudah terdengar, aku baru membuka mata. Itu pun dengan berat. Mata serasa dilem dan malas menghinggapi tubuh. Dalil yang kupakai selalu begini; subuhnya mahasiswa tentu beda dengan subuhnya akik-akik yang segenap jiwanya dicurahkan untuk menyongsong hari penuh keabadian di alam akhirat kelak.
Apalagi jika tidurku telah larut malam. Hampir dapat dipastikan keesokkannya adalah aksi balas dendam. Tidur sampai jam 08.00. Sholat shubuhnya? Kujamak dengan shlat Dhuha. Jadinya “Dhubuh”. Dhuha plus subuh,” Ah, Tuhan pasti memaklumi anak muda,” pikirku.
Tapi, subuh tadi benar-benar lain. Padahal, seharian penuh aku tak istirahat atau tidur sejenak di siang hari. Aku tiba-tiba merasakan ada kekuatan yang mendorongku untuk lekas meninggalkan dekil-dekil kemalasan. Kelopak mataku pun seperti menatap cerahnya subuh. Indera penciumanku juga seolah ingin sekali menghirup segarnya udara pagi yang berhempus dari tepi sungai Gajah Wong. Dan kaki serasa menuntunku menuruni tangga kos, dan melangkah ke pancuran kran air. Tubuhku ringan. Tak ada beban yang menarik-narik, untuk menuntaskan sembahyang shubuhku. Dan yang paling kuherankan, aku tiba-tiba tergerak untuk mengerjakan sholat qobliyah Subuh. Aneh sekali. Padahal selama ini aku jarang sekali mengerjakan sholat sunat rawatib itu. Tapi Subuh tadi…?
Mungkin ini adalah firasat. Aku yakin itu. Dan firasat itu bertalian erat dengan sosok wanita masa silamku. Karena selang beberapa menit kemundian, tiba-tiba HP ku berdering. Tahukah nomor siapa yang muncul di layar HP ku subuh itu? Dia adalah Iffah. Seorang gadis yang telah meninggalkan bekas nestapa di jiwaku. Mendengar namanya, aku terkadang menggigil. Dunia serasa pucat pasi, sunyi, kalut dan sedih, mendalam.
Iffah, adalah sosok yang sedikit-banyak telah mempengaruhi psikologiku. Dia adalah wanita yang pertama kali yang mengisi ruang hatiku. Dialah yang pernah memeriahkan dan menerbitkan harapanku. Namun dia jualah yang membuat hari-hariku di Jogja dulu, menjadi sunyi, sepi, larut dalam duka nestapa. Berulangkali aku mencoba menepis segala kenangan dengannya. Melenyapkan dirinya dari hatiku yang terlanjur terpatri, meski terkadang dengan cara yang amat terkutuk; membencinya seumur hidup. Aku tak ingin mengingatnnya lagi. Mengingatnya hanya akan membuka kembali luka lama. Aku benci Iffah. Benci sikap-sikapnya yang diskriminatif kepadaku. Dialah yang telah memberiku tangan perpisahan itu.
Tapi kehadirannya Subuh tadi, telah menggugah kesadaran lahir-batinku. Aku tiba-tiba terbangun di subuh itu. Seolah Subuh itu menyambut kehadiran suaranya di tanah Jogja. Suaranya yang ringan dan selalu terselip derai tawa kecil. Ah, dia Subuh tadi telah menelponku. Bertanya ini-itu. “Aku pingin nelpon aja, pingin nyari konco yang bisa kuajak ngomong,” katanya.
Aku sudah mafhum maksudnya. Iffah ingin mengobati lukaku. Ia ingin membalas dengan sekedar memberiku perhatian, sebagaimana dulu aku mencurahkan perhatian kepadanya. Lewat kenang-kenangan, lewat sepucuk surat, lewat sapa, lewat silaturrohmi, lewat angin, lewat do’a, lewat harapan, lewat impian, lewat semuanya. Mungkin dengan
demikian ia bisa mengobati lukaku. Bisa menyambung lagi silaturrohmi yang terkoyak selama ini. Dia memang wanita ‘baik’, wanita yang tak ingin banyak membuat kecewa orang lain
Sayang, luka itu terlanjur mengeras. Mungkin tak ada yang bisa menyembuhkan, selain aku sendiri. Biarlah luka itu pulih dengan caranya sendiri. Engkau, Iffah! Tak akan mampu mengobatinya.atau malah menambah semakin perih. Aku tak butuh perhatianmu. Perhatianmu, bagiku adalah pisau tajam yang mematikan. Maafkan sikapku ini. Karena hanya dengan demikianlah lukaku akan sembuh. Atau jika tidak, hanya memunculkan kembali harapan yang telah pupus itu, karena perhatianmu!
* * *
Ahad, 16 / 04/ 2006
Aku menyembunyikan dalam senyum!
Sudah tiga kali ini dia menelponku. Pertama di waktu Subuh itu. Kedua dan ketiga, di paruh malam. Kemarin saat aku bercengkrama dengan teman-teman kos dan asyik nonton TV, ia datang untuk mengusir rasa suntuk yang mengepungnya. “Dari pada pusing bikin diagram yang nggak jadi-jadi, mending aku nelpon sampeyan saja,” katanya.
Malam itu ia sudah sedikit lebih cair. Terselip gurau-gurau kecil. Malam itu, ia sudah melepas beban-beban rasa bersalah kepadaku. Selain canda, ia juga memberi tahu bahwa ia sekarang tengah mendengarkan musik kitaro di kosnya. “Dengar nggak dari Jogja?” candanya, seraya memintaku mendengarkan bunyi HPnya yang ia dekatkan ke salon musik winampnya. “Aku juga nggak tahu, kenapa tidurku malam-malam terus,” ujarnya menirukan. Ia mungkin mengingatkanku pada kata-kata yang dulu sering kusampaikan padanya, bahwa jika ingin kuat lahir-batin, jangan kau biarkan malam-malam larut dalam pejam. “Teruskan tirakat sucimu!” demikian bunyi nasehatku dalam surat perpisahan denganya, awal smester III silam.
Ah, Iffah, teruslah dalam rel yang kau susuri selama ini. Yang telah kau yakini, yang skaligus juga telah memberiku luka mendalam karena jalan hidupmu yang berseberangan denganku. Tapi, aku sudah bukan lagi anak-anak baru gede (ABG), yang segenap perhatian dicurahkan untuk mengingat-ngingat luka masa lalu karena urusan cinta. Meski dulu aku pernah bersumpah-serapah untuk tak memaafkanmu, tapi kini kusadari sikapku itu amat keliru. Seperti anak kecil yang tak henti menangis karena tak dibelikan mainan. Tidak! Aku bukan seperti anak kecil yang selalu menggenggam bara.
Kini, bukan lagi persoalan itu yang menyumpeki alam sadarku. Ada sesuatu yang jauh lebih layak untuk kuprihatinkan. Masa depan! Tetapi bukan masa depan yang egosentris. Melainkan masa depan yang lahir karena keresahanku memikul tanggung jawab sebagai anak yang harus berbakti dan menggembirakan orang tua. Sebagai anak muda yang musti mengalirkan peran untuk masyarakat, agama dan generasi penerus. Aku telah melupakan dendam-dendamku masa silam, tentang kisah-kisah SMU dulu, tentang pengkebirianmu. Biarlah itu sebagai cerita nostalgia. Aku mengimani dengan seutuhnya bahwa hidup ini hanya dalam genggaman-Nya. Kita hanya bisa sareh-sumereh, mengikhlaskan semua yang telah kita lewati.
* * *
Senin, 17 April 2006
Dia dan Indani. Cintaku padanya kudus, meski tak rasional. Bersama Indani, banyak kuarungi suka-duka.
* * *
Selasa, 18 April 2006
Aku sungguh bingung! Di saat keluargaku berkumpul semua, akankah kuiyakan permintaan Indani: pulang bersama! Berpasang-pasang mata pasti menatapku dengan seribu teka-teki dan prasangka…
* * *
Jum’at pagi, 21 April 2006
Apakah ini takdir?! Serentetan peristiwa di luar daya dan upayaku mendadak menubrukku bergiliran. Kini setelah dadaku sesak karena himpitan ekonomi, Indani datang memberiku tangan perpisahan. “96 panggilan tak terjawab” itu telah membuat luka hatinya. Dan keadaanku yang terlelap saat itu, benar-benar mengukuhkan kecurigaan Indani bahwa aku tak punya komitmen untuk mempertahankan tali kasih ini.
Semua benar-benar di luar daya dan upayaku. Semua skenario Ilahi itu berjalan mulus. Dan aku hanya tercengang menyaksikan semuanya. Aku tak bisa mengelak. Aku pasrah…
Hari ini, Indani pasti galau jiwanya. Ia pasti merasa terpuruk, lantaran upayanya untuk menelponku semalam tak membuahkan hasil. Ah, kenapa malam itu harus kulalui dalam lelap. Dalam selimut dingin angin malam itu. Di teras rumah itu. Menjaga mobil pinjaman milik guru ngajiku itu. Dalam acara pernikahan kakakku itu...
Aku sangat takut melukai perasan setiap wanita. Apalagi Indani. Seorang yang dengan sepenuh hati menyayangiku. Bahkan saking sayangnya, segala tindakannya berlebihan. Semua serba curiga. Cemburu dan penuh dengan prasangka kepadaku. Aku harus mau diatur. Janji-janji yang kuberikan sebagai penawar dan pengobat hati, kini malah berbalik menuntuku.
“Aku tak kan mengalirkan air mata, sebab sudah kering,” jawab Indani malam itu dengan singkat dan tegas! Getir!
Sekarang hamba-Mu menanti rencana yang telah kau siapkan lagi Tuhan. Apakah hamba musti simpuh dalam pangkuan-Mu…
* * *
Jum’at, 21 April 2006
Dalam kegamangan!
Untuk ukuran saya, menikah bukanlah sebuah prestasi. Seperti juga membikin anak. Namun mempersiapkan instrument-instrumen nikah, itulah prestasi. Mulai dari lepas dari ketergantungan pada orang tua dan alias mandiri, hingga menjaga rumah tangga agar tak goyah. Itulah prestasi! Seperti juga mendidik anak hingga menjadi anak
yang berkualitas lahir-bathin, itulah perjuang maha panjang yang terhebat. Bukan sekedar ‘membikin’ anak yang—mungkin jika tak mampu menata niat malah—bercampur dengan nafsu syahwat. Bukan ibadah.
Sekarang, aku dihadapkan pada tantangan itu. Namun, dalam waktu bersamaan aku dihadapkan pada pilihan yang amat sulit. Indani menanti kepastian dariku. Dalam tempo beberapa bulan ke depan jika aku tak segera menjemputnya, berarti aku telah melukai hatinya. Sebaliknya jika harapan untuk membangun rumah tangga itu kudahuluan, aku pasti mengecewakan keluarga. Aku belum membawa kabar gembira kepada orang tua dan kakak-kakakku.
Tadi pagi, mbakku membicarakan aku dengan keluarga. Kata-kata yang masih sempat kutangkap dan terngiang di telingaku adalah, “Pokoknya Areta kalau belum bekerja dan mandiri jangan berharap menikah. Mau ngasih makan keluarganya pakai apa?! Lha wong keluarga sudah tak mampu lagi menanggung beban hidup. Ibu sudah tak kerja. Bapak terserang penyakit. Mereka tentu sudah kewalangan menata rumah tangganya sendiri. Kini, Areta harus membuktikan dirinya sendiri. Setelah dikuliahkan dengan keringat dan air mata. Ia harus mampu membahagiakan orang tuanya dulu. Tak ada harta peninggalan orang tua. Semua telah habis. Zaman berubah. Menggilas semua harapan dan impian…!!”
Mungkin benar apa yang disampaikan si bayi ajaib, Fayyadl bahwa kita terkadang menjumpai kenyataan-kenyataan hidup yang lain dari yang kita impikan.
[Di tengah kebisingan pasar]
* * *
Sabtu, 22 April 2006
Yang dicemaskan Indani sungguh beralasan. Seorang wanita tentu mengkhawatirkan statusnya dengan calon pendampingnya. “Mas, aku hanya membutuhkan kepastian darimu,” ujarnya semalam lewat SMS. Kata-kata itu lahir dari bayang-bayang yang menghantui setiap mimpinya. Kata-kata itu membutuhkan jawaban. Usianya yang terus beranjak, semakin menterornya.
“Yang aku takutkan, jika sampai aku lulus kuliah nanti, Mas belum belum juga menjemputku, orang tuaku pasti akan menjodohkanku dengan orang lain. Tapi aku tak mau berpisah dengan Mas. Segerahlah Mas, sebelum wajah-wajah tak kukenal lebih dahulu menggandeng tanganku,” lanjutnya.
Ah, Indani. Aku sungguh berdosa. Mas telah memberi harapan engkau. Namun, roda zaman tak selamanya memposisikan kita dalam suasana hangar-bingar. Malah kini Sebaliknya. Aku dalam keterpurukan. Aku lagi ngejar skripsi. Di saat yang sama, engkau diburu deadline nikah. Orang tuamu telah menanti. Dan aku tahu, kita tak mungkin mengelak dari tangan-tangan perkasa itu.
Apa yang harus kuperbuat…?!
Tuhan, bukankah engkau skenario ini? Hamba ingin berhembus bersama qudroh-Mu. Hamba tak ingin memberontak-Mu. Hamba hanya ingin mema’rifati segala kehendak-Mu. Dan menerima dengan tulus keputusan-Mu.
Jika ‘perpisahan’ mampu menyelamatkan diriku dan Indani, hamba akan bersujud pada-Mu. Jika isak tangis, membuat ketegaran dan kematangan jiwaku dan jiwa Indani, hamba akan tetap menyebut asma-Mu. Jika duka tak terperikan itu harus kulalui, demi kebaikan aku dan Indani, hamba akan tetap menggenggam erat qudrat –Mu. Selamatkan jiwa kami, Robb…..
Jadikan kami umat pilihan-Mu yang bisa kembali menghadapMu dengan sepenuh jiwa. Amiin….
* * *
Jogja, 7 Mei 2006
Surat buat Indani
Indani, kemanjaan-kemanjaan yang bersarang di sudut hati kita, ada kalanya kita perlakukan kejam. Perangai itu tak seharusnya selalu kita turuti segala kemauannya.
Dulu aku pernah mengatakan, “Jadikan kebersamaan kita ini untuk menanam pohon kesejatian.” Tahu tidak apa maksudku? Kelak jika nasib tak mempertemukan kita di ujung penantian, kita masih menyimpan sesuatu kebajikan itu. Kita tidak terlalu memamah kegetiran perpisahan karena cinta. Cinta tak musti memiliki, kata orang-orang. Cinta bukan bertendensi untuk meksud-maksud memiliki. Tapi cinta itu memancarkan, mencerahkan, mencahayai kegelapan, tanpa menyimpan seribu ketamakan.
Tapi Indani, cinta itu bukan berarti ‘memberi’, seperti kata orang-orang. Kata itu sama sekali beda dengan kata ‘mencerahkan’. Memberi memiliki penyempitan makna. Tapi mencerahkan, menyimpan berjuta cahaya. Mencerahkan adalah tujuan. Sementara ‘memberi’ bukanlah tujuan. Jika kita berada dalam altar ‘memberi dan menerima’ yang kutakutkan nanti adalah, kita hanya terjebak pada makna wadagnya. Kita terus memberi, tanpa sedikitpun merenung sejenak, memberi yang seperti apa? Baik-tidak? Selaras dengan cita-cita tidak? Itu pertanyaan yang selalu menggelisahkanku.
Mencerahkan bagiku adalah tujuan kebersamaan ini. Jika ada yang teledor, kita bisa saling menerima kritik dan imbauan. Bukan hanya penurut dan mengedepankan ego kita masing-masing.
* * *
Ahad sepi, 7 Mei 2006
Ini adalah ‘hari-hari’ penuh tanda tanya? Aku benar-benar terjepit. Mimpiku sore tadi semakin membuatku murung. Kulihat kamar musholla rumahku, mendadak berubah menjadi kamar WC. Bau tak sedapnya menusuk hidung. Dan pemandang yang seolah lumrah; ibu-bapakku sore itu terlihat dalam perang mulut. Apakah ini hanya halusinasi yang tercipta dari pikiran-pikiranku semata. Pikiran yang serba tertekan, lantaran terjepit soal financial. Tak ada tumpuan lagi dalam perjalanan hidup yang singkat ini.
Kini, saatnya kuserukan kembali jihad akbarku. Akan kumatangkan kembali ijtihad (akal) dan mujahadahku (spiritual). Rabb….dengarlah keluhan hamba-MU ini….
* * *
Selasa, 16 Mei 2006
Senja menjelang adzan Maghrib berkumandang. Aku membuka fotoku saat rekreasi bersama Indani di Monjali. Dalam foto itu, kaos yang kukenakan bertuliskan, “Nak berhentilah sekolah, sebab bapak sudah tak kerja!” Tak kusangka, kaos kenang-kenangan panitia Ospek tahun 2003 itu, mengingatkan kondisiku sekarang ini.
Baiklah, aku akan bertarung, untuk mempertahankan hidup dan kuliah yang tinggal beberapa bulan ini.
* * *
Rabu, 17 Mei 2006
Kondisi yang terjepit membakar semangatku untuk menulis. Hari ini, tulisan ‘kacangan’ku dikirim Agus ke media. Intinya satu, untuk nyari duit.
Jika menulis untuk sekedar dimuat di media massa, maka yang harus diikrarkan adalah; tenaga bulldozer! Banyak tidaknya! Tinggi rendahnya intensitas! Jangan pernah dihantui oleh kualitas. Tapi berpikirlah bahwa nasib dan intensitaslah yang menjadi penentunya.
* * *
Sunyi, 26 Mei 2006
Aku semakin tak yakin, apakah aku akan hidup bersama Indani. Apakah mungkin, di zaman yang serba susah ini kamapanan hidup akan kuraih. Aku semakin dikejar rasa tak percaya diri, jika seandainya jadi berumah tangga dengan Indani. Apakah aku mampu memenuhi impian-impiannya? Mampu membahagiakanya?
Sekarang ibu-bapakku hidup dalam kondisi ekonomi sekarat. Hutang di Bank, belum terbayar. Mereka pasti berharap padaku, kelak bisa meringankan beban keluarga.
Ah, besok aku akan mencoba melamar kerja di LSM !
* * *
Sabtu, 27 Mei 2006
Kiamat Sughro….
Dalam situasi genting itu, aku masih sempat tersenyum baca SMS ini:
“Masyaallah, moga Allah melindungi sampeyan. Tenang, ya? Apa nggak mending ngungsi dulu, ke teman daerah Solo, misalnya. Yang lebih aman. Senantiasa istighfar ya. Jaga diri baik-baik!
Pengirim:
+6281556282xx
27 Mei 2006
07:15:13
* * *
Jum’at, 2 Juni 2006
Kendaraan apakah yang kita tumpangi dalam berlayar menuju semudera Tuhan? Jika kendaraan fiqih, kita tak ubahnya satpam. Kepatuhan yang hanya sampai pada dataran wadag. Atau lebih tinggi, yakni kendaraan akhlaq. Kita mengenal batas-batas etika, mudharot dan manfaat. Atau kendaraan takwa, sebuah pendakian yang dilandasi oleh kesadaran untuk berbakti. Tapi ada kendaraan satu lagi yang melampaui semua itu. Dialah kendaraan cinta. Cintalah yang menggerakkan dan mengajarkan jalan hidup ini.
* * *
Jum’at malam, 2 Juni 2006
Empat hari sejak kepulanganku di rumah, aku semakin tak kerasan. Waktu berlalu tanpa aktifitas yang berarti. Menjemukan. Pagi, bangun tidur, linglung. Paling-paling bersih-bersih rumah sekedarnya. Setelah itu, kembali di depan TV, menyaksikan tayangan-tayangan pilu korban gempa. Kalau tidak, melayani ngobrol bapak yang selalu itu-itu saja. Tapi demikianlah, jaringan otaknya sudah kacau. Ingatannya berkisar antara tragedi ’65 dan pengkhianatan kawan-kawanya dulu. Alias bapakku terserang trauma.
Tapi, ibuku memang wanita yang tegar. Ia seorang istri yang tanggung jawab. Setiap hari, ibuku yang telaten, sabar dan tekun mendampingi suaminya yang sudah tak bisa diharapkan apa-apa. Kecuali kesadarannya, meski harapan yang sebenarnya tak terlalu muluk itu seperti meraih bintang kejora di langit. Tapi itulah ibuku. Sejak 15 tahun terakhir ini, hampir dialah tulang punggung keluarga. Bukan bapakku. Ibuku rela menjadi buruh di perusahaan tahu untuk menghidupi dan menyekolahkan aku dan semua anak-anaknya. Gaji yang tak seberapa itu, tiap hari ia belanjakan untuk pertahanan hidup rumah tangga. Mungkin jarak rumah dan tempat kerja yang terlampau jauh itulah, akhirnya membuat letih yang bikin susah tidur. Belum lagi, ditambah kerja berat. Ibuku, akhirnyapun banting setir. Ia cari pinjaman uang kakaknya untuk usaha modal bikin kripik emping mlinjo. Dan roda kehidupan rumah tangga pun berjalan, hingga mampu merampungkan sekolah anak sulungnya dengan usaha ala kadarnya itu.
Hingga detik ini, ibuku adalah pahlawan keluarga. Mungkin nasib bapakku memang sudah digariskan celaka, hingga dipenghujung tahun 1990-an sampai 2006 ini, segala usahanya berujung kebangkrutan. Celakanya lagi, selalu berimbas pada keluarga. Terhitung, sudah empat kali rumah dijual demi keselamatan rumah tangga. Beberapa kali, hutang bapak tak bisa terlunasi, tanpa menjual tanah atau rumah. Dan kini, puncaknya penyakit stroke yang telah melumpuhkan dan membuat jaringan otaknya kacau itu mendekam di tubuhnya. Lagi-lgi, ibuku yang menjadi sasaran. Ibuku pun terkena imbasnya.
Setiap penyakit bapak kambuh, ibu bagai sebatang kara yang terhempas dalam derasnya air sungi. Ibuku musti pontang-panting, mencari obat yang diperintahkan bapak. Harus saat itu juga! Jika tidak, bapak bisa mengamuk seperti dasamuka. Semua yang terjangkau akan dilempar. Umpatan tajam dan menyakitkan akan keluar dari mulut bapak. Dengan mata merah nanar, seraut muka yang menyimpan bara api dan suara menggelegar, bapak akan bertindak apa saja sampai keinginannya itu dituruti.
Itulah bapakku. Penyakit ‘aneh’ yang bersarang di tubuhnya semakin melengkapi penderitaan ibuku. Harapan ibuku dan semua sanak kerabat hanya satu; semoga bapak insyaf. Bukan yang lain, tapi insyaf dengan kekeliruan yang diperbuatnya selama ini.
* * *
Menjelang ke Jogja, 6 Juni 2006
Dalam kurungan rumah yang sepi ini, tak ada yang bisa kuperbuat selain mengantar ibu-bapak ke saudara-saudaranya. Kepulanganku, setidaknya bisa dijadikan teman bicara ibu-bapak yang setiap harinya berlalu dengan kebisuan. Atau bisa dijadikan media untuk mengantarkan ke sedulur-sedulur yang selama ini jarang dikunjungi. Dengan begitulah, mungkin aku bermanfaat saat pulang ke Pare. Karena memang tak ada yang bisa kupersembahkan buat mereka.
Kini, setelah genap sepekan aku di rumah, saatnya aku kembali ke Jogja, melanjutnya cita dan asa yang tertunda. Menghimpun tenaga untuk menyambung hidup. Mencari setiap celah yang ada, untuk kumasuki. Apakah celah itu? Wallahu’a’alam. Tapi setidaknya, aku masih mengimani, bahwa Tuhan akan memberikan jalan keluar dengan syarat hamba-Nya itu menempuh lorong takwa. Kata Tuhan
“Wamayyattaqillaha yaj’allahumakhroja”—Dan barangsiapa menempuh jalan takwa, maka akan diberi jalan keluar.
Siapakah hamba yang diijinkan-Nya itu untuk bersimpuh di haribaan Tuhan?
Jalan takwa memang tidak semulus jalan ke taman bunga yang beraroma kewangian. Butuh kesungguhan hati (mujahadah) dan kejernihan akal (ijtihad).
Tuhanku izinkan hamba-Mu yang murung ini mengecup kening Agung-Mu…
* * *
Rabu, 7 Juni 2006
“Skripsi, wisuda, kerja!” Saat aku meluncur kencang di atas motor tuaku menuju Jogja, tiga hal itulah yang bergelanyutan dalam pikiranku. Dalam sebulan ini, aku harus menuntaskan urusan skripsiku, termasuk ujian skripsinya. Aku tak peduli apakah skripku nanti mendekati sempurna atau tidak. Yang jelas, akhir Juni nanti tugas pungkasan kuliah itu harus kelar. Tidak boleh tidak. Apapun alasannya.
Aku sudah terlanjur berjanji untuk tak merepotkan lagi keluarga dengan meminta-minta terus uang. Di penghujung semester 10 ini, aku sudah saatnya disapih orang tua, kakak-kakak dan sedulur-seludur semuanya. Jauh-jauh aku bersepeda motor dari Kediri – Jogja hanya ingin berkonsentrasi merampungkan karya tulis akhir kuliah itu. Semua keluarga tak ada yang mampu menghalangi langkahku, meski mereka terkejut dan berat dengan kepergianku ke Jogja secara tiba-tiba. Semua was-was bercampur cemas melepas kepergianku ke kota yang luluh lantak lantaran dihantam gempa berkekuatan 5,9 SR itu. Mereka khawatir, gempa susulan masih kerap mengguncang dan bikin panik. Mereka khawatir perjalanan panjang itu amat merawankan keselataman jiwaku. Nyawa bisa saja terenggut saat berpacu, bersimpangan dan mnghindar dari kendaraan-kendaraan lain yang meluncur dengan kencang juga. Sekali saja aku lengah di jalan beraspal itu, nyawakulah taruhannya.
Tapi aku harus nekad. Apapun resikonya, aku harus meninggalkan tanah kelahiranku. Bertapa dalam kamar kecil. Berteman mesin komputer dan mengutak-atik data skripsi. Harapanku skripsi selesai dalam bulan Juni ini. Lantas aku segera mencari-cari lapangan pekerja untuk menyambung hidupku dan membayar kos bulanan. Roda perekonomian keluargaku sudah remuk, seremuk kondisi negara ini. Jadi tak harapan lagi aku meminta uang keluarga.
Wisuda! Inilah moment-moment yang dinanti-nanti keluarga. Sebuah moment yang menampakkan hingar-bingar, namun menyembunyikan kesumpekan-kesumpekan. Tapi tak apalah. Aku ingin melihat keluargaku bahagia dan bangga menyaksikan anak ragilnya ini diwisuda. Mereka pasti suka cita bercampur haru kala menyaksikanku mengenakan baju toga hitam dan menggamit selembar ijazah sarjana sosial. Mereka juga pasti penasaran melihat kota Jogja yang konon disebut-sebut sebagai kota pelajar. Kota bejibun kampus-kampus menterengnya. Lalu mereka mengajak saudara-saudaraku dengan meminjam mobil carteran sedulur, layaknya orang mau berekreasi. Itulah sebentuk ekspresi orang desa.
Ya, wisuda! Sebuah puncak kulminasi seorang mahasiswa dan bentuk kebanggaan keluarga menyaksikan anaknya dinobatkan menjadi sarjana. Dan aku ingin membahagiakan keluargaku dalam ajang wisuda itu, meski hanya sesaat. Dan ketika acara ceremonial yang penuh dengan kemewahan dan kemeriahan itu selesai, usai pula kebahagiaan mereka. Tinggal menyisakan cerita-cerita dari Jogja. Dan aku kembali bingung, sudahkah aku mewujudkan impian keluarga setelah dibiayai kuliah selama 5 tahun?
* * *
--TUJUH BELAS--
Jum’at, 9 Juni 2006
Ya Allah, aku menyadari hidup hamba hanyalah sehelai daun kering yang terhempas arus sungai. Dalam munajahku malam ini, sepercik cahaya terang menerobos masuk dan mengusir sudut-sudut gelap hatiku. Hati yang selalu merasa pongah, seperti tak membutuhkan uluran tangan Tuhan. Kini dalam keserbaterbatasan, kehadiran-Nya sangat terasa sekali. Aku membutuhkan-Nya. Aku tak bisa hidup tanpa-NYa.
* * *
Petang hari, emperan kos Sapen, Sabtu, 10 Juni 2006
Dari kedua bola mataku, mengucur deras air bening. Ternyata, Tuhan amat menyayangiku. Pintu cahaya-Nya terbuka lebar buat aku; seorang manusia kotor yang angkuh memasuki altar agung-Nya.
Aku bisa menyadap kersik-kersik suara-Nya. Meski lumat-lumat, namun getarannya sangat kurasa, kala sebuah insiden meletus. Dia yang maha Rahim mengajariku akan kesungguhan dalam menelusuri lorong sunyi-Nya. Tuhan aku ingin melebur dalam api keabdaian-Mu. ….!!
Aku benar-benar dikepung rasa bersalah. Ribuan sosok mata ghaib seolah memandangku dengan tatapan sinis. Aku diam tertekuk, meratapi kesalahan-kesalahan
yang usai menjamahku.
Ketika tahlil memenuhi ruangan depan rumah Simbah semalam, diriku malah terhanyut dalam buaian mimpi. Sesaat setelah mataku terjaga bukan syair do’a yang kudapat, tapi hidangan pemuas nafsu perut. Di saat kata-kata hikmah dan kerendahan hatian mengalir, ocehan penuh kesombongan dan kesia-siaan yang terlontar dari mulutku. Di saat mbah Siroh hadir, bukan salam hangat dan petuah bijak yang kuperoleh, tapi kedirianku sendiri yang memalingkan. Di saat ikatan persahabatan menemukan kesejatian, bukan kesungguhan yang kubuktikan, tapi kelemahan perjuangan yang kutunjukkan. Mereka semua meninggalkanku. Aku sendiri. Hanya kesalahan-kesalahan yang menghantuiku.
* * *
Ahad, 11 Juni 2006
Takdir menggariskan lain. Ketidakterus-teranganku tertangkap basah. Seperti yang kuduga, Indani pasti terpuruk. Tak ada maksud sebenarnya, aku untuk berbuat demikian. Aku hanya ingin cinta ini tak terancam oleh salah sangka terus-terusan.
Aku tarus terang, engkau pasti berontak. Aku berbohong, pasti lebih berontak. Jika aku berjalan sewajarnya, engkau tak kan henti-henti menghujaniku prasangka...
Bagaimana aku harus berbuat ...?
* * *
19.00 WIB
The other. Pemahaman yang terbiasa seragam. Menganggap kebenaran hanya tunggal. Hanya yang terlintas dan mengeram di kepalanya. Sesuatu yang beda, dianggap pembelot. Makanya musti diatur. Diusir. Disingkirkan.
Apa saja yang aku lakukan, di mata Indani serba salah. Dalam pemahamannya, perilaku yang baik itu yang menurut pemahamannya. Makanya, ia selalu mengatur dan mengaturku. Tak boleh beda!
Bedo-bedo suoro, ora olo, malah becik, kata Sujiwo Tejo.
* * *
Selasa, 13 Juni 2005
Aku mungkin memang tak memiliki kemampuan untuk memberikan ‘perhatian lebih’ kepada Indani. Kepada siapa pun juga, sepertinya aku juga tak mampu.
Apakah aku termasuk tipe manusia yang tak begitu pandai membaca kemauan orang lain? Apakah aku memang bukan tipe lelaki yang romantis? Lelaki yang yang mempunyai kehangatan hubungan dengan perasaan? Lelaki yang pandai membaca setiap inci gerak perasaan wanita?
Mungkin aku memang tipe lelaki yang berjalan dengan otak kiri? Dan lagi-lagi Indani menyerangku sebagai lelaki tak berperasaan!
* * *
Rabu, 14 Juni 2006
Pertikaian demi pertikaian serasa tak pernah berujung. Indani mulai menunjukkan watak aslinya; sang pengatur otoriter. Berulang kali aku selalu jadi tersangka. Dan Indani sebagai sang hakimnya. Di hadapannya, aku tak ubahnya maling yang selalu digeledah satu persatu kesalahanku oleh sang intelejen. Perbedaan itu sebenarnya tak jadi masalah. Lumrah! Ladang ibadah jika kucari titik temunya. Tapi watak superiornya, dengan adigung serba benarnya, telah membuatku kian terpojok. Aku mati kutu.
Pandangan seperti ini terjadi lantaran salah dari awalnya. Aku terlalu merengek, memberi janji, dan menawarkan cinta kita tetap bertahan. Sementara tensi darah Indani tak mencoba untuk diturunkan, agar tercipta kesepahaman. Akibatnya, ketika keinginannya tak terpenuhi, akulah kambing hitamnya.
Aku tak tahu, apakah cinta kasih ini masih bisa dipertahankan?! Dalam posisi, aku terletak di bawah. Inferior. Aku hanya sasaran pemenuhan janji-janji. Dia akan menuntut serba perfectionis, tanpa pernah melihat kondisiku yang serba kekurangan....
Gusti....Gusti ...!! ada apa dibalik serentetan peristiwa tragis ini?!
* * *
Kamis, 15 Juni 2006
Aku sadar, sikap superrior Indani lahir tanpa ia sadari. Kemauan kerasnya untuk mengaturku adalah watak bawaannya. Apalagi ketika kamanjaan dan kesabaran yang kuberikan selama ini, justru membuatnya di atas angin. Sedikit saja aku keliru atau tak menuruti kemauannya, aku bagai keekor kucing kurus, kehujanan, dan menggigil kedinginan.
Tak bisa kusalahkan! Memang demikianlah wataknya, meski aku yakin sifat yang demikian akan mencair tatkala bersama seorang yang memiliki tingkat aura lebih tinggi. Ia pasti akan redam dan segala api yang berkobar akan perlahan redam. Namun jika bersamaku atau seorang yang lebih kecil tingkat auranya, ia akan tetap demikian.
Kini, hari-hariku hanya bisa berusaha semampuku memberi yang terbaik buat Indani. Mencoba menuruti segala tuntutannya, dan mencoba tetap menyayanginya dengan sepenuh hati. Harapannya kepadaku sudah sangat menggunung. Dan aku sangat takut, jika ia jatuh. Harapan yang ia idam-idamkan itu kelak pasti melukainya, jika aku tak mampu mewujudkan.
Semalam ia menelpon dan menanyaiku. “Mas, adik sayang. Mas juga sayang adik kan?” Aku menjawab “iya” penuh keraguan. Mungkinkah aku menyayanginya seperti yang ia harapkan? Sementara hari-hariku kini seolah dipenuhi kemurungan. Bukan cinta. Jawaban ‘iya’ku, jika yang dimaksudkan adalah kasih sayang universal mungkin benar. Kasih sayang sebagaimana seorang manusia yang sudah semestinya menyayangi setiap manusia tanpa pilih-pilih. Namun “sayang” dalam arti cinta yang lahir dari getaran hati, mungkin aku masih meragukan. Aku ragu, akankah aku mampu menghidupkan kembali api cintaku pada Indani.
Lebih tepatnya aku adalah seorang kakak yang mencoba membimbing kedewasaannya. Mematangkan sikap hidup dan pandangan-pandangannya atas dunia ini. Jika tidak, aku akan terus-terusan jadi lahan tuntutan Indani. Tapi bagaimana aku mulai merubahnya, sementara hampir nyaris aku diam terpaku, tak berani mencegah kemauannya.
* * *
Jum’at, 16 Juni 2006
Aku sudah menduga, suatu saat nanti Indani akan murka untuk kesekian kalinya ketika membaca buku harian ini. Sepotong nama tertera di buku harian ini. Nama itu ialah Iffah. Ya, Iffah yang menelponku di subuh itu. Watak cemburunya yang teramat kuat, telah mengukuhkan kecurigaan-kekurigaannya yang ia bangun setiap harinya. Inilah resikonya, mengenal seorang wanita yang oleh temanku, Kukuh, ditafsirkan memiliki watak cemburu membara. Dan sejak itulah, aku membenarkah ramalan Kukuh, akhir tahun 2004 silam itu. Dan Jum’at siang itu, insiden meletus. Indani murka!
“I believe that first love is never die,” demikian SMS Indani malam harinya.
Indani merasa kuduakan. Dan hatinya remuk, redam. Ah, aku tak bisa lukiskan insiden senja itu. Jari-jariku serasa ngilu untuk merangkai peristiwa itu. Pikiranku buntu! Sumpek!
* * *
Sabtu, petang, 17 Juni 2006
Engkau menanyakan Iffah kepadaku hari ini. Kemarin, engkau juga menanyakan hal serupa. Engkau menanyakan seseorang yang kau anggap telah menggeser dirimu dalam hatiku. Engkau selalu bertanya demikian kepadaku. Bertanya tentang kejelasan status hubunganku dengannya. Engkau memancing-mancing selalu. Sebagaimana dulu engkau sering memancingku, agar aku mencari wanita lain selain kau. Wanita yang kau anggap sepadan denganku. Bahkan kau akan membantuku mencari sosok wanita itu. Dan sekarang, engkau dibakar rasa cemburu setelah membaca buku harian ini. Sekarang engkau membuktikan ucapanmu sendiri itu, meski aku tahu kesunyian batinmu mengatakan TIDAK!!
* * *
Selasa, 20 Juni 2006
Serentetan peristiwa beberapa hari ini, semoga membuat Indani jadi lebih matang dalam meng’arifi kehidupan, mengurangi kadar kecemburuannya, juga menahan untuk tak bergantung pada selain-Nya.
Kehadiran sosok Iffah dalam peta hatinya, sedikit banyak telah mengurangi kadar kemutlakan terhadap obsesi. Hidup adalah relatifitas. Antara satu kemungkinan, meloncat ke kemungkinan yang lain. Hidup adalah lorong malam yang panjang. Ia harus berani menyusuri lorong malam itu. Semakin banyak terantuk, semakin tegar jiwanya. Semakin mengharap kepastian-kepastian dan kemutlakan-kemutlakan, manusia akan semakin cengeng. Ringkih!
Aku mungkin telah membuatnya kecewa dengan menampilkan sosok Iffah. Tapi, mungkin dengan demikianlah, gejolak jiwanya akan luruh. Mungkin dengan demikian, hatinya tak terlalu terguncang, jika suatu saat nanti Tuhan tak menjodohkan aku dengannya. Dengan demikianlah, Indani semoga mengerti makna cinta yang hakiki. Cinta yang tak berharap mutlak, tapi penuh relatifitas.
Pahamilah Indani, bahwa dunia ini nisbi. Tak ada yang kekal. Aku ingin engkau menemukan kesejatian itu. Bukan kenisbian. Temukanlah cinta dalam bayang-bayang Tuhan. Bukan impian-impian sesaat di dunia ini.
Aku menyadari, kebersamaan kita selama ini tidak menjangkau-Nya. Semoga kita lekas kembali pada-NYa…Amin.
* * *
Rabu, 21 Juni 2006
Aku hanya berharap sesuatu yang terbaik menurut Allah. Jika kejujuran hatiku kemarin dianggap Indani sebagai sebuah akhir cerita, aku tak bisa berbuat banyak. Aku sudah berusaha sekuat tenaga untuk mengarahkan cinta ini agar senantiasa mekar dan berseri. Cinta yang layu ini, sudah saatnya ditata ulang konsep dan menejemen hatinya. Jika kondisi semacam ini dibiarkan berlarut-larut, bukan aku saja yang kian terseok, namun masa depan cinta ini yang mungkin jauh lebih panjang juga akan suram. Hari-hari hanya dilalui tanggung jawab rumah tangga, tanpa gelora api cinta dan kasih sayang. Dan mimpi buruk itu sudah mulai terasa saat ini.
Hari-hariku kini terasa dingin, sedingin cintaku pada Indani. Aku ingin menyegarkan kembali embun cinta ini, dengan menata ulang kebersamaan ini. Jujur aku katakan, perilaku Indani selama ini tak mampu kuarahkan. Aku hanya bisa mengiyakan segala kemauannya, jika tak ingin perang Baratayudha meledak. Namun aku juga menyadari, situasi seperti ini tak bisa kubiarkan terus berlanjut. Kemanjaan-kemanjaan, impian-impian semu, dan tuntutan final padaku itu musti diakhiri, jika ingin merasakan rumah tangga mawaddah warohmah.
Aku yakin, masih ada waktu untuk menata cinta ini. Hari pernikahan itu belum tiba…
Aku menanti, jika Indani bersedia merombak cinta ini, kebersamaan ini pasti berlanjut. Namun jika dia memilih bersikukuh pada pendiriannya; “Inilah aku. Masih banyak lelaki yang siap meminangku,” mungkin Allah menghendaki cinta ini berakhir sampai di sini. Wallahu’alam.
Aku tak boleh menitikkan air mata. Dunia ini tak sesempit daun talas. Cita dan asaku belum final karena cinta. Aku masih memiliki ayah dan ibunda, serta karib-kerabat yang telah menanti gerlapku. Juga masyarakat yang membesarkanku. Aku ingin mengabdikan diri di sana. Bimbinglah daku Allah….
* * *
Kamis siang, 22 Juni 2006
Kelanjutan sebuah dongeng…
Ini adalah masa-masa di mana aku dan Indani akan membuktikan kesucian cinta yang sesungguhnya. Sebuah cinta yang tulus, yang tak berharap balasan. Sebuah cinta yang tak menyembur dari ego, dari hasrat memiliki, ketamakan, arogansi, dan keberingasan. Itulah cinta yang sejati. Cinta yang selaras dengan kehendak-Nya. Cinta yang menanam biji kebajikan, tulus karena cinta kepada-Nya. Cinta yang tak berujung kedukaan. Cinta yang tak berakhir penyesalan, kekecewaan, kekesalan, dan air mata. Itulah cinta yang majdub oleh keagungan wajah-Nya.
Ia sangat jauh dari kesenangan artificial, picisan, dan berbau kulit. Ia tidak di antara kutub senang dan tak senang. Ia juga tidak beriak, tidak juga berhasrat memiliki karena semua milik-Nya jua. Segalanya milik-Nya dan semua akan kembali pada-Nya. Dan hasratnya, ia sandarkan pada-Nya jua.
Insiden Jum’at siang kemarin, telah menggedor-gedor hati Indani dan aku. Peristiwa yang berurai air mata itu, seperti sebuah terapi kesadaran yang menggugah mimpi-mimpi di siang senyap. Bahwa kemapanan yang mengeram selama ini sudah saatnya dibongkar, direhap, dan disegarkan kesadarannya.
Episode setelah itu, mengingatkan Indani bahwa petir kapan saja bisa menggelagar dan memekakan telinga. Bagiku, episode itu meruntuhkan mitosku pada kehidupan yang bertabur bunga di kiri kanan. Episode itu, adalah sebuah maklumat panjang bahwa tangan perpisahan tak ada yang mampu menghadang. Sebaliknya, kebersamaan juga tak ada yang bisa meramal. Yang kukehendaki bukan perpisahan atau kebersamaan. Namun pilihan yang terbaik menurut-Nya. Yang kukehendaki adalah menaburkan cinta dan kasih sayang dan kebajikan. Inilah yang terbaik menurut-Nya. Kebersamaan dan perpisahan bukanlah cita-citaku. Cita-citaku hanyalah memberikan yang terbaik. Jika kebersamaan ini terus berlanjut. Maka itulah yang terbaik bagiku. Jika pula perpisahan tak bisa dielak, maka itulah pilihan-Nya.
Aku sangat menyakini akan segala kemurahan dan kebaikan-Mu. Tuhan….!!
* * *
Jum’at dini hari, 02.30; 23 Juni 2006
Tuhanku, air mata hamba yang meleh malam ini, yang mengalir, menyirami hati hamba, adalah permohonan pada-Mu. Hamba ingin seperti mereka, yang senantiasa mengalirkan nyala apinya ke pangkuan-Mu. Guru-guru setia saya, mereka semua adalah kekasihmu, lindungi mereka Allah…
Sepertiga malam ini, hamba bersama keheningan-Mu. Mengemis, ingin bersandar pada-Mu. Lenyapkan segala ambisi diri hamba. Pancarkan cahaya-Mu dari dalam jiwa hamba, Allah…
Allah …kukembalikan semua persoalan hidup pada-Mu. Izinkan hamba untuk memasuki altar agung-Mu.
[Semalam Indani meronta.
Dia memintaku ‘kembali’.
Tapi aku tak ingin menentukan pilihan.
Pilihanku hanya yang terbaik di mata Allah]
* * *
Jum’at, 23 Juni 2006
Izinkan aku mencintaimu dengan ketulusan …
Indani, engkau meminta untuk mencintaimu dengan tulus, tapi engkau tak memberiku waktu dan kesempatan untuk menumbuhkan ketulusan. Aku sudah menyampaikan dengan kejujuran—sebagaimana yang kau inginkan, ‘kejujuran’—tapi engkau memaki-makiku sebagai manusia supertega, manusia yang tak bertanggung jawab, manusia yang hanya menumpang mencari keuntungan. Aku kecewa. Sakit dan sakit sekali.
Aku mencoba untuk tetap bersabar, menuruti kemauanmu, engkau bilang; tak sudi, dasar cowok; hanya mempermainkanku. Dan engkau menyatakan “putus”. Engkau merasa menderita bersamaku. Engkau terbakar emosi dengan kejujuranku. Engkau cemburu buta!
Sekarang aku ingin berjalan dengan keyakinanku sendiri. Hidup tanpamu, mengabdi diri pada ibu dan keluarga serta masyarakat, tapi tiba-tiba engkau memintaku lagi untuk bersamamu. Aku mengatakan, kita harus merenungkan kembali perjalanan cinta ini yang kian suram. Menghitung-hitung kembali kesalahan masing-masing seraya menajamkan ruhiyah kita, agar kita tak dikuasai nafsu sesaat, kita mohon diberikan yang terbaik oleh-Nya.
Tapi apa yang kudapat? Engkau malah mengungkit-ngungkit masa laluku. Mengatakan aku tak seperti dulu. Menyerangku dengan pertanyaan-pertanyaan memojokkan. Bukannya sama-sama memberikan cinta yang terbaik. Apakah ini disebut cinta tulus, jika sudah tak percaya, mencurigai dan selalu bikin ribut. Yang aku butuhkan adalah ketulusan yang bisa membuatku percaya bahwa engkau bisa berubah. Bahwa engkau bisa memberiku yang terbaik. Dengan begitu aku bisa mencintaimu dengan tulus.
* * *
Ahad, 2 Juli 2006
Hanya dengan caraku sendirilah aku akan menemukan pijar cinta dua tahun silam itu. Bukankah cinta tak ada paksaan? Cinta itu dengan ketulusan. Bagaimana aku mampu tulus, jika aku masih melangkah dalam bayang-bayangmu, bukan diri sendiri…?
* * *
Selasa 4 Juli 2006
Aku tersentuh dengan wanita yang bersahaja dan menyinarkan kelembutan. Itulah yang kini tak dimiliki oleh Indani, seperti saat awal kali aku mengenalnya. Aku terharu dengan ketulusan, bukan dengan pemaksaan. Yang dimiliki Indani saat ini adalah keinginan untuk memiliku, mengaturku, dan menguasaiku. Aku mengira dengan selalu bersikap mengalah, jiwa Indani akan luluh dan menyadari akan keperkasaannya. Namun semua itu malah membuatnya justru di atas angin. Ia terus melojak dan menuntutku serba perfect.
Cara dia dalam mengaturku juga sangat arogan, vulgar, dan verbal. Tentu saja ini
sangat mengganggu kenyamanan hati seseorang. Sudah tahu aku salah, misalnya, malah ditanya dan diinterogasi terus, seolah aku tak mengerti bahwa salah itu juga tak kuingingan. Selalu saja marah, jika ada yang tak beres denganku. Tak adakah cara lain untuk meluruskan, hingga harus membuat orang lain luka dan malu. Siapa yang akan mengikuti jejak langkahmu, jika orang yang kau ajak itu telah kau permalukan dengan membuka luka-luka, yang sebenarnya sangat manusiawi.
Indani, aku menyadari memang tak mampu memberi perhatian yang lebih kepadamu dan hanya menuntut kesuksesan diri, seperti yang kerap kau katakan. Tapi aku terus berusaha menuju perubahan. Sekarang kau mengatakan aku sebagai manusia yang tak tahu diri sehingga telah menutup pintu harapanku untuk merubah diri terhadapmu. Caramu itu yang tak kusuka!
Terus terang, di saat-saat seperti ini, aku merindukan seorang wanita yang lembut, yang tak mengobarkan api amarah. Seorang yang seperti inilah, yang kelak akan meruntuhkan keegoanku. Seorang yang demikianlah yang membuatku lapang dan meneduhkan jiwaku.
[kala Indani memuntahkan amarahnya lagi padaku]
* * *
Rabu, 5 Juli 2004
Kini, tuduhan Indani padaku ‘terbukti’ sudah. Di matanya, aku adalah lelaki yang hanya mengerti urusan diri sendiri dan tak mau tahu urusan orang lain (urusannya; maksudnya). Di matanya, aku hanyalah pendompleng, mencari keuntungan pribadi, dengan memanfaatkan orang lain (orang lain itu, ya dirinya).
Seolah dia tengah menjalankan eksperimen di laboratorium, dan aku adalah objek yang diteliti. Hipotesisnya, seperti yang ia anggap dan ia tuduhkan kepadaku selama ini: “Lelaki tak bertanggung jawab, tak berperasaan, tak mau tau urusan orang lain, tak mau mengalah dan sederet lagi kata penegasian lainnya.”
Pagi itu, ia memintaku untuk membantu mengedit skripsinya. “Mas kalo ga’ ada acara, tlng bantu ngedit skripsiku ya?” demikian bunyi SMSnya. Aku tentu sanggup, meski tak harus saat itu, dengan alasan aku masih di hadapan layar computer tengah bikin tulisan. Tapi apa yang kudapat? Tuduhannya sudah mulai diyakini.
Sesaat kemudian, tiba-tiba ia menelponku sambil menangis, lantaran data skripsinya tiba-tiba hilang. Satu lagi tuduhannya semakin yakin, bahwa hilangnya data pasti dikaitkan denganku.
Aku lekas datang, meninggalkan semua urusanku. Namun di sana, aku hanya jadi sasaran amarah, meski ia menyembunyikan api itu. “Aku hanya marah pada diriku sendiri kok,” katanya. Aku tak mengapa, toh kata-kata pedas itu meluncur juga ke telingaku. Dengan nada kesal yang diperlihatkan di sampingku, sebenarnya ia ingin menyatakan bahwa sebenarnya akulah biang keladi kekesalannya itu. “Sudahlah!! Nggak usah di otak-atik. Hilang ya hilang,” kedatanganku tak dikasih kesempatan untuk membantu. Karena baginya, kehadiranku sudah pasti tak bisa membantunya. Kehadiranku sebenarnya tak dibutuhkan. Yang ia butuhkan aku datang dan mengetahui hilangnya skripsinya, lantaran aku. Lalu dengan begitu ia punya alas an untuk meneriakiku
“oportunis” bikin masalah…”
Merasa aku di sana tak dibutuhkan, bahkan hanya jadi sasaran amarah dan mainan, aku izin ke kampus dengan alasan ngurus administrasi. Ah, tapi dasar aku memang menyebalkan di matanya, tiba-tiba SMS tajam meluncur ke HPku, bersamaan keluarku dari kosnya. “…Mas kok gitu sih. Hanya tau urusannya sendiri dan mau enaknya. Tapi tak mau tau hak orang lain.!! Terbukti sudah tuduhannya padaku. Ia mungkin puas, dengan eksperimen yang diajukan itu. Aku adalah lelaki tak bertanggung jawab, tak berperasaan…dst!”
Sorenya, aku datang lagi ke kosnya, untuk mengedit tulisannya. Aku mengira urusan yang kayak ginian, ia masih percaya padaku. Dan memang demikian yang terjadi, ia percaya, setengah meragukanku.
Selesai mengedit, lantas mengeprint. Tentu saja ada kesalahan di sana-sini. Entah print-nya yang macet, halaman lampirannya yang keliru, atau tintanya yang habis. Emosi selalu saja memuncak, jika kondisi demikian. Ia yang merasa berkepentingan dengan urusan print itu, tak memberiku ruang gerak. Aku hanya menuruti segala perintahnya. Tapi yang kusesalkan dan membuatku sakit hati, kenapa musti membikin pemisah yang kuat. “Ini urusanku, kamu jangan sok-sok’an, ya. Kamu hanya mengerjakan yang aku minta.” Ah, bodoh sekali aku. Aku di sana tak punya harga diri. Aku layaknya babu. Sedikit aku salah ngomong, aku akan diserang kata-kata mematikan. “Iya. Itu skripsimu! Punyamu! Tapi kalau punyaku selalu dijelek-jelakin!”
Dan dinding pemisah itu kian hari kian tebal: Ada engkau dan aku. Urusannya sangat beda. Semua berjalan sendiri-sendiri. Aku dan engkau. Bukan kita!!
* * *
Kamis, 6 Juli 2006
“Aku tak pernah bercita-cita untuk membencimu. Aku hanya berharap, suatu saat nanti rasa cintaku padamu bisa tumbuh kembali, seperti dua tahun silam. Aku rindu keheningan, kelembutan, kebersahajaan. Aku silau dengan api!”
* * *
Sabtu, 8 Juli 2006
Kian hari rasa cintaku semakin pudar, karena agresifitas Indani. Dia mengira dengan mengirimiku kata-kata masa lalu lewat SMS tiap hari, aku bisa kembali. Nampaknya dia belum mampu mengendapkan keinginan-keinginannya yang bergemuruh tiap saat. Dia tak mengindahkan permintaanku, bahwa aku silau dengan api. Aku akan menjauh dari amarah, agresif, keinginan yang melonjak, apalagi penghakiman dengan kata-kata pedas, culas, memojokkan. Aku benci semua itu.
Aku mengira dengan insiden perpisahan kemarin, bisa lebih menenangkan api yang bergejolak di antara aku dengannya. Dengan begitu, kami bisa lebih saling mengerti, memahami dan berendah hati. Tapi semua itu, tampaknya bukan terapi yang ampuh. Hingga saat ini, Indani masih seperti yang dulu; agresif, ingin menguasai, dan terkadang menghakimi, padahal semestinya itu tak terjadi dalam situasi seperti ini.
Semestinya, ada sikap saling mengakui kesalahan, memaafkan dan saling
menjaga nama baik. Tapi itu semua bagi Indani memang tak dibutuhkan. Ia hanya ingin menginginku kembali. Tak peduli apa akibatnya dan pertimbangan-pertimbangan yang lain. Yang ia butuhkan adalah penenang gemuruh sesaat.
Bagiku “kembali atau tidak” bukanlah hal yang subtansif. Namun menyiapkan perangkat-perangkatnya itu yang harus ditata: saling mengerti, saling menahan, saling mengalah, saling berendah hati, bukan terus-terusan ajang memuntahkan kekesalan, kekecewaan dan menyerang. Jika seperti itu terus yang terjadi, buat apa cinta dipertahankan. Hanya akan menambah kesengsaraan hati jika kelak sudah berumah tangga. Dan aku tentu tak menginginkan masa depanmu dan masa depanku berantakan karena kebersamaan ini. Dan Tuhan berarti menghenki kita untuk tak bersama.
Jika ingin cita-cita bersatu itu terwujud, semestinya mulai detik kemarin-kemarin, detik ini dan yang akan datang, kita tunjukkan akhlaq yang mulia. Saling mendoakan kebaikan, saling instropeksi diri, saling menata dan merubah sikap yang tak baik di hati kita. Tidak saling menyerang, menyindir, mengungkit-ungkit masa silam, apalagi sampai menghakimi dan menuntut. Itulah cinta yang sesungguhnya, yang diridloi-Nya dan bernaung di singgasana-Nya. Dan aku pasti terketuk hatiku hingga rasa cintaku kepadamu tumbuh kembali. Itulah kebeningan, kelembutan dan kebersahajaan.
Aku menyempatkan untuk menjengukmu tiap hari dengan harapan bisa melihat perubahan sikapmu. Tapi kau selalu tak sabar untuk membrondongku dengan berbagai pertanyaan-pertanyaan. Aku ingin lari dari semua itu. Aku ingin ketenangan. Tapi engkau ingin segera memperjelas status kita dengan jalan yang instant. Cukup dengan menggugatku! Ya, seperti di sebuah pengadilan. Dan engkau memilih cara seperti itu, ketimbang kelembutan dan keyakinan pada qudrah-Nya. Wallahu a’lam
* * *
Minggu, 9 Juli 2006
Aku sangat ingin Indani bisa melapangkan hatinya. Melepaskan segenap harapannya kepadaku. Aku tak ingin jika perpisahan tak terperikan itu benar-benar terjadi, Indani akan mengalami shock berat. Mencintai yang berlebihan memang sebuah derita. Dan itulah yang dialami Indani. Apalagi memandang cinta dari sudut pandang yang sempit bahwa cinta itu menguasai.
Perjalanan cintaku dengannya selama ini telah mengalami pergeseran dan degradasi. Cintaku sudah tak kudus lagi. Tapi bercampur hasrat memiki, menguasai dan mengabaikan kesucian hati. Dan akhirnya berujung kejumudan, prasangka, menyerang, egoisme…
Sejak insiden ‘perpisahan’ itu meletus, Indani memang sedikit mengakui kekeliruan-kekeliruannya. Ia menyadari bahwa selama ini ia lebih banyak menuntut dan berharap banyak padaku. Jika aku tak bisa menangkap gelagat dan kemauannya, aku pasti jadi bulan-bulanan. Terror SMS yang menikam pasti tiada henti ke HPku. Dan aku laksana maling yang dihakimi di sidang pengadilan. Semua yang melekat padaku berbau nista, tak baik, dan harus dirubah.
Tapi, keterusteranganku telah membuatnya terkejut. Aku mengatakan, selama ini aku sunyi dalam kebersamaan ini. Selama ini aku tak merasakan keteduhan dan kesejukan hati dengannya. Selama ini, aku senantiasa menutup-nutupi luka hati. Aku
terus mengalah dan membiarkan ia melonjak, karena memang aku dalam posisi lemah. Selain aku yang dari semula terlanjur berguru pada kesetiaan, aku juga terlanjur telah memanjakan hatinya dengan janji-janji. Jurus yang selalu ia pakai ialah; “Mas sayang nggak sih sama aku!”
Aku menyadari, jika aku tetap bersamanya, aku pasti akan dalam keterbatasan, kekalahan, dan berujung kemurungan. Namun, aku tak tega melihatnya menangis karena perpisahan ini. Aku hanya bisa mengalah dan mengalah demi Indani. Resikonya ya…seperti ini.
Kini Indani telah mengetahui isi hatiku, lantaran buku harian ini. Selain ia ‘berontak’ ia juga sedikit sadar. Aku menyatakan; lenyapkanlah segala hasrat untuk menuntut dan menguasai. Jika memang mencintai, cintailah dengan ketulusan. Bukan dengan menguasai. Aku itu tersentuh dengan kelembutan, keheningan dan kebersahajaan. Aku silau dengan api.
Harapanku, Indani bisa seperti yang kuharapkan. Wanita yang lembut, bening, bersahaja. Dengan demikian, rasa cintaku bisa tumbuh kembali dengan tulus. Bukan cinta yang dipaksakan. Cinta yang mudah sekali marah karena dibakar prasangka. Cinta yang mudah sekali meluapkan kemarahan, bukan mengendapkan dan saling mengerti. Cinta yang gampang sekali menuduh, menyerang dan menghakimi. Aku silau semua itu. Aku pasti menjauh.
Sesekali, Indani memang sedikit berubah sikapnya padaku. Mungkin harapannya, ia bisa seperti yang kuharapkan dan cinta ini akan kembali lagi, meski aku tak tahu bagaimana isi hati dan pandangannya padaku. Namun, sifat asli memang susah diubah, apalagi ditambah trauma-trauma insiden masa lalu. Dan tanpa ia sadari, watak keperkasaannya gampang sekali mencuat. Ia tiba-tiba kembali menyerangkku dengan verbal. Aku yang semula sudah berharap banyak akan perubahannya, kembali kecewa. Seolah ruju’ itu susah untuk diwujudkan, karena rasa cintaku semakin pudar. Hanya menyisakan kenangan-kenangan.
Kini aku berdoa, jika Indani memang bukan jodohku, lepaskanlah rasa itu, Tuhan. Karena hanya menggoreskan luka mendalam. Temukanlah dia dengan seseorang yang lebih dewasa (usia dan sifatnya) untuk membimbingnya. Namun jika memang dia jodohku, semoga sifat-sifat Indani lekas berubah. Saat aku meminangnya, ia bukan lagi wanita penuntut, pencemburu buta, punya prasangka berlebihan, wanita pengatur suami, pemarah, wanita-wanita pemanja, wanita penghakim!
Allah ….Engkaulah pengatur hidup hamba. Jika keberkahan hidup hamba dan Indani memang harus bersama; jodohkan hamba. Namun jika keberkahan kami harus tidak seatap, lapangkan jiwa kami. Kami ingin selalu bersujud pada-Mu.
* * *
Senin sore, 10 Juli 2006
Aku sungguh tak menduga, jika sikap Indani masih seperti yang dulu: pendendam! Lewat telphon, siang tadi ia memaki-maki Iffah sebagai perempuan penggoda, tak tahu diri, dan yang telah mengkoyakkan hubunganku dengannya selama ini. Keretakan hubunganku dengan Indani selama ini menurutnya dibiangkeroki oleh hadirnya sosok Iffah. Ah, sungguh amat kekanak-kanakan!
Kenapa ia masih tak juga tak menggubris kata-kataku.
Kini harapanku untuk menjemput kembali Indani semakin tipis. Bahkan mungkin pupus. Maafkan aku Indani. Mungkin engkau akan mendapatkan lelaki yang lebih dewasa, dan yang mampu membimbingmu. Aku akan melangkah dengan diriku sendiri. Cinta memang tak harus memiliki.
* * *
Rabu, 12 Juli 2006
Hari ini dan kemarin masih seperti yang dulu: tak ada perubahan sikap! Aku berharap Tuhan bisa memantapkan hatiku, bahwa Indani memang bukan wanita yang diciptakan untukku. Untuk mendampingiku. Sepertinya aku tak akan sanggup hidup dengannya. Rasa iri dan pencemburunya yang berlebihan itulah yang kelak menyiksa batinku. Saat ini saja, ruang gerakku sudah teramat sumpek. Apa-apa yang aku lakukan selalu dipandang curiga. Tak ada benarnya. Harus diluruskan! Dan maunya, dia senantiasa dinomor wahidkan.
Tapi aku berjanji, tak akan menyalahkan sikapnya itu. Itu pilihannya. Sebuah pilihan hidup, di mana orang lain mungkin sepakat. Apa salahnya jika ia minta ‘diperhatikan lebih’ oleh kekasihnya? Apa tidak boleh ia menyimpan rasa cemburu, iri, dan ingin mengatur kekasihnya sesuai kehendaknya? Bukankah watak yang demikian mungkin justru diinginkan oleh lelaki yang bertipe romantis. Sayangnya aku tak mampu beradaptasi dengan sifatnya itu. Sayangnya, aku tak mampu mengejarnya. Dan aku pasti kewalahan kelak. Aku saja yang mungkin lelaki konservatif, tak romantis, dan lambat menangkap kemauan seorang perempuan.
Dalam benakku yang paling sederhana, perempuan ideal adalah yang bersahaja, lembut, memiliki peran, dan kemauan bergulat di lapisan sosial. Rendah hati, penyejuk hati, penentram jiwa, memiliki ketekunan, gemar menuntut ilmu demi pencerahan, tidak penuntut, qona’ah, penyabar, tidak lekas dibakar prasangka, apalagi cepat menyalak, emosi. Selalu riang, kadang dewasa, sesekali menampakkan kemanjaan, demi kehangatan.
Ah, akankah kudapat wanita seperti itu? Wanita yang kurasa semakin langka di jaman yang serba menuntut modern. Mungkin wanita seperti itu, orang akan mengatakan tipe wanita konservatif, tradisional, ndeso, seperti aku ini. Tapi buat apa mencari wanita bergaya modern, namun alam pikiran dan kejiawaannya masih primitif dan feodal. Seperti yang kerap kujumpai saat ini…
* * *
Jum’at, 14 Juli 2006
Indani, jika aku tak boleh mencintaimu dengan cara yang demikian, engkau jangan pernah takut untuk mencari penggantiku. Pengganti yang jauh lebih baik dariku dan bisa mencintaimu seperti yang kau inginkan. Hanya itu yang sanggup kuberikan. Selebihnya aku tak mampu. Maafkan aku. Aku sudah berusaha untuk mencintaimu semampuku.
Usai sudah cerita cinta itu….
Akankah episode baru tercipta kembali…?
* * *
Senin pagi, 24 Juli 2006
Kembali aku diserang rasa rindu membajang. Kepada Ibu, kepada rumah orang tuaku yang selalu terasa sepi, surau kampungku, guru-guru ngajiku. Jarak Jogja-Kediri, seperti penjara yang menggedor-gedor hatiku. Saat aku di Jogja, aku sedih mengharu, mengingat-ingat ibuku yang sendirian di rumah. Dia sekarang pasti susah. Beban pikirannya terlalu menumpuk. Si bapak belum juga lepas dari ganjaran hidupnya. Penyakit aneh yang menyerangnya itu pasti menambah derita ibuku.
Ah, Ibuku…aku sangat ingin membuatmu tersenyum. Hidup tenang. Tak pusing memikirkan kebutuhan hidup, beban anak-anakmu, dan terror dari bapak. Lepaskanlah, Ibu!
Kini saatnya aku memulai hidup baru. Semangat baru. Cara pandang baru. Dan aku akan mengencangkan ikat pinggangku. Menyingsingkan lengan bajuku. Aku akan merintis jalan hidup di tanah kelahiranku. Dengan bekal yang kudapat dari Jogja. Dari pengalaman. Dari pergaulan. Dari ruang baca yang sepi-senyap. Mencekam! Aku tak akan menyia-nyiakan nasehat-nasehat dari buku ESQ yang kubeli beberapa hari lalu. Paling tidak, buku karangan Ary Ginanjar itu cukup mengingatkanku kembali pada jalan yang kususuri dahulu kala.
Tuhan…bukalah jalan hamba…
* * *
Senin, 24 Juli 2006
Malam ini adalah malam terakhir aku di Jogja. Tiga hari lagi aku akan pulang ke kampung halamanku. Ke tanah kelahiranku. Memulai fase kehidupan baru lagi. Di lingkungan yang sama, tapi dengan cara pandang dan pola pikir yang berbeda, seperti saat lima tahun silam. Saat aku masih polos, masih SMU, lugu, yang memandang dunia dari sudut pandang yang amat kecil. Hitam putih. Sederhana. Tampak jelas di mata. Dan di selimuti taklid buta.
Ah Yogyakarta, aku rupanya harus menjaga jarak juga denganmu. Rupa-rupa warna yang kupandang dan menyerap di ubun-ubun kepalaku, mendadak kini harus kuakhiri. Ada sekawanan teman-teman kos, komunitas pers kampus, tongkrongan anak-anak teater, jama’ah ziarah, dan masih banyak lagi yang akan kukenang kelak. Aku tentu akan merindukanmu kelak.
Tapi, aku memang harus pulang. Aku harus melakukan perubahan, meski namaku boleh jadi harus lenyap. Tapi perubahan itu harus kumulai dariku. Dari ide-ideku. Peranku. Kemampuanku.
Mungkin suatu saat nanti, aku akan terkenang oleh sayup-sayup musik kitaro di keheningan malam Jogja. Seperti malam ini, aku duduk di teras bersama musik instrument itu. Sunyi, hening, menembus relung-relung hati, seperti pengembara seorang diri.
* * *
Epilog
“Areta tergolek lemah. Ia sakit. Cepat ke sini!” sebuah SMS masuk ke HPku pagi-pagi ini. Aku bergegas ke sana. Sudah tiga hari ini aku tak menjenguk Areta di kos lamanya. Aku menduga, ia masih sibuk mengetik catatan hariannya itu. Catatan perjalanan hidupnya selama ia berguru di Jogja.
Aku mendapatinya dalam kondisi yang menyedihkan. Sekujur tubuhya terbalut selimut di pembaringan. Suhu tubuhnya panas. Terkadang ia menggigil kedinginan. Matanya belum membuka. Korden jendela juga tak terbuka. Gelap dan pengap. Aku bertanya seorang yang di kamar sebelahnya, tapi tak banyak yang kukorek. “Tiap hari dia terus berada di dalam kamar. Siang malam yang kudengar suara ketikan keyboard. Sesekali dia keluar mandi atau sekedar nyari makan. Setelah itu ia kembali lagi masuk kamar,” ujar tetangga kos Areta yang masih baru.
Kupandangi komputer masih menyala. Screen savernya terus menampilkan foto-foto koleksi pribadi Areta. Ada foto ketika dia bersama Indani ke Monumen Jogja Kembali. Foto kawan-kawannnya semasa dia memimpin persnya kampusnya. Juga foto-foto ketika dia bersama aku, Indani, dan seorang anak dari Cirebon kala tamasya ke lokasi bekas bunker gunung Merapi. Ya, di lokasi yang telah menjadi abu itulah, dia menghabiskan masa-masa akhirnya sebagai mahasiswa.
Aku raih muose computer, dan seketika foto-foto itu buyar. Terpampang sebuah layar microsoft word yang penuh dengan tulisan sepanjang 200-an halaman. “Rupanya Areta telah selesai menyalin buku hariannya itu ke komputer,” pikirku. Ya, hampir genap satu bulan ini Areta seperti berubah menjadi pertapa. Hari-harinya ia lalui dalam kamar. Jarang sekali bicara, pikirannya seperti tengah mengembara kemana-mana. Catatan-catatan kesaksiannya itu seperti sebuah rekaman peristiwa masa silamnya yang mempengaruhi kejiwaannya. Di sebuah kampus itulah, Areta mulai menulis.
Di ujung halaman, aku membaca sebuah kalimat yang tak berlanjut. Kalimat itu terputus oleh tanda koma yang panjang berbaris-baris. Aku kembali memandangi Areta yang belum sadarkan diri. Kedua tangannya kulihat masih menggenggam erat buku harian yang tebal itu. “Areta! Areta!” aku mencoba membangunkannya pelan. Matanya yang sayup-sayup perlahan membuka. Buku yang ia genggam erat itu diberikan kepadaku dan memintaku untuk mengetik kelanjutannya.
Ternyata di ujung paragraph akhir yang bertanda koma panjang itu masih terdapat sebait catatan yang belum tersalin di computer. Mungkin catatan inilah yang telah mengguncangkan kejiwaan Areta hingga tubuhnya tak mampu lagi bangkit dan melanjutkan menyalin ke komputer. Atau sebaliknya, di masa-masa kondisi tubuh yang meradang itu, hati Areta tergerak untuk menuliskan kalimat itu. Inilah catatan akhir Areta di buku hariannya itu.
Selasa petang, 25 Juli 2006
Saat ini, aku terus dihinggapi rasa bersalah. Kepada siapa pun. Kepada diriku sendiri. Kepada sahabat-sahabatku. Kepada Indani. Kepada orang tuaku. Kepada
orang-orang yang menyanyangiku. Kepada Tuhanku.
Sanggupkah aku keluar dari lingkaran setan ini…?
Kepada Indani, aku tahu kasih sayangmu tak bertepi…meski berlebih!
Kepada Ayah-Ibunda, anakmu ini ingin mendekap erat tubuhmu. Bersimpuh meminta maaf. Anakmu ingin sekali membahagiankanmu.
Kepada kakak-kakakku yang tak habis curahan perhatianmu.
Kepada sahabat-sahabatku…
Kepada Tuhanku…aku ingin kembali pada-Mu!
Aku ingin’ berpuasa’ hari ini! Izinkan aku Tuhan!
* * *


No comments:

Post a Comment

Tentang Blog

Ini hanya cerita tentang orang biasa. Tentang ketegarannya, kesabarannya, ketekunannya, kebesaran jiwanya, dan kepasrahan hidupnya kepada pemangku jagad ini.

Terpopuler

Designed ByBlogger Templates