Tuesday, September 30, 2008

kado buat adik

Read More

Monday, September 15, 2008

cinta sebening embun


Secercah Cahaya*

Malam hening berselimut sunyi. Bintang–bintang, tak lelah berkedip bersanding rembulan, seolah ingin bercakap kepada manusia bahwa kesunyianlah yang mengajari untuk tak mendua hati. Di persimpangan jalan, tampak dua sosok manusia berwajah teduh menghentikan langkahnya. Mereka berdua seperti seorang yang usai merampungkan pertapaan sunyinya yang mencoba menghayati perjalanannya selama ini.

Rinjani…!?”

“Iya Abang…!!”

Tataplah rembulan malam ini Rinjani, ia begitu sempurna ”, kata Bisma seraya menengadahkan pandangan ke langit. Sambil mengikuti pandangan ke langit, Rinjani menyahut:

”Iya Abang, rembulan malam ini begitu sempurna sinarnya”

”Tapi Abang”, sergahnya.

“Seandainya bintang-bintang yang berkedip itu, tidak mengitari rembulan, niscaya pandangan kita akan lebih leluasa menikmati kelembutan sinar rembulan itu, Abang!! ”.

Rinjani, bintang-bintang yang terus berkedip, justru membuatku terpana menatap rembulan, karena kelembutan cahayanya semakin kurasa di langit batinku”.

Rinjani terdiam. Ia mencoba menghayati kata-kata Bisma yang baru saja terlontar.

“Ah iya…benar sekali Abang…!”wajah Rinjani berkerlip keceriaan.

“Bukankah cahaya rembulan itu akan selalu setia menemani keheningan malam, seperti matahari yang selalu setia menemani siang…!! Betulkan Abang? ” Bisma tersenyum. Renjani juga tersenyum. Dan rembulan pun turut tersenyum menyaksikan percakapan mereka berdua.

Sambil menyusuri jalan, dua anak manusia itu pun terus bersyair.

“Harapan adalah secercah cahaya yang menerangi dan memeriahkan jalan kita.”

“Harapan adalah secercah cahaya yang menerangi dan memeriahkan jalan kita.”

Syair itu mereka lantunkan bergantian. Rupanya syair itulah yang selalu memberi semangat hidup mereka berdua hingga tak pudar. Ketika mendendangkan syair itu, mereka pun serasa memperoleh tenaga baru. Mereka pun semakin yaqin bahwa perjalanan yang berserak onak dan duri selama ini, suatu saat nanti akan menjelma ketentraman hati ketika bersatu atap. Begitu pula, ketika hati mereka menciut menatap masa depan, maka syair-syair itulah yang terus membimbingnya dari dalam.

Di penghujung jalan, saat menikmati malam dan mencoba melepaskan kepenatan-kepenatan hidup, tiba-tiba kaki Rinjani tersaruk batu kecil. Di tepi jalan, Rinjani duduk terdiam tak mengeluh sepatah kata pun. Ia lama membisu. Lalu mendadak menatap wajah Bisma dengan mata berkaca-kaca, penuh tanda tanya.

“Abang..!!”, tanya Rinjani.

“Rinjani….!! jangan kau beri daku tangan perpisahan itu. Apakah karena batu kecil langkah kita terhenti. Kita sudah bertekad untuk berguru pada kesetiaan,” kata Bisma penuh kecemasan.

“Bukan…!! bukan itu yang ku khawatirkan Abang. Aku, sangat percaya ketulusanmu.”

Yang aku khawatirkan selama ini,… bagaimana jika suatu saat nanti, mendung yang hitam pekat, tiba-tiba menghalangi dan menutup Rembulan ? dan kelembutan cahayannya tak lagi bisa kita nikmati ?” ujar Rinjani penuh kekhawatiran.

“Ketahuilah Adindaku …!!”, Bisma berdiri tegap dan mengangkat suara dengan penuh keyakinan.

Mendung itu pasti berlalu dan rembulan akan kembali memancarkan sinarnya, jauh lebih terang, se-terang cinta kita,”

Rinjani…!! Selama malam yang sunyi masih mengajari kita untuk tak mendua hati, niscaya suatu saat nanti, aku akan menjemput Rembulan demi kesetiaan abadi. Bukankah orang-orang Arif sering mengajarkan, bahwa cinta itu harus mampu membebaskan kita dari segala penjara kehidupan. Cinta bukan melemahkan hati, bukan membawa putus asa, bukan menimbulkan tangis, bukan pula menimbulkan ratap sedu-sedan. Tetapi cinta menghidupkan pengharapan dan menguatkan hati dalam perjuangan menempuh onak dan duri kehidupan. Bukankah seharusnya dengan cinta, kita terbang menggapai keluhuran budi ? ”

Kata-kata Bisma mengalir begitu lancar dan mantap. Bisma sendiri sungguh setengah tak percaya dengan kata-kata yang baru saja ia ucapkan. Ia tampak bengong setengah tak sadar. Ia merasa ada kekuatan dari luar yang menuntunnya mengucapkan kata-kata itu.

Sementara, Rinjani seolah merasa mendapatkan pancaran Nuur Ilahi. Kata-kata yang meluncur dari mulut Bisma laksana mata air yang memancar dan menyimpan energi dahsyat. Dada Rinjani menjadi lapang. Jiwanya yang selama ini mengalami kebekuan tiba-tiba bangkit. Ia kini semakin yaqin akan kekuatan cinta. Ia kembali menengadahkan pandangannya ke wajah Bisma.

A..Abang !!”, suaranya terbata-bata.

“Terima kasih Abang…!!” wajah Rinjani yang semula bermuram durja, kini kembali bercahaya. Dan tak terasa suasana haru-biru meyelimuti mereka berdua.

“Rinjani…!! sekarang saatnya engkau mengistirahatkan semua kepenatan-kepenatan jiwamu…,” pesan Bisma.

Malam kembali sunyi, mengantarkan mereka berdua meneruskan perjalanannya yang semakin dekat, karena sebenarnya hanya perasaan lah yang mengatakan bahwa jarak itu jauh.

Di DEPAN pintu harapan, Bisma mengucap salam.

“Selamat malam, Rinjani …Tidurlah, dan berselimutlah dengan do’a dan harapan,” kata terakhir Bisma malam itu.

Aries, 21.00 WIB, 22 Agustus 2008/Solo

Cerpen ini kupersembahkan buat adikku yang tengah ‘berpuasa’ dari segala keinginan untuk bertemu, Septyaningtyas. Aku akan selalu menyayangi adik. Sepenuh hati…


Read More

Tentang Blog

Ini hanya cerita tentang orang biasa. Tentang ketegarannya, kesabarannya, ketekunannya, kebesaran jiwanya, dan kepasrahan hidupnya kepada pemangku jagad ini.

Terpopuler

Designed ByBlogger Templates