Thursday, April 17, 2008

mobil dinas baru...semangat kerja baru dong!!



“Wah, gimana nih cara buka pintunya,” ujar Camat Puhpelem, Heru Ustanto kebingungan. Heru terus mencoba membukanya sekali lagi. “Sebentar ya, Mas. Mau nyoba nyalakan mesin dulu,” sambungnya ketika hendak diwawancarai Espos di lingkungan Pemkab Wonogiri, Kamis (17/4) pagi. Heru memang sedikit kesusahan untuk membuka pintu mobil Suzuki APV itu. Pun demikian, untuk mempelajari sekian fasilitas mobil dinas barunya yang masih mengkilap itu. Maklum saja, pria yang baru beberapa bulan menjabat camat Puhpelem ini biasanya mengendarai mitsubishi T 120 SS keluaran tahun 1997 jika menjalankan tugasnya sebagai pengabdi masyarakat. “Masih kagok saja. Biasanya kan mengendarai mobil dinas warisan camat sebelumnya,” terangnya singkat.Namun, kali ini Heru harus bersyukur. Soalnya, belum lama dia didaulat sebagai camat, ternyata sudah bisa merasakan mobil dinas baru. Sebelumnya, dia mungkin tak membayangkan bahwa jarak Puhpelem ke lokasi pusat pemerintahan Wonogiri sejauh 70 kilometer itu cukup meletihkan. Tapi, itu dulu! Kini, jarak sejauh itu bisa jadi tak terasa. Soalnya, di dalam mobil itu sudah tersedia AC dan musik yang tak ditemukan di mobil sebelumnya. “Jangan lupa lho, Pak! Nanti mobil barunya diselamati. Biar aman!” seloroh camat lainnya yang berkerumun di lingkungan Pemkab Wonogiri itu.Camat Tirtomoyo, Drs Tarjo Harsono M Hum rupanya juga punya pengalaman menarik dengan mobil dinas yang lama itu. Dulu, katanya, dia suka sekali memboyong warganya ke dalam mobil dinasnya jika kebetulan tak ada mobil lain. Itu semua dilakukan Tarjo demi pengabdiannya kepada masyarakat. “Kasihan kan warga harus sewa mobil. Mendingan, saya angkut pakai mobil dinas saja. Kalau tidak untuk menjalankan tugas, buat apa camat dibawakan mobil,” ujarnya. Tugas camat, baginya memang tak jauh dengan tugas-tugas kemanusiaan. Apalagi, daerah yang dikepalai Tarjo ini kerap terjadi bencana tanah longsor. Sehingga, jika memang diperlukan warga sewaktu-waktu, maka Tarjo akan menyerahkan sepenuh hati. “Kalau eman-eman, lha buat apa mobil ini. Tugas camat kan mengabdi kepada masyarakat, jadi ya harus siap kapan pun,” paparnya.Mungkin yang dialami Tarjo juga dilakukan camat-camat lainnya. Malah, Camat Selogiri, Bambang Haryanto langsung mengajak mobil dinasnya itu keliling sawah lantaran mendengar kabar bahwa sawah warganya diserang hama sundep. Apa daya, mobil yang masih belum dicopoti plastik pembungkusnya itu harus belepotan endut. “Tak masalah! Mobil dinas ya untuk kerja,” ujarnya. Mobil dinas baru, barangkali bisa menjadi secuil kebahagiaan bagi camat di Kota Gaplek ini. Mobil seharga Rp 125-an juta itu bisa jadi menjadi energi baru untuk memompa semangat dalam menjalankan tugas-tugasnya melayani masyarakat. “Semestinya memang demikian maksud diberikannya mobil dinas baru. Kerja lebih bersemangat,” jelas Bambang.


Aries Susanto, wartawan Solopos, bertugas di Wonogiri


Read More

Tuesday, April 8, 2008

Pesan kematian dari tanah bencana…

Kamis (3/4) malam itu, langit tak berbintang. Mendung berjalan berarak-arakan. Hanya sebentar saja gerimis mengantar. Langit pun kembali cerah, seperti memberi isyarat terang kepada 300-an warga Dusun Pagah, Hargantoro, Tirtomoyo untuk mengenang kembali terjadinya malapetaka tanah longsor di pengujung Desember 2007.
”Alhamdulillah, malam ini tidak hujan. Hanya sebentar saja tadi gerimis,” ujar Muhammad Syafei, pemimpin doa itu. Tak seberapa lama, pria tua itu mengeluarkan sehelai kertas putih dari saku bajunya.Diberikanlah kertas itu kepada Espos. Pada kertas tersebut tertera sembilan nama: Karyo, Kariyem, Tumi, Maridjan, Marinah, Tumijem, Samijem, Ernawati dan Novitasari.”Nama-nama itulah yang tadi dibacakan doa bersama. Ini kan malam sayyidul ayyam. Malam di mana doa mudah terkabul,” Syafei kembali menjelaskan dengan suara pelan.Sembilan nama itu mengingatkan kembali warga Dusun Pagah dan Sanggrahan atas musibah tanah longsor. Mereka telah pulang ke negeri keabadian. ”Tujuh di antaranya dari Dusun Pagah. Dua orang lainnya dari Dusun Sanggrahan. Mereka semua adalah korban tanah longsor. Dan malam ini adalah malam ke-100 harinya. Kami ingin mendoakan kepada mereka,” sambung Kepala Desa Paino.Malam itu, memang waktu yang dinanti-nanti oleh warga Dusun Pagah, Tirtomoyo. Lokasi yang cukup terpencil, rupanya tak menciutkan nyali warga Tirtomoyo untuk menghadiri acara doa bersama itu. Seperti parade menyambut tokoh penting, maka jalan-jalan menuju dusun mungil itu pun disulap meriah! Sepanjang jalan yang berkelok dan naik turun itu dipenuhi umbul-umbul dan lampu. Ratusan warga, mulai anak muda, serta orang tua, tumplek blek. Singkat kata, malam itu benar-benar membuat dusun yang berjarak 50-an km dari Kota Wonogiri itu seperti hidup dalam doa dan zikir bersama.Kekhusukan acara pun semakin komplet dengan hadirnya Ustad Hartono SAg. Pemimpin Pondok Pesantren Al Amin, Palur, Sukoharjo ini rupanya memahami betul kepedihan yang ditanggung warga korban tanah longsor itu. Dia pun menghibur hati yang lara dengan menukil salah satu ayat Alquran yang mengajarkan kepasrahan total kepada Sang Pencipta. ”Jangan takut mati. Karena kematian itu sudah pasti datang. Kapan pun, bagaimana pun, di mana pun, semuanya akan menjumpai kematian. Tapi, bagaimana kita menyongsong kematian itulah yang harus kita persiapkan mulai sekarang,” demikian salah satu petuahnya.Hartono juga menawarkan sekolah gratis bagi warga Pagah yang ingin menuntut ilmu di Pondok Pesantren yang dia pimpin. - Aries Susanto
Read More

Monday, April 7, 2008

catatan dari sudut kampus XV-tamat


--LIMA BELAS--
Selasa pagi, 15 November 2005 ini, aku tinggal di Ma’ul Hayati, artinya air kehidupan. Sesuai dengan kantor yang mendirikan: Dinas Pengairan. Di samping kiri ruang imaman, di sanalah aku bersama kawan lamaku, Rudiath Abdi tinggal. Hingga sekarang ini (kurang lebih tiga hari tinggal) kurasakan masih ada yang mengganjal. Beberapa orang yang lama tinggal di sini menatapku dengan mata curiga. “Siapa seorang
anak muda yang selama ini tinggal di samping masjid?” Lama-lama aku risih juga. Mungkin karena salahku, kenapa tak menemui pihak yang berwenang. Tapi siapa yang menjadi takmir masjid samping Janti ini? Sementara Rudiath hampir nyaris jarang terlihat di sini. Setiap kali ketemu pak Gito—orang yang tinggal di masjid samping kanan imaman—ia selalu menanyakan keberadaan Rudiath. “Lagi ngurusi persiapan acara di kampus, Mas. Katanya sih mau nggelar bedah buku. Baru saja dia nyari pembicara,” jawabku sekenanya. Dan selalu itu pertanyaan yang dilemparkan orang itu kepadaku. “Rudi di mana, Mas?”
Mulanya, tak ada niatan sama sekali aku tinggal di takmir masjid ini. Seperti umumnya anak kuliah, paling tidak ngekos. Tapi rupanya Allah menggariskan lain. Dibuatnya aku kelabakan persoalan ekonomi. Tak terkecuali ibu-bapakku. Keuangan di rumah lagi seret. Sementara pengeluaran saben hari tak pernah berhenti. Beli obat-obatan bapak yang terserang stroke, buat ngangsur kreditan sepeda motor, buat ongkos bulanan kuliah, buat nutup lubang yang kemarin-kemarin…..
Lalu aku nyari uang kos dari mana? Satu juta itu?! Uang kuliah, uang keseharian!! Dari mana?! Maka mau tak mau, jiwa militansi harus kujalani kembali. Hidup sekedarnya. Prihatin! Selama kebutuhan itu tak terlalu substansial, enyahkan!! Yang penting sekarang ini bisa merampungkan kuliah dalam tahun ini. Urusan tempat tinggal, selama ada yang tak bayar kenapa tak kucoba. Bukankah dulu ketika aku masih di rumah jarang tidur di kamarku sendiri. Aku lebih betah tidur bersama kawanku di masjid. Alasanku saat itu di masjid sangat efektif untuk membentengi diri. Berdekatan dengan-Nya. Mendisiplinkan diri, bangun malam, belajar dalam ketenangan, membuka cakrawala pergaulan dan mencari ketenangan hati.
Seperti sang revolusi Iran, Ayatullah Imam Khomeini yang memilih tinggal di serambi masjid. Ia bukan miskin papa, tapi seorang presiden kala itu. Jubah kesederhanaan telah mengukuhkan jiwanya untuk menjauhi gemerlap intan permata dan kekayaan istana. Aku bukan seperti dia, tapi aku ingin meneladani salah satu sifat agungnya, kebersahajaan. Dari sana lahir kamatangan sikap hidup yang lain; hilangnya perbedaan derajat antar manusia, gengsi, kemlente, tinggi hati dan membanggakan diri. Runtuhlah kesombongan!! Ia harus tunduk dalam kerendahan bumi…..
* * *
23 Januari 2006
“Kenapa aku selalu berharap kepada orang yang mebuatku larut dalam kesedihan …
Wajah seorang gadis berkaca mata itu hadir dalam mimpiku semalam. Meski sekelebat, pancarannya begitu kentara terlihat. Seperti dalam kenyataan, ia rupanya masih setia dengan kegiatan rebananya yang pernah kurintias semasa duduk di bangku SMU. Ia berseragam kuliah, mengikuti rombongan rebana sambil mempersilahkanku masuk ke ruang latihan. Aku terheran-heran, tak kuduga hatinya masih bertautan erat dengan komunitas musik tradisional yang ia rintis bersamaku dulu. Ah, Iffah!
Hampir dua tahun, semenjak kuikrarkan khusnul khatimah, tak pernah terlintas seraut wajahnya. Namun, kadangkala wajah kebersahajaannya menyelinap, menerobos alam bawah sadarku; mimpi.
* * *
Jum’at, 10 Februari 2006
Dalam sholat tasbihku, hatiku mengigau kesana kemari. Mengembara bersama sisa-sisa kenangan. Bukan kesucian Rabbku yang menjadi pusat konsentrasiku. Kepingan kenangan, satu persatu muncul, persis seperti sebuah foto dalam screen saver komputer. Hadir sekelebat, lalu lenyap.
Hingga di penghujung rakaat, aku sudah tah tahu berapa ratus kalimat tasbih yang meluncur dari mulutku, bukan dari hatikku. Suara nyaring Mbah Siroh lah yang tiba-tiba mengusir sekawanan was-wasil khonnas itu.
Sama, tatkala air dingin bak mandi kuguyur di ubun-ubun kesadaranku pagi ini. Lintasan masa depan menjajah ketenangan batin ini. Semestinya kupasrahkan utuh keresahan ini kepada-Nya.
* * *
Senin, 20 Februari 2006
Sepotong namaku terpampang di harian Radar Solo. Tak terlalu mencolok. Hanya di pinggir halaman koran. Tapi terlihat lain dari yang lainnya. Karena kolom pengumuman penerimaan calon repoter Radar Solo itu berwarna merah.
Pagi itu, aku langsung kasih kabar Topa. Ada rasa penyesalan dalam diri Topa, kenapa ia tak ikut mendaftar sebagaimana aku! “Aku kira kamu sudah tahu!“ ujarku saat ia menanyaiku. “Kamu pasti diterima di sana. Mantan wartawan dilawan!!“ guraunya, sekaligus menyemangatiku.
* * *
Selasa, 21 Februari 2006
Aku meluncur bersama motor antikku ke Solo, tempat kantor Radar itu bermukim. Tak terlalu sukar mencari kantornya, meski selama di Solo aku belum pernah ke sana. Di teras kantor, kulihat antrian calon reporter menanti panggilan tes. Suasana tenang, aku merasakan hawa dag-dig-dug. Pelamar yang lain juga merasakan yang sama.
Kini masa pertarungan itu telah tiba. Aku berhasil menyisihkan puluhan calon reporter lain dalam tes tulis dan tes wawancara itu. Setelah aku dan ke enam calon reporter lain dinyatakan bisa mengikuti proses reporter, akan aku tujukkan bahwa menulis berita bisa kuhasilkan di atas rata-rata. Selama 3 hari, mulai detik ini, aku akan membuktikkan sebagai reporter yang sudah berpengalaman. Ingat, mantan wartawan!
Lalu skripsiku gimana? Ah, gampang! Agustus 2006 pasti kelar. “Yang penting sekarang cari batu loncatan dulu. Ini kesempatan langkah!! Usia di atas 23 banyak yang tak dibutuhkan,” kata temanku. Dan yang lebih penting, sebelum Indani wisuda aku akan melamarnya. Titik!! Tak kan kubiarkan dirinya merana....
Jika tidak lulus seleksi akhir?! No problem!! Berarti jalan hidupku masih panjang!
Kaos merah yang kukenakan pagi ini adalah simbol keberanianku. Fighter!! Detik ini, aku akan berpentas sebagai wartawan lagi. Tangguh, cekatan, tak putus asa dan tawakal.....
Inilah masanya, aku meniti dunia kerja lagi. Ukuran kesuksesan itu rata-rata di atas usia 30 tahun. Aku masih punya waktu tujuh tahun untuk mewujudkan impian. Sepuluh tahun lagi, mengkristalkan impian. Sepuluh tahun lagi, masa-masa nubuah. Dan akhirnya kembali lagi ke pangkuan-Nya. Amiin…
* * *
Rabu, 22 Februari 2006
Tuhanku Yang Maha Perkasa
Hembuskan semua kekerdilan-kekerdilan hatiku
Targetku di Radar Solo hanya 1 bulan
Untuk mencari pengalaman saja
Tak lebih !!
Setelah itu aku minggat!
Aku mencari oase yang lebih memanusiakan!
* * *
Rabu Pahing, 22 Februari 2006
Aku Sungguh tak tahu, kenapa saat menginjakkan kaki di Radar Solo hawa gamang menyerangku. Sehari, pasca aku dinyatakan lolos seleksi menjadi wartawan, aku langsung merasakan ketidkcocokan dengan nuraniku. Pertama, pola interaksi yang terjadi terasa angkuh, sombong, dan kering. Hubungan antara pegawai dengan profesi seperti yang digambarkan, Karl Marx: Teralienasi. Dalam padang keterasingan itu aku merindukan Tuhanku, terutama saat malam menjelang.
Kedua, sepertinya aku tak bisa hidup dalam keterkungkungan, dalam pengawasan dan tuntutan atasan. Aku tak bisa melangkah dalam bingkai yang keluar dari kesadaranku. Selama ini aku menikmati jalan hidupku dengan totalitas, kemandirian dan keasyikan. Pendek ucap; tak keluar dari rel kebebasan.
Ketiga, Radar Solo seperti yang dulu kuramalkan, rupanya terseret dalam pola-pola pasar murni, yang keras, memalukan dan bertolak dengan idealisku. Radar Solo menjunjung tinggi “Agama“ baru. Agama baru itu adalah konflik, sport dan perempuan. Di mana idealisnya? Nyaris terhempas. Aku tak yakin, jadi wartawan Radar Solo mampu mengolah jiwa kemanusiaanku.
Keempat, jika kupaksakan berkarir di Radar Solo aku khawatir, waktu mahalku tersita habis untuk hal-hal artifisial dan remeh temeh. Bergantung dengan pasar, mewawancarai artis kacangan, memburu kriminalitas dan ah....tak banyak faedahnya.
Kelima, Radar Solo kurang menghargai setiap karyawan atau calon krunya. Kesejahteraannya sangat memprihatinkan. Wartawan diperas habis keringatnya, demi
persaingan dengan koran koran-koran kawakan, macam Solopos. Bayangkan, wartawan magang tak dikasih uang transport sama sekali.
Keenam, adalah alasan pribadi selain uang kantongku mepet, aku ingin lekas merampungkan skripsi. Dua bulan ke depan, dalam rencanaku skripsi sudah kelar, lalu aku akan daftar kerja di Jogja, yang mungkin lebih cocok dengan kecenderunganku. Biar bagaimanapun, iklim Jogja tetap lebih sejuk.
Ketujuh, dan keseterusnya, aku akan tetap bersihkukuh dalam pijakan idealis. Nilai-nilai luhur yang kutelan selama ini, tak akan kulebur begitu saja dalam persaingan pasar yang menjijikkan.
Tuhanku Yang Maha Hening, hamba yakin jalan yang kau bentangkan masih meluas samudra.
Apa yang kualami sepertinya mirip yang menimpa mas Taufik. Kerja di sana memang sangat memprihatinkan. Orang mungkin melihat kebahagiaan dari kacamata yang paling luar. Namun siapa yang tahu kedalaman hati seseorang.....
Besok pagi buta, aku akan pulang ke Jogja meninggalkan Radar Solo.
* * *
Kamis, 23 Februari 2006
Sebuah SMS dari sahabatiku usai kuambil keputusan itu;
“Nggak apa-apa sobat, kita memang selalu dihadapkan pada pilihan hidup. Insya Allah nanti ada kesempatan lain. Sekarang fokuskan menyelesaikan amanah orang tua dan keluarga.
Good luck friend.
Nadhiroh
17 : 57:41
* * *
Jum’at, 24 Februari 2006
Ada kebersamaan yang kurasa berat untuk pudar. Aku tak bisa bayangkan, bagaimana 3–4 tahun mendatang. Bagaimana kondisi pers kampusku setelah satu-persatu mereka lulus kuliah dan lepas. Tentu ada kerinduan yang terasa tersembunyi.
* * *
Sabtu, 25 Februari 2006
Aku merasa rileks, jika bergumul dengan orang-orang kecil. Dengan pedagang nasi angkringan, penjaja es beras kencur, dan segala manusia miskin-papa. Ada perasaan senasib-seperjuangan, saat nongkrong dan bercakap bersama mereka.
Tadi pagi, di tepi kampus, seorang pedagang minuman tradisional kuhampiri. Bapak itu bersama gerobak dorongnya setiap hari mangkal di samping proyek
pembangun kampus. Aku tak begitu peduli dengan debu-debu yang berterbangan. Mereka memang orang kecil. Selain kecil penghasilannya, kecil pula angan-angannya. Mereka tak pernah bermimpi untuk membangun mall-mall raksasa dan memanjakan pembeli. Mereka juga tidak pernah berangan untuk menabung buat masa depannya. Begitu pula, dia tak terobsesi untuk memanajemen dagangannya, lalu merambah lebih besar. Tak sampai di sana angannya. Sekali lagi pikirannya amat cekak dan sederhana; bisa menjual barang dagangannya itu saja sudah cukup! Tak peduli manajemen, keamanan, pembagian kerja dan segala hal yang berbau modernitas. Yang mereka inginkan, dangangan hari ini bisa terjual. Itu saja!! Seberapa besar keuntungan hari itu, bagi mereka sudah cukup.
Mereka bagiku jauh lebih mulia, ketimbang orang-orang yang mengandalkan terus status sosial dan gengsi. Di tengah deru mesin-mesin yang semakin canggih, mereka mengisi ruang-ruang yang terabaikan. Mereka sebenarnya pekerja keras. Mereka bukan pemalas.
* * *
Kamis, 9 Maret 2006
Duit hasil lomba penulisan karya ilmiah itu habis dalam sehari. Kini, aku kere lagi. Uang kiriman dari rumah juga tak kunjung datang. Tadi aku iseng melihat saldo uang di ATM, tapi masih seperti yang dulu. Kosong. Empat kali ini, aku njenguk ATM dengan resah yang sama.
130 ribu, lenyap untuk beli celana panjang dan rok panjang Indani. 55 ribu buat beli onderdil motorku. 140 ribu buat bayar hutang. 25 ribu buat syukuran temen-temen. Padahal besok untuk servis motor, aku musti ngrogoh saku lagi sekitar 20 ribu. Belum lagi rencana ke Solo dan beli rem kanvas motorku yang trepes. Haa..h, ludes deh uang 400 ribu itu. Aku tak tahu, musti bilang apa ma teman-teman yang belum kebagian jajan syukuran...
Tak ada uang tak banyak keinginan. Ada uang banyak keinginan. Tapi itu kebutuhan.
[Kamar kos, sayup-sayup “Sarjana Mudanya“ Iwan Fals mengalun]
* * *
16 Maret 2004
Kehadiran TV di kamar kos, secara drastis mengubah kebiasaanku. Waktu berlalu seperti dalam belenggu tayangan-tayangan hiburan. Selalu saja gambar-gambar yang bergerak itu menyedot sepasang mataku untuk melayaninya. Hingga larut malam pun, mataku masih enggan terpejam.
Apa yang kudapat dengan menjadi pemirsa setia si kotak ajaib itu? Adakah sesuatu yang bernilai positif, selain kesenangan-kesenangan sesaat, kekaguman, dan larut dalam rancangan sang produser TV. Bagaimanapun juga aneka macam tayangan itu tetaplah barang dagangan. Logika pasar yang berlaku. Siapa yang banyak digemari orang, itulah yang bakal disuguhkan.
Jika dagelan menjadi laris lantaran hadir sosok artis, kenapa tidak! Jika seruan-serua agama dikemas dengan cara mistik kenapa tidak! Jika tengah malam saat ngantuk berat menjadi terjaga lantaran disuguhkan tanyangan beraroma seks, kenapa tidak? Jika berita-berita kekerasan bisa menyedot perhatian kaum awam, kenapa tidak? Jika sinetron-sinetron remaja-gaul abis, seksi, hedonis, glamor, menjadi kegemaran anak-anak remaja, kenapa tidak? Bahkan jika berburu hantu dikemas dengan dramatis, penuh suspensi ternyata mampu membuat orang terpana, kenapa tidak? Semua serba demi tuntutan pasar. Laku-tidak! Kalau sudah dikebiri penonton, ganti acara lain.
TV, bagiku tetaplah makhluk alien yang tiba-tiba menyerobot masuk ke kamar privacy ratusan juta manusia. Dia bisa menjadi teman yang paling akrab. Dia memiliki daya sihir luar biasa. Yang tak dimiliki manusia dukun mana pun. Daya pikatnya amat kuat melebihi fatwa ulama’. Jika tak ingin terpenjara olehnya, matikan TVmu seperti saran dalam sebuah judul buku yang kulihat kemarin.
Kapan skripsiku kelar, jika makhluk aneh milik Indani itu masih bertengger di meja kamar kosku? Ada saatnya telinga dan mataku terkunci rapat. Hanya mencernak hal-hal yang bergizi; baca buku, majalah Tempo, artikel-artikel dan menggarap skripsi sambil alunan musik kitaro menemani. Atau sambil mendengar suara jangkerik dan kodok ngorek, meski sesekali suara bising pesawat melintas di atas kamar. Atau suara knalpot dan sirine mobil patroli polisi.
* * *
21 Maret 2006
Aku menduga keuangan di rumah sedang seret. Hampir dua bulan ini ATMku nyaris nol. Berulang kali aku menjenguk mesin pintar penyimpan uang itu, namun selalu nafas tertahan yang kurasa. “Saldo anda 0,00,” kata layar ATM itu.
Mungkin, depot tempat ibu memangku nasib sudah habis masa pemakaiannya. Karena Pak De akan memakai lahan itu untuk mata pencaharian anak bungsunya. Maklumlah, sekarang cari kerjaan susah.
Sementara ibuku jelas tak tega jika memakai lahan miliknya yang sekarang dipakai kemenakannya. Lahan itu juga tempat tumpuan hidup kemenakannya, kedua anak dan seorang istrinya. Jika ibuku meminta lahan itu, sama halnya membunuh mata pencaharian mereka. Tapi ibuku sendiri adalah orang yang dalam posisi dilema. Menganggur atau…
Ah…kenapa hidup selalu dalam posisi yang menentukan pilihan sama-sama pahit? Ibuku mengalah. Dia tak mungkin meminta lahanya di desa Cangkring itu untuk membuka depot, setelah depotnya yang dulu habis masa kontraknya. Resikonya, kini ibuku tak ada lagi uang untuk bisa dikirim ke bank untukku.
Bagaimana dengan kakak-kakakku? Ah, aku malu minta sama mereka. Mereka kukira juga mengalami nasib yang sama. Mereka juga menghidupi rumah tangga keseharian. Aku tak mau merepotkan mereka. Tak mau meminta.
Masku yang paling sulung, sekarang nedeng-nedeng persiapan nikah. Tentu uangnya terkuras untuk hajatan nikah itu. Apalagi kata ibu, sekarang gaji kakakku sudah tak seperti dulu lagi yang mengalir lancar. “Kakakmu sekarang ini ditempatkan di
Surabaya lagi Nak. Jadi gajinya kecil,” ujar ibuku yang masih kuingat kala itu.
Kini aku sendiri seperti dulu lagi. Berteman sepi dan sunyi. Pundi-pundi uang yang dulu mengalir ke tanganku, macet kini. Tabloid di Pemda Sleman sampai sekarang tak ada kejelasannya. Honor beberapa tulisanku sampai detik ini belum juga dikasih. Kerjasama penelitianku dengan PWI Jogja untuk bikin buku, sekarang juga berhenti. Beberapa aktifitasku di fakultas yang bisa menghasilkan uang juga stop, lantaran konsentrasiku di kamar kos nggarap skripsi. Wartawan di Radar Solo juga telah kulepas.
Sekarang ini, aku benar-benar pailit. Tak ada uang di kantong. Sepeda motor sudah saatnya diservice. Pinjamanku di bendahara pers kampus sudah mencapai 100 ribu. Apa yang kulakukan sekarang?! Nekad kerja, tapi menghacurkan masa-masa skripsiku? Atau………?!
Tuhan berkati hamba-Mu yang dhoif ini, ya Allah…………..
[Lorong jemuran kamar kos]
* * *
Kamis, Maret 2006
Cinta seorang wanita…
Indani selalu mengukur rasa cintaku dari perhatian. Sejauh mana perhatian yang kuberikan, sejauh itulah rasa cinta yang kupersembahkan buatnya. Semakin sering aku miscall atau SMS kepadanya, semakin dalam rasa cintaku padanya. Begitulah penilaian Indani menangkap arti cinta. Dan ketakmampuan untuk ajeg mencurahkan perhatian, meski sekedar miscall tentu beresiko buruk terhadap kebutuhan cinta. Hampir 90% konflik yang terjadi selama ini bermula dari persoalan yang kuanggap sepele itu: Perhatian!!
Seorang wanita akan melangkah dalam gemuruh perasaan yang terus mendidih. Gemuruh perasaan itulah yang menggerakkan seluruh niatannya, jika suasana hati lagi diserang perasaan was-was, prasangka, maka itulah sikap yang tercermin.
Sebesar apapun cinta dan pengorbanan yang kuberikan, jika prasangka sudah mengepungnya, maka runtuhlah bangunan cinta itu. Dan wanita akan lebih menuruti suasa jiwa.
* * *
Sabtu, 25 Maret 2006
Perasaanku terus-terusan dirundung gelisah. Sepertinya saben hari kekeruhan yang mengendap di sudut hati ini semakin menebal. Ya, kekeruan itu bersumber dari semakin liarnya segala indera ini. Hasrat pun terus bergemuruh. Keinginan-keinginan serasa semakin memabukkanku. Ketakutan-ketakutan pada sesuatu yang fana terus membayangiku…
Aku merasakan, kekhusukanku seolah menghilang saat aku sendiri bersama Tuhanku. Bayang-bayang peristiwa masa silam, mendatang, dan khayalan-khayalan selalu menyerobot alam kesadaranku, dan Gusti Maha Agung-ku tiba-tiba terlupa begitu saja.
Sudah saatnya cermin di jiwa ini kubersihkan kembali. Dengan air mata, dengan air keringat, dengan darah. Antara spiritual dan sosial harus dalam seimbang.
* * *
Jum’at 31 Maret 2006
Sebuah cerita masa lalu. Ungkapan yang tepat, saat aku didaulat jadi pemimpin umum pers kampus adalah “korban pelimpahan tanggung jawab”. Sehari setelah jabatan itu kupikul, satu persatu pengurus raib …
Ah, biarlah kenangan itu berlalu. Sekarang ini aku hanya berharap, pengurus baru pers kampus semoga eksis.
* * *
1 April 2006
Aku bertemu dengan seorang nenek yang baik hati. Tutur katanya lembut dan selalu menebarkan do’a-do’a. Nenek asal Magelang itu menyambutku dengan hangat. Segala hidang yang ia miliki, ia keluarkan semua demi memberikan yang terbaik buatku.
Siang itu, aku di emperan rumahnya yang sudah semakin renta. Tembok rumahnya sudah banyak yang berlumut. Lantainya terbiarkan berdaki. Kayu-kayu yang dimakan rayap terserak. Atappun sudah terlihat sorot cahaya matahari yang menyerobot, masuk melalui celah-celah genting yang menganga.
Nenek itu berjalan tergopoh, menghindar hujan yang mengguyur. Ia baru saja pulang dari sawah. Menjenguk tanaman-tanaman yang sudah terlihat menguning. “Nak, datang sudah lama, ya?” ucapnya seraya mengembangkan senyumnya.
* * *
5 April 2006
Inilah akhir dari perjalananku di sebuah pers mahasiswa. Segala daya dan upayaku sekarang harus lebih kufokkuskan pada studiku; merampungkan skripsi. Luka-luka masa lalu, biarlah jadi cerita, kelak di masa mendatang. Segala kekurangan, semoga lebih mendewasakan.
Tuhanku, ulurkan tangan–Mu. Belailah dengan kasih sayang hamba-Mu yang lemah ini. Hamba ingin kembali ke pangkuan-Mu.
Saat kutulis catatan ini, aku baru saja pulang dari perjalanan Jakarta-Bandung. Kutulis saat lagu sendu “Donna-donna, Ost Film GIE” mengalun. Sementara screen saver pada monitor itu terus menampilkan foto kawan-kawan pers kampus. Haru saat berpisah…
* * *
--ENAM BELAS--
15 April 2006
Peristiwa tadi Shubuh.
Subuh itu aku bergegas bangun, mengambil air wudhu lalu menunaikan sholat shubuh. Agak ganjil memang. Biasanya akhir-akhir ini bangunku selalu di atas jam 06.00 pagi. Bahkan biasanya ketika riuh pasar dan jalan raya sudah terdengar, aku baru membuka mata. Itu pun dengan berat. Mata serasa dilem dan malas menghinggapi tubuh. Dalil yang kupakai selalu begini; subuhnya mahasiswa tentu beda dengan subuhnya akik-akik yang segenap jiwanya dicurahkan untuk menyongsong hari penuh keabadian di alam akhirat kelak.
Apalagi jika tidurku telah larut malam. Hampir dapat dipastikan keesokkannya adalah aksi balas dendam. Tidur sampai jam 08.00. Sholat shubuhnya? Kujamak dengan shlat Dhuha. Jadinya “Dhubuh”. Dhuha plus subuh,” Ah, Tuhan pasti memaklumi anak muda,” pikirku.
Tapi, subuh tadi benar-benar lain. Padahal, seharian penuh aku tak istirahat atau tidur sejenak di siang hari. Aku tiba-tiba merasakan ada kekuatan yang mendorongku untuk lekas meninggalkan dekil-dekil kemalasan. Kelopak mataku pun seperti menatap cerahnya subuh. Indera penciumanku juga seolah ingin sekali menghirup segarnya udara pagi yang berhempus dari tepi sungai Gajah Wong. Dan kaki serasa menuntunku menuruni tangga kos, dan melangkah ke pancuran kran air. Tubuhku ringan. Tak ada beban yang menarik-narik, untuk menuntaskan sembahyang shubuhku. Dan yang paling kuherankan, aku tiba-tiba tergerak untuk mengerjakan sholat qobliyah Subuh. Aneh sekali. Padahal selama ini aku jarang sekali mengerjakan sholat sunat rawatib itu. Tapi Subuh tadi…?
Mungkin ini adalah firasat. Aku yakin itu. Dan firasat itu bertalian erat dengan sosok wanita masa silamku. Karena selang beberapa menit kemundian, tiba-tiba HP ku berdering. Tahukah nomor siapa yang muncul di layar HP ku subuh itu? Dia adalah Iffah. Seorang gadis yang telah meninggalkan bekas nestapa di jiwaku. Mendengar namanya, aku terkadang menggigil. Dunia serasa pucat pasi, sunyi, kalut dan sedih, mendalam.
Iffah, adalah sosok yang sedikit-banyak telah mempengaruhi psikologiku. Dia adalah wanita yang pertama kali yang mengisi ruang hatiku. Dialah yang pernah memeriahkan dan menerbitkan harapanku. Namun dia jualah yang membuat hari-hariku di Jogja dulu, menjadi sunyi, sepi, larut dalam duka nestapa. Berulangkali aku mencoba menepis segala kenangan dengannya. Melenyapkan dirinya dari hatiku yang terlanjur terpatri, meski terkadang dengan cara yang amat terkutuk; membencinya seumur hidup. Aku tak ingin mengingatnnya lagi. Mengingatnya hanya akan membuka kembali luka lama. Aku benci Iffah. Benci sikap-sikapnya yang diskriminatif kepadaku. Dialah yang telah memberiku tangan perpisahan itu.
Tapi kehadirannya Subuh tadi, telah menggugah kesadaran lahir-batinku. Aku tiba-tiba terbangun di subuh itu. Seolah Subuh itu menyambut kehadiran suaranya di tanah Jogja. Suaranya yang ringan dan selalu terselip derai tawa kecil. Ah, dia Subuh tadi telah menelponku. Bertanya ini-itu. “Aku pingin nelpon aja, pingin nyari konco yang bisa kuajak ngomong,” katanya.
Aku sudah mafhum maksudnya. Iffah ingin mengobati lukaku. Ia ingin membalas dengan sekedar memberiku perhatian, sebagaimana dulu aku mencurahkan perhatian kepadanya. Lewat kenang-kenangan, lewat sepucuk surat, lewat sapa, lewat silaturrohmi, lewat angin, lewat do’a, lewat harapan, lewat impian, lewat semuanya. Mungkin dengan
demikian ia bisa mengobati lukaku. Bisa menyambung lagi silaturrohmi yang terkoyak selama ini. Dia memang wanita ‘baik’, wanita yang tak ingin banyak membuat kecewa orang lain
Sayang, luka itu terlanjur mengeras. Mungkin tak ada yang bisa menyembuhkan, selain aku sendiri. Biarlah luka itu pulih dengan caranya sendiri. Engkau, Iffah! Tak akan mampu mengobatinya.atau malah menambah semakin perih. Aku tak butuh perhatianmu. Perhatianmu, bagiku adalah pisau tajam yang mematikan. Maafkan sikapku ini. Karena hanya dengan demikianlah lukaku akan sembuh. Atau jika tidak, hanya memunculkan kembali harapan yang telah pupus itu, karena perhatianmu!
* * *
Ahad, 16 / 04/ 2006
Aku menyembunyikan dalam senyum!
Sudah tiga kali ini dia menelponku. Pertama di waktu Subuh itu. Kedua dan ketiga, di paruh malam. Kemarin saat aku bercengkrama dengan teman-teman kos dan asyik nonton TV, ia datang untuk mengusir rasa suntuk yang mengepungnya. “Dari pada pusing bikin diagram yang nggak jadi-jadi, mending aku nelpon sampeyan saja,” katanya.
Malam itu ia sudah sedikit lebih cair. Terselip gurau-gurau kecil. Malam itu, ia sudah melepas beban-beban rasa bersalah kepadaku. Selain canda, ia juga memberi tahu bahwa ia sekarang tengah mendengarkan musik kitaro di kosnya. “Dengar nggak dari Jogja?” candanya, seraya memintaku mendengarkan bunyi HPnya yang ia dekatkan ke salon musik winampnya. “Aku juga nggak tahu, kenapa tidurku malam-malam terus,” ujarnya menirukan. Ia mungkin mengingatkanku pada kata-kata yang dulu sering kusampaikan padanya, bahwa jika ingin kuat lahir-batin, jangan kau biarkan malam-malam larut dalam pejam. “Teruskan tirakat sucimu!” demikian bunyi nasehatku dalam surat perpisahan denganya, awal smester III silam.
Ah, Iffah, teruslah dalam rel yang kau susuri selama ini. Yang telah kau yakini, yang skaligus juga telah memberiku luka mendalam karena jalan hidupmu yang berseberangan denganku. Tapi, aku sudah bukan lagi anak-anak baru gede (ABG), yang segenap perhatian dicurahkan untuk mengingat-ngingat luka masa lalu karena urusan cinta. Meski dulu aku pernah bersumpah-serapah untuk tak memaafkanmu, tapi kini kusadari sikapku itu amat keliru. Seperti anak kecil yang tak henti menangis karena tak dibelikan mainan. Tidak! Aku bukan seperti anak kecil yang selalu menggenggam bara.
Kini, bukan lagi persoalan itu yang menyumpeki alam sadarku. Ada sesuatu yang jauh lebih layak untuk kuprihatinkan. Masa depan! Tetapi bukan masa depan yang egosentris. Melainkan masa depan yang lahir karena keresahanku memikul tanggung jawab sebagai anak yang harus berbakti dan menggembirakan orang tua. Sebagai anak muda yang musti mengalirkan peran untuk masyarakat, agama dan generasi penerus. Aku telah melupakan dendam-dendamku masa silam, tentang kisah-kisah SMU dulu, tentang pengkebirianmu. Biarlah itu sebagai cerita nostalgia. Aku mengimani dengan seutuhnya bahwa hidup ini hanya dalam genggaman-Nya. Kita hanya bisa sareh-sumereh, mengikhlaskan semua yang telah kita lewati.
* * *
Senin, 17 April 2006
Dia dan Indani. Cintaku padanya kudus, meski tak rasional. Bersama Indani, banyak kuarungi suka-duka.
* * *
Selasa, 18 April 2006
Aku sungguh bingung! Di saat keluargaku berkumpul semua, akankah kuiyakan permintaan Indani: pulang bersama! Berpasang-pasang mata pasti menatapku dengan seribu teka-teki dan prasangka…
* * *
Jum’at pagi, 21 April 2006
Apakah ini takdir?! Serentetan peristiwa di luar daya dan upayaku mendadak menubrukku bergiliran. Kini setelah dadaku sesak karena himpitan ekonomi, Indani datang memberiku tangan perpisahan. “96 panggilan tak terjawab” itu telah membuat luka hatinya. Dan keadaanku yang terlelap saat itu, benar-benar mengukuhkan kecurigaan Indani bahwa aku tak punya komitmen untuk mempertahankan tali kasih ini.
Semua benar-benar di luar daya dan upayaku. Semua skenario Ilahi itu berjalan mulus. Dan aku hanya tercengang menyaksikan semuanya. Aku tak bisa mengelak. Aku pasrah…
Hari ini, Indani pasti galau jiwanya. Ia pasti merasa terpuruk, lantaran upayanya untuk menelponku semalam tak membuahkan hasil. Ah, kenapa malam itu harus kulalui dalam lelap. Dalam selimut dingin angin malam itu. Di teras rumah itu. Menjaga mobil pinjaman milik guru ngajiku itu. Dalam acara pernikahan kakakku itu...
Aku sangat takut melukai perasan setiap wanita. Apalagi Indani. Seorang yang dengan sepenuh hati menyayangiku. Bahkan saking sayangnya, segala tindakannya berlebihan. Semua serba curiga. Cemburu dan penuh dengan prasangka kepadaku. Aku harus mau diatur. Janji-janji yang kuberikan sebagai penawar dan pengobat hati, kini malah berbalik menuntuku.
“Aku tak kan mengalirkan air mata, sebab sudah kering,” jawab Indani malam itu dengan singkat dan tegas! Getir!
Sekarang hamba-Mu menanti rencana yang telah kau siapkan lagi Tuhan. Apakah hamba musti simpuh dalam pangkuan-Mu…
* * *
Jum’at, 21 April 2006
Dalam kegamangan!
Untuk ukuran saya, menikah bukanlah sebuah prestasi. Seperti juga membikin anak. Namun mempersiapkan instrument-instrumen nikah, itulah prestasi. Mulai dari lepas dari ketergantungan pada orang tua dan alias mandiri, hingga menjaga rumah tangga agar tak goyah. Itulah prestasi! Seperti juga mendidik anak hingga menjadi anak
yang berkualitas lahir-bathin, itulah perjuang maha panjang yang terhebat. Bukan sekedar ‘membikin’ anak yang—mungkin jika tak mampu menata niat malah—bercampur dengan nafsu syahwat. Bukan ibadah.
Sekarang, aku dihadapkan pada tantangan itu. Namun, dalam waktu bersamaan aku dihadapkan pada pilihan yang amat sulit. Indani menanti kepastian dariku. Dalam tempo beberapa bulan ke depan jika aku tak segera menjemputnya, berarti aku telah melukai hatinya. Sebaliknya jika harapan untuk membangun rumah tangga itu kudahuluan, aku pasti mengecewakan keluarga. Aku belum membawa kabar gembira kepada orang tua dan kakak-kakakku.
Tadi pagi, mbakku membicarakan aku dengan keluarga. Kata-kata yang masih sempat kutangkap dan terngiang di telingaku adalah, “Pokoknya Areta kalau belum bekerja dan mandiri jangan berharap menikah. Mau ngasih makan keluarganya pakai apa?! Lha wong keluarga sudah tak mampu lagi menanggung beban hidup. Ibu sudah tak kerja. Bapak terserang penyakit. Mereka tentu sudah kewalangan menata rumah tangganya sendiri. Kini, Areta harus membuktikan dirinya sendiri. Setelah dikuliahkan dengan keringat dan air mata. Ia harus mampu membahagiakan orang tuanya dulu. Tak ada harta peninggalan orang tua. Semua telah habis. Zaman berubah. Menggilas semua harapan dan impian…!!”
Mungkin benar apa yang disampaikan si bayi ajaib, Fayyadl bahwa kita terkadang menjumpai kenyataan-kenyataan hidup yang lain dari yang kita impikan.
[Di tengah kebisingan pasar]
* * *
Sabtu, 22 April 2006
Yang dicemaskan Indani sungguh beralasan. Seorang wanita tentu mengkhawatirkan statusnya dengan calon pendampingnya. “Mas, aku hanya membutuhkan kepastian darimu,” ujarnya semalam lewat SMS. Kata-kata itu lahir dari bayang-bayang yang menghantui setiap mimpinya. Kata-kata itu membutuhkan jawaban. Usianya yang terus beranjak, semakin menterornya.
“Yang aku takutkan, jika sampai aku lulus kuliah nanti, Mas belum belum juga menjemputku, orang tuaku pasti akan menjodohkanku dengan orang lain. Tapi aku tak mau berpisah dengan Mas. Segerahlah Mas, sebelum wajah-wajah tak kukenal lebih dahulu menggandeng tanganku,” lanjutnya.
Ah, Indani. Aku sungguh berdosa. Mas telah memberi harapan engkau. Namun, roda zaman tak selamanya memposisikan kita dalam suasana hangar-bingar. Malah kini Sebaliknya. Aku dalam keterpurukan. Aku lagi ngejar skripsi. Di saat yang sama, engkau diburu deadline nikah. Orang tuamu telah menanti. Dan aku tahu, kita tak mungkin mengelak dari tangan-tangan perkasa itu.
Apa yang harus kuperbuat…?!
Tuhan, bukankah engkau skenario ini? Hamba ingin berhembus bersama qudroh-Mu. Hamba tak ingin memberontak-Mu. Hamba hanya ingin mema’rifati segala kehendak-Mu. Dan menerima dengan tulus keputusan-Mu.
Jika ‘perpisahan’ mampu menyelamatkan diriku dan Indani, hamba akan bersujud pada-Mu. Jika isak tangis, membuat ketegaran dan kematangan jiwaku dan jiwa Indani, hamba akan tetap menyebut asma-Mu. Jika duka tak terperikan itu harus kulalui, demi kebaikan aku dan Indani, hamba akan tetap menggenggam erat qudrat –Mu. Selamatkan jiwa kami, Robb…..
Jadikan kami umat pilihan-Mu yang bisa kembali menghadapMu dengan sepenuh jiwa. Amiin….
* * *
Jogja, 7 Mei 2006
Surat buat Indani
Indani, kemanjaan-kemanjaan yang bersarang di sudut hati kita, ada kalanya kita perlakukan kejam. Perangai itu tak seharusnya selalu kita turuti segala kemauannya.
Dulu aku pernah mengatakan, “Jadikan kebersamaan kita ini untuk menanam pohon kesejatian.” Tahu tidak apa maksudku? Kelak jika nasib tak mempertemukan kita di ujung penantian, kita masih menyimpan sesuatu kebajikan itu. Kita tidak terlalu memamah kegetiran perpisahan karena cinta. Cinta tak musti memiliki, kata orang-orang. Cinta bukan bertendensi untuk meksud-maksud memiliki. Tapi cinta itu memancarkan, mencerahkan, mencahayai kegelapan, tanpa menyimpan seribu ketamakan.
Tapi Indani, cinta itu bukan berarti ‘memberi’, seperti kata orang-orang. Kata itu sama sekali beda dengan kata ‘mencerahkan’. Memberi memiliki penyempitan makna. Tapi mencerahkan, menyimpan berjuta cahaya. Mencerahkan adalah tujuan. Sementara ‘memberi’ bukanlah tujuan. Jika kita berada dalam altar ‘memberi dan menerima’ yang kutakutkan nanti adalah, kita hanya terjebak pada makna wadagnya. Kita terus memberi, tanpa sedikitpun merenung sejenak, memberi yang seperti apa? Baik-tidak? Selaras dengan cita-cita tidak? Itu pertanyaan yang selalu menggelisahkanku.
Mencerahkan bagiku adalah tujuan kebersamaan ini. Jika ada yang teledor, kita bisa saling menerima kritik dan imbauan. Bukan hanya penurut dan mengedepankan ego kita masing-masing.
* * *
Ahad sepi, 7 Mei 2006
Ini adalah ‘hari-hari’ penuh tanda tanya? Aku benar-benar terjepit. Mimpiku sore tadi semakin membuatku murung. Kulihat kamar musholla rumahku, mendadak berubah menjadi kamar WC. Bau tak sedapnya menusuk hidung. Dan pemandang yang seolah lumrah; ibu-bapakku sore itu terlihat dalam perang mulut. Apakah ini hanya halusinasi yang tercipta dari pikiran-pikiranku semata. Pikiran yang serba tertekan, lantaran terjepit soal financial. Tak ada tumpuan lagi dalam perjalanan hidup yang singkat ini.
Kini, saatnya kuserukan kembali jihad akbarku. Akan kumatangkan kembali ijtihad (akal) dan mujahadahku (spiritual). Rabb….dengarlah keluhan hamba-MU ini….
* * *
Selasa, 16 Mei 2006
Senja menjelang adzan Maghrib berkumandang. Aku membuka fotoku saat rekreasi bersama Indani di Monjali. Dalam foto itu, kaos yang kukenakan bertuliskan, “Nak berhentilah sekolah, sebab bapak sudah tak kerja!” Tak kusangka, kaos kenang-kenangan panitia Ospek tahun 2003 itu, mengingatkan kondisiku sekarang ini.
Baiklah, aku akan bertarung, untuk mempertahankan hidup dan kuliah yang tinggal beberapa bulan ini.
* * *
Rabu, 17 Mei 2006
Kondisi yang terjepit membakar semangatku untuk menulis. Hari ini, tulisan ‘kacangan’ku dikirim Agus ke media. Intinya satu, untuk nyari duit.
Jika menulis untuk sekedar dimuat di media massa, maka yang harus diikrarkan adalah; tenaga bulldozer! Banyak tidaknya! Tinggi rendahnya intensitas! Jangan pernah dihantui oleh kualitas. Tapi berpikirlah bahwa nasib dan intensitaslah yang menjadi penentunya.
* * *
Sunyi, 26 Mei 2006
Aku semakin tak yakin, apakah aku akan hidup bersama Indani. Apakah mungkin, di zaman yang serba susah ini kamapanan hidup akan kuraih. Aku semakin dikejar rasa tak percaya diri, jika seandainya jadi berumah tangga dengan Indani. Apakah aku mampu memenuhi impian-impiannya? Mampu membahagiakanya?
Sekarang ibu-bapakku hidup dalam kondisi ekonomi sekarat. Hutang di Bank, belum terbayar. Mereka pasti berharap padaku, kelak bisa meringankan beban keluarga.
Ah, besok aku akan mencoba melamar kerja di LSM !
* * *
Sabtu, 27 Mei 2006
Kiamat Sughro….
Dalam situasi genting itu, aku masih sempat tersenyum baca SMS ini:
“Masyaallah, moga Allah melindungi sampeyan. Tenang, ya? Apa nggak mending ngungsi dulu, ke teman daerah Solo, misalnya. Yang lebih aman. Senantiasa istighfar ya. Jaga diri baik-baik!
Pengirim:
+6281556282xx
27 Mei 2006
07:15:13
* * *
Jum’at, 2 Juni 2006
Kendaraan apakah yang kita tumpangi dalam berlayar menuju semudera Tuhan? Jika kendaraan fiqih, kita tak ubahnya satpam. Kepatuhan yang hanya sampai pada dataran wadag. Atau lebih tinggi, yakni kendaraan akhlaq. Kita mengenal batas-batas etika, mudharot dan manfaat. Atau kendaraan takwa, sebuah pendakian yang dilandasi oleh kesadaran untuk berbakti. Tapi ada kendaraan satu lagi yang melampaui semua itu. Dialah kendaraan cinta. Cintalah yang menggerakkan dan mengajarkan jalan hidup ini.
* * *
Jum’at malam, 2 Juni 2006
Empat hari sejak kepulanganku di rumah, aku semakin tak kerasan. Waktu berlalu tanpa aktifitas yang berarti. Menjemukan. Pagi, bangun tidur, linglung. Paling-paling bersih-bersih rumah sekedarnya. Setelah itu, kembali di depan TV, menyaksikan tayangan-tayangan pilu korban gempa. Kalau tidak, melayani ngobrol bapak yang selalu itu-itu saja. Tapi demikianlah, jaringan otaknya sudah kacau. Ingatannya berkisar antara tragedi ’65 dan pengkhianatan kawan-kawanya dulu. Alias bapakku terserang trauma.
Tapi, ibuku memang wanita yang tegar. Ia seorang istri yang tanggung jawab. Setiap hari, ibuku yang telaten, sabar dan tekun mendampingi suaminya yang sudah tak bisa diharapkan apa-apa. Kecuali kesadarannya, meski harapan yang sebenarnya tak terlalu muluk itu seperti meraih bintang kejora di langit. Tapi itulah ibuku. Sejak 15 tahun terakhir ini, hampir dialah tulang punggung keluarga. Bukan bapakku. Ibuku rela menjadi buruh di perusahaan tahu untuk menghidupi dan menyekolahkan aku dan semua anak-anaknya. Gaji yang tak seberapa itu, tiap hari ia belanjakan untuk pertahanan hidup rumah tangga. Mungkin jarak rumah dan tempat kerja yang terlampau jauh itulah, akhirnya membuat letih yang bikin susah tidur. Belum lagi, ditambah kerja berat. Ibuku, akhirnyapun banting setir. Ia cari pinjaman uang kakaknya untuk usaha modal bikin kripik emping mlinjo. Dan roda kehidupan rumah tangga pun berjalan, hingga mampu merampungkan sekolah anak sulungnya dengan usaha ala kadarnya itu.
Hingga detik ini, ibuku adalah pahlawan keluarga. Mungkin nasib bapakku memang sudah digariskan celaka, hingga dipenghujung tahun 1990-an sampai 2006 ini, segala usahanya berujung kebangkrutan. Celakanya lagi, selalu berimbas pada keluarga. Terhitung, sudah empat kali rumah dijual demi keselamatan rumah tangga. Beberapa kali, hutang bapak tak bisa terlunasi, tanpa menjual tanah atau rumah. Dan kini, puncaknya penyakit stroke yang telah melumpuhkan dan membuat jaringan otaknya kacau itu mendekam di tubuhnya. Lagi-lgi, ibuku yang menjadi sasaran. Ibuku pun terkena imbasnya.
Setiap penyakit bapak kambuh, ibu bagai sebatang kara yang terhempas dalam derasnya air sungi. Ibuku musti pontang-panting, mencari obat yang diperintahkan bapak. Harus saat itu juga! Jika tidak, bapak bisa mengamuk seperti dasamuka. Semua yang terjangkau akan dilempar. Umpatan tajam dan menyakitkan akan keluar dari mulut bapak. Dengan mata merah nanar, seraut muka yang menyimpan bara api dan suara menggelegar, bapak akan bertindak apa saja sampai keinginannya itu dituruti.
Itulah bapakku. Penyakit ‘aneh’ yang bersarang di tubuhnya semakin melengkapi penderitaan ibuku. Harapan ibuku dan semua sanak kerabat hanya satu; semoga bapak insyaf. Bukan yang lain, tapi insyaf dengan kekeliruan yang diperbuatnya selama ini.
* * *
Menjelang ke Jogja, 6 Juni 2006
Dalam kurungan rumah yang sepi ini, tak ada yang bisa kuperbuat selain mengantar ibu-bapak ke saudara-saudaranya. Kepulanganku, setidaknya bisa dijadikan teman bicara ibu-bapak yang setiap harinya berlalu dengan kebisuan. Atau bisa dijadikan media untuk mengantarkan ke sedulur-sedulur yang selama ini jarang dikunjungi. Dengan begitulah, mungkin aku bermanfaat saat pulang ke Pare. Karena memang tak ada yang bisa kupersembahkan buat mereka.
Kini, setelah genap sepekan aku di rumah, saatnya aku kembali ke Jogja, melanjutnya cita dan asa yang tertunda. Menghimpun tenaga untuk menyambung hidup. Mencari setiap celah yang ada, untuk kumasuki. Apakah celah itu? Wallahu’a’alam. Tapi setidaknya, aku masih mengimani, bahwa Tuhan akan memberikan jalan keluar dengan syarat hamba-Nya itu menempuh lorong takwa. Kata Tuhan
“Wamayyattaqillaha yaj’allahumakhroja”—Dan barangsiapa menempuh jalan takwa, maka akan diberi jalan keluar.
Siapakah hamba yang diijinkan-Nya itu untuk bersimpuh di haribaan Tuhan?
Jalan takwa memang tidak semulus jalan ke taman bunga yang beraroma kewangian. Butuh kesungguhan hati (mujahadah) dan kejernihan akal (ijtihad).
Tuhanku izinkan hamba-Mu yang murung ini mengecup kening Agung-Mu…
* * *
Rabu, 7 Juni 2006
“Skripsi, wisuda, kerja!” Saat aku meluncur kencang di atas motor tuaku menuju Jogja, tiga hal itulah yang bergelanyutan dalam pikiranku. Dalam sebulan ini, aku harus menuntaskan urusan skripsiku, termasuk ujian skripsinya. Aku tak peduli apakah skripku nanti mendekati sempurna atau tidak. Yang jelas, akhir Juni nanti tugas pungkasan kuliah itu harus kelar. Tidak boleh tidak. Apapun alasannya.
Aku sudah terlanjur berjanji untuk tak merepotkan lagi keluarga dengan meminta-minta terus uang. Di penghujung semester 10 ini, aku sudah saatnya disapih orang tua, kakak-kakak dan sedulur-seludur semuanya. Jauh-jauh aku bersepeda motor dari Kediri – Jogja hanya ingin berkonsentrasi merampungkan karya tulis akhir kuliah itu. Semua keluarga tak ada yang mampu menghalangi langkahku, meski mereka terkejut dan berat dengan kepergianku ke Jogja secara tiba-tiba. Semua was-was bercampur cemas melepas kepergianku ke kota yang luluh lantak lantaran dihantam gempa berkekuatan 5,9 SR itu. Mereka khawatir, gempa susulan masih kerap mengguncang dan bikin panik. Mereka khawatir perjalanan panjang itu amat merawankan keselataman jiwaku. Nyawa bisa saja terenggut saat berpacu, bersimpangan dan mnghindar dari kendaraan-kendaraan lain yang meluncur dengan kencang juga. Sekali saja aku lengah di jalan beraspal itu, nyawakulah taruhannya.
Tapi aku harus nekad. Apapun resikonya, aku harus meninggalkan tanah kelahiranku. Bertapa dalam kamar kecil. Berteman mesin komputer dan mengutak-atik data skripsi. Harapanku skripsi selesai dalam bulan Juni ini. Lantas aku segera mencari-cari lapangan pekerja untuk menyambung hidupku dan membayar kos bulanan. Roda perekonomian keluargaku sudah remuk, seremuk kondisi negara ini. Jadi tak harapan lagi aku meminta uang keluarga.
Wisuda! Inilah moment-moment yang dinanti-nanti keluarga. Sebuah moment yang menampakkan hingar-bingar, namun menyembunyikan kesumpekan-kesumpekan. Tapi tak apalah. Aku ingin melihat keluargaku bahagia dan bangga menyaksikan anak ragilnya ini diwisuda. Mereka pasti suka cita bercampur haru kala menyaksikanku mengenakan baju toga hitam dan menggamit selembar ijazah sarjana sosial. Mereka juga pasti penasaran melihat kota Jogja yang konon disebut-sebut sebagai kota pelajar. Kota bejibun kampus-kampus menterengnya. Lalu mereka mengajak saudara-saudaraku dengan meminjam mobil carteran sedulur, layaknya orang mau berekreasi. Itulah sebentuk ekspresi orang desa.
Ya, wisuda! Sebuah puncak kulminasi seorang mahasiswa dan bentuk kebanggaan keluarga menyaksikan anaknya dinobatkan menjadi sarjana. Dan aku ingin membahagiakan keluargaku dalam ajang wisuda itu, meski hanya sesaat. Dan ketika acara ceremonial yang penuh dengan kemewahan dan kemeriahan itu selesai, usai pula kebahagiaan mereka. Tinggal menyisakan cerita-cerita dari Jogja. Dan aku kembali bingung, sudahkah aku mewujudkan impian keluarga setelah dibiayai kuliah selama 5 tahun?
* * *
--TUJUH BELAS--
Jum’at, 9 Juni 2006
Ya Allah, aku menyadari hidup hamba hanyalah sehelai daun kering yang terhempas arus sungai. Dalam munajahku malam ini, sepercik cahaya terang menerobos masuk dan mengusir sudut-sudut gelap hatiku. Hati yang selalu merasa pongah, seperti tak membutuhkan uluran tangan Tuhan. Kini dalam keserbaterbatasan, kehadiran-Nya sangat terasa sekali. Aku membutuhkan-Nya. Aku tak bisa hidup tanpa-NYa.
* * *
Petang hari, emperan kos Sapen, Sabtu, 10 Juni 2006
Dari kedua bola mataku, mengucur deras air bening. Ternyata, Tuhan amat menyayangiku. Pintu cahaya-Nya terbuka lebar buat aku; seorang manusia kotor yang angkuh memasuki altar agung-Nya.
Aku bisa menyadap kersik-kersik suara-Nya. Meski lumat-lumat, namun getarannya sangat kurasa, kala sebuah insiden meletus. Dia yang maha Rahim mengajariku akan kesungguhan dalam menelusuri lorong sunyi-Nya. Tuhan aku ingin melebur dalam api keabdaian-Mu. ….!!
Aku benar-benar dikepung rasa bersalah. Ribuan sosok mata ghaib seolah memandangku dengan tatapan sinis. Aku diam tertekuk, meratapi kesalahan-kesalahan
yang usai menjamahku.
Ketika tahlil memenuhi ruangan depan rumah Simbah semalam, diriku malah terhanyut dalam buaian mimpi. Sesaat setelah mataku terjaga bukan syair do’a yang kudapat, tapi hidangan pemuas nafsu perut. Di saat kata-kata hikmah dan kerendahan hatian mengalir, ocehan penuh kesombongan dan kesia-siaan yang terlontar dari mulutku. Di saat mbah Siroh hadir, bukan salam hangat dan petuah bijak yang kuperoleh, tapi kedirianku sendiri yang memalingkan. Di saat ikatan persahabatan menemukan kesejatian, bukan kesungguhan yang kubuktikan, tapi kelemahan perjuangan yang kutunjukkan. Mereka semua meninggalkanku. Aku sendiri. Hanya kesalahan-kesalahan yang menghantuiku.
* * *
Ahad, 11 Juni 2006
Takdir menggariskan lain. Ketidakterus-teranganku tertangkap basah. Seperti yang kuduga, Indani pasti terpuruk. Tak ada maksud sebenarnya, aku untuk berbuat demikian. Aku hanya ingin cinta ini tak terancam oleh salah sangka terus-terusan.
Aku tarus terang, engkau pasti berontak. Aku berbohong, pasti lebih berontak. Jika aku berjalan sewajarnya, engkau tak kan henti-henti menghujaniku prasangka...
Bagaimana aku harus berbuat ...?
* * *
19.00 WIB
The other. Pemahaman yang terbiasa seragam. Menganggap kebenaran hanya tunggal. Hanya yang terlintas dan mengeram di kepalanya. Sesuatu yang beda, dianggap pembelot. Makanya musti diatur. Diusir. Disingkirkan.
Apa saja yang aku lakukan, di mata Indani serba salah. Dalam pemahamannya, perilaku yang baik itu yang menurut pemahamannya. Makanya, ia selalu mengatur dan mengaturku. Tak boleh beda!
Bedo-bedo suoro, ora olo, malah becik, kata Sujiwo Tejo.
* * *
Selasa, 13 Juni 2005
Aku mungkin memang tak memiliki kemampuan untuk memberikan ‘perhatian lebih’ kepada Indani. Kepada siapa pun juga, sepertinya aku juga tak mampu.
Apakah aku termasuk tipe manusia yang tak begitu pandai membaca kemauan orang lain? Apakah aku memang bukan tipe lelaki yang romantis? Lelaki yang yang mempunyai kehangatan hubungan dengan perasaan? Lelaki yang pandai membaca setiap inci gerak perasaan wanita?
Mungkin aku memang tipe lelaki yang berjalan dengan otak kiri? Dan lagi-lagi Indani menyerangku sebagai lelaki tak berperasaan!
* * *
Rabu, 14 Juni 2006
Pertikaian demi pertikaian serasa tak pernah berujung. Indani mulai menunjukkan watak aslinya; sang pengatur otoriter. Berulang kali aku selalu jadi tersangka. Dan Indani sebagai sang hakimnya. Di hadapannya, aku tak ubahnya maling yang selalu digeledah satu persatu kesalahanku oleh sang intelejen. Perbedaan itu sebenarnya tak jadi masalah. Lumrah! Ladang ibadah jika kucari titik temunya. Tapi watak superiornya, dengan adigung serba benarnya, telah membuatku kian terpojok. Aku mati kutu.
Pandangan seperti ini terjadi lantaran salah dari awalnya. Aku terlalu merengek, memberi janji, dan menawarkan cinta kita tetap bertahan. Sementara tensi darah Indani tak mencoba untuk diturunkan, agar tercipta kesepahaman. Akibatnya, ketika keinginannya tak terpenuhi, akulah kambing hitamnya.
Aku tak tahu, apakah cinta kasih ini masih bisa dipertahankan?! Dalam posisi, aku terletak di bawah. Inferior. Aku hanya sasaran pemenuhan janji-janji. Dia akan menuntut serba perfectionis, tanpa pernah melihat kondisiku yang serba kekurangan....
Gusti....Gusti ...!! ada apa dibalik serentetan peristiwa tragis ini?!
* * *
Kamis, 15 Juni 2006
Aku sadar, sikap superrior Indani lahir tanpa ia sadari. Kemauan kerasnya untuk mengaturku adalah watak bawaannya. Apalagi ketika kamanjaan dan kesabaran yang kuberikan selama ini, justru membuatnya di atas angin. Sedikit saja aku keliru atau tak menuruti kemauannya, aku bagai keekor kucing kurus, kehujanan, dan menggigil kedinginan.
Tak bisa kusalahkan! Memang demikianlah wataknya, meski aku yakin sifat yang demikian akan mencair tatkala bersama seorang yang memiliki tingkat aura lebih tinggi. Ia pasti akan redam dan segala api yang berkobar akan perlahan redam. Namun jika bersamaku atau seorang yang lebih kecil tingkat auranya, ia akan tetap demikian.
Kini, hari-hariku hanya bisa berusaha semampuku memberi yang terbaik buat Indani. Mencoba menuruti segala tuntutannya, dan mencoba tetap menyayanginya dengan sepenuh hati. Harapannya kepadaku sudah sangat menggunung. Dan aku sangat takut, jika ia jatuh. Harapan yang ia idam-idamkan itu kelak pasti melukainya, jika aku tak mampu mewujudkan.
Semalam ia menelpon dan menanyaiku. “Mas, adik sayang. Mas juga sayang adik kan?” Aku menjawab “iya” penuh keraguan. Mungkinkah aku menyayanginya seperti yang ia harapkan? Sementara hari-hariku kini seolah dipenuhi kemurungan. Bukan cinta. Jawaban ‘iya’ku, jika yang dimaksudkan adalah kasih sayang universal mungkin benar. Kasih sayang sebagaimana seorang manusia yang sudah semestinya menyayangi setiap manusia tanpa pilih-pilih. Namun “sayang” dalam arti cinta yang lahir dari getaran hati, mungkin aku masih meragukan. Aku ragu, akankah aku mampu menghidupkan kembali api cintaku pada Indani.
Lebih tepatnya aku adalah seorang kakak yang mencoba membimbing kedewasaannya. Mematangkan sikap hidup dan pandangan-pandangannya atas dunia ini. Jika tidak, aku akan terus-terusan jadi lahan tuntutan Indani. Tapi bagaimana aku mulai merubahnya, sementara hampir nyaris aku diam terpaku, tak berani mencegah kemauannya.
* * *
Jum’at, 16 Juni 2006
Aku sudah menduga, suatu saat nanti Indani akan murka untuk kesekian kalinya ketika membaca buku harian ini. Sepotong nama tertera di buku harian ini. Nama itu ialah Iffah. Ya, Iffah yang menelponku di subuh itu. Watak cemburunya yang teramat kuat, telah mengukuhkan kecurigaan-kekurigaannya yang ia bangun setiap harinya. Inilah resikonya, mengenal seorang wanita yang oleh temanku, Kukuh, ditafsirkan memiliki watak cemburu membara. Dan sejak itulah, aku membenarkah ramalan Kukuh, akhir tahun 2004 silam itu. Dan Jum’at siang itu, insiden meletus. Indani murka!
“I believe that first love is never die,” demikian SMS Indani malam harinya.
Indani merasa kuduakan. Dan hatinya remuk, redam. Ah, aku tak bisa lukiskan insiden senja itu. Jari-jariku serasa ngilu untuk merangkai peristiwa itu. Pikiranku buntu! Sumpek!
* * *
Sabtu, petang, 17 Juni 2006
Engkau menanyakan Iffah kepadaku hari ini. Kemarin, engkau juga menanyakan hal serupa. Engkau menanyakan seseorang yang kau anggap telah menggeser dirimu dalam hatiku. Engkau selalu bertanya demikian kepadaku. Bertanya tentang kejelasan status hubunganku dengannya. Engkau memancing-mancing selalu. Sebagaimana dulu engkau sering memancingku, agar aku mencari wanita lain selain kau. Wanita yang kau anggap sepadan denganku. Bahkan kau akan membantuku mencari sosok wanita itu. Dan sekarang, engkau dibakar rasa cemburu setelah membaca buku harian ini. Sekarang engkau membuktikan ucapanmu sendiri itu, meski aku tahu kesunyian batinmu mengatakan TIDAK!!
* * *
Selasa, 20 Juni 2006
Serentetan peristiwa beberapa hari ini, semoga membuat Indani jadi lebih matang dalam meng’arifi kehidupan, mengurangi kadar kecemburuannya, juga menahan untuk tak bergantung pada selain-Nya.
Kehadiran sosok Iffah dalam peta hatinya, sedikit banyak telah mengurangi kadar kemutlakan terhadap obsesi. Hidup adalah relatifitas. Antara satu kemungkinan, meloncat ke kemungkinan yang lain. Hidup adalah lorong malam yang panjang. Ia harus berani menyusuri lorong malam itu. Semakin banyak terantuk, semakin tegar jiwanya. Semakin mengharap kepastian-kepastian dan kemutlakan-kemutlakan, manusia akan semakin cengeng. Ringkih!
Aku mungkin telah membuatnya kecewa dengan menampilkan sosok Iffah. Tapi, mungkin dengan demikianlah, gejolak jiwanya akan luruh. Mungkin dengan demikian, hatinya tak terlalu terguncang, jika suatu saat nanti Tuhan tak menjodohkan aku dengannya. Dengan demikianlah, Indani semoga mengerti makna cinta yang hakiki. Cinta yang tak berharap mutlak, tapi penuh relatifitas.
Pahamilah Indani, bahwa dunia ini nisbi. Tak ada yang kekal. Aku ingin engkau menemukan kesejatian itu. Bukan kenisbian. Temukanlah cinta dalam bayang-bayang Tuhan. Bukan impian-impian sesaat di dunia ini.
Aku menyadari, kebersamaan kita selama ini tidak menjangkau-Nya. Semoga kita lekas kembali pada-NYa…Amin.
* * *
Rabu, 21 Juni 2006
Aku hanya berharap sesuatu yang terbaik menurut Allah. Jika kejujuran hatiku kemarin dianggap Indani sebagai sebuah akhir cerita, aku tak bisa berbuat banyak. Aku sudah berusaha sekuat tenaga untuk mengarahkan cinta ini agar senantiasa mekar dan berseri. Cinta yang layu ini, sudah saatnya ditata ulang konsep dan menejemen hatinya. Jika kondisi semacam ini dibiarkan berlarut-larut, bukan aku saja yang kian terseok, namun masa depan cinta ini yang mungkin jauh lebih panjang juga akan suram. Hari-hari hanya dilalui tanggung jawab rumah tangga, tanpa gelora api cinta dan kasih sayang. Dan mimpi buruk itu sudah mulai terasa saat ini.
Hari-hariku kini terasa dingin, sedingin cintaku pada Indani. Aku ingin menyegarkan kembali embun cinta ini, dengan menata ulang kebersamaan ini. Jujur aku katakan, perilaku Indani selama ini tak mampu kuarahkan. Aku hanya bisa mengiyakan segala kemauannya, jika tak ingin perang Baratayudha meledak. Namun aku juga menyadari, situasi seperti ini tak bisa kubiarkan terus berlanjut. Kemanjaan-kemanjaan, impian-impian semu, dan tuntutan final padaku itu musti diakhiri, jika ingin merasakan rumah tangga mawaddah warohmah.
Aku yakin, masih ada waktu untuk menata cinta ini. Hari pernikahan itu belum tiba…
Aku menanti, jika Indani bersedia merombak cinta ini, kebersamaan ini pasti berlanjut. Namun jika dia memilih bersikukuh pada pendiriannya; “Inilah aku. Masih banyak lelaki yang siap meminangku,” mungkin Allah menghendaki cinta ini berakhir sampai di sini. Wallahu’alam.
Aku tak boleh menitikkan air mata. Dunia ini tak sesempit daun talas. Cita dan asaku belum final karena cinta. Aku masih memiliki ayah dan ibunda, serta karib-kerabat yang telah menanti gerlapku. Juga masyarakat yang membesarkanku. Aku ingin mengabdikan diri di sana. Bimbinglah daku Allah….
* * *
Kamis siang, 22 Juni 2006
Kelanjutan sebuah dongeng…
Ini adalah masa-masa di mana aku dan Indani akan membuktikan kesucian cinta yang sesungguhnya. Sebuah cinta yang tulus, yang tak berharap balasan. Sebuah cinta yang tak menyembur dari ego, dari hasrat memiliki, ketamakan, arogansi, dan keberingasan. Itulah cinta yang sejati. Cinta yang selaras dengan kehendak-Nya. Cinta yang menanam biji kebajikan, tulus karena cinta kepada-Nya. Cinta yang tak berujung kedukaan. Cinta yang tak berakhir penyesalan, kekecewaan, kekesalan, dan air mata. Itulah cinta yang majdub oleh keagungan wajah-Nya.
Ia sangat jauh dari kesenangan artificial, picisan, dan berbau kulit. Ia tidak di antara kutub senang dan tak senang. Ia juga tidak beriak, tidak juga berhasrat memiliki karena semua milik-Nya jua. Segalanya milik-Nya dan semua akan kembali pada-Nya. Dan hasratnya, ia sandarkan pada-Nya jua.
Insiden Jum’at siang kemarin, telah menggedor-gedor hati Indani dan aku. Peristiwa yang berurai air mata itu, seperti sebuah terapi kesadaran yang menggugah mimpi-mimpi di siang senyap. Bahwa kemapanan yang mengeram selama ini sudah saatnya dibongkar, direhap, dan disegarkan kesadarannya.
Episode setelah itu, mengingatkan Indani bahwa petir kapan saja bisa menggelagar dan memekakan telinga. Bagiku, episode itu meruntuhkan mitosku pada kehidupan yang bertabur bunga di kiri kanan. Episode itu, adalah sebuah maklumat panjang bahwa tangan perpisahan tak ada yang mampu menghadang. Sebaliknya, kebersamaan juga tak ada yang bisa meramal. Yang kukehendaki bukan perpisahan atau kebersamaan. Namun pilihan yang terbaik menurut-Nya. Yang kukehendaki adalah menaburkan cinta dan kasih sayang dan kebajikan. Inilah yang terbaik menurut-Nya. Kebersamaan dan perpisahan bukanlah cita-citaku. Cita-citaku hanyalah memberikan yang terbaik. Jika kebersamaan ini terus berlanjut. Maka itulah yang terbaik bagiku. Jika pula perpisahan tak bisa dielak, maka itulah pilihan-Nya.
Aku sangat menyakini akan segala kemurahan dan kebaikan-Mu. Tuhan….!!
* * *
Jum’at dini hari, 02.30; 23 Juni 2006
Tuhanku, air mata hamba yang meleh malam ini, yang mengalir, menyirami hati hamba, adalah permohonan pada-Mu. Hamba ingin seperti mereka, yang senantiasa mengalirkan nyala apinya ke pangkuan-Mu. Guru-guru setia saya, mereka semua adalah kekasihmu, lindungi mereka Allah…
Sepertiga malam ini, hamba bersama keheningan-Mu. Mengemis, ingin bersandar pada-Mu. Lenyapkan segala ambisi diri hamba. Pancarkan cahaya-Mu dari dalam jiwa hamba, Allah…
Allah …kukembalikan semua persoalan hidup pada-Mu. Izinkan hamba untuk memasuki altar agung-Mu.
[Semalam Indani meronta.
Dia memintaku ‘kembali’.
Tapi aku tak ingin menentukan pilihan.
Pilihanku hanya yang terbaik di mata Allah]
* * *
Jum’at, 23 Juni 2006
Izinkan aku mencintaimu dengan ketulusan …
Indani, engkau meminta untuk mencintaimu dengan tulus, tapi engkau tak memberiku waktu dan kesempatan untuk menumbuhkan ketulusan. Aku sudah menyampaikan dengan kejujuran—sebagaimana yang kau inginkan, ‘kejujuran’—tapi engkau memaki-makiku sebagai manusia supertega, manusia yang tak bertanggung jawab, manusia yang hanya menumpang mencari keuntungan. Aku kecewa. Sakit dan sakit sekali.
Aku mencoba untuk tetap bersabar, menuruti kemauanmu, engkau bilang; tak sudi, dasar cowok; hanya mempermainkanku. Dan engkau menyatakan “putus”. Engkau merasa menderita bersamaku. Engkau terbakar emosi dengan kejujuranku. Engkau cemburu buta!
Sekarang aku ingin berjalan dengan keyakinanku sendiri. Hidup tanpamu, mengabdi diri pada ibu dan keluarga serta masyarakat, tapi tiba-tiba engkau memintaku lagi untuk bersamamu. Aku mengatakan, kita harus merenungkan kembali perjalanan cinta ini yang kian suram. Menghitung-hitung kembali kesalahan masing-masing seraya menajamkan ruhiyah kita, agar kita tak dikuasai nafsu sesaat, kita mohon diberikan yang terbaik oleh-Nya.
Tapi apa yang kudapat? Engkau malah mengungkit-ngungkit masa laluku. Mengatakan aku tak seperti dulu. Menyerangku dengan pertanyaan-pertanyaan memojokkan. Bukannya sama-sama memberikan cinta yang terbaik. Apakah ini disebut cinta tulus, jika sudah tak percaya, mencurigai dan selalu bikin ribut. Yang aku butuhkan adalah ketulusan yang bisa membuatku percaya bahwa engkau bisa berubah. Bahwa engkau bisa memberiku yang terbaik. Dengan begitu aku bisa mencintaimu dengan tulus.
* * *
Ahad, 2 Juli 2006
Hanya dengan caraku sendirilah aku akan menemukan pijar cinta dua tahun silam itu. Bukankah cinta tak ada paksaan? Cinta itu dengan ketulusan. Bagaimana aku mampu tulus, jika aku masih melangkah dalam bayang-bayangmu, bukan diri sendiri…?
* * *
Selasa 4 Juli 2006
Aku tersentuh dengan wanita yang bersahaja dan menyinarkan kelembutan. Itulah yang kini tak dimiliki oleh Indani, seperti saat awal kali aku mengenalnya. Aku terharu dengan ketulusan, bukan dengan pemaksaan. Yang dimiliki Indani saat ini adalah keinginan untuk memiliku, mengaturku, dan menguasaiku. Aku mengira dengan selalu bersikap mengalah, jiwa Indani akan luluh dan menyadari akan keperkasaannya. Namun semua itu malah membuatnya justru di atas angin. Ia terus melojak dan menuntutku serba perfect.
Cara dia dalam mengaturku juga sangat arogan, vulgar, dan verbal. Tentu saja ini
sangat mengganggu kenyamanan hati seseorang. Sudah tahu aku salah, misalnya, malah ditanya dan diinterogasi terus, seolah aku tak mengerti bahwa salah itu juga tak kuingingan. Selalu saja marah, jika ada yang tak beres denganku. Tak adakah cara lain untuk meluruskan, hingga harus membuat orang lain luka dan malu. Siapa yang akan mengikuti jejak langkahmu, jika orang yang kau ajak itu telah kau permalukan dengan membuka luka-luka, yang sebenarnya sangat manusiawi.
Indani, aku menyadari memang tak mampu memberi perhatian yang lebih kepadamu dan hanya menuntut kesuksesan diri, seperti yang kerap kau katakan. Tapi aku terus berusaha menuju perubahan. Sekarang kau mengatakan aku sebagai manusia yang tak tahu diri sehingga telah menutup pintu harapanku untuk merubah diri terhadapmu. Caramu itu yang tak kusuka!
Terus terang, di saat-saat seperti ini, aku merindukan seorang wanita yang lembut, yang tak mengobarkan api amarah. Seorang yang seperti inilah, yang kelak akan meruntuhkan keegoanku. Seorang yang demikianlah yang membuatku lapang dan meneduhkan jiwaku.
[kala Indani memuntahkan amarahnya lagi padaku]
* * *
Rabu, 5 Juli 2004
Kini, tuduhan Indani padaku ‘terbukti’ sudah. Di matanya, aku adalah lelaki yang hanya mengerti urusan diri sendiri dan tak mau tahu urusan orang lain (urusannya; maksudnya). Di matanya, aku hanyalah pendompleng, mencari keuntungan pribadi, dengan memanfaatkan orang lain (orang lain itu, ya dirinya).
Seolah dia tengah menjalankan eksperimen di laboratorium, dan aku adalah objek yang diteliti. Hipotesisnya, seperti yang ia anggap dan ia tuduhkan kepadaku selama ini: “Lelaki tak bertanggung jawab, tak berperasaan, tak mau tau urusan orang lain, tak mau mengalah dan sederet lagi kata penegasian lainnya.”
Pagi itu, ia memintaku untuk membantu mengedit skripsinya. “Mas kalo ga’ ada acara, tlng bantu ngedit skripsiku ya?” demikian bunyi SMSnya. Aku tentu sanggup, meski tak harus saat itu, dengan alasan aku masih di hadapan layar computer tengah bikin tulisan. Tapi apa yang kudapat? Tuduhannya sudah mulai diyakini.
Sesaat kemudian, tiba-tiba ia menelponku sambil menangis, lantaran data skripsinya tiba-tiba hilang. Satu lagi tuduhannya semakin yakin, bahwa hilangnya data pasti dikaitkan denganku.
Aku lekas datang, meninggalkan semua urusanku. Namun di sana, aku hanya jadi sasaran amarah, meski ia menyembunyikan api itu. “Aku hanya marah pada diriku sendiri kok,” katanya. Aku tak mengapa, toh kata-kata pedas itu meluncur juga ke telingaku. Dengan nada kesal yang diperlihatkan di sampingku, sebenarnya ia ingin menyatakan bahwa sebenarnya akulah biang keladi kekesalannya itu. “Sudahlah!! Nggak usah di otak-atik. Hilang ya hilang,” kedatanganku tak dikasih kesempatan untuk membantu. Karena baginya, kehadiranku sudah pasti tak bisa membantunya. Kehadiranku sebenarnya tak dibutuhkan. Yang ia butuhkan aku datang dan mengetahui hilangnya skripsinya, lantaran aku. Lalu dengan begitu ia punya alas an untuk meneriakiku
“oportunis” bikin masalah…”
Merasa aku di sana tak dibutuhkan, bahkan hanya jadi sasaran amarah dan mainan, aku izin ke kampus dengan alasan ngurus administrasi. Ah, tapi dasar aku memang menyebalkan di matanya, tiba-tiba SMS tajam meluncur ke HPku, bersamaan keluarku dari kosnya. “…Mas kok gitu sih. Hanya tau urusannya sendiri dan mau enaknya. Tapi tak mau tau hak orang lain.!! Terbukti sudah tuduhannya padaku. Ia mungkin puas, dengan eksperimen yang diajukan itu. Aku adalah lelaki tak bertanggung jawab, tak berperasaan…dst!”
Sorenya, aku datang lagi ke kosnya, untuk mengedit tulisannya. Aku mengira urusan yang kayak ginian, ia masih percaya padaku. Dan memang demikian yang terjadi, ia percaya, setengah meragukanku.
Selesai mengedit, lantas mengeprint. Tentu saja ada kesalahan di sana-sini. Entah print-nya yang macet, halaman lampirannya yang keliru, atau tintanya yang habis. Emosi selalu saja memuncak, jika kondisi demikian. Ia yang merasa berkepentingan dengan urusan print itu, tak memberiku ruang gerak. Aku hanya menuruti segala perintahnya. Tapi yang kusesalkan dan membuatku sakit hati, kenapa musti membikin pemisah yang kuat. “Ini urusanku, kamu jangan sok-sok’an, ya. Kamu hanya mengerjakan yang aku minta.” Ah, bodoh sekali aku. Aku di sana tak punya harga diri. Aku layaknya babu. Sedikit aku salah ngomong, aku akan diserang kata-kata mematikan. “Iya. Itu skripsimu! Punyamu! Tapi kalau punyaku selalu dijelek-jelakin!”
Dan dinding pemisah itu kian hari kian tebal: Ada engkau dan aku. Urusannya sangat beda. Semua berjalan sendiri-sendiri. Aku dan engkau. Bukan kita!!
* * *
Kamis, 6 Juli 2006
“Aku tak pernah bercita-cita untuk membencimu. Aku hanya berharap, suatu saat nanti rasa cintaku padamu bisa tumbuh kembali, seperti dua tahun silam. Aku rindu keheningan, kelembutan, kebersahajaan. Aku silau dengan api!”
* * *
Sabtu, 8 Juli 2006
Kian hari rasa cintaku semakin pudar, karena agresifitas Indani. Dia mengira dengan mengirimiku kata-kata masa lalu lewat SMS tiap hari, aku bisa kembali. Nampaknya dia belum mampu mengendapkan keinginan-keinginannya yang bergemuruh tiap saat. Dia tak mengindahkan permintaanku, bahwa aku silau dengan api. Aku akan menjauh dari amarah, agresif, keinginan yang melonjak, apalagi penghakiman dengan kata-kata pedas, culas, memojokkan. Aku benci semua itu.
Aku mengira dengan insiden perpisahan kemarin, bisa lebih menenangkan api yang bergejolak di antara aku dengannya. Dengan begitu, kami bisa lebih saling mengerti, memahami dan berendah hati. Tapi semua itu, tampaknya bukan terapi yang ampuh. Hingga saat ini, Indani masih seperti yang dulu; agresif, ingin menguasai, dan terkadang menghakimi, padahal semestinya itu tak terjadi dalam situasi seperti ini.
Semestinya, ada sikap saling mengakui kesalahan, memaafkan dan saling
menjaga nama baik. Tapi itu semua bagi Indani memang tak dibutuhkan. Ia hanya ingin menginginku kembali. Tak peduli apa akibatnya dan pertimbangan-pertimbangan yang lain. Yang ia butuhkan adalah penenang gemuruh sesaat.
Bagiku “kembali atau tidak” bukanlah hal yang subtansif. Namun menyiapkan perangkat-perangkatnya itu yang harus ditata: saling mengerti, saling menahan, saling mengalah, saling berendah hati, bukan terus-terusan ajang memuntahkan kekesalan, kekecewaan dan menyerang. Jika seperti itu terus yang terjadi, buat apa cinta dipertahankan. Hanya akan menambah kesengsaraan hati jika kelak sudah berumah tangga. Dan aku tentu tak menginginkan masa depanmu dan masa depanku berantakan karena kebersamaan ini. Dan Tuhan berarti menghenki kita untuk tak bersama.
Jika ingin cita-cita bersatu itu terwujud, semestinya mulai detik kemarin-kemarin, detik ini dan yang akan datang, kita tunjukkan akhlaq yang mulia. Saling mendoakan kebaikan, saling instropeksi diri, saling menata dan merubah sikap yang tak baik di hati kita. Tidak saling menyerang, menyindir, mengungkit-ungkit masa silam, apalagi sampai menghakimi dan menuntut. Itulah cinta yang sesungguhnya, yang diridloi-Nya dan bernaung di singgasana-Nya. Dan aku pasti terketuk hatiku hingga rasa cintaku kepadamu tumbuh kembali. Itulah kebeningan, kelembutan dan kebersahajaan.
Aku menyempatkan untuk menjengukmu tiap hari dengan harapan bisa melihat perubahan sikapmu. Tapi kau selalu tak sabar untuk membrondongku dengan berbagai pertanyaan-pertanyaan. Aku ingin lari dari semua itu. Aku ingin ketenangan. Tapi engkau ingin segera memperjelas status kita dengan jalan yang instant. Cukup dengan menggugatku! Ya, seperti di sebuah pengadilan. Dan engkau memilih cara seperti itu, ketimbang kelembutan dan keyakinan pada qudrah-Nya. Wallahu a’lam
* * *
Minggu, 9 Juli 2006
Aku sangat ingin Indani bisa melapangkan hatinya. Melepaskan segenap harapannya kepadaku. Aku tak ingin jika perpisahan tak terperikan itu benar-benar terjadi, Indani akan mengalami shock berat. Mencintai yang berlebihan memang sebuah derita. Dan itulah yang dialami Indani. Apalagi memandang cinta dari sudut pandang yang sempit bahwa cinta itu menguasai.
Perjalanan cintaku dengannya selama ini telah mengalami pergeseran dan degradasi. Cintaku sudah tak kudus lagi. Tapi bercampur hasrat memiki, menguasai dan mengabaikan kesucian hati. Dan akhirnya berujung kejumudan, prasangka, menyerang, egoisme…
Sejak insiden ‘perpisahan’ itu meletus, Indani memang sedikit mengakui kekeliruan-kekeliruannya. Ia menyadari bahwa selama ini ia lebih banyak menuntut dan berharap banyak padaku. Jika aku tak bisa menangkap gelagat dan kemauannya, aku pasti jadi bulan-bulanan. Terror SMS yang menikam pasti tiada henti ke HPku. Dan aku laksana maling yang dihakimi di sidang pengadilan. Semua yang melekat padaku berbau nista, tak baik, dan harus dirubah.
Tapi, keterusteranganku telah membuatnya terkejut. Aku mengatakan, selama ini aku sunyi dalam kebersamaan ini. Selama ini aku tak merasakan keteduhan dan kesejukan hati dengannya. Selama ini, aku senantiasa menutup-nutupi luka hati. Aku
terus mengalah dan membiarkan ia melonjak, karena memang aku dalam posisi lemah. Selain aku yang dari semula terlanjur berguru pada kesetiaan, aku juga terlanjur telah memanjakan hatinya dengan janji-janji. Jurus yang selalu ia pakai ialah; “Mas sayang nggak sih sama aku!”
Aku menyadari, jika aku tetap bersamanya, aku pasti akan dalam keterbatasan, kekalahan, dan berujung kemurungan. Namun, aku tak tega melihatnya menangis karena perpisahan ini. Aku hanya bisa mengalah dan mengalah demi Indani. Resikonya ya…seperti ini.
Kini Indani telah mengetahui isi hatiku, lantaran buku harian ini. Selain ia ‘berontak’ ia juga sedikit sadar. Aku menyatakan; lenyapkanlah segala hasrat untuk menuntut dan menguasai. Jika memang mencintai, cintailah dengan ketulusan. Bukan dengan menguasai. Aku itu tersentuh dengan kelembutan, keheningan dan kebersahajaan. Aku silau dengan api.
Harapanku, Indani bisa seperti yang kuharapkan. Wanita yang lembut, bening, bersahaja. Dengan demikian, rasa cintaku bisa tumbuh kembali dengan tulus. Bukan cinta yang dipaksakan. Cinta yang mudah sekali marah karena dibakar prasangka. Cinta yang mudah sekali meluapkan kemarahan, bukan mengendapkan dan saling mengerti. Cinta yang gampang sekali menuduh, menyerang dan menghakimi. Aku silau semua itu. Aku pasti menjauh.
Sesekali, Indani memang sedikit berubah sikapnya padaku. Mungkin harapannya, ia bisa seperti yang kuharapkan dan cinta ini akan kembali lagi, meski aku tak tahu bagaimana isi hati dan pandangannya padaku. Namun, sifat asli memang susah diubah, apalagi ditambah trauma-trauma insiden masa lalu. Dan tanpa ia sadari, watak keperkasaannya gampang sekali mencuat. Ia tiba-tiba kembali menyerangkku dengan verbal. Aku yang semula sudah berharap banyak akan perubahannya, kembali kecewa. Seolah ruju’ itu susah untuk diwujudkan, karena rasa cintaku semakin pudar. Hanya menyisakan kenangan-kenangan.
Kini aku berdoa, jika Indani memang bukan jodohku, lepaskanlah rasa itu, Tuhan. Karena hanya menggoreskan luka mendalam. Temukanlah dia dengan seseorang yang lebih dewasa (usia dan sifatnya) untuk membimbingnya. Namun jika memang dia jodohku, semoga sifat-sifat Indani lekas berubah. Saat aku meminangnya, ia bukan lagi wanita penuntut, pencemburu buta, punya prasangka berlebihan, wanita pengatur suami, pemarah, wanita-wanita pemanja, wanita penghakim!
Allah ….Engkaulah pengatur hidup hamba. Jika keberkahan hidup hamba dan Indani memang harus bersama; jodohkan hamba. Namun jika keberkahan kami harus tidak seatap, lapangkan jiwa kami. Kami ingin selalu bersujud pada-Mu.
* * *
Senin sore, 10 Juli 2006
Aku sungguh tak menduga, jika sikap Indani masih seperti yang dulu: pendendam! Lewat telphon, siang tadi ia memaki-maki Iffah sebagai perempuan penggoda, tak tahu diri, dan yang telah mengkoyakkan hubunganku dengannya selama ini. Keretakan hubunganku dengan Indani selama ini menurutnya dibiangkeroki oleh hadirnya sosok Iffah. Ah, sungguh amat kekanak-kanakan!
Kenapa ia masih tak juga tak menggubris kata-kataku.
Kini harapanku untuk menjemput kembali Indani semakin tipis. Bahkan mungkin pupus. Maafkan aku Indani. Mungkin engkau akan mendapatkan lelaki yang lebih dewasa, dan yang mampu membimbingmu. Aku akan melangkah dengan diriku sendiri. Cinta memang tak harus memiliki.
* * *
Rabu, 12 Juli 2006
Hari ini dan kemarin masih seperti yang dulu: tak ada perubahan sikap! Aku berharap Tuhan bisa memantapkan hatiku, bahwa Indani memang bukan wanita yang diciptakan untukku. Untuk mendampingiku. Sepertinya aku tak akan sanggup hidup dengannya. Rasa iri dan pencemburunya yang berlebihan itulah yang kelak menyiksa batinku. Saat ini saja, ruang gerakku sudah teramat sumpek. Apa-apa yang aku lakukan selalu dipandang curiga. Tak ada benarnya. Harus diluruskan! Dan maunya, dia senantiasa dinomor wahidkan.
Tapi aku berjanji, tak akan menyalahkan sikapnya itu. Itu pilihannya. Sebuah pilihan hidup, di mana orang lain mungkin sepakat. Apa salahnya jika ia minta ‘diperhatikan lebih’ oleh kekasihnya? Apa tidak boleh ia menyimpan rasa cemburu, iri, dan ingin mengatur kekasihnya sesuai kehendaknya? Bukankah watak yang demikian mungkin justru diinginkan oleh lelaki yang bertipe romantis. Sayangnya aku tak mampu beradaptasi dengan sifatnya itu. Sayangnya, aku tak mampu mengejarnya. Dan aku pasti kewalahan kelak. Aku saja yang mungkin lelaki konservatif, tak romantis, dan lambat menangkap kemauan seorang perempuan.
Dalam benakku yang paling sederhana, perempuan ideal adalah yang bersahaja, lembut, memiliki peran, dan kemauan bergulat di lapisan sosial. Rendah hati, penyejuk hati, penentram jiwa, memiliki ketekunan, gemar menuntut ilmu demi pencerahan, tidak penuntut, qona’ah, penyabar, tidak lekas dibakar prasangka, apalagi cepat menyalak, emosi. Selalu riang, kadang dewasa, sesekali menampakkan kemanjaan, demi kehangatan.
Ah, akankah kudapat wanita seperti itu? Wanita yang kurasa semakin langka di jaman yang serba menuntut modern. Mungkin wanita seperti itu, orang akan mengatakan tipe wanita konservatif, tradisional, ndeso, seperti aku ini. Tapi buat apa mencari wanita bergaya modern, namun alam pikiran dan kejiawaannya masih primitif dan feodal. Seperti yang kerap kujumpai saat ini…
* * *
Jum’at, 14 Juli 2006
Indani, jika aku tak boleh mencintaimu dengan cara yang demikian, engkau jangan pernah takut untuk mencari penggantiku. Pengganti yang jauh lebih baik dariku dan bisa mencintaimu seperti yang kau inginkan. Hanya itu yang sanggup kuberikan. Selebihnya aku tak mampu. Maafkan aku. Aku sudah berusaha untuk mencintaimu semampuku.
Usai sudah cerita cinta itu….
Akankah episode baru tercipta kembali…?
* * *
Senin pagi, 24 Juli 2006
Kembali aku diserang rasa rindu membajang. Kepada Ibu, kepada rumah orang tuaku yang selalu terasa sepi, surau kampungku, guru-guru ngajiku. Jarak Jogja-Kediri, seperti penjara yang menggedor-gedor hatiku. Saat aku di Jogja, aku sedih mengharu, mengingat-ingat ibuku yang sendirian di rumah. Dia sekarang pasti susah. Beban pikirannya terlalu menumpuk. Si bapak belum juga lepas dari ganjaran hidupnya. Penyakit aneh yang menyerangnya itu pasti menambah derita ibuku.
Ah, Ibuku…aku sangat ingin membuatmu tersenyum. Hidup tenang. Tak pusing memikirkan kebutuhan hidup, beban anak-anakmu, dan terror dari bapak. Lepaskanlah, Ibu!
Kini saatnya aku memulai hidup baru. Semangat baru. Cara pandang baru. Dan aku akan mengencangkan ikat pinggangku. Menyingsingkan lengan bajuku. Aku akan merintis jalan hidup di tanah kelahiranku. Dengan bekal yang kudapat dari Jogja. Dari pengalaman. Dari pergaulan. Dari ruang baca yang sepi-senyap. Mencekam! Aku tak akan menyia-nyiakan nasehat-nasehat dari buku ESQ yang kubeli beberapa hari lalu. Paling tidak, buku karangan Ary Ginanjar itu cukup mengingatkanku kembali pada jalan yang kususuri dahulu kala.
Tuhan…bukalah jalan hamba…
* * *
Senin, 24 Juli 2006
Malam ini adalah malam terakhir aku di Jogja. Tiga hari lagi aku akan pulang ke kampung halamanku. Ke tanah kelahiranku. Memulai fase kehidupan baru lagi. Di lingkungan yang sama, tapi dengan cara pandang dan pola pikir yang berbeda, seperti saat lima tahun silam. Saat aku masih polos, masih SMU, lugu, yang memandang dunia dari sudut pandang yang amat kecil. Hitam putih. Sederhana. Tampak jelas di mata. Dan di selimuti taklid buta.
Ah Yogyakarta, aku rupanya harus menjaga jarak juga denganmu. Rupa-rupa warna yang kupandang dan menyerap di ubun-ubun kepalaku, mendadak kini harus kuakhiri. Ada sekawanan teman-teman kos, komunitas pers kampus, tongkrongan anak-anak teater, jama’ah ziarah, dan masih banyak lagi yang akan kukenang kelak. Aku tentu akan merindukanmu kelak.
Tapi, aku memang harus pulang. Aku harus melakukan perubahan, meski namaku boleh jadi harus lenyap. Tapi perubahan itu harus kumulai dariku. Dari ide-ideku. Peranku. Kemampuanku.
Mungkin suatu saat nanti, aku akan terkenang oleh sayup-sayup musik kitaro di keheningan malam Jogja. Seperti malam ini, aku duduk di teras bersama musik instrument itu. Sunyi, hening, menembus relung-relung hati, seperti pengembara seorang diri.
* * *
Epilog
“Areta tergolek lemah. Ia sakit. Cepat ke sini!” sebuah SMS masuk ke HPku pagi-pagi ini. Aku bergegas ke sana. Sudah tiga hari ini aku tak menjenguk Areta di kos lamanya. Aku menduga, ia masih sibuk mengetik catatan hariannya itu. Catatan perjalanan hidupnya selama ia berguru di Jogja.
Aku mendapatinya dalam kondisi yang menyedihkan. Sekujur tubuhya terbalut selimut di pembaringan. Suhu tubuhnya panas. Terkadang ia menggigil kedinginan. Matanya belum membuka. Korden jendela juga tak terbuka. Gelap dan pengap. Aku bertanya seorang yang di kamar sebelahnya, tapi tak banyak yang kukorek. “Tiap hari dia terus berada di dalam kamar. Siang malam yang kudengar suara ketikan keyboard. Sesekali dia keluar mandi atau sekedar nyari makan. Setelah itu ia kembali lagi masuk kamar,” ujar tetangga kos Areta yang masih baru.
Kupandangi komputer masih menyala. Screen savernya terus menampilkan foto-foto koleksi pribadi Areta. Ada foto ketika dia bersama Indani ke Monumen Jogja Kembali. Foto kawan-kawannnya semasa dia memimpin persnya kampusnya. Juga foto-foto ketika dia bersama aku, Indani, dan seorang anak dari Cirebon kala tamasya ke lokasi bekas bunker gunung Merapi. Ya, di lokasi yang telah menjadi abu itulah, dia menghabiskan masa-masa akhirnya sebagai mahasiswa.
Aku raih muose computer, dan seketika foto-foto itu buyar. Terpampang sebuah layar microsoft word yang penuh dengan tulisan sepanjang 200-an halaman. “Rupanya Areta telah selesai menyalin buku hariannya itu ke komputer,” pikirku. Ya, hampir genap satu bulan ini Areta seperti berubah menjadi pertapa. Hari-harinya ia lalui dalam kamar. Jarang sekali bicara, pikirannya seperti tengah mengembara kemana-mana. Catatan-catatan kesaksiannya itu seperti sebuah rekaman peristiwa masa silamnya yang mempengaruhi kejiwaannya. Di sebuah kampus itulah, Areta mulai menulis.
Di ujung halaman, aku membaca sebuah kalimat yang tak berlanjut. Kalimat itu terputus oleh tanda koma yang panjang berbaris-baris. Aku kembali memandangi Areta yang belum sadarkan diri. Kedua tangannya kulihat masih menggenggam erat buku harian yang tebal itu. “Areta! Areta!” aku mencoba membangunkannya pelan. Matanya yang sayup-sayup perlahan membuka. Buku yang ia genggam erat itu diberikan kepadaku dan memintaku untuk mengetik kelanjutannya.
Ternyata di ujung paragraph akhir yang bertanda koma panjang itu masih terdapat sebait catatan yang belum tersalin di computer. Mungkin catatan inilah yang telah mengguncangkan kejiwaan Areta hingga tubuhnya tak mampu lagi bangkit dan melanjutkan menyalin ke komputer. Atau sebaliknya, di masa-masa kondisi tubuh yang meradang itu, hati Areta tergerak untuk menuliskan kalimat itu. Inilah catatan akhir Areta di buku hariannya itu.
Selasa petang, 25 Juli 2006
Saat ini, aku terus dihinggapi rasa bersalah. Kepada siapa pun. Kepada diriku sendiri. Kepada sahabat-sahabatku. Kepada Indani. Kepada orang tuaku. Kepada
orang-orang yang menyanyangiku. Kepada Tuhanku.
Sanggupkah aku keluar dari lingkaran setan ini…?
Kepada Indani, aku tahu kasih sayangmu tak bertepi…meski berlebih!
Kepada Ayah-Ibunda, anakmu ini ingin mendekap erat tubuhmu. Bersimpuh meminta maaf. Anakmu ingin sekali membahagiankanmu.
Kepada kakak-kakakku yang tak habis curahan perhatianmu.
Kepada sahabat-sahabatku…
Kepada Tuhanku…aku ingin kembali pada-Mu!
Aku ingin’ berpuasa’ hari ini! Izinkan aku Tuhan!
* * *
Read More

catatan dari sudut kampus XI-XIV


--SEBELAS--
Kamis, 10 Maret 2005
Darah yang mengalir di jantungku melaju kencang. Marah, bergejolak, dan murka. Lembaga kemahasiswaan dan antek-anteknya kembali bikin onar. Mereka mencoba memboikot pers mahasiswa. Koran-koran yang selama ini ditaruh di meja redaksi, mereka rampas dengan dalih, “Ini milik senat!”
Aku tersinggung lantaran perilakunya yang petantang-petenteng, sok jagoan, sinis dan sengaja menciptakan iklim permusuhan. Bagiku, momen menjelang Musyawarah Besar pers jauh lebih penting dan signifikan ketimbang pemilihan dewan eksekutif dan legislatif mahasiswa itu.
Okey, aku akan melangsungkan serangan balik kepada mereka atau aku akan memilih aksi bungkam. Aku tak akan menggubris mereka. Titik!
* * *
Selasa senja, 15 Maret 2005
“Golput!” demikian isu yang kuangkat bersama teman-teman redaksi. Cuma ada enam gelintir manusia yang masih tersisa dari anggota pers kampus. Dan sepertinya Eriklah yang paling semangat untuk meneruskan perjuangan Pers ini. Mungkin karena masih keturunan darah panas, Padang. Jiwanya menggelora mirip kakak kemenakanya, Datuk. Inilah awal kalinya aku bincang-bincang lagi tentang politik kampus di rapat redaksi.
Sekarang, kampus lagi hangat-hangatnya menyambut Pemilihan eksekutif-legislatif mahasiwa. Rumor yang beredar, salah satu partai ternama dan memiliki masa cukup besar bakal main jegal di wilayah aturan. Beberapa partai revivalnya bakal mereka gembosi. Ini tentu bakal jadi isu panas, jika pers sengaja melempar bola panas itu. “Manuver apa yang bakal diangkat oleh partai oposan untuk menandingi kekuatan status quo di kampus ini?”
Jawaban yang mungkin adalah golput atau boikot pemilihan dewan mahasiswa! Jika partisipasi mahasiswa kurang dari 20%, alamat tidak syah! Dan pemilihan itu dinyatakan gagal!
* * *
Selasa, 23 Maret 2005
Aku berharap, pengorbananku tak sia-sia. Kuliah yang terabaikan demi memperjuangkan kemerdekaan semoga membawa efek. Paling tidak, kekuatan status quo yang bau busuknya yang nyinyir itu lekas tumbang. Sore itu, hujan badai sangat kencang. Angin yang bertiup kencang itu bagai hembusan amarah. Dahan-dahan pohon tumbang dan pamflet-panflet kandidat si presiden status quo terhempas.
Mungkin ini isyarat, bahwa kekuatan tirani yang mencengkeram kampus ini, akan lekas terjungkal dan ambruk. Semoga….
Aku sudah tak kuasa menyaksikan kebiadaban mereka. Layaknya rezim Soeharto, keberadaanya nyaris tak tergoyahkan. Kecurangan dan penipuan adalah politiknya. Bermuka badak adalah siasatnya. Dan ‘preman’ selalu melekat dalam arogansinya. Ia ibarat raja dalam zaman baheula yang tak menginginkan kursinya disentuh, apalagi digoyang. Cuma mulut busuknya, pandai bersuara. Selalu jargon demokrasi yang menjadi payung. Meski aku tak tahu, demokrasi macam apa yang mereka pakai, hingga menghalalkan segala cara untuk menjegal lawannya.
Apakah itu demokrasi, jika alergi kritikan? Apakah itu demokrasi jika masih
menggunakan model anarkis? Apakah itu demokrasi jika menelikung konstitusi.
Bagiku, organisasi yang telah lama bercokol di kampus ini adalah penjahat kelas kakap. Sudah terlampau banyak dosa-dosa atau catatan-catatan hitam yang menodai kampus ini.
* * *
Rabu, 23 Maret 2005
Haruskah aku geram melihat laju pers yang sangat lamban bagai bekicot ini? Mustikah aku mencebur bersama mereka, tertawa dan bermain di kolam air itu? Tak satupun mereka mempunyai gagasan cemerlang dan semangat menyala-nyala untuk menciptakan sebuah pers yang progresif.
Hal-hal teknis yang semestinya tak perlu dipermasalahkan selalu saja menjadi payung berlindung. “Proposalnya belum di ACC, abis printernya ngembeg,” ujar Titin, si bendahara itu. Seperti hendak memutahkan saja aku, mendengar alasan yang sangat kekanak-kanakan itu. “Huh…hh..!! kamu itu bukan balita. Printer aja jadi halangan,” aku menggerutu.
Peristiwa-peristiwa seperti ini adalah contoh kecil yang menunjukkan tak memiliki rasa tanggung jawab. Benar, mereka memang masih sayang sama lembaga pers ini, tapi hanya sebatas rasa, belum melahirkan langkah yang kongkret, jelas, dan terarah. Permasalahan-permasalahan substansial yang menumpuk di persma nyaris tak tak terlihat oleh mereka, apalagi sampai menjamahnya. Paling-paling datang, ngobrol ngalor-ngidul, sesudah itu lenyap tanpa sebuah kerja nyata…
* * *
Kamis, 24 Maret 2005
Baru saja pembantu dekan III menjenguk kantor Pers. Hanya aku yang berada di dalam. Aku mengobrol tentang sebuah impian-impian masa depan pers ini. Ia menginginkan agar orang-orang di pers ini musti menjadi penulis handal. Ini demi masa depan teman-teman juga jika nanti telah lulus nanti.
* * *
Ahad malam, 27 Maret 2005
Hari-hari ini semakin kurasa kehadiran Indani di hatiku. Kondisi perpolitikan kampus telah berada di ambang kehancuran. Suasana mencekam! Terutama saat malam menjelang. Kekuasaan tirani menjadi mesin bulldozer yang menghantam setiap pesaingnya. Kekuasaan itu telah membelenggu dirinya sendiri. Angkuh, sombong…
Sejak meletus tragedi Sabtu seru, 26 Maret 2005 yang mencoreng kampus ini, saben malam serasa ada kejadian miris yang mengendap-endap hendak meledak. Malam ini, bentrok fisik meletus lagi. Di komplek UKM, gerombolan organisasi ekstra tiba-tiba menyerang lembaga pers ternama di kampus ini. Agak ruwet memang menceritakan kronologisnya, karena kasus ini dipicu oleh banyak faktor.
Alkisah, salah satu kader organ ekstra, Sabrur meminta Suroloyo, seorang kader organ lain untuk berbicara. Ajakan Sabrur, ditolak Suroloyo lantaran Sabrur tidak menjelaskan masalah apa yang mau diomongin. Selain itu, kenapa musti ke tempat gerombolan organ itu. Suroloyo yang sejak dulu selalu kritis terhadap organ milik Sabrur itu pun curiga akan terjadi yang tidak-tidak terhadap keselamatan dirinya. Ditambah kabar, bahwa organ tersebut terus mengancam Pers dan dirinya, jika betul-betul
menerbitkan koran mahasiswa yang kebetulan menyorot tajam tentang segala pembususkan pemilihan dewan mahasiswa kemarin. Maka dugaan terancamnya dirinya semakin kuat. Dan Suroloyopun akhirnya bersikukuh menolak ajakan Sabrur.
Merasa tak berhasil menggandeng Suroloyo, Sabrur pun segera kembali. Selang beberapa menit, Sabrur datang lagi dan membawa teman. Permintaan Sabrur dan temannya masih sama, tapi kali ini dengan memaksa. Sabrur dan kawannya itu menyeret tangan Suroloyo untuk mengikuti langkahnya. Karuan sikap Sabrur memancing emosi Suroloyo. Maka dihantamlah Sabrur dengan pukulan keras. Massa dari pihak Sabrur yang sedari tadi menunggu di luar serentak mengejar dan mengeroyok Suroloyo. Namun beberapa mahasiswa yang netral rupanya telah mempersiapkan kemungkinan-kemungkinan dari gelagat membahyakan itu. Suroloyopun secepat kilat ditarik masuk ke komplek UKM dan pintu langsung ditutup rapat. Puluhan mahasiswa yang lainnya mencoba melerai agar massa dari Sabrur tak semakin brutal. Tapi, kondisi malam itu memang susah dikendalikan. Massa Sabrur tidak terima. Mereka teriak-teriak! Mereka ngamuk! Mereka memecah kaca pintu komplek UKM. Lebih mengerikan, motor milik Suroloyo yang diparkir di luar tak terselamatkan. Mereka menghancurkan! Menumbuk dengan sebongkah batu raksasa. Mereka mengepruk! Meludahi! Sungguh miris!
Sekilas seperti kasus perkelahian biasa. Tapi jika ditelusuri lebih lanjut, ini syarat akan kepentingan politis. Dan Pembantu Rektor III-lah yang musti bertanggung jawab. Dialah manusia yang dengan teganya mengadu mahasiswanya sendiri demi kepentingan politiknya. Kepingin jadi Rektor di kampus ini. Bayang-bayang Rektor telah membuatnya berlaku tidak adil kepada mahasiswanya. Mahasiswa dari salah satu organ ia bela mati-matian, meski tingkah mereka teramat busuk. Sementara organ lain diperlakukan secara diskriminatif. Akibatnya rasa kecemburuanpun memuncak dan meledak chaos.
Kasihan terhadap kader-kader organ itu yang tidak tahu persis peta politik. Ia hanyalah boneka mainan kaum elit. Ia bertengkar dan berteriak-teriak membela organnya, karena dirinyalah yang paling benar. Ia tak sadar bahwa dirinya adalah prajurit-prajurit kecil yang kapan saja siap mati jika perang meletus.
* * *
Senin, 28 Maret 2005
Pagi tadi, ujian mid Bahasa Inggrisku berjalan lancar, meski aku tak tahu; lebih banyak benarnya atau kelirunya.
* * *
Dini hari, Selasa 24.00 WIB, 29 Maret 2005
Indani selalu datang dan menyapaku dengan kelembutan. Di tengah suasana batin yang gerah, Indani seperti menuangkan semangkuk air kedamaian di lubuk hatiku. Inikah yang kerap dimaknai penentram hati?
Malam ini, kondisi kampus masih mencekam. Baru saja, kader salah satu organ dikeroyok massa partai status quo. Sebenarnya dia adalah pelampiasan amarah anak-anak partai hijau, setelah mencari Suroloyo tidak ada di Pers kampus itu. Karuan, kericuhan itu memancing mahasiswa-mahasiswa yang bermalam di komplek UKM. Di cagak lima Teater Kampus, ketika aku berkumpul dengan teman-teman untuk mewaspadai aksi
brutal susulan, tiba-tiba sepotong SMS dari Indani masuki ke HPku, “Mas lg ngpain? Bljar ya? met bljar. Mas, biar sj org lain brkta ini-itu tp adk prcy sm Mas. Jd jgn bohongi Adk y?”
* * *
Awal April, 4 Februari 2005
Kicau burung. Desing mesin motor. Udara di luar sana segar, Kawan! Pagi ini musti ceria. Sabtu adalah hari penuh keistimewaan. Hari panjang di mana pengharapan sering tergantung di sana. Berulang kali HPku berdering sejak fajar menyingsing. Siapa lagi kalau bukan dari Indani. Hatinya pasti bertabur suka cita semenjak kumanja kemarin. Duduk di sebelahnya, meski untuk menemaninya mengerjakan tugas atau mengantarkan pergi makan. Kadang-kadang juga waktu kuliah. Belum lagi saat ia kujemput menghadiri acara tasyakuran Faisol yang sedang buka warung. Ah, Faisol rupanya memang manusia yang enerjik yang tak mau kalah berpacu dengan dunia. Dunia musti ditaklukkan.
Sebuah surat yasin baru saja selesai kuderas. Pagi yang benar-benar damai. Semoga! Kulihat Nur Cahyo tengah merampungkan hajatnya, bikin catatan-catatan kecil untuk contekan ujian mid. Sementara, Erik anak Padang itu benar-benar terkapar dalam dekapan malam. Tidurnya nyaris lelap. Tak terusik apapun, apalagi untuk sekedar menyentuhkan kening ke tanah. Tak sempat atau memang telah dilenakan oleh Sang Pengatur Jagad. Meski terselip kegusaran-kegusaran yang terkadang bikin jiwa meradang, hari-hari musti kuterjang penuh heroik. Lihatlah di depanmu telah terpasang bunga-bunga penuh warna-warni ceria. Seceria itulah semestinya hatiku meyambut pagi.
Kabut musti kusibakkan, agar terang jalan setapak itu. Aku tak ingin terlalu lama membuat kecewa Indani. Ia sudah terlalu lama menanti… “Mas, kenapa masih tenang-tenang. Lihat..! mentari itu terus perpijar, seiring dengan waktu yang tak pernah berhenti melaju.” Seperti godam menggempur kepalaku. Kalimat itu meluncur laksana angin malam. “Iya, Indani..!” hanya sepatah kata itulah yang aku punya…
* * *
Rabu, 5 April 2005
Semangatku untuk tekun ke media tulis menulis kembali menyala-nyala. Beberapa sarana yang terdapat di pers harus dioptimalkan. Dan semestinya pers ini akan mengadakan perampingan. Ini resiko dari adanya cita-cita itu. Litbang dan perusahaan sepertinya harus segera dipangkas. Karena kinerjanya selama ini mandul, dan tak memberi sumbang sih yang greget. Dan devisi bikinan orang-orang ‘tua’ musti didell.
Yang jelas, lahan yang menantang di depan adalah menciptakan tradisi intelektual yang ampuh dalam menuangkan gagasan. Maka dari itu, nanti pers ini hanya ada dua devisi, Redaksi dan PSDM. Redaksi memiliki beberapa sub; kewartawanan, menulis opini, cerpen, novel kolom dan budaya dll. Sementara PSDM meliputi; pengadaaan jaringan ke penerbitan buku, pers umum, menggelar event orgenaizer (EO) dll.
* * *
Rabu malam, 5 April 2005
Berawal dari SMS Indani semalam, “Mas Areta, jgn lp brdoa sblm tdr y”
Betul…! Tak kusangka tidurku semalam larut dalam mimpi bersama Indani. Dengannya aku berpetualang membelah lorong malam. Ada badai mengamuk hingga menumbnagkan pohon-pohon. Ada jalan becek, berliku, dan penuh lubang menganga. Tapi aku dan Indani terus menerjangnya. Nekad!
Yang kukagumi dari Indani adalah mengapa semua sabdanya selalu menjadi kenyataan. Padahal bila kutelisik dengan cermat, ungkapannya selalu lahir tanpa perenungan dan kedalaman pengetahuan. Kata-kata yang meluncur darinya datar dan biasa-bisa saja. Dan yang kerap kurasakan selalu kuremehkan bahkan kerap juga kutentang. Tapi anehnya, kenapa sabda-sabdanya seperti fatwa raja yang yang seketika menggedor-gedor pintu langit. Dan benar…! Kurasakan betul kebenaran kata-katanya.
* * *
Kamis, 6 April 2005
Di kampus ini, aku belajar politik, kesenian, kasih-sayang, belajar bekerja, belajar menulis, diskusi dan belajar mengenal cinta lebih murni.
Barangkali darah bapakku mengalir di pembuluh nadiku. Dunia politik yang menjadi pergulatan bapakku semasa muda, kini serasa mewaris padaku. Meski aku tak masuk dalam pusaran politik praktis kampus, namun pembacaanku terhadapnya cukup membuatku muak.
* * *
Jum’at, 7 April 2005
“Mas, sory klau adk trllu ikut cmpur, Adk gak mlrang Mas ntuk ikut & jd ap sj. Tp jgn lp kuliahny. Ini adk lkukan krn adk syg & kpingin Mas trdorong & smngat. Adk bnar-bnar tkut klau smpai hrs brpisah!”
Dua kekuatan besar menarikku ke sana ke mari. Layaknya seorang wanita, Indani menggiringku dalam kedamaian. Di sisi lain, semangat dan jiwa mudaku yang terkadang berkobar, mendorongku untuk menjadi petualang. Aku sebenarnya tak tahu, manakah jalan yang terang bagiku. Bukankah Yang Maha Hening sudah menggariskan untuk hamba-hamba-Nya. Bisa jadi itu kegemaranku, tapi bukan yang terbaik bagiku.
* * *
Sabtu, 8 April 2005
Di kampus ini, kusaksikan kebohongan besar menjadi kekuatan raksasa. Tak lagi punya rasa malu. Kekuasaan, pada akhirnya memang bikin gelap mata.
Partai status quo itu kembali menguasai kampus ini. Di salah satu sudut kampus, sebuah pengumuman yang mengatas namakan KPU dipajang dengan PDnya. Siapa yang tidak tahu, kalau pengumuman itu hanya manipulasi belaka. Meski kepala pengumuman itu metenteng nama ‘KPU’, toh mahluk-makhluk yang menghuni juga keparat-keparat busuk itu juga. Sandiwara yang diperankan organ itu memang cukup lihai, meski bau nyinyirnya yang menyengat hidung tak mampu mereka sembunyikan.
Partai-partai boneka bikinan mereka telah berhasil membikin kisruh. Ada partai keranjang, partai sampah, partai kadal, dan partai coro!
* * *
Senin, 11 April 2005
Sepotong SMS dari kakakku. “Dik, barusan kutransfer 200 ribu. Mulai selasa kemarin, Ibu udah jualan nasi lagi. Met belajar, semoga sukses selalu…!”
Kak…, takkan kulupakan semua hutang budiku padamu….
Saat ini, air bening tiba-tiba mengambang di pelupuk mataku membaca rangkaian kata-kata dalam layar HP ini.
* * *
Rabu, 27 April 2005
Aku memperkirakan, organ ekstra yang bercokol kuat di kampus ini akan tumbang oleh keangkuhannya. Kader-kadernya sekarang di segala linier sudah sangat memuakkan. Mereka hanya belajar bagaimana cara berkuasa.
* * *
Senin, 2 Mei 2005
Sebuah cerpen singkat kutulis dengan kegetiran. “Anjing!” itulah judul yang kusematkan, setelah menyaksikan tingkah laku mereka yang benar-benar tak ingin menjadi manusia. Darah yang mendidih di ubun-ubunku serasa mau muntah dan menumpahi muka para pencoleng. Usaha-usaha penguasa kampus untuk membasmi Pers kampus ini benar-benar mereka lakukan. Barangkali heroik perlawanan musti kukobarkan lagi. “Areta, kamu ‘kan pemimpinnya, bersikaplah yang tegas jangan mau dikadali terus-terusan!” kata seorang temanku. Terang, ucapanya menambah panas dan menggelegak dadaku. Panas bercampur ruwet. Dana pers kampus ini dipangkas senat mahasiswa tinggal 3%. “Anjing..! Brengsek semua mereka itu!”
* * *
Senin, 9 Mei 2005
Dua hari akhir-akhir ini, aku bermimpi buruk. Gerombolan partai penguasa kampus mengintai dan mengkoyakkan Pers mahasiswa. Mereka ternyata mulai mengagendakan untuk membumi-hanguskan pers mahasiswa. Terus terang, mimpi buruk itu membikin merinding bulu kudukku. Di tambah mimpi yang dibawa temanku satu pondok dulu yang mengatakan telah melihatku terperosok dalam tawuran massal di kampus. Dengan rasa setia kawannya, ia menarik dan menyelamatkanku ke camp Mapala. “Sudahlah kawan, makanya kamu jangan ikut-ikutan berpolitik. Begini kan jadinya,” demikian nasehat temanku, mengutip persis kata-kata dalam mimpinya.
Sebenarnya mimpi-mimpi kelamku itu sangat terobsesi dari kenyataan-kenyataan yang terlihat di depan mata telanjangku. Bahwa massa partai itu di manapun dan kapanpun memang sangat menyeramkan. Menatap wajah-wajah mereka saja, seperti menatap geng-geng narapidana atau pembunuh bayaran. Muka yang selalu hitam legam dan menyiratkan aura bengis adalah tanda mereka. Sangat jauh dari keumuman mahasiswa. Aku tak tahu, kenapa mataku begitu sangat jelas menyaksikan hawa seram dari muka-muka mereka?
Aku tak sendirian. Dulu pernah ada seorang pejuang di intern kampus. Dia dua tahun di atasku. Salim, demikian aku menyapanya. Pria berkacamata dan bertubuh lancir itu, adalah pejuang penegak demokrasi. Melalui kendaraan Pers, ia mengkonsolidasikan kekuatan-kekuatan yang berserak. Lalu dari upayannya itu, melahirkan sebuah kekuatan baru untuk menghadang kediktatoran status quo.
Perih manisnya perjuangan memang sudah menjadi santapannya. Bahkan keselamatan nyawanyapun kerap terancam. Tapi Salim memang salim. Ia tersalimkan. Terselamtakan…
* * *
Selasa, 10 Mei 2005
Menjelang kepulanganku…
Resah dan gelisah mengurungku dalam kesunyian.
--DUA BELAS--
Rabu, 11 Mei 2005
Akhirnya perjalananku mudik selamat juga, meski mampir ke rumah mas Oks, Nganjuk. Padahal, saat aku mengendarai motor dari Solo, hawa gamang sempat menyerangku. Ada rasa berat untuk menempuh perjalanan panjang dan membahayakan itu. Ada pula perasaan mengganjal, lantaran musti menyisakan sekian tanggung jawab kuliah dan pers kampus. Tapi rasa kangenku kepada keluarga terus memangil-manggilku. Dan ingin segera aku menatap seraut wajah bundaku yang sumringah kala melihatku membawa berbagai cerita. Aku juga kangen sama Aloeng, putra mbakku. Apalagi sekarang sudah penya adik baru. Aku ingin mendengar kisah terbaru keluargaku yang lama dirundung duka; penyakit bapak yang tak lekas-lekas reda, perekonomian yang sempat mecet, atau kisah kakak sulungku yang hingga kini belum jelas siapa pendamping hidupnya. Ah,… sebuah cerita yang mungkin sangat mentrenyuhkan…
Di Lohceret ini, suasana perkampungannya sangat lengang. Di depan dan di samping kiri rumahnya mas Oks berdiri pondok pesantren putra-putri. Suasana semacam ini mengingatkanku pada kisah masa silamku saat akrab dengan kesunyian. Di pelataran masjid, di sanalah aku kerap menghabiskan masa-masa SMU ku dengan membaca buku jika malam menjelang. Kecintaanku kepada teks-teks agama klasik itu telah mentekadkanku untuk berhijrah ke Yogyakarta guna menggali kearifan. Pertarungan keinginanpun meletus. Aku seperti memasuki rimba raya keilmuan. Jiwaku kembali memasuki masa transisi. Berbagai idealisme sedikit-demi sedikit tertanam. Berawal dari spiritualitas, melebar ke intelektual. Dari aktualisasi diri menjamah ke dunia politik dan akhirnya mengenal cinta lagi. Putih-buramnya kehidupan mulai menjajah pikiranku. Kenyataan demi kenyataan yang kerap bertolak belakang memberondong jiwaku. Dan akupun terkadang “terkapar” tak berdaya, menyaksikan itu semua.
* * *
Pare, Kamis 12 Mei 2005
Kamis pagi, perang meletus lagi. Bapak kembali menjadi anak kecil. Dengan kasar, ia mengumpat-ngumpat ibunda. Suaranya menggelegar bagai petir yang meyanyat-nyanyat jiwa. Aku terperanjat dan seketika menuju ruang tengah. “Sudahlah Pak…! Bapak istirahat dulu ya?” ucapku pelan sambil mendekap erat. Tapi siapa yang bisa menyumbat kata-kata miris itu keluar dari mulut bapak. Bagai air mancur, makian yang dialamatkan kepada ibuku menyembur tiada henti. Dan tak begitu lama, suara tangis sesenggukan terdengar. Ibuku tak kuasa menahan derai air matanya. Api amarah dasamuka itu telah melukai perasaan ibuku.
Kondisi kejiwaan bapak memang super sensitif. Sedikit saja ada yang menyenggol, maka lubang-lubang setan yang bercokol di tubuhnya akan menyemburkan api. Ditambah ingatan bapak yang terlanjur berkaratan, memandang sosok yang dibenci,--seperti kakakku nomer dua dan ibuku, menjadi cepat sekali terbakar. Seperti bara api yang tersiram bensin, “Laa…pp..” membakar dan menjalar ke mana-mana. Dari persoalan sepele, maka hal-hal yang berbau SARApun akan diseretnya.
Ibu tadi cuma mengatakan, kalau ember itu mau dicuci. Sementara bapak bertanya, kenapa air di ember keruh. Mungkin jawaban ibu spontanitas, sehingga membuat kejiwaan bapak merasa digurui. Karuan sifat superiornya munclak-munclak. Ibu dibentak, diumpat, dihina dengan kerasnya… Ah, ibuku. Aku tak kuasa menahan derita yang kau pikul saat itu.
Tragedi seperti ini bukan hanya sekali ini. Ini yang sudah ke seratus sekian, semanjak kedua orang tuaku mengikrarkan diri berumah tangga. Dan puncak prestasi keganasan perangai bapak meletus di penghujung tahun 2000. Tepatnya saat aku menginjakkan kaki di SMU. Selepas SMU, perangai bapak semakin tak karuan. Ia seperti manusia yang kerasukan Iblis laknat dari neraka jahanam. Semua orang yang tak seide dengannya akan dimaki-maki, mesti tak di depannya. Hanya orang yang manggut-manggut sajalah yang ia anggap teman sejatinya. Meski aku yakin, manggut-manggutnya karena melihat bapak, seperti anak kecil yang butuh dimanja, jika tak ingin menangis histeris.
Akan kusebutkan beberapa orang yang masih disegani bapak. Pertama, aku. Kedua Kakak Sulungku. Cuma itu. Selain aku dan kakakku, dianggap sampah baginya. Hanya dirinyalah yang paling suci. Paling benar sendiri. Kaum agamawan atau sosok kiai, baginya adalah bandit-bandit nomer satu yang musti dicerca. Ini disebabkan tragedi Gestapu yang benar-benar mengendap dalam ingatannya itu.
Sekarang ibu meninggalkan rumah. Hatinya yang terkoyak tak betah tinggal seatap dengan bapak. Sementara semua kakakku tak satupun tinggal di rumah. Kakak nomer dua sudah tinggal bersama istri tercintanya di desa terpencil. Mbakku begitu juga. Ia tinggal di Jombang bersama suaminya. Dan masku yang paling sulung, sampai sekarang masih memeras keringat di Surabaya. Rumahku yang baru, seperti bangunan sunyi tanpa penghuni. Besok pagi, aku mengejar matahari ke Jogja. Melanjutkan cita-cita yang masih diawang-awang. Aku tak tahu, bagaimana nasib bapak, nasib ibu, kakak dan aku sendiri…
Adakah secercah sinar mentari yang membawa segudang harapan, buat meniti hari esok? Ah… biarlah…Biarlah semua berjalan sekehendak-Nya. Badai pasti berlalu. Kadang datang bersama awan hitam. Kadang semilir menyapa lembut dan diimpikan setiap jiwa.
* * *
Kamis sore, 12 Mei 2005
Senja itu, aku bercengkerama dengan bapak di ruang tamu. Tak ada yang lain. Ibu pergi ke rumah bibiku, menyandarkan beban-beban rumah tangga. Aku mencoba meredam emosinya yang masih belum stabil. Berbagai cerita masa silam yang kuwedarkan, alhamdulillah, sedikit bisa mengendapkan darah yang mendidih di ubun-ubun kepala bapak.
Sepotong SMS dari kawanku masuk. Rupanya, yang menimpa kawan-kawan wartawan magang di Solo, tak jauh beda denganku. Dari sekian pengalaman, masih
menyisakan luka menganga, yakni kekecewaan. Kecewa lantaran sikap petinggi-petinggi Solo yang tidak adil. Mereka mendiskriminasikan teman-teman dari Jogja. Kenapa, Damar yang notabene juga masih nangkring di bangku kuliah, tiba-tiba ditarik menjadi wartawan?! Sementara temen-temen dari Jogja nyaris tanpa perhatian sama-sekali.
Fathihin salah satunya. Dorongan hatinya untuk segera mencari penopang hidup—karena rasa kebeletnya berumah tangga—memaksanya meringsek sekretaris redaksi agar dirinya diterima menjadi wartawan di kota Bengawan itu. Namun, jawaban dari bapak itu, “Maaf…! kami menerima murni melalui tes dan beberapa persyaratan, di ataranya, Sarjana dan IPK min, 3,0.” Kawanku tak bergeming, ia tetap merajuk, bahkan sampai berjanji, “Agustus depan, kuliahku rampung Pak!!” Tetapi orang berkacamata itu tetap bersikukuh dengan pendiriannya.
Aku katakan padamu kawan, mereka akan berkilah dengan berbagai cara untuk menyumbat masuknya orang-orang non Solo. Mereka akan berkedok; ini adalah aturan, alergi terjadap KKN. “Prek!!” itu semua omong kosong, kawan. Jika memang alergi KKN, kenapa mahasiswa-mahasiswi UNS/UMS begitu mudahnya ditarik menjadi wartawan tanpa persaingan. Kalau tak ada kepentingan di sana, tak mungkin Solo bersikap demikian. Kepentingannya jelas kawan: perusahaan itu ingin merajai kota bengawan itu dengan menarik warga Solo menjadi wartawan. Ada banyak keuntungan yang mereka kantongi. Selain legitimasi kekuasaan dari masyarakat setempat, juga pamor perusahaan itu akan semakin menjulang. Dengan begitu mereka tak akan mendapat pesaing yang membahayakan posisinya sekarang. Jadi, omong kosong bicara soal idealisme murni tanpa kepentingan.
* * *
Jum’at, 13 Mei 2005
Sehari, usai tragedi Kamis pagi, aku mengurung diri dalam kamar. Bapak tengah terlelap di pembaringan. Aku mengisi waktu dengan melihat album keluarga. Ah, foto-foto itu telah menarikku ke ingatan masa silam. Dengan memandangi wajah-wajah yang tersenyum, tertawa, diam terpaku ataupun tertidur sekalipun, alam pikiranku terbang ke mana-mana. Aku seperti sedang menyaksikan saudara-saudaraku bercakap denganku. Mereka semua seperti sedang di sampingku dan bercerita banyak hal. Memang benar, dengan memandangi foto-foto, alam pikiran dan kejiwaan serasa larut dalam suasana yang terpotret dalam gambar berukuran 4 R itu, apalagi jika mengamatinya dalam kesendirian.
Senja menjelang Magrib itu, aku berniat mencari SKKB di almari. Namun tumpukkan album yang tertata rapi di dalam almari seperti menyimpan magnet. Mataku pun tertarik ingin memandangi kembali potret-potret keluarga, teman ataupun orang asing yang nongol saat dijepret. Satu album kuraih. Terlihat agak kusam dan memang telah lama. Ada foto kakak sulungku yang lucu, saat masih SD, SMP hingga SMU. Begitu pula saat kursus bahasa asing di BEC ataupun kursus montir di Jombang. Ada keceriaan yang terpancar, seolah wajahnya tak menyiratkan duka lara. Bersama kawan-kawannya dia begitu riang bertamasya ke pantai, gunung Bromo atau ke candi Borobudur. Aku tersenyum sambil membatin, “Seandainya tiada kenal batas akhir masa muda, mungkin takkan ada duka-lara karena perpisahan.”
Aku juga terkenang adik kemenakanku yang selama hidupnya dulu, tubuh mungilnya terserang penyakit ganas; Tumor kepala. Meski semasa hidupnya (tak lebih dari 4 tahun) selalu menanggung beban derita–kepalanya yang terus membesar, namun
dalam foto itu, adikku masih sempat tersenyum. “Ah, kau adikku, semoga kau selalu tersenyum di alammu sana..!!”
Ada lagi selembar foto gadis. Dia adalah tetanggaku dulu yang aku sudah lupa namanya. Foto itu ia berikan kepadaku saat aku hendak berangkat ke masjid, mau sholat Magrib. Aku benar-benar tak mengira, jika dia menyimpan ‘rasa’ padaku, meskipun diam-diam. Aku baru tahu setelah ia memberi foto dirinya kepadaku, kemudian terucap kata-kata perpisahan, bahwa dia sekarang akan pindah ke negeri antah barantah. Dan foto-foto itu sebagai kenangan, agar aku mengingatnya. Ah,.. foto-foto itu…!
“Thit…thit..thit..thit!” Lamunanku seketika buyar, tatkala terdengar bunyi SMS dari HPku. Segera kuraih dan kubuka HP Nokia 3310 pemberian kakak sulungku itu. Rupanya kekasihku, Indani menanyakan kabarku. Ia kengen.
* * *
Sabtu petang, 14 Mei 2004
Sebenarnya, ada perasaan berat untuk kembali ke Jogja. Sehari setelah ibu meninggalkan rumah, kulihat bapak semakin murung. Ah, menyedihkan… Aku melihatnya sendirian di rumah. Sebenarnya aku tak tega. Nanti makannya gimana? Siapakah yang memasakannya?
Ah, bapak. Mengapa pagi itu, kau kobarkan api amarah. Ibu sekarang terluka sangat dalam. Ia sudah bersusah payah menghidupi keluarga, tapi malah kau maki-maki yang tidak-tidak. Semestinya, bapak sadar, siapa yang merawat bapak selama ini. Siapa yang membelikan obat selama ini. Siapa yang memasak dan membikin kopi; siapa kalau bukan ibu!
Bapak, engkau itu sudah amat beruntung. Sakit, tapi masih dimanja keluarga. Segala kebutuhan disajikan. Obat yang harganya setinggi langitpun dibelikan, meski bapak tak pernah memikirkan bagaimana mencari uang pinjaman sebanyak 1,5 juta itu. Lihat saudara-saudara bapak; semuanya nyaris tak terawat. Mereka tahu diri bahwa dirinya menjadi beban keluarga, karena sakit. Jadi tingkah laku dan keinginannya tak macam-macam seperti bapak. Anak-anak bapak sudah terlalu baik dalam memanjakan bapak. Ibu sudah teramat sabar menerima perilaku kasar bapak. Mustikah air susu dibalas dengan air comberan.
Bapak, kesabaran itu ada batasnya. Siapa yang tidak terpukul, jika kebaikan dibalas dengan tamparan. Bapak, sadarilah… sekarang engkau hanyalah seonggok jasad yang tak mampu berbuat apa. Jika kau masih juga sombong dan merasa paling hebat, untuk apa anak-anakmu masih memanggilmu bapak. Mereka semua sudah teramat berat memikul rasa malu memiliki bapak sepertimu. Satu yang masih kuharapkan dari bapak. Jadilah bapak yang baik, sebelum nafas terakhir mengantarmu.
Sekarang, hari-hari ini, aku tak tahu bagaimana nasibmu di rumah sendiri, tanpa ibunda, tanpa anak-anakmu…?
Duh gusti…
Malam ini hambamu ingin mengadu kepada-Mu.
Hanya pada-Mu.
kenapa takdir meski tercipta sedemikian rupa.
Aku dan Kakakku yang masih disegani,
justru tak bisa mendampinginya.
Aku tahu, sebenarnya telinga kakakku itu juga gatal
jika mendengar setiap pembicaraan bapak.
Allah, Engkaulah penolongku.
* * *
Senin, 16 Mei 2005
Ruang kuliah bagai penjara. Aku ingin berontak, tapi…
Ah… haruskah aku menyerah begitu saja?
Kembali, masa suntuk mengurungku. Ke mana-mana hanya wajah-wajah muram yang kusaksikan. Pikiranku pecah. Ocehan dosen itu seperti ingin lalu, tak sedikitpun nyangkut di ingatanku. Harapan-harapan itu juga seperti momok yang terus mengejarku. Aku tak punya vitalitas, perasaanku cemas, dan takut.
Musti kepada siapakah kusandarkan keresahan ini? Bayang-bayang keluargaku semakin membuat hatiku gamang. Cita-cita pers kampusku dipasung dalam sangkar besi. Rutinitas kuliah, malah membikin carut marut hati.
* * *
Senin siang, 16 Mei 2005
Aku tahan sekuat tenaga, rasa lapar dan dahaga yang menggeliat di perutku. Ada kenikmatan ruhani, jika perut dalam kekosongan. Seperti kata-kata Jalaluddin Rumi, “Dalam perut yang kosong terpancar cahaya Ilahi. Dengan perut yang kosong, jiwa akan tersucikan.” Aku ingin puasa! Izinkan aku Tuhan.
* * *
--TIGA BELAS--
Selasa, 17 Mei 2005
Semestinya aku terdiam. Tak perlu mengatakan rencana refresing kelasku itu pada Indani. Akibatnya ia merasa seperti kuanak tirikan, kunomer duakan dan yang pasti, perasaan kewanitaannya nelangsa. Ada semacam kekesalan, kecemburuan, dan perasaan benci yang ingin ia muntahkan padaku dalam SMS semalam itu. “Hore, acaranya pasti meriah ya, Mas? Untung Adik gak ikut. Adik pasti nganggu ketenangan Mas dan hanya malu-maluin Mas di depan teman-temannya. Dan Mas tidak akan leluasa menatap wanita-wanita cantik,” begitulah Indani, layaknya wanita umum yang perasaannya sangat sensitif.
“Maafkan Mas ya dik, Mas gak ingin kita jadi bulan-bulanan teman-teman!? Tapi ya terserah Adik menilai Mas. Jika menurut Adik memang demikian, Mas tak mengapa. Mas menerima. Mas egois, tak mengerti perasaan orang lain. Dan tak mau berkorban. Maafin Mas!” Jawaban SMSku itu, kutulis apa adanya. Sesuai kronologi yang terjadi menjelang keberangkatanku ke Kalikuning. Namun, itu tak berarti baginya, karena jiwanya terlanjur muram. Dan SMSku itu baginya hanya sebuah apologi. Akupun tak mau berbantah-bantah memperebutkan kemenangan, karena bagiku tak ada kemenangan jika harus menggoreskan luka.
Barangkali jawabanku tadi mengguncangkan jiwa Indani. Aku tak tahu, apa sebabnya ia kemudian memberiku jawaban jenaka. “Hore… Adik menang. Mas yang cakep marah. Kalau marah tambah cakep lho. Adik menang 100 vs 0. Adik mau belajar untuk ujian besok.” Itulah jawaban Indani. Ia rupanya tak menentu pijakannya. Ia masih ragu dan tak total dalam menghakimiku. Mungkin dia masih sayang kepadaku. Mungkin
ia tak punya banyak bukti untuk menguatkan prasangkanya. Dengan bersembunyi di balik kalimat jenaka, ia ingin menyaksikanku tersenyum kembali dan ingin agar aku memendam dalam-dalam peristiwa semalam. Dia ingin, agar aku menilai bahwa dirinya benar-benar tak mengapa, tak cemburu, tak sakit hati, tak kesal. Ia ingin diangggap ikhlas di pandangan mataku. Semoga saja engkau ikhlas dan mengerti bahwa tak ada niatan dalam diriku untuk menari ria di atas rintihan tangismu.
* * *
20 Mei 2005
Orang setengah baya yang sedari tadi di depanku, hanya tertunduk lesu. Kedua matanya menatap ke lantai dengan kosong. Hanya sesekali matanya mengerjap di balik kaca matanya. Orang itu sepertinya menyimpan rasa gundah. Ia tampak memikirkan sesuatu di dunia antah berantah. Bisa juga ia merisaukan nasibnya yang belum juga menemukan kemapanan.
Resah… resah…
Makhluk macam apa kau ini
Menyergap alam pikiran manusia tanpa kulonuwun dan mengurungku dalam kemurungan.
(Usai mendengar khutbah Jum’at)
* * *
Sabtu, 21 Mei 2005
Aku tak tahu tragedi apa yang sedang berkecamuk di tempat tinggal Indani sekarang ini. Aku hanya menduga keluarganya bakal menginterogasi Indani, lantaran pulang tak tepat waktu. Seperti dalam cerita film-film remaja yang kerap nongol di layar kaca; seorang anak gadis yang pulang larut malam hanya akan menjadi bulan-bulanan bapaknya, bundanya dan kakak-kakaknya. Dan itulah yang mungkin terjadi di negeri angin sana.
Pagi tadi kakak Indani menelepon ke Jogja. Ia khawatir, kenapa sampai sekarang Indani belum juga tiba di rumah. Jawaban apakah yang bakal disodorkan Indani saat wajah-wajah penuh curiga menanyainya? Masih sanggupkah bahasa kamuflase melindungi Indani. Ah… Indani pasti kepergok sekarang. Dan air matanya pasti terurai. Aku tak kuasa merasakan kepedihannya, kesedihannya dan nelangsanya…
Indani, maafkan aku. Aku tak sanggup melindungimu, tak sangup memecahkan persoalan yang terlanjur mengeras itu. Andai saja kita telah mendapatkan penyangga hidup itu. Engkau tentunya tak menderita seperti ini.
* * *
Rabo pagi, 25 Mei 2005
Aku memang harus berani berkata jujur kepada Indani. Jujur, sejujur-jujurnya. Bahwa kehidupan ini tak selamanya hitam putih, ada juga kelabu.
* * *
Rabu, 8 Juni 2005
Aku manusia kaku. Tak mampu membaca kemauan dan perasaan orang lain.
Aku individualis. Lebih menyukai bersunyi. Tak adakah waktu untuk sekadar berkunjung, menyapa, atau bergurau dengan teman sendiri? Apakah ini imbas langsung dari terlalu seringnya aku berteman dengan buku. Rangkaian kata-kata telah menarikku ke dunia sunyi. Yang kuberdayakan selama ini adalah wacana, wacana, dan wacana! Kapan aku bisa bergaul dengan teman. Apakah aku manusia yang diciptakan untuk selalu serius?
Sindirian demi sindirin dari Indani meluncur tepat mengenai jidatku. “Mas, mbok main-main ke rumah. Pendekatan cultural…!!” Ya, aku manusia egois! Ilmu yang kugeluti, semakin mengurungku dalam padang keterasingan.
* * *
Selasa, 14 Juni 2005
Indani pulang ke kampung halamannya untuk beberapa hari. Orang tua dan keluarganya sama saja. Mereka semua sepakat, Indani musti dikurung dalam sangkar besi. Anak wanita itu tak boleh macam-macam, ada waktu luang sedikit, harus jenguk rumah dulu.
Hari-hari masih dilimuti kabut. Sampai detik inipun cahaya kemilau yang kuimpikan dulu, belum terlihat, meski samarpun. Aku melangkah di ujung rel; sementara kereta api sudah semakin dekat. Siap menggilasku. Bagimana ini…?
Duh Gusti… Gusti… rasa jiwaku yang terus bergelora ini tak mungkin kuredam terus-terusan. Ia musti menemukan rumah yang tepat. Atau bila tidak, kebinasaan akan menghantamku.
Aku jelas tak kuasa menyaksikan air mata Indani mengalir karena derita perpisahan ini. Aku jelas tak mungkin melangkah sendiri tanpa perhitungan matang. Namun, jika aku tertahan di pusaran waktu yang tak menentu ini, pesimistis membayangiku.
Aku tak yakin, usai kuliah berani menjemput rembulanku. Aku juga tak yakin, usai kuliah ada sepetak ladang yang kucangkul untuk menyangga perutku. Kemandirian macam apa yang akan kujejekkan? Dan kenapa rasa gamang, terus menggandoli langkahku?
* * *
Selasa, 21 Juni 2005
Semalam, Indani mengadu padaku tentang kondisi teman-temannya yang kini semakin alien, individual dan unik. Ya, modernisme yang tengah heroik di bumi pertiwi, kini sudah sedemikian jauh menggeser keutuhan manusia. Manusia menjadi cenderung dikejar bayang-bayang masa depannya sendiri. Masa depan yang mereka sangka berupa kekayaan materi itu. Semestinya bukan itu, karena hanya membuat menjadi manusia profit oriented.
Aku mengatakan, semangat mereka yang meluap-luap itu, sebenarnya motifnya adalah materi. Persahabatan yang terjalin, sebenarnya meniup bara dalam sekam. Jika tak membawa keuntungan materi atau menjamin masa depannya, tendang itu yang namanya persahabatan. Inilah virus modernisme yang mencengkram bangsa ini. Mereka mengira, ketenangan dan kesuksesan itu diperoleh hanya dengan materi.
Sulit memang keluar dari putaran zaman. Seperti roda itu, ia musti diputar jika ingin melaju. Dan jika di zaman modern kita melawan (budaya tanding), maka kita
perlahan atau cepat akan tersisih dan mungkin terlempar. Inilah tantangannya.
Aku katakan padanya bahwa setiap manusia itu memiliki motif dalam bertindak. Ada motif kebersamaan, ada motif berkarya dan ada motif berkuasa. Motif kebersamaan kadangkala mengalami distorsi luar biasa. Ia menjadi semacam klangenan orang-orang jawa kuno; mangan ra mangan asal kumpul. Mustinya tak serendah itu! Semestinya kebersamaan yang diciptakan lebih berorientasi pada pola saling menolong, mencintai, kemanusiaan dan juga kebersamaan dalam berkarya. Tapi kenyataannya, itu masih utopios. Masyarakat kita masih belum memikirkan ke arah sana. Berfikirnya hanya yang dekat-dekat, konkret-konkret dan wadag-wadag. Yang berbau panjang, immanent dan ilahiah belum tersentuh. Kecuali hanya simbol-simbol semata yang tidak merunut sumbu substansinya.
Motif kedua adalah kekuasaan. Motif ini juga lahir dari zaman pra sejarah, karena mereka mengira kekuasaaan adalah segala-galanya, bisa membawa dan menikam dengan gampang. Mereka cenderung berhati batu, bertelinga cula, dan bermata gelap. Tak kenal istilah kemanusiaan.
Motif ketiga adalah berkarya. Sepintas, motif ini memukau. Tapi jika ditelisik lebih dalam, ini hanya kosa-kata eufemisme, yang makna sebenarnya adalah membangun tembok pembatas antara dirinya dengan orang lain. Ingin hidup dalam kesendirian. Individualis. Mereka hanya menciptakan kesenjangan-kesenjangan baru dalam masyarakat. Kecemburuan sosial mereka biarkan menganga. “Peduli amat,” kata mereka. Mereka perlahan bermetamorfisis menjadi lintah darat. Pola yang mereka tiru adalah Barat, biar terlihat elit. Upaya yang mereka bangun tak boleh berorientasi pada menolong orang lain. Hal-hal yang berbau cinta kasih sosial, musti disingkirkan sejauh mungkin karena mereka menyangka bakal menurunkan kelipatan capital. Dan puncak prestasi mereka adalah sekulerisme.
* * *
--TIGA BELAS--
Kamis, 23 Juni 2005
Kembali aku menorehkan kepedihan negeriku. Baru saja sepasang mataku menyaksikan berita di layar TV. Sekelompok massa terlibat aksi bentrokan, lantaran jago bupatinya kalah dalam Pilkada. Hampir di titik-titik rawan, kericuhan itu meletus. Bagai kurawa yang kesetanan, mereka membakar dan menghancurkan kantor dan bangunan umum. Miris! Sunggguh sia-sia belaka. Apakah mereka tak berpikir bahwa yang mereka bela mati-matian itu, tak sepenuhnya prihatin seperti yang meradang di jiwanya.
Lagi, di Sulawesi Selatan seorang ibu sambil menggendong anaknya yang masih balita menjerit histeris. Barang-barang dagangannya beserta kiosnya dihancurkan paksa oleh sepasukan polisi negara. Si ibu yang malang itu hanya berdiri terpaku, saat lahan penghidupannya direbut tangan-tangan besi. Seperti menyaksikan kiamat sugro, ibu itu setengah tak percaya ketika aparat negara dengan beringas meluluh-lantakkan kiosnya.
Sebagian masyarakat yang melakukan perlawanan, hanya menuai kekalahan. Sisa-sisa tenaga yang dikerahkan, berhadapan dengan moncong sepatu, pentungan, dan kopor senapan. Kepala bocor, darah segar mengalir, tubuh membiru.
Penggusuran! Tragedi yang menggoreskan luka menganga itu rupanya memang tak pernah berakhir. Ada penguasa yang melalui jaringan sistemiknya melegalkan penindasan wong cilik. Ada borjuis yang mengkilir penguasa dengan bejibun uang. Mata penguasa mana yang tak hijau, melihat makhluk bernama duit.
“Suruh minggat itu pedagang kaki lima. Akan didirikan mall-mall megah…! Ini SK-nya, laksanakan perintahku!” sungguh biadab!
Aku tak tahu bupati-bupati sekarang akan menghisap uang rakyat dari mana. Modal miliaran yang keluar buat suksesnya jadi penguasa, pokoknya musti kembali. Titik!
Di canel Metro TV, sebuah berita tragis kembali tertayang, “Seorang warga Jawa Tengah dianiaya dan akhirnya dilempar dari kereta api yang meluncur dengan kencang. Persoalannya sepele, penumpang yang naas tadi tidak memiliki karcis.”
Anjing!! Berulang kali marahku tak tertahan. Darahku seperti tersulut api. Kenapa jurang ketidakadilan di negeri ini semakin menganga lebar. Si kaya semakin tak tahu batas kewajaran. Tak tahu diri. Berjoged di atas air mata saudaranya. Sementara si miskin semakin tak tahu. Apakah dirinya manusia yang memiliki hak hidup. Martabatnya diinjak-injak. Tersisih, tergilas, terdzolimi dan terpuruk di tingkat paling rendah.
Kenapa seorang papa segalanya, terampas. Ia warga yang turut membayar pajak. Menggaji para pejabat perut buncit. Tapi hak-haknya tak kecipratan sepercik pun. Di negeriku pejabat semakin gila. Berlomba menggilapkan sedan valvo hasil merampas rakyat. Berlomba meninggikan pagar rumah, agar semakin tak tersentuh tangan rakyat. Apa-apaan ini !!
Sepanjang jalan setiap musim lebaran, kulihat seorang bapak membonceng tiga bocah dan seorang istri sekaligus dalam satu kendaraan bermotor. Di tengah terik mentari menyengat. Di jalanan penuh resiko. Bersalip dengan mobil-mobil mewah dan besar. Nyawa sangat rawan keselamatannya.
Tapi, pejabat yang mengisap uang rakyat, duduk tentram di dalam sedan. Sambil tersenyum sinis dan menghardik rakyat kecil. Menganiaya seorang yang tak punya karcis. Yang tak bisa beli makan. Tak bisa bermimpi….
Ah Muhammadku ….engkau pasti menangis melihat kejahatan umatmu yang tinggal di negeri ini …. Mereka sama sekali tak meneladani kesederhanaanmu. Mereka naik haji untuk menutupi kebusukannya. Agama yang kau tawarkan telah mereka gadaikan dengan seonggok impian picisan. Dunia. Jabatan. Kekayaan. Kekuasaan! Inilah negeri yang semakin tak mengenal batas kemanusiaan!
Di ujung berita, sebuah tayangan human interest sungguh menyentuh hatiku. Seorang anak kecil terserang penyakit hidrocyphallus. Bayi mungil itu kepalanya terus membesar. Dua biji matanya menatap orang-orang di sekelilingnya penuh tanya. Sebaliknya, orang-orang melihatnya penuh iba. Bersama neneknya, siang itu ia digendong di tengah keramaian pasar. Jika sudah lelah, bayi malang itu dibaringkan di atas sepotong kardus, di depan sebuah toko emas. Lalu neneknya menaruh ember kecil di samping bayi itu, barharap belas-kasihan orang-orang yang lalu lalang di tengah pasar. Memilukan!
Kemana ibu yang telah melahirkan bayi itu? Beberapa hari setelah melahirkan, si ibu rupanya terlebih dahulu dijemput malaikat Izroil pulang ke pangkuan Tuhan. Bapaknya? Ah, si bapak bayi itu memang berhati singa. Si bapak itu minggat setelah anak yang diharap-harapkan ternyata menderita penyakit aneh. Bapak tak bertanggung jawab itu malu punya anak yang badannya tak sebanding dengan ukuran kepalanya.
Mungkin juga, bapak si bayi itu sudah tak tahan hidup dalam penderitaan. Jangankan memikirkan kesembuhan anaknya, untuk menyambung hidup saja susahnya setengah mati. Kini, tinggallah bayi tak berdosa itu bersama nenek dan seorang bocah berusia 6 tahunan, mencari recehan uang di hiruk pikuk pasar.
Setiap hari, pemandangan timpang selalu tersaji di hadapan mataku. Mereka yang sekarat nasibnya, selalu berujung keputusasaan. Gelandangan-gelandangan semakin liar. Anak-anak tak jelas nasibnya bertebaran di jala-jalan raya. Kaum kumuh, miskin kota dan korban-korban ketidakadilan sistem ekonomi dan pemerintah terus berjatuhan di sudut-sudut kota.
Apakah ini takdir, jika kenyataannya bahwa aktor-aktor yang sengaja memutar balik sejarah sudah cukup jelas? Aktor–aktor yang menggenggam kunci roda ekonomi itu semakin meruncingkan pucuk tombaknya, mempercepat laju kendaraannya tanpa menoleh bahwa di sekelilingnya masih bertumpuk nasib orang yang tak seberuntung dirinya. Nasib orang-orang yang kalah dalam persaingan hidup. Ya, mereka kalah bersaing dalam negara yang tak memungkinkan dirinya bisa bersaing dengan sehat. Tapi ada yang di ciderai.
Bagaimana mungkin bisa bisa berpacu, jika kendaraan yang mereka tumpangi hanya mampu berjalan secepat mengayuh sepeda di antara sedan-sedan bermesin terbaru.
* * *
Rabo, 13 Juli 2005
Suara ki dalang edan, Sujiwo Tejo melengking di pondok KKN. Mengusir sepi, mewarnai hening. Observasiku sementara menyimpulkan hipotesis yang selama kugelisahkan; lunturnya tradisi keberagamaan dan meningkatnya hiburan-hiburan picisan, memabukkan, dan kepungan kesenangan-kesenangan semu lainnya, ternyata telah mencengkeram kuat di ubun-ubun setiap warga. Angan-angan semu itu berujud sosok pemuas nafsu serakah, nafsu seksual serta nasfu kemanjaan diri.
Obrolan-obrolan ringan serasa kecut jika tak nyrempet-nyrempet ke perihal perempuan dengan segala lekuk moleknya. Makanya, hiburan dangdutan begitu sangat digemari. Dan warga telah merencanakannya, menggelar panggung dangdut di malam 17 Agustus. Di malam perayaan hari ulang tahun kemerdekaan negeri sakit ini.
Ya, di panggung penuh fatamorgana itu pemuas nafsu mata akan tersaji. Ada seorang perempuan berdandan menor, pakaian ketat 3/4 dan sengaja dibikin terlihat sembulan-sembulan bodinya. Suara penyanyi adalah nomer yang kesekian ratus. Yang penting bersedia mengeliat-geliat dan mampu merangsang kelelakian. Dari sana sang produser mengeruk keuntungan melimpah. Artis yang memang buta kebudayaan makin tak menentu arah hidupnya. Masyarakat yang hingar-bingar tak ubahnya seperti sosok lelaki pengecut, yang beronani dengan angan-angan kosong. Menyedihkan sekali. Anak-anak generasi biru, tercoreng moreng masa depannya. Kaum agamawan hanya bisa geleng-geleng kepala. Siapakah yang salah?
Artiskah yang musti dituduh sebagai symbol keruntuhan moral? Produserkah yang harus bertanggungjawab lantaran kapitalnya yang melimpah ruah telah membikin hijau mata? Atau kaum agamawan yang tak mamu menyusupkan nilai-nilai moral dengan cerdik- kreatif? Atau masyarakat itu sendiri yang tak mampu menyaringnya. Atau bisa juga system di negara ini yang sudah semakin tumpang tindih, sehingga penghancuran moral menjadi keniscayaan. Ayo tebak, siapakah yang salah?
* * *
Jum’at 15 Juli 2005
Ada kebersamaan yang musti dikedepankan. Di sana membutuhkan kedewasaan sikap. Letupan-letupan kecil yang terjadi adalah perkara lumrah. Baru saja insiden kecil menusuk kekompakkan kelompok KKN. Si Pariyem, anak Subang itu rupanya tak siap dan merasa teremehkan, lantaran mendapat teguran kelompok. Aku salah satunya yang turut memberi ultimatum itu.
Peristiwa bermula dari perbincangan santaiku dengan bu Kadus. Dengan agak kecewa, bu Kudus menyayangkan kenapa sore itu, peserta KKN putri enggan hadir dalam acara arisan ibu-ibu PKK. “Padahal saya menyempatkan mampir ke posko, Mas. Tapi kata mbak yang duduk di teras, teman-teman baru saja membahas program kerja. Jadi nggak bisa ikut,” kata ibu Kadus. Aku seperti ditelanjangi. Susah payah mengambil hati masyarakat. Serasa tergilas sore itu. Aku berang, emosi tercampur lesu. Pulang ke posko kudmprat langsung itu si anak, meski dalam hatiku ada perasaan yang tak tega.
Aku menganggap tragedi kecil itu biasa saja. Artinya, seberang apapun, se-emosi apapun, itu tetap dalam koridor kebersamaan. Saling mengingatkan dan saling menerima masukan.
* * *
Rabu, 20 Juli 2005
Sepertinya rumah pondokan KKN yang kudiami ini memang bertengger semacam mahluk lain. Aku merasakan hawa seram itu saat senja mulai beranjak. Di ruang dapur, rasa merinding di leherku begitu terasa, meski lampu putih menyala terang benderang. Apalagi di gudang yang temaram itu,--tempat kursi-kursi kayu bertumpukan--serasa seperti melihat seorang tua tengah jongkok di salah satu kursi. Kejadian-kejadian yang bermunculan selama sepuluh hari ini, sepertinya mengisyaratkan tanda-tanda ketidakberesan itu.
Di kamar tidur, tempatku membanting segala letih dan suntuk, justru memancarkan aura mencekam, khususnya di larut malam. Saat sepasang mataku tertuju pada jendela kaca yang berukuran raksasa itu, perasaanku selalu dibayang-bayangi sosok perempuan berambut panjang terjuntai ke tanah. Wanita itu berwajah pucat, bermata dalam serta di sekeliling kelopak matanya diitari warna kehitam-hitaman. Perempuan itu selalu memandangku dengan beku dan dingin. Makanya, ketika aku tengah mengetik, korden atau slambu yang terpasang, kutarik rapat-rapat agar celah kecil pun tak nampak. Tapi anehnya, korden itu selalu saja tersingkap dengan sendirinya. Dan kolam keruh di timur kamar terlihat dengan jelas di pekatnya malam. Fikiran yang tidak-tidak pun bermunculan. Gemuruh hatiku menjadi semakin riuh. Dan jika sudah sedemikin genting jiwaku, aku segera membanting tubuhku di kasur dengan terlungkup, meski nafasku terasa sesak juga.
Kemarin saat pulang dari suatu acara, dini hari sekitar pukul 02.00 WIB, tiba-tiba layar TV yang tergeletak di depanku menyala sendiri. Aku mulanya mengira ulah kawanku. Ternyata kawanku itu tak merasa menyentuh sesuatu apalagi memegang remot kontrol. Kami pun jadi saling berpandangan dan tercengang….
Sebelumnya, kawanku asal Klaten juga melihat bayang-bayang hitam besar dan tinggi melintas di samping kamarnya. Seketika mahasiswi jurusan biologi itu jantungnya berdegup kencang. Kedua bola matanya pun enggan terpejam hingga fajar menyingsing,
teringat sosok bayang hitam berjalan pelan.
Semalam, teman-teman KKN dihebohkan lagi oleh suara wanita misterius. Suara itu keluar dari HP milik Tatik, dan memanggil-manggil;”Hallo Mbak….!!Hallo…!!Mbak, Hallo…!!” hiii..hi…. Bayangkan suara wanita tak berujud memanggil-manggil dengan lembut, bercampur parau dan terdengar menyayat-nyayat. Padahal saat kejadian ganjil itu, temanku hanya tinggal berdua bersama Fitri. Saat itu mereka berdua tak ikut jama’ah dan ngaji bareng, karena lagi tanggal merah, alias kedatangan pangeran bulanan. Mereka pun mengurung diri di dalam kamar, sambil ngegosipin apa dan siapa saja. Maklum kaum hawa. Di saat-saat itulah, tiba-tiba terdengar dengan jelas suara wanita misterius memanggil-manggil.
Kejadian mengerikan, rupanya terus berlanjut. Malamnya saat aku nangkring di kursi dan bercengkrama dengan komputer, suara radio yang kuputar tiba-tiba lenyap gelombangnya. Aku mulanya mengira, jika malam memang tak ada gelombang atau radio sudah tak siaran. “Maklum pemerintah kunyuk tengah menggalakkan ‘Gerakan nasional hemat listrik,” kata hatiku. Kutelusuri gelombang lainnya dengan memutar-mutar sinyal, ternyata masih banyak radio yang on-line. Maka kucari lagu-lagu di salah satu siaran radio, dan akupun melanjutkan ngetik. Tak begitu lama, jantungku dibikin nyaris terkejut dan bulu kudukku merinding. Radio yang kuputar dan berisi lagu-lagu itu tiba-tiba suaranya lenyap tanpa ending, sebagiamna radio yang berhenti siaran. Suara radio itu seperti ada yang mematikan. Dan yang membuatku ketakutan adalah, sepersekian detik sebelum suara radio itu mati, terdengar erangan seorang wanita yang merasa terusik oleh lagu-lagu di radio yang kuputar. Aku tercengang bercampur takut. Darahku seperti terhenti mengalir. Telapak tanganku mengucur keringat. Dan pucat pasi mukaku. Aku langsung menyumbat telingaku dan tertelungkup di ranjang menahan denyut jantung yang bergerak semakin cepat.
Tak lazim memang, aku dicekam ketakutan seperti ini. Telah lama aku meninggalkan fikiran-fikiran kuno berbau mistik itu. Bagiku, hal itu hanya akan menyeretku dalam kemunduran dan kembali ke zaman purbakala. Jika pun saben malam Jum’at aku terbiasa berkontemplasi atau sekedar termenung sendiri di tanah-tanah makam, itu bukan lantaran aku penasaran dengan dunia mistik. Tapi karena keinginan murnikuku untuk mendekati-Nya seintim mungkin. Namun di pondokan KKN ini, magnet-magnet mistis serasa melenyapkan keberanianku. Aku menjadi penakut, seperti anak-anak kecil yang sekedar untuk ke kamar kecil saja minta dianterin. Apa-apa an ini…!!.
Perasaan nggak sreg pertama kali, bermula saat malam-malam hari aku hendak mengunci pintu belakang. Lama aku menarik kunci itu, karena memang kuncinya agak rewel. Detik-detik itulah tengkukku merinding. Di belakangku aku merasakan seperti berdiri mahluk lain, meski saat kutoleh ke belakang tak ada penampakan. Hanya bayang-bayang tembok yang tersoroti lampu.
Sobatiku asal ponorogo, awal kali tinggal di Pondokan juga mengalami tragedi sama. Ia menuturkan, berulang kali terdengar suara piring-piring jatuh dan pecah berkeping-keping. “Pyang…Krompyang…!! Saat dia hendak ke kamar mandi malam-malam, dia juga mendengar dengan jelas suara riuh di Gudang Kursi belakang. “Suara itu ramai, seperti ada musik drum band,” tuturnya.
* * *
Kamis siang, 21 Juli 2005
Ada kegetiran yang kadang bikin sempit hati. Andri, seorang warga setengah baya, dari semula aku mengenalnya senantiasa memandang mahasiswa KKN sebelah mata. Meremehkan! Aku merasakan tak ada niatan baik darinya terhadap rombongan KKN. Mahasiswa KKN diupayakan sedemikian rupa untuk diperas. Kalau hanya modal dengkul, pulang sajalah…!
Semalam, saat mahasiswa KKN menghadiri arisan di RT 4.II, dengan nada sinis Endri menodong kami, “Apa yang bisa dibuat oleh peserta KKN terhadap RT 4.II, ketika jalan di depan masjid hendak dicor blok,” ujarnya. Ada gemuruh emosi yang mendidih di pusat peredaran darahku mendengar penuturannya. Tak salah memang! Tapi secara etika, itu benar-benar menyinggung perasaan mahasiswa KKN. Bagaimanapun, kami tetaplah mahasiswa yang masih merengek orang tua dalam perkara duit. Aku tak tahu bagaimana warga memahami posisi terjepitnya mahasiswa KKN. Jangankan untuk menyuntik dana, untuk kebutuhan sehari-hari saja, mahasiswa KKN musti pintar-pintar gali lubang-tutup lubang. Apakah mereka tak memahami bahwa mahasiswa bukanlah pemilik perusahaan, bukan pula kepala perwira. Mahasiswa—apalagi mahasiswa kampusku—adalah termasuk masyarakat yang kelas menengah ke bawah, kemudian mereka menyisih di perguruan tinggi untuk mematangkan diri. Salah besar kau, jika beranggapan bahwa kami bak ratu kidul yang turun dari kayangan, lalu mengucurkan kepingan emas ke masyarakat.
Kami adalah bagian dari warga negara yang tersisih. Kami bersama-sama warga tersisih lainnya berupaya mengurangi jurang pemisah yang terlampau lebar itu. Kami tak menawarkan janji yang muluk-muluk. Impian kami cukup sederhana, mambaur dalam kebersamaan. Kami adalah perantau yang hanya bermodal semangat. Kemampuan yang kami miliki serba sangat terbatas. Dalam pengalaman, kami bukanlah apa-apa dibanding masyarakat. Apalagi dalam perkara materi. Jika kesan awal yang terbangun bahwa KKN adalah golongan kelas elit maka amat keliru. Keliru sekali.
Aku sangat salut dengan salah satu warga di ujung timur, suatu hari saat berbincang-bincang dengannya. Orang itu sangat hangat, cair dan terbuka. Ia punya pandangan jernih, bahwa misi utama KKN bukanlah membangun “tembok-tembok”.
Jika demikian apa dong tugas negara?! Kesatuan jiwa dan perasaan, itulah yang sebenarnya menjadi bidikan utama mahasiswa KKN. Seintim mungkin, mahasiswa KKN mampu menjalin dan mengeratkan diri dengan warga. Silaturohmi inilah yang menjadi ujung tombaknya. Pola-pola persuasif yang digalakkan adalah upaya menyatukan diri dalam kebersamaan. Jika hati sudah saling menyatu, insyaAllah semua akan berjalan seiring, demikian katanya.
Orang itu terus saja berkhutbah sampai aku susah pulang. “Apalah arti sebuah bangunan-bangunan fisik jika tak mampu membangun kepribadian, seperti kemandirian, tabah, ulet, toleran, jujur, saling menghargai, integritas tinggi dan egaliterisme. Di sanalah lahan yang mustinya digarap oleh mahasiswa KKN. Jika itu mampu diwujudkan, mahasiswwa KKN telah menyumbangkan aset besar bangsa oleh sesuatu yang berwujud wadag,” ujar orang itu.
Anda lihat sendirikan, kehancuran bangsa ini disebabkan oleh laju pembangunan yang mengalir deras tanpa diimbangi pembangunan alam pikiran masyarakat. Akibatnya masyarakat jadi manusia konsumtif, punya ketergantungan tinggi terhadap barang-barang jelamaan industri. Warga jadi manusia penikmat produk-produk industri. Saban hari, kita hanya terpaku pada layar TV yang mempertontonkan tayangan memabukkan, picisan dan
penuh kepalsuan. Masyarakat dibikin tak percaya diri dengan tradisi yang digenggamnya. Anak-anak muda merasa gengsi jika tongkrongannya di masjid. Itu mah tak modern! Anak-anak muda ya musti di kafe dan di diskotik.
Kita selalu merasa bangga dan nyaman jika telah mampu membeli barang-barang mahal, jika mampu membikin mentereng rumah dan jalan-jalan. Pendek kata, semua yang berbau materi kita agungkan. Sesuatu yang berbau rohani, spiritual, mentalitas kita anggap angin lalu. Tak penting! Yang penting sekarang adalah bersaing memupuk materi. Berpacu dengan waktu demi sebuah kebahagiaan.
* * *
Malam Jum’at, 21 Juli 2005
Lumat-lumat suara ayat suci Al-Quran terdengar dari bilik posko KKN. Di bawah cahaya rembulan purnama, kesunyian menggiringku dalam kerinduan masa silam. Suasana religius yang melekat pada tiap manusia adakalanya berbinar setelah sekian lama terlapisi karat. Mustikah ketakutan pada hal-hal ‘aneh’ menyeretku dalam kehancuran?
* * *
Sabtu Pagi, 23 Juli 2005
Inilah saat-saat terbaik bagiku untuk mendekati-Nya. Suasana pondokan KKN adalah amtsal kecil dari perjalanan panjangku dalam menguji keyakinan pada Dzat Maha Sejati. Ketegangan-ketegangan yang meradang selama ini, adalah wujud ketidakseriusanku menapaki lorong-Nya. Semestinya kuhempaskan saja hal-hal yang berbau tahayul, bid,ah dan khurafat itu.
Kenyataan kerap mencetak kita di luar daya dan upaya yang kita rencanakan. Sesuatu tiba-tiba muncul di hadapan kita. Kita pun lantas lemas-lunglai dan pasrah. Di sanalah kita tiba-tiba menemukan semburat cahaya baru. Kita pun melangkah di sana tanpa pernah kita rencanakan dari semula.
* * *
Ahad, 24 Juli 2005
Tarmaji, itulah nama yang bikin merah telingaku. Dia adalah salah satu pengurus desa bagian pembangunan. Dialah yang menodongku di tengah terik mentari yang menyengat.
Saat itu, tenagaku lagi terkuras habis lantaran kerja bakti ngecor jalan. Di tengah nafas yang kembang kempis lantaran usai memikul semen satu sak, tiba-tiba si Tamudji mengancamku. “Mas KKN berani nyumbang berapa?! Jalan ini masih panjang!” ujarnya sambil menyodoriku selembar kertas berisi donatur-donatur. Di situ tertulis nominal-nominal Rp. 300. ribu, 400. ribu, 500, ribu… dan seterusnya.
Aku hanya bisa meringis saat orang bertampang mbesungut itu mengiterogasiku di tengah kerumunan warga. Aku tak berkutik. Nyaliku ciut dan hanya kalimat singkat yang meluncur dari mulutku, “Inggih…, Mengke kulo rapataken kalian rencang-rencang KKN.” Aku seperti maling yang tertangkap basah. Anganku mengawang ke angkasa, dari mana uang sebanyak itu kan kudapatkan…Pucat-pasi wajahku, seperti tertelan kabut malam. Di tengah-tengah orang brengsek itu nyrocos tanpa koma, tiba-tiba salah satu warga unjuk rasa membelaku. “He…Pak jangan gitu!! Dia ini sekolah, mahasiswa. Di
sini bukan untuk ditodong. Kalau memang punya uang ya dikasih. Tapi, kalau nggak ada gimana? Caranya jangan seperti itu dong!” Seketika orang tak tahu adab itu terdiam, meski raut wajahnya tetap seperti banteng mau nyruduk pohon. Orang itu merasa ada yang melawan, kemudian ia sedikit mengendur.
“Baiklah…!ntar dirapatin dulu sama teman-temannya. Kulo entosi..,” cetus orang itu. Setelah insiden itu semangatku down. Kerja tak bergairah. Aku nggak punya semangat untuk melanjutkan KKN di dusun ini. Buat apa tinggal lama-lama di sini, jika hanya materi yang mengganjal di mata warga. Tak ada greget sama-sekali aku untuk membangun mentalitas, kebudayaan dan agama. Toh, itu semua tak ada artinya sama sekali bagi warga. Aku pulang dengan menyunggi segumpal kemurungan. Langkahku seperti tak berpijak di bumi. Hatiku tak bertautan lepas…!
Senja tiba. Tadarus bersama kembali kujalani. Usai itu, Bagus—putra pak Supri yang agak heng—mengajakku kembali memeras keringat di ujung desa. Kerja bakti malam-malam melanjutkan langkah yang belum usai. Di keramangan malam yang tersoroti lampu pertromax, sosok Tarmuji kembali terlihat. Ia berjalan bergegas ke arahku. Aku sudah menyiapkan sebuah jawaban, jika ia benar-benar menagihku. Jawaban yang barangkali tak pernah terpikir dan terbayang olehnya. “Pak kami tak punya uang selempeng pun. Mau apa kau?!” dan kalimat itu akan kulontarkan di mukamu, dengan tegas dan jumawa. Akan kukatakan bahwa mahasiswa bukanlah sapi perahan. Untuk sekedar bertahan hidup saja, kami harus berjuang mati-matian, kami tak bisa memberi materi apapun, karena kami memang masih mengembik sama orang tua.
Tapi rupanya, keinginan untuk membalas kekalahanku siang tadi tak kesampaian. Si Turmuji ternyata tak berhenti dan menagihku. Ia berjalan terus ke arah yang tak kutahu. Ia mungkin sudah lupa denganku.
* * *
Senin siang, 25 Juli 2005
Tak baik menggantungkan hidup pada orang lain. Orang yang kau anggap enak kehidupannya pada kenyataan sama juga dengan kita-kita. Sama-sama dalam kegamangan, ketidak menentuan dan diliputi kegusaran.
Siang itu, di ruang tunggu wartel Kopma saat aku mau balik ke lokasi KKN, aku berpapasan dengan kawan lamaku yang sudah setahun tak berjumpa. Dion namanya. Kurang lebih tiga bulan semenjak ia mengenakan jubah hitam dan memakai toga sarjana, arah hidupnya berbalik 360 derajat. Ia kini menekuni dunia kerja. Jual beli buku, lalu keuntungan yang tak seberapa itu ia gunakan untuk mengganjal perutnya. Ilmu-ilmu yang ia pelajari di kampus selama ini, tersimpan di gudang. Ilmu itu terlampau mengawang-uwung, tak mampu ia bumikan. Demokrasi yang ia perdebatkan selama ini tak terpakai sudah…Madzab, teologi, filsafat, dan sekeranjang istilah lainnya, seolah pergi begitu saja kala memasuki dunia kerja.
Ada pesan tersirat saat aku berjumpa dengannya pagi itu. Rasa percaya pada kemampuan diri tak boleh tergadaikan. Keyakinan pada sebuah proses yang kelak pasti menemukan kilau cahayanya, harus kugelorakan kembali. Dan mandirilah. Jangan mudah menyerah, lantas berpangku tangan dan mengharapkan uluran tangan orang lain. “Tekunilah. Istiqomahlah di lorong yang kau tapaki,” pesan Dion kepadaku. Terima kasih sobat.
* * *
Rabo, 26 Juli 2005
“Prek..!!!” bicara soal pendidikan, agama, kesenian dan kebudayaan dalam masyarakat desa. Tak butuh itu semua. Yang kita butuhkan adalah konkret; pembangunan fisik. Titik!. Dua minggu hanya klontang-klantung. Gak punya kerjaan apa-apa…?
Pedih sekali malam ini. Kabut kemurungan masih menyelimutiku dan mungkin juga teman-temanku KKN. Susah payah memikirkan solusi untuk problem sosial, rupanya tak ada manfaatnya sama sekali. Uang…, uang… uang…, itulah yang diinginkan dusun ini. Jika datang tak monomer wahidkan berhala yang bernama uang, jangan harap pulang dengan menyungging senyum. Malah senyum kecut yang terselip di bibir masyarakat.
Aku masih dalam kegamangan, apakah mayoritas warga dusun ini berpikiran seperti itu. Sempit dan wadag?
Aku ingin meregangkan ketegangan-ketegangan pikiran dan meredakan gejolak hati. Malam ini aku ingin tidur, berkati mimpiku Allah.
* * *
Jum’at petang, 29 Juli 2005
Aku akan menjadi manusia serius lagi. Setidaknya di pondokan KKN ini, tak akan lagi lahir dari mulutku jog-jog humor, plesetan-plesetan atau gojlokan-gojlokan. Aku tak ingin melukai perasaan orang lain. Mungkin, keceriaan yang kuenduskan selama ini belum terbaca apalagi dipahami oleh sebagian kawan-kawan sehingga itu dianggap serius. Dan akibatnya lecet. Aku yang menjadi sasaran kekesalan. Aku dianggap arogan, jumawa, tak cinta kasih dan tak perasaan. Inilah yang kukhawatirkan sejak semula. Jika memang ingin menciptakan suasana humor ya mbok yang totalitas. Ndak usah pilah-pilah. Toh itu cuma humor agar mencair kebekuan-kebekuan. Jangan lantas, suasana humor disikapi dengan serius dan masuk ke hati. Ya, itu namanya membunuh karakter dengan menelikung sembunyi-sembunyi.
Semalam, belum lenyap dari ingatan oleh ulah sebagian warga yang menuntuut berlebihan, aku ditikam lagi. Aku meringis di samping gawang pintu, menahan malu. Sehebat apapun apologi yang kukerahkan, toh ambrol juga pertahananku. Gimana nggak malu, selingan humor-humorku saat memimpin rapat semalam, mendadak dihakimi oleh teman-temanku sendiri. Tak ada yang membela. Karena memang aku yang menjadi juru bicara. Jadi lebih besar kemungkinan resikonya. Teman-teman lain selamat, karena memang sekecap-sekecap ngomongnya. Lha aku?!
Akupun menahan kekecewaan mendalam. Aku langsung meninggalkan pondokan angker itu tanpa pamit. Pagi-pagi aku baru pulang. Aku merenung sebentar, dan keputusan pahit itu aku ambil; serius. Ya di komunitas KKN ini, aku memilih bersikap serius, ketimbang kepleset. Aku sebenarnya tahu, hal itu tak mungkin aku lakukan. Itu sangat konyol. Kekocakan yang tersisa selama ini mustikah tiba-tiba kuganggu dengan sikap seriusku. Itu jelas tak mungkin. Tapi jika aku larut dengan suasana yang diciptakan KKN aku pasti akan ditikam untuk kedua kalinya. Ah… embohlah…!
* * *
Senin pagi, 1 Agustus 2005
Konflik-konflik internal yang membara di kelompok KKN, takkan kugubris. Anggap saja tak ada apa-apa. Tak perlu ada ruang blak-blakan. Biarlah nantinya terkikis dengan sendirinya. Capek aku. Terlalu kekanak-kanakan!
* * *
Selasa, 2 Agustus 2005
Keberadaan KKN sepertinya perlu dikaji lagi. Jika masyarakat desa sudah tak punya daya resistensi lagi terhadap gelombang globalisasi, peserta KKN seperti berhadapan dengan macan dalam kebun. Mengerikan! Dari letak geografis dan fisik, desa memang masih kelihatan rukun, ayem, santun dan semangat kegotong-royongannya masih kental. Namun, di alam kejiwaan masyarakat, nyaris seperti macan kelaparan barang-barang industri. Akibatnya selera dan tradisi pun terkikis. Pos-pos ronda sepi, masjid dan surau hanya dua-tiga jama’ah. Bahkan semakin punah, karena hiburan TV menyediakan semuanya.
Ketika pasukan KKN hadir, yang terbersit di batok kepala masyarakat, hanya uang dan materi. KKN menawarkan kebudayaan, dimentahkan. Jika menuruti kemauan masyarakat, jelas tak mungkin ?
* * *
Kamis, 4 Agustus 2005
Kabar duka dari negeri kelahiranku. Lebih perih kurasa dari pada menjalaninya.
Duh Gusti… mengapa derita nestapa keluarga tak kunjung usai. Kenapa tak Kau timpakan saja ke pundakku. Aku lebih tak sanggup menyaksikan dan mendengarkannya. Himpitan ekonomi yang menyesakkan itu mengabadikan dukaku.
Pukul 5.45 WIB, di ruang tengah posko KKN, saat mataku masih tertutup, kakak sulungku menelepon aku. Ia mungkin sedikit penasaran, kenapa tiba-tiba aku menanyakan keluarga sehari sebelumnya. Aku merasakan kegetiran di sana. Meski kakakku tak berbicara tentang kabar buruk. Ada kegelisahan yang tertahan sengaja disembunyikan, agar tak mengacaukan alam pikiranku. Dalam namun kuat, pengaruh telepon pagi ini. Kesadaranku terseret dalam sebuah sumpah pengabdian; “Kelak semua derai air matamu takkan kubiarkan mengering terhisap masa..”
Kabulkan pintaku ya Allah… untuk membuat mereka tersenyum…
* * *
Sabtu, 6 Agustus 2005
Keakraban mahasiswa KKN dengan pemuda kampung seperti tak mengenal batas-batas kewajaran. Peserta KKN sudah dianggap bagian dari mereka. Tak ada ruang yang disembunyikan. Hal-hal yang tabu di masyarakat, justru enjoy ketika bersama mahasiswa KKN. Akhir Juli 2005 kemarin, saat pemuda desa menenggak dua botol anggur merah cap orang tua yang dicampur sebotol coca-cola, mahasiswa KKN tak mampu mengelak ajakan mereka pada paruh malam itu. Di tepi pematang sawah desa itulah, awal kali batas-batas kewajaran lenyap.
Ah, pemuda kampung itu datang lagi. Tak ada waktu lagi aku untuk menulis...
* * *
Bakda Ashar kulanjutkan semampuku untuk menulis. Apapun kesibukanku di lokasi KKN ini, semoga saja masih ada sisa waktu dan kemauan untuk menulis di buku harian ini.
Ilmu buku yang kutelan saben hari, adakalanya terejawantahkan dalam kenyataan hidup. Buku, memang tak selamanya mampu menggiringku dalam menemukan solusi.
* * *
Ahad, 7 Agustus 2005
Aku tak tahu, di manakah batas-batas kewajaran dalam mengikuti arus. Di sinilah kesulitan membedakan antara hanyut dengan mengalir. Mahasiswa KKN laksana pintu gerbang keraton yang tak terkunci, bahkan terbuka selalu. Wajah ‘keangkeran’, eksklusif, elit, intelek, seolah tak tersirat sedikitpun dari peserta KKN. Warga—khususnya pemuda desa—memandang mahasiswa KKN sebagai qurratul a’yun; ‘penyedap mata’. Ada warna-warni suasana dengan kehadiran mahasiswa berjas itu.
Tapi di sinilah mahasiswa KKN seperti menghunus sebilah pedang bermata dua. Satu cita-cita terwujud, resiko monyong pedang menghadang. Posko memang jadi tempat pelarian, tatkala kesuntukan di rumah mengurung mereka. Tapi riuhnya itu yang kadang bikin nafas naik-turun. Kamar privacy laki-laki jadi studio pemutaran film biru. Tengah malam serasa tak punya nyali untuk menolak permintaan mereka yang ingin ngobrol dengan peserta KKN cewek. Jikia anggur merah menanti, tak bisa tidak peserta KKN musti ditarik untuk turut menenggak minuman penghangat tubuh itu.
Di manakah pertahanan mahasiswa KKN, untuk kemudian mengambil ancang-ancang melompat? Jika sekedar mengalir tanpa melakukan ‘pelurusan-pelurusan’, maka tak ada sumbangsihnya mahasiswa KKN terhadap pencerahan. Mungkin istilah ‘diterima’, Ya! Tapi untuk melakukan perubahan-perubahan sebagaimana amanat seorang mahasiswa; ‘agent of social change’, tunggu dulu.
Yang dilakukan mahasiswa KKN adalah upaya penyelamatan diri dari picingan mata dan senyum sinis warga, meski sedikit-demi sedikit mahasiswa KKN nyrempet-nyrempet ke perihal ‘membahayakan’ itu. Yang terjadi selama ini, mahasiswa KKN masih dalam upaya masuk dan mengambil posisi di hati mereka belum melakukanm manuver-manuver yang diamanatkan kampus.
Ah, mungkin tak apalah…Asal satu catatannya; tak menambah noda hitam di daerah Polda ini.(pol daratan, maksudku). Mahasiswa KKN juga manusia biasa, sama seperti warga. Bahkan dalam wilayah-wilayah tertentu, warga jauh lebih unggul; corak berpikirnya, ketanggapannya, skillnya…dsb..Yang membedakan cuman ‘pencitraan’ saja. Mahasiswa KKN seolah memiliki citra intelektual, elit, status sosialnya lebih dikit. Padahal mitos-mitos itu tak selamanya benar. Mahasiwa juga terkadang sangat pekok, tak tanggap, dan jauh lebih pemalas. Dari mana mahasiwa hendak melakukan gerakan-gerakan pelurusan, sementara di segala linier, mahasiswa juga sama-sama meiliki ‘bakat’ terpendam; mendem, gemar nonton film gituan, manja, dan pemalas.
* * *
Ahad, 14 Agustus 2005
Di masjid Pakualam ini, kutemukan kembali ketenangan hati. Usai Magrib,
beberapa orang berjubah putih tengah mengaca diri kepada keagungan akhlaq Rasulullah. Diwedarkan kisah-kisah tauladan nabi, keutamanaan-keutamaan dzikir, iktikaf di rumah Allah, serta kisah-kisah Allah, serta kisah-kisah di alam akhirat kelak. Suara bapak paling sepuh itu terdengar lembut saat memberi wejangan-wejangan mulia. Cinta dan kasih sayang. Ah… seandainya komunitas KKNku seperti mereka-mereka, berhati lembut, memiliki satu impian yang sama; gandrung dengan Muhammad…
Kecocokan! Setiap sesuatu pasti ada cocok dan tidaknya. Seperti si pasien yang cocok-cocokan dengan dokter, dalam berkawan pun juga demikian. Tak selamnya, seorang tertawa lepas terus. Tergantung dengan siapa ia berkontak.
“Mas… mas.. mas.. bawa sepeda. Sepedanya dikunci saja atau dibawa masuk biar aman.” Seorang jamaah tabligh yang serba putih itu, tiba-tiba mengagetkanku. Dan tergopoh-gopoh aku dibuatnya. Eh, ternyata bukan sepadaku yang dimaksud. Buyarlah lamunanku.
* * *
Dini hari, Senin ; 15 Agustus 2005
Serangan-serangan nyamuk telah membangunkan tidur malasku. Di hamparan lantai pers kampus inilah, aku merasakan dorongan untuk bangun malam. Aku teringat Indaniku yang susah di kostnya. Ada ketidaklegaan di hatinya, saat ke pulanganku dari lokasi KKN membawa segepok keresahan. Semestinya aku tak membuat murung hatinya semalam. Aku telah mengikis masa-masa bahagianya dengan cerita-cerita menyesakkan. Semestinya aku menyambutnya dengan senyuman bahagia, agar hilang gundah gulananya selama ini. Kesuntukkan yang memasungku, musti kutaklukkan agar tak mengimbas ke orang lain. Kasihan Indani…
* * *
17 Agustus 2005
Aku hanya bisa menghela nafas panjang. Malam ini di dusun KKN tengah merayakan kebebasan hasrat sesaat di HUT RI ke-60. Dengan lepas kendali, mereka meluapkan ambisi egonya. Bapa-bapak, anak-anak muda, hingga yang paling tragis; anak-ana kecil, tumplek blek di depan panggung.
Ya, anak-anak yang semestinya tak mengkonsumsi tontonan selera rendahan itu, tertengadah di depan panggung paling ujung. Matanya menatap tanpa jemu seorang penyanyi wanita berdandan seronok. Panggung ndangdutan, orkes elekton tunggal, seorang artis, adalah seteguk air yang akan mengobati kehausan mereka.
Ah, teramat kasihan bocah kecil itu. Masa depannya masih panjang, tapi harus terpolusi dengan kesenangan-kesenangan orang dewasa. Segala yang berbau merangsang, menggairahkan, dan menggemaskan pun merasuk dalam jaringan otaknya.
Mungkin, anak itu kelak tak mampu menentukan pilihan hidup yang sehat dan yang memabukkan. Panorama goyang pinggul yang bikin jantung dag-dig-dug serasa panorama yang musti dilestarikan kelak. Bagaimana nasib anak-anak itu 10-20 tahun mendatang?
* * *
Kamis dini hari, 18 Agustus 2005
Adakalanya kita menyerberangi momentum, di mana peran nabi Ayyub yang malang kita jalani. Atau Musa yang garang. Atau Khidir yang serba bisa, namun sembunyi dari mata masyarakat. Anggap saja kita berakit-rakit ke hulu, tanpa pernah merasakan enaknya tepian pantai. Semua musti tetap tegar. Lempar jauh-jauh penilaian orang lain tentang kita. Terserah kata mereka. Terkadang kita musti rela dianggap kekanak kanakan, bloon atau tak punya nyali. Jangan pernah mencitrakan diri di hadapan orang lain. Meleburlah bersama mereka, untuk kemudian kita menjadi penggembala.
* * *
Awal September 2005
Saat masa KKN tinggal di ujung penantian….
Seperti sebutir pasir di hamparan pantai, itulah kami, sekumpulan anak-anak muda dengan segala keterbatasannya memberanikan diri menimba ilmu di dusun Pasir ini.
Sepenggal kisah di Negeri Pasir itu telah rampung kubacakan di malam perpisahan. Beratus pasang mata menatapku dengan trenyuh, saat kenangan-kenangan masa silam kuangkat kembali. Ada tawa dan tangis. Suka dan duka…
“Mas, saat sampeyan membacakan kisah semalam, bapak-bapak dan ibu-ibu sebagian menangis. Pak Dukuh juga terlihat sesunggukan,” ujar Bagus, si anak SD kelas V yang bandelnya minta ampun itu. Begitu pula bapak sosial. Saat itu turun dari mimbar, dengan berbisik ia mengatakan, “Cerita sampeyan sangat membuat hatiku trenyuh. Mas, sangat paham merangkai kata,” ujarnya.
Memang aku merasakan hawa syahdu itu. Seluruh hadirin, seolah tengah mendengarkan keputusan hakim yang menegangkan. Namun ketercengagan hadirin malam itu diselimuti dengan perasaan haru. Hampir tak terdengar percakapan saat aku membacakan kisah itu dengan agak terhenti-henti, seolah perpisahan itu suatu hal yang meninggalkan luka-lara. Sebagian anak-anak kecil, usai kubacakan cerita sepanjang tiga halaman dan berspasi satu itu tak tahan lama-lama di lokasi pengajian. Mereka langsung melangkah pulang, dengan setumpuk kenangan yang membara. Mereka pun terisak menangis.
Lalu bagaimana dengan teman-teman KKN dari dusun lain yang menyaksikan peristiwea itu? Hampir serupa, pernyataan yang mereka lontarkan, meski aku pura-pura tak tahu. “Aku tadi seandainya tak kutahan, air mataku suda tumpah,” ujar Roni, dari lokasi desa sebelah. Mahasiswa KKN dari kelompok satu, pagi-pagi juga menyusul. Dua orang langsung tiba ke posko, hanya untuk menjiplak naskah itu, untuk mereka bawakan saat sambutan nanti di malam perpisahan.
* * *
14 September 2005
Kutahan sekuat tenaga dan kusembunyikan semampuku. Toh, air mataku tak kuasa jua untuk kutahan. Perpisahan malam itu begitu membuat hatiku bergemuruh. Aku tak kuasa menatap bocah-bocah lugu itu diam penuh kepiluan. Dan,…….ah, anak-anak kecil itu kudekap erat lama. Kubelai rambutnya, kusayang dan kubisikkan kata, “Maafkan kakakmu ini ya, Dik!?” Air mataku pun terlanjur tumpah.
Kini aku pulang kembali di kampung mahasiswa. Cerita di negeri pasir telah usai, hanya tinggal kenangan. Setidaknya dua bulan berinteraksi dengan kawan-kawan membutku semakin tahu, bahwa di sana bukanlah komunitasku yang cocok. Semuanya hampir nyaris kompak dalam ke’narsis’annya. Membagakan diri, dan memandang rendah orang lain yang di luar komunitasnya. “Sangar”, demikian si Endro, salah seorang warga menjuluki gadis-gadis KKN. Bicaranya hamtam kromo dan selalu superior. Mungkin Tuhan mengajariku agar terkikis ke-akuan.
* * *
--TIGA BELAS--
15 September 2005
Aku berdiri di sini. Terpaku, menatap gulungan ombak yang tak henti berkejaran. Di ujung sana, pandangan mataku tertuju pada selintas garis lurus yang menghubungkan laut dan langit. Tetapi, orang-orang kerap mengatakan garis itulah yang memisahkan laut dengan langit. Garis itulah, yang membatasi wilayah luasnya langit dengan hamparan bumi. Ah, biarlah aku saja yang tak sepakat dengan pendapat mereka. Bukankah sebelum orang menginjakkan kaki ke kampung akhirat, terlebih dahulu orang menjangkah kampung di bumi.
Kulihat Indani masih terdiam dan bertopang dagu, seperti si anak kecil yang murung karena permainannya terhanyut di sungai. “Lenyapkanlah keakuan itu Indani. Biarlah nilai-nilai mulia yang kau ajarkan itu yang abadi. Jangan sedikitpun berhasrat agar diri ini dikenang manusia.” Demikian nasihatku sore itu.
* * *
25 September 2005
Kakak Sulungku, Ahad malam akan melamar seorang gadis asal Sumatera. Namanya Arum. Ia masih muda belia. Kelahirannya 19 April 1980. Enam tahun di bawah kakakku.
Ada sesuatu yang menghentak batinku. Apakah masih mungkin, aku merengek minta uang kepada kakak yang sekarang sudah memiliki purnama hati…?
“Dik, kapan wisudamu?” SMS kakakku kemarin itu sungguh menggedor-gedor kesadaranku, meski setelah aku terbangun aku tertidur pulas lagi. Tak mungkin, uang penghasilan kerjanya dibagi untukku dan keluarganya. Amat sangat tak cukup. Mestinya kemandirian itu sudah kujalani. Orang tua dan kakakku sudah semestinya tak menanggung lagi biayaku.
* * *
Awal Ramadhan, 1426 H
Setitik cahaya sedikit mengurangi kemurunganku. Humas Pemda Sleman menyambutku dengan baik. Keinginanku kerja dengan menjadi reporter di Tabloid milik Pemda itu akhirnya diterima.
Aku ingin merangkak perlahan, dengan membuktikan bahwa aku adalah yang terbaik dalam bikin tabloid dan majalah. Ada luapan kegembiraaan yang ingin kuungkapkan. Tapi aku berusaha untuk menahan. Aku tak ingin berita ini diketahui
banyak orang, sebelum aku benar-benar membuktikannya.
Keruwetan di pers kampusku tak perlu kupikir berlarut-larut. Hanya bikin tambah strez! Lha wong orang-orangnya nggak ada yang greget sama sekali untuk diajak membangun lembaga pers ini. Sekretaris umumnya, omong kosong! Pemrednya, tak usah diharapkan! Kepala Litbangnya, sudah lama mati! Bendahara umum dan kepala PSDMnya, ah, wanita cukuplah mereka sekedar mampir ke langgar pers kampus, sudah lumayan. Imam, Yesmi, Upik, Elok, Dewi, I’ing, Pungky, Jazuli, Eriks, Darmin…ah, aku tak tahu kemana rimbanya mereka…
Tinggal Aghus sendirian dan Pendi yang masih hijau muda. Teman tidur! Redaksi yang menjadi benteng akhir, kini seperti tanah yang ugil-ugil diterjang badai. Aku maju sendirian, ah itu tak mungkin rasanya, meski sebenarnya bisa saja. Tapi dalam berorganisasi, pers ini telah gagal kolektif. Jangankan untuk mewujudkan impian yang melangit itu, untuk sekedar berkumpul saja, sudah tidak mungkin rasanya. Mungkin tak akan pernah bisa! Yang ada adalah kepentingan abadi!
* * *
Azan Subuh menggema. Rabu, 5 Oktober 2005
Nilai intrinsik puasa itu seperti halnya kita menarik pandangan ‘mata’ untuk sekedar mengambil jarak dengan ‘sesuatu’. Sesuatu itu bisa berujud rutinitas, realitas jagad, atau pula sesuatu yang paling intim dalam diri manusia; perjalanan keimanan.
‘Jarak’ itu dibutuhkan agar mata batin—juga mata lahir—bisa memandang dengan jernih dan obyektif. Ada ruang untuk mengendapkan hati dan perasaan; merenung, kontemplatif, I’tikaf, evaluasi diri!
Duh, Gusti…di awal Ramadhan ini, perkenankan hamba-Mu yang dho’if ini keluar dari belenggu rutinitas yang membekukan hati ini. Hamba yakin, di luar sana terdampar hamparan hikmah dan spiritualitas yang mengendap-endap, menanti setiap pencari cinta-Mu.
Menjelang subuh ini, aku merasakan kehadiranmu Ramadhan. Hatiku tersirami, seolah kau menyeretku keluar dari lingkaran yang membelengguku ini. Kutatap awan putih berarakan. Di bunderan sembilan itu, aku tertengadah memandang keluasan cakrawala-Nya. Aku seperti setitik debu yang untuk melompat ke pangkuan-Mu pun tak mampu. Aku butuh Engkau, Rabb…!!
* * *
7 Oktober 2005
Maafkan hamba Rabb…
Beberapa hari ini aku tak sempat bersama-Mu. Hamba yang lemah dalam segalanya ini, terseret kencang oleh hingar-bingar suasana. Bahkan untuk menjenguk buku harian ini pun, nyaris tak sempat.
Impian-impian yang dulu terbayang, serasa menghampiriku. Aku tak tahu, masa depan yang membawaku kelak seperti apa? Yang kuketahui, masa depanku adalah setiap impianku yang tiba-tiba saja muncul tanpa kuduga. Semua seolah hadir dan menyerobot begitu saja. Setahun silam, aku pernah berpesan kepada Indani agar setiap kata yang terucap, angan-angan yang terlintas, dan harapan yang muncul senantiasa kita anjurkan ke hal-hal yang disukai Tuhan.
“Itu adalah do’a kita. Dari sanalah, Yang Maha Tak Terjangkau memperhatikan
dan mendengar keluhan kita. Sejauh apakah impian kita, sejauh itulah kualitas diri,” ujarku pada Indani suatu hari di teras kosnya.
* * *
10 Oktober 2005
Terjatuh berulang-ulang. Bayang-bayang yang ada di hadapan mataku, tiba-tiba lenyap seketika dan meruntuhkan heroismeku. Aku pun kecewa.
Tapi…bukankah itu yang akan mengokohkan jiwa ini?! Hantaman demi hantaman, sebenarnya adalah latihan…
Hingga saat ini kabar dari Pemda tak kunjung tiba. Sudah seminggu ini, sejak bagian Humas itu menjanjikan akan menyerahkan proyek tabloid padaku, tapi katanya, Kebag Humas yang berwenang, masih belum kelihatan di kantor. Dan SMS ku kemarin, belum juga terjawab. Kabar baik dari Faisol—akan bikin media pelajar—masih dalam proses. Ah,… kapan harapan itu terwujud?
Sekarang aku sudah menapaki di semester IX. Semester X, nggarap skripsi. Semester XI munaqosah dan wisuda…? Harus bisa.
* * *
Ahad, 16 Oktober 2005
SMS itu kembali menteror Indani. Semalam air matanya tumpah.
“Usahlah hubungan kita, Mas. Kakak-kakakku terus-terusan memaksaku. Jika aku tetap bersikukuh, maka mereka akan menyetop uang kirimanku kuliah,” kata Indani semalam. Aku bingung. Jika aku masih bersama Indani, itu artinya aku membunuhnya. Indani memang tak bisa merdeka. Dia masih dalam cengkeraman kuat keluarga.
* * *
Selasa, 23 Oktober 2005
Kepanikanku sama halnya dengan teman-teman lain yang menghuni sekretariat kampus. Sebentar lagi gedung-gedung tempat mereka berbagi rasa akan dibuldozer dan dipindah ke ruang sempit. Dengan jam waktu bersumbu pendek. Dengan pengawasan satpam.
Persoalanku sebenarnya adalah perkara financial. Dalam kehidupan yang serba susah ini, jangankan untuk mencari kos-kosan, untuk sekedar mencari ganjal perut saja sudah minta ampun susahnya. Sejak harga BBM membumbung tinggi, semua jadi kacau. Meski demikian sebenarnya kreatifitas manusia justru semakin mendapat tantangan. Iya, aku musti mampu bertahan hidup! Tak boleh menyerah! Singkirkan baju-baju gengsi! Saatnya aku melangkah dengan terompah-terompah apa adanya. Urusan baju, bolehlah kutitipkan kepada teman-teman.begitu pula dengan buku-bukuku, akan kutitipkan kepada Indani. Mandi dan lain-lain…? Numpang! Ah, pasti repot! Tapi, tak apalah. Memang demikian kondisinya…
* * *
--EMPAT BELAS--
Ahad, 6 November 2005
Malam takbiran kemarin, waktuku tertelan di sepanjang jalan menuju pondok pesantren. Ketika sampai tujuan, tiba-tiba terdengar suara nyaring menerobos masuk
melalui jendela kamar pondok. “Kang ke sini bawa apa?! Kalo Cuma bawa (ma’af) penis, pulang sajalah!” teriak seorang santri dari kajauhan. Kupingku panas seketika. Kawanku yang kukunjungi di pondok hanya mesam-mesem. “Nyantai saja kang. Di sini ya begini, perilakunya memang aneh-aneh. Kontradiksi. Vulgar dan norak,” ujar kawanku. Aku langsung mafhum. Tradisi pesantren tak jauh amat. Di sana sini ada yang selalu menarik keingintahuanku. “Perilaku-perilaku nyleneh yang berlangsung sekian puluh-puluh tahun di sini menjadi karakter, sekaligus kekuatan pondok Mbato’an ini,” lanjut kawanku.
“Ya, saya kira memang tak terlepas dari makanan yang dikonsumsinya. Di jilid III, kan memang menjabarkan gerak hati. Menelanjangi setiap diri. Seolah tak ada manusia yamng tak punya luput dari noda, “ sahutku.
Kawanku yang satunya masih terlihat bengong. Melongo. Tak nyambung dengan pembicaraan yang mengalir antara aku dengan temanku, Sahid. Sambil toleh sana-sini, penasaran, ia mengajukan pertanyaan, “Emang kajian apa yang di bedah dan diajarkan di pondok sini?”
Ia nampaknya tak tahu, jika kajian yang kami obrolkan adalah Ihya’ Ulumiddin.
“Memang ada yang mengajarkan demikian,“ tanyanya.
“Dalam Ihya’, Al-Ghozali mengatakan, setiap jiwa yang belum tunduk pada persamaan derajat, masih merasa paling suci, pintar, maka ia musti mengubur jiwa-jiwa itu. Ya, dengan menjatuhkan diri dihadapan manusia. Agar ia terbebas dari belenggu manusia,” terang temanku sekenanya.
Inilah jalan kaum yang merindukan kebersamaan dengan-Nya. Anasir-anasir yang menyerang jiwa, harus ditundukkan. Ia harus duduk dalam kerandahan bumi serendah-rendahnya. Agar jiwa tak lagi dibanggakan. Dan pandangan batinnya tembus tembus ke singgasana-Nya. Kalaupun marah, ia paham akan kemarahannya. Hanya sebagai control. sebagai alat!!
Di sana para santri dengan leluasa mempraktekkan ajaran luhur Al-Ghazali. Jika watak pongah bersarang di sudut hati, maka menghamba adalah laku yang musti dijalani. Jika rasa senang dan tak senang yang mengendalikan setiap perilaku, maka bertahan dalam keduanya adalah langkah yang harus ditempuh.
“Apakah engkau beranggapan, sikap mereka yang demikian adalah terkutuk dan menjatuhkan harga dirinya di hadapan Tuhan. Wallahu a’lam. Hanya Allah yang mengetahui setiap inci gerak gerak hati. Kita tak punya wewenang sama sekali untuk mengklaim mereka sebagai orang bermoral rendah.
* * *
Ahad Petang, 6 November 2005
Suatu ketika, ada seorang anak muda meminta meresmikan perubahan namanya kepada tokoh idolanya. Dari nama yang biasa menjadi sedikit bergengsi. Dari ndeso menjadi sedikit modern. Kosmopolit. Dari yang sekedar nama menjadi sedikit bermakna dan bermuatan filsafat. “Cak, aku pingin sampeyan mendo’akan nama baruku, Raden Samber Nyowo, bla…bla…bla…,” kata pemuda itu rada’ jumawa.
“Kenapa namamu kamu ganti?”
“Aku pingin bangga. Orang tuaku juga,” sahut pemuda itu.
“Nah inilah yang bikin kamu tak lekas beranjak dari egomu. Engkau selalu membanggakan nama, jabatan, dan segala atribut. Buang jauh-jauh itu! Nama itu tak penting. Tapi kualitasmu, itulah yang musti kau tingkatkan!” jawab tokoh idolanya.
* * *
Senin siang, 7 November 2005
Sejak beberapa puluh tahun silam, jalan raya menjadi kawan karibnya. Itulah Suyut. Pemuda berlidah pedal. Jari-jari kakinya menyatu, seperti sirip ikan. Jalan yang sedemikian mulus, baginya tetap seperti berlubang dan mendaki naik turun. Itulah gaya jalannya. Tak ada ceritanya ia menungggang sepeda motor, bahkan sepeda onthel sekalipun. Ia anak kampung. Ia menjadi tenar, lantaran citranya sebagai penyusur jalan dari kampung ke kampung. Di atas aspal yang membara, kaki telanjangnya melangkah. Tak berpeci, tapi tak mengeluh dan merasa kepanasan. Anak-anak kecil kerap jahil. Suyut seringkali mejadi bahan ledakan yang menyenangkan. Tentu saja anak-anak kecil begitu girang, melihat suyut marah-marah. Karena di sanalah kelebihan yang dipunyai Suyut. Nggedumel nggak karuan sepanjang jalan.
Suyut. Siang itu aku masih melihatmu berjalan di tepian. Di bawah terik mentari. Berbekal angan-angan pendek, yang aku tak tahu persis alam pikiranku itu. Engkau rupanya masih setia dengan profesimu. Mengisi sandiwara di panggung dunia ini. bersama tokoh-tokoh yang kerap mengaku linuwih. Mengaku punya peran penting. Peran terhormat, terdidik. Pendek kata masih mengaku lebih tinggi derajatnya ketimbang engkau. Seorang lelaki berwajah nyleneh. Berperilaku aneh. Tak wajar. Penuh kesia-siaan. Bahkan keberadaanmu di panggung dunia ini kerap dianggap tak ada. Seperti sampah itu.
Tapi, engkau tentu tak seperti yang mereka sangka itu. Engkau punya kesunyian hati. Siapa yang paham krentek atimu?! Engkau juga abdi. Sama-sama tak punya daya di kerajaan-Nya. Sama seperti mereka jua. Seperti orang-orang yang kerap memincingkan mata melihatmu. Melihat lahirmu. Kulitmu. Fisikmu. Tampangmu. Bukan menatap dalam-dalam kesunyian batinmu.
* * *
Selasa senja, 8 November 20005
Di perbatasan Malang-Kediri, di sanalah seorang anak mbarep dari dua bersaudara tinggal. Ia tak selayaknya anak muda dengan segala gebyarnya. Dunia kemewahan yang membentenginya perlahan ia kendalikan. Mungkin orang akan mengatakan, kekayaan yang menumpuk telah ia tinggalkan. Dan jubah kesederhanaan ia kenakan. Jalan spiritual itu ia susuri, setelah berjumpa dengan seorang guru dua tahun silam. Jarak dua tahun itulah, aku sama sekali tak mendengar kabar darinya. Apalagi berjumpa dan bertatap muka.
Anak muda itu, namanya Bowo. Ia kawanku sekolah di SMU. Tiga tahun ia menempuh jarak yang tak dekat; Kasambon-Pare. Tak banyak yang ia peroleh dari sana. Malah di akhir sekolah ia menemui kesuntukan. Dunia SMU, sama sekali mahluk asing
baginya. Hanya sisa-sisa kepenatan yang selalu ia tumpahkan di bangku sekolah bersamaku.
Kini, sosok Bowo sama sekali lain. Kedalaman ilmunya, kemantapan hatinya, keteguhan pendirian dan sikap hidupnya yang pasrah. Seperti wayang dalam dunia pedalangan itu. Empat buah kitab ma’rifat ia sodorkan di atas meja. Memintaku untuk menderasnya. Satu kitab yang masih kuingat betul; Tanwirul Qulub.
“Sekarang aku menempuh jalan ini. Jalan orang-orang arif. Dunia maya dengan segala ambisinya kuanggap sekedar main-main. Aku kini tengah mencoba menjalani roda hidup menurut kehendak-Nya. Hanya kehendak-Nya yang ingin kurengkuh. Biarlah kehendakku, melebur dalam kehendak Maha Agung,” katanya padaku.
Aku salut. Sungguh sangat salut. Anggapanku selama ini tentang masa depan dirinya seketika runtuh. Luruh bersamaan dengan segala keinsyafanku.
Siapakah penggenggam masa depan? Apakah masa depan itu? Dapatkah aku membedakan masa depan cerah dan yang buram menurut anggapanku? Anggapanku tentang dunia ini? Anggapanku yang teramat ringkih ini?
Berondongan pertanyaan menyergapku. Tak laik aku menyangka tentang masa depan seseorang. Siapa yang tahu tentang kenikmatan masing-masing, selain diri masing-masing. Siapa yang mapu merasakan kenikmatan kawanku dengan dunianya itu. Aku menyangka, masa depannya kelam. Padahal itu hanya anggapan yang kuukur dengan standar modernitas dan dunia kerja. Bisa jadi Bowo jauh lebih nikmat menyelami samudera-Nya. Melangkah dengan rambu-rambu yang ia yakini. Yang ia imani sebagai jalan hidupnya.
Bowo, semoga perahumu karam di samudera luas-Nya
* * *
Rabu, 9 November 2005
Samsara. Semalam, film pergulatan seorang biksu kuputar. Ada pertarungan maha dahsyat; seorang biksu muda yang terombang-ambing oleh keinginannya. Setelah sekian tahun bertapa dalam gua dan dinobatkan menjadi biksu, rupanya si ‘hasrat’ tak sudi diajak hidup dalam asketisme. Hasrat itu rupanya enggan menempuh hidup berselibat. Sendiri tanpa pasangan hidup. Membunuh naluri seksualitasnya.
Setiap malam, biksu muda selalu hanyut dalam mimpi-mimpi cinta. Dalam bicara, ia terlihat lain dari biksu-biksu lainnya. Rangsangan libidonya begitu kuat tatkala selintas melihat wanita. Seorang biksu temannya menaruh kasihan, melihatbiksu muda yang dibelenggu hasrat seks tiap hari, tiap malam. Sampai-sampai air matanya menggenang menyaksikan gejolak yang bergemuruh di dada biksu temannya. Namun, nampaknya biksu muda tak menyadari bahwa dirinya diamati oleh biksu-biksu lain. Ia tak mengerti bahwa dirinya diperhatikan. Dan amat disayangkan, pertapaannya yang bertahun-tahun itu tak memercikkan api kekuatan. Biksu muda masih terbelenggu nafsu duniawi. Merindukan perkampungannya dengan sawah-sawah terhampar dan gadis-gadis yang menawan hati.
Sudah berulang kali biksu muda diberi tamsilan-tamsilan akan hinanya dunia oleh
maha gurunya. Suatu ketika, di dalam gua yang gelap, ia bertemu biksu yang teramat tua. Janggut putihnya memanjang. Alis matanya yang putih juga ikut memanjang. Tubuhnya kurus. Di hadapan maha guru itu, biksu muda memperoleh piwulang-piwulang. Di sanalah maha guru melihat api sedang berkobar di dada biksu muda. Dengan mata batinnya, maha guru, menyaksikan dengan jelas, bahwa dalam jiwa biksu muda itu tengah bergemuruh nafsu birahi.
Biksu muda sangat kaget. Lembaran-lemabaran ajaran maha guru tiba-tiba menjadi saksi pertarungan dengan hasratnya selama ini. Dalam lembaran yang sudah tua dan lapuk itu, terdapat gambar sepasang manusia; lelaki-perempuan tengah bersenggama. Namun tiba-tiba gambar itu berubah menjadi tulang-belulang. Gambar itu menjelma jrangkong. Sebuah mayat yang sudah hancur dagingnya.
Maha guru tertawa terkekeh-kekeh melipat ekspresi wajah biksu muda yang pucat pasi. Biksu muda ketakutan, lantaran merasa dirinya ditelanjangi.
“Mayat-mayat yang tinggal tengkorak, dan tulang-belulang itu adalah gambaran nafsu kita. Jika kita diperbudak hasrat kelamin, maka jatuhlah derajat kita. Dan kita tak ubahnya tengkorak dan tulang-belulang. Bukan lagi manusia. Tapi seonggok tubuh yang diperbudak. Yang hanya menuruti hasrat seksual,” kata maha guru.
Tapi biksu muda seperti sudah digariskan takdirnya. Ajaran maha guru itu tak digubris. Ia mengambil keputusan berani. Keluar dari biara. Dan melepas baju biksu. Jadi manusia biasa. Manusia yang wajar. Butuh istri, anak dan keluarga. Ia tak tahan hidup berselibat dalam kuil. Selamat tinggal asketisme…!!
Di tengah malam, saat sunyi-sepi biksu muda menunggang kuda. Ia meninggalkan biara tanpa pamit dan kembali ke desanya. Wajah perempuan yang menawan hatinya ingin ia jemput. Dan biksu muda itu akhirnya memang pergi. Pergi dengan meninggalkan kecemasan biksu-biksu lainnya. Mereka sangat menyayangkan keputusan biksu muda. Sangat disayangkan.
Singkat cerita, biksu muda itu akhirnya memang meraih impiannya. Ia mendapatkan istri, dikarunia anak lucu, membangun rumah dan mendapatkan ‘kebahagiaan’ yang ia impikan dulu: seksualitas! Namun, tak adakah persoalan yang menggelisahkan biksu muda setelah semua keinginannya tergapai? Inilah sebuah pertarungan hidup manusia.
Di saat istri dan anaknya riang menikmati kebahagiaan, lambat laun kebimbangan mencuat kembali. Si biksu muda akhirnya merasakan kekeringan. Air kebahagiaan yang selama ini ia idam-idamkan rupanya tak mampu mengobati dahaga hidupnya. Dalam jalan hidup yang ia pilih itu, biksu muda rupanya tak menemukan oase. Ia tak mendapatkan penawar rasa haus yang menjangkitinya. Setiap hari hanya merasakan ‘kehausan’, ketidakpuasan dan terus diombang-ambing dalam kebimbangan. Bahkan beberapa ‘pagar’ telah ia tabrak. Biksu muda senantiasa menginginkan wanita lain selain istrinya. Biksu muda selalu dikejar-kejar nafsu birahinya yang terus memuncak. Dan setiap kali keinginan sesaat itu ia tunaikan, rasa dahaga semakin terasa. Biksu muda semakin tak mampu mengendalikan keinginannya yang bagai kuda liar.
Di saat-saat seperti inilah, kesadaran biksu muda lahir. Ia baru sadar ajaran maha gurunya bahwa dirinya tak ubahnya seonggok tubuh mati yang akhirnya menjadi
tengkorak lantaran diperbudak hasrat seksual. Pertarungan hebat berkecamuk di jiwanya. Alhasil biksu muda itu tergerak hatinya dan ingin kembali ke jalan asketisme. Jalan hidup yang dulu pernah ia tempuh dan diajarkan oleh maha gurunya sebagai penetram jiwa.
Suatu malam, selembar surat dari teman biksunya mampir ke rumahnya. Isinya, maha guru memanggilnya untuk kembali ke biara. Meninggalkan riuhnya dunia dan kesenangan fatamorgana. Di masa kritis itulah, biksu muda mengambil keputusan: kembali menjadi biksu. Bertapa di kuil.
Di tengah malam itu, derai tangis mengiringi kepergian biksu muda. Si istri dan seorang anaknya yang masih kecil-lucu, yang sangat menyayanginya, terus berurai air mata. “Suamiku, engkau mencari ketenangan hidup dengan meninggalkan luka-luka. Menelantarkan anak dan istri. Apakah demikian ajaran Budha Gautama?” demikian gugat sang istri kala mengembalikan bekal yang dulu pernah diberikan padanya saat pernikahan.
“Suamiku, ketahuilah! Susah payahmu menghidupi keluarga. Tekunmu menegakkan keadilan di tengah manusia adalah pertapaanmu yang sesungguhnya. Itulah kuil yang sejati. Itulah ajaran Budha yang dipesankan, bukan hanya menyepi dalam kuil-terpencil…”
Biksu muda bersimbah air mata. Hatinya remuk di antara kepingan-kepingan harapan yang tak menemukan arah muaranya. Pengetahuannya yang sempit tentang hakikat hidup, telah mengombang-ambingnya dalam kebimbangan. Kecemasan, kepedihan dan ketidakpuasan. Tapi nasi telah melumer menjadi bubur. Istri satu-satunya dan seorang anaknya telah pergi meninggalkannya. Membiarkannya menempuh jalan hidup.
* * *
Rabu petang, 9 November 2005
Awan hitam berjalan pelan. Sesekali menutupi rembulan yang masih separo. Setelah seharian penuh aku mengurung diri dalam dinding rumah, akhirnya aku keluar mencari hawa segar….
Beragam warna terpancar di taman alun-alun Pare. Baru kali ini aku berjalan-jalan ke jantung taman kota dengan sengaja. Ada sepasanag muda-mudi pacaran. Ada anak ingusan duduk-duduk melepas kebingungan. Tak paham apa yang musti dilalui. Ada serombongan keluarga menggenapi kebahagiaannya. Mengantarkan anaknya yang masih kecil menyetir sendiri mobil-mobilan sewaan. Berputar-putar mengililingi taman. Sang ayah dan ibu ikut bahagia, melihat buah hatinya ceria mengendari mobil-mobilan plastik itu. Anak muda seusia SMP-SMU yang duduk di tepi taman, atau yang sedang mengerumuni penjual kaset-kaset bajakan. Melihat beratus-ratus kepingan barang-barang industri hiburan. CD, MP3, seperti membanjir. Dari yang selera rendahan, hingga yang kelas menengah; Pop.
Penjual sekarang, memang sedikit canggih. Gerobak dorongnya tak lagi berisi barang-barang rombengan. TV dan salon-salon berkekuatan besar itulah yang mengisi gerobak kecilnya. Dan tentu saja musik diputar dengan kerasnya. Bersaing dengan penjual kanan-kirinya.
Di sepanjang trotoar, tak mau kalah juga penjual makanan berebut tempat dengan penjaja barang hiburan. Ada yang sekedar menjual jamu beras kencur dan asem. Atau sepasang suami istri muda, saling bahu-membahu, bersama-sama mengumpulkan rezeki dengan jualan martabak. Aku salut melihat mereka berdua. Berumah tangga yang benar-benar bersama dalam segala hal, termasuk bersusah payah menanti pembeli datang.
Ah, anak-anak kecil itu. Mereka begitu riang bermain di kolam bola-bola kecil. Berselancar ditunggui ibu-bapaknya…
Aku tak bisa gambarkan keruwetan jaringan otak bapakku. Saben hari bicara yang tak kutahu maksudnya. Jika saja, mau keluar, ke taman alun-alun? Membaca ayat kauniyah-Nya, tafakur dan muhasabah diri, tentu tak separah ini kondisinya….
“Bom meledak lagi di Mbatu, Malang,” ah, suara berita TV malam ini menambah bapak semakin ce-cet…cuet….!!
* * *
Kamis 10 November 2005
“Satu demi satu keterjepitan, seperti menyengatku. Menyentak kesadaran. Aku akan senantiasa hidup dalam keprihatinan. Dalam asa yang mengangkasa. Namun jiwaku musti merdeka dari anggapan-anggapan kasat mata itu. Jiwaku melebur dalam semesta alam. Menyatu dalam keabadian-Nya.
* * *
Sabtu, 10 November 2005
….dari makan nasi pecel hingga sekedar nyari SIM. Lalu kububuhkan tanda tanganku bertuliskan kata-kata sarkasme kepada polisi. Dalam sayyidul ayyam itu aku masih bermanja, tidur pulas. Sholat Jum’atku raib. Kawan lamaku tiba tepat pukul 14.00 WIB. Kami berangkat mengasah jalan hidup yang dulu pernah kutempuh. Agar hidup ngerti sangkan paraning dumadi.
* * *
Minggu, siang, 11 November 2005
Sungguh di luar sangka. Jalan yang sebentar lagi terang, tiba-tiba awan hitam menghadang. Ada beberapa ‘kenyataan’ masa depan yang berliku, menanjak, gelap, dan penuh onak. Dan mungkin menabrak tembok tebal. Tembok itu seperti bangunan tua yang memisahkan Jerman Timur dan Jerman Barat. Itulah nasib! Menurut ramalan beberapa kiai, garis takdir antara dua insan itu terlapis dinding pemisah. “Sukar dipertemukan,“ kata kiai yang terus terngiang dalam ingatanku.
Kini, Kakakku benar-benar diuji. Detik ini, ia berbaring. Mengendorkan ketegangan-ketegangan yang meradang. Semalam suntuk aku mendengar ia lek-lek an di rumah calon pendamping hidupnya. Katanya, untuk mempertemukan dua garis yang berbeda nasib itu. Riyadhoh apa pun musti ia tempuh. Akankah kebahagiaan yang lama dinanti itu akan terengut?
Tak bisa dipungkiri, ramalan kerap menggelisahkan hati. Mau tak percaya, silakan! Tapi jika menyangkut kebahagian masa depan, rasa gentar hinggap juga. Apalagi menurut cerita-cerita, ramalan itu jarang meleset. Seperti Gus Jakfar dalam cerita Mustofa Bisri. “Awas! Hidungmu terbalik?!” tak bagitu lama, orang yang dibilangin hidung berbalik itu, mati.
Lalu apa yang akan dilakukan Kakakku dan keluarga semunya, mendengar kabar buruk dari sesepuh kiai? Kabar yang mengatakan bahwa rumah tangga yang akan dibangun Kakkku dan Arum banyak menemui rintangan.
“Inilah pertarungan dua aliran kuat. Mistisisme versus modernitas. Dua ideologi yang menjadi jalan hidup kebanyakan manusia. “
Memilih modernitas, lalu perlahan berkawan dengannya? Atau diam-diam masih takut ancaman mistisisme? Akankah burung merpati dilepas, setelah bersusah payah menangkapnya?
Tuhanku, berilah ketetapan hati mereka berdua, menyusuri lorong-Mu yang sunyi.
[Selasa Wage berjalin dengan kamis Pahing, orang mengatakan tiba rampas. Angka yang menjadi momok adalah 24 itu.]
* * *
Senin, pagi, 12 November 2005
Setelah kubuka pembicaraan malam itu, akhirnya tahulah aku persoalan yang melilit dua insan itu. Kakkku Vs Arum.
“Bukan karena ramalan weton yang tiba rampas itu! Tapi pada diri Arum sendiri,“ ujar Kakkku memulai percakapannya.
“Bagiku, ramalan weton itu tak terlalu mengguncang, apalagi menghalangi langkah kami mengayun langkah menuju pernikahan. Ramalan ‘kan tergantung keyakinan kami masing-masing. Kami sudah bertekad menantang hidup dengan gentle. Kami telah rela, apa pun yang terjadi kami hadapi bersama,” lanjutnya.
“Tapi….” Kakakku terhenti. Menerawang melihat langit-langit rumah. ”….watak Arum memang kaku. Tak ada ruang toleran, meski sejengkal pun. Jika ada yang tak beres, meski setitik debu, maka pasti meraksasa persoalan itu,” lanjut Kakakku dengan nada tertahan berat.
“Sekarang Arum sudah bulat tekadnya. Ia pergi jauh meninggalkanku. Peristiwa semalam telah membuat luka-menganga di hatinya,” Kata Kakakku seperti tercekat di tengenggorokannya.
“Bagaimana awal kisahnya, hingga hatinya membatu tak bersedia pulang. Bahkan memaafkan sekalipun,” aku bertanya.
“Ibunya menghardik hadis-habisan. Ibunya juga berwatak keras!” jawabnya.
“Malam itu di rumah Arum, Jombang, tengah menggelar malam tirakatan, menyiapkan ubo-rampe menjelang penentuan hari pernikahan. Selesai acara, kami
bercanda di ruang tamu. Saat itu, si ibu juga melihat kami. Tentu saja ungkapan-ungkapan menohok, meledek menjadi bumbu utama. Tapi si ibu rupanya tak memahami bahasa karib kami. Ia menduga, anaknya keterlaluan dalam bercakap denganku.” Kakakku memulai kisahnya.
“Masak pernikahan sudah di ambang pintu masih berhubungan dengan bekas pacarnya lewat SMS,” demikian ujar Kakakku menirukan kata-kata ibu Arum yang telah membuatnya murka itu.
“Karena di rumah gerah, aku keluar mencari angin dan ngobrol dengan para tamu. Detik-detik itulah peristiwa tragis meletus. Rupanya keluarku mencari angin dinilai ibu Arum lain. Ia mengira, keluarku dipicu oleh sikap dan kata-kata Arum kelewat batas. Aku dikira nggak betah dengan kata-kata pedas Arum. Aku dikira nggak tahan dan diserang rasa cemburu lantaran Arum kirim-kiriman SMS dengan mantan pacarnya. Padahal kami saat itu benar-benar dalam suasana cair. Tak ada prasangka. Kami sudah saling percaya. Kami hanya guyon. ‘SMS siapa dik?’ tanyaku. ‘Ade Deh…!!’ jawaban Arum tadi rupanya membikin geram ibunya. Dan marahlah si ibu itu, seperti Gunung Galunggung yang memuntahkan lahar panas.”
Peristiwa penghakiman Arum oleh Ibunya, memang tak sepengetahuan Kakakku. Saat itu Kakakku tengah di luar. Satu jam kemudian, saat Kakakku kembali ia menyaksikan Arum bermuka murung dengan mata sembab. Si Ibu diam di sampingnya dengan amarah yang masih tersisa dan tertahan. Keduanya seperti seperti tengah bersandiwara. Kedatangan Kakakku disambut diam seribu bahasa. Kakakku mulai merasakan hawa ketidakberesan.
Pagi-pagi buta, Arum dengan cekatan membereskan semua pakaiannya. Masih diam dengan bermata sembab, ia langsung menerobos keluar. Dan seutas pamitan singkat pada ibunya. “Bu pamit. Kulo dateng Suroboyo!” Masku menyambar tangannya, berharap bisa dihentikan dan diajak bicara. Tapi sia-sia belaka. Arum adalah perempuan dengan jiwa keras, tak mau diatur dan ingin merdeka. Ia berjalan tegap. Cepat. Menembus kabut pagi. Masku tetap berupaya mengahadang semampunya. Tapi apa kata Arum, “Mas, sudah kutakan berulang-ulang. Jangan bikin marahku meledak. Sekarang engkau tak punya hak minta maaf. Biarlah kutempuh jalanku ini. silakan Mas tempuh jalan yang engkau anggap baik. Selamat tinggal!
Kata-kata Arum meluncur dengan tangkas, tegas, menggambarkan kekokohan pendiriannya. Tak kenal kompromi. Lugas. Dan Mas hanya terpaku di tepi jalan. Membiarkan Arum berjalan sendirian. Dan Arumpun hilang tertelan kabut, setelah belok dari tikungan. Berjuta harapan hancur berkeping-keping. Masku pulang dengan memikul derita. Fikiran kacau, kalut, gelisah dan kesedihan mendalam.
Bagaimana dengan Arum? Ibunya? Keluarga Kakakku…?
* * *
Pagi cerah, 13 November 2005
[Kabar baik dari Surabaya]
Setelah seharian mencari Arum, Kakaku nampaknya mampu menundukkan
hati calon istrinya yang membatu itu.
Di Surabaya sana, dramatikal panjang terjadi. Kakakku masih memegang teguh keyakinannya bahwa dirinya akan meminta maaf kepada Arum sepenuh hati. “Hingga mentari tak berpijar sekalipun,” katanya. Hingga Arum bersedia memaafkan. Dan itu adalah komitmennya. “Aku ingin menyelami dasar perasaan wanita,” itulah tekadnya.
Usai subuh. Masih gelap itu, Masku berangkat ke Surabaya. Menggembol segepok niatan tulus, marakit kembali perahu yang terkoyak. Jalinan cinta yang segera mekar itu harus dipertahankan. Hingga titik darah penghabisan. Sementara si ibu yang teramat kasihan melihat anak sulungnya dirundung gelisah karena cinta, hanya bisa berharap. Pagi-pagi itu saat Kakakku berpamitan, si ibu hanya pesen seadanya. Sangat singkat. “Nak, kalau memang sukar, ikhlaskan saja!” kata ibu saat melepas.
Semua tahu bagaimana pedihnya hati karena cinta. Dunia seakan kiamat. Tidur serasa terjaga. Suasana beku. Mati. Kenangan-kenangan masa silam tiba-tiba muncul satu persatu. Lalu air mata tanpa tersadari menggenang di pelupuk. Hanya sunyi. Mungkin detak jarum jam yang paham kesunyian hati…
Semua sanak gusar. Kasihan bercampur iba. Tapi tak tahu apa yang mesti diperbuat. Si bapak yang sudah ‘bebal’ akal dan hatinya pun turut merasakan kesedihan anaknya. Ibu hanya bercakap diri dengan hatinya. Sambil kedua tangannya menganyam janur untuk ketupat. Si bapak? Ah, ia pasti terbaring di ranjang sambil memutar ludruk, klanggenan di kamar yang temaram.
Aku tulis sebait SMS, lalu kukirimkan pada mbakku di Jombang. “Mas, Mbak!! Hari-hari ini Kakak melewati masa-masa sunyi. Mbak Arum pergi meninggalkan Kakak dengan sejuta luka menganga. Kini Kakak tenggelam dalam kesedihan dan kepedihan mendalam. Hiburlah Mbak..!
Siang berganti senja. Pandangan mataku mulai kabur. Lampu-lampu mulai dinyalakan. Tanpa tersadari kami sekeluarga sudah dua jam, duduk di ruang tamu. Menanti kabar dari Surabaya. Dengan perasaan was-was tentunya. Dilanjutkan atau hanya sampai di sini hubungan kakakku dengan gadis asal Lampung, 19 April 1980 itu.
Ibu menuju ruang tengah. Melihat acara TV berharap bisa mengurangi rasa cemas. Aku, di teras mencari pengusir gerah. Angin semilir cukur efektif mencegah keluarnya keringat. Tiba-tiba suara HPku berbunyi. Satu pesan diterima. Dari My Brother; “Le, aku udah nemui Arum. Sekarang kami udah baikan. Kami tetap jalan terus.” (dikirim : 8 November 2005 ; 19.30.xx..)
Bulan besar ini, mereka akan married. Amiin..
* * *
Read More

Tentang Blog

Ini hanya cerita tentang orang biasa. Tentang ketegarannya, kesabarannya, ketekunannya, kebesaran jiwanya, dan kepasrahan hidupnya kepada pemangku jagad ini.

Terpopuler

Designed ByBlogger Templates