Friday, August 29, 2008

selamat berpuasa...kawan


Catatan menyambut bulan suci Ramadan

Kebajikan

“Biar peluru menembus kulitku.

Aku akan tetap meradang. Menerjang.

Aku ingin hidup seribu tahun lagi!”

Separuh abad silam, penyair legendaris Chairil Anwar mengumandangkan impiannya itu dalam sajak “binatang jalang”-nya dengan penuh heroisme; aku ingin hidup seribu tahun lagi! Chairil tidak sedang mengigau atau berkhayal, seperti Fir’auan yang mendamba kekekalan hidup seolah tak menemui ajal. Namun, Chairil ingin menegaskan bahwa hidup seribu tahun lagi adalah kebajikan itu sendiri. Kebajikan adalah keabadian. Kebajikan, seperti yang dikisahkan dalam film Death becomes Him adalah sumber energi yang selalu memancarkan cahaya keindahan.

Dalam ceruk kehidupan ini,-di lingkungan RT, RW, bangku sekolah, kursi pemerintahan, legislatif, perkantoran, dan di semua lini kehidupan ini-semua hal bisa saja terjadi, tanpa kita nyana, atau bahkan tanpa kita harapkan sama sekali.

Seorang pengurus RT di ujung salah satu kampung, hari ini mungkin bisa menolong tetangganya yang terbaring sakit. Esok hari, bisa jadi giliran putera Pak RT itu sendiri yang sakitnya tak bisa ditunda. Lantas, bisa jadi puteranya itu terpaksa tergolek di rumah sakit kelas II lantaran kartu PKMS-nya tak kebagian ruang di kelas ekonomi.

Esoknya lagi, siapa sangka juga, jika Pak RT itu tiba-tiba nyaleg lantaran kesengsem dengan kursi legislatif.

Hidup, kata sebagian orang memang misteri. Namun, justru diliputi misteri itulah, hidup ini penuh gairah. Kita selalu bertarung di antara satu kemungkinan meloncat ke kemungkinan yang lain demi menemukan cahaya terang hidup. Karena, kita masih menyimpan keyakinan bahwa misteri itu bisa ditembus dan dipecahkan.

Begitu pun dengan nilai-nilai kebajikan dalam hidup yang serba misteri ini. Ia bisa saja berkelebat ke sana kemari dalam batin kita. Ia terombang-ambing dalam keberatan hati untuk selalu kita kalahkan dengan perbuatan yang berpusat pada egosentris.

Kini, Ramadan telah tiba. Sumber kebajikan terhampar luas bagai samudera. Tidak saja bagi umat Islam, namun semua umat manusia berlomba menebar kebajikan. Di gereja, di perempatan jalan-jalan raya, di mesjid, di perkantoran, atau di dalam kendaraan, semua orang berpacu dalam kebajikan. Hanya dengan kebajikan, keabadaian itu tercipta. Kebajikanlah yang membuat kekal ruh manusia. “Aku ingin hidup seribu tahun lagi,” kata Chairil.

Ayo, temukan nilai-nilai kebajikan itu di sekililing kita. Di lingkungan RT, RW, perkantoran, legislatif, keluarga, di bangku sekolah…dan di mana pun.

Selamat menjalankan ibadah puasa....!

Read More

Monday, August 18, 2008

sepenggal kisah pejuang '45



Dari peluru hingga ke buku...

Oleh: Aries Susanto

“Merdeka!!” pekik Soenarso, Sabtu (16/8) malam itu. Di pelataran rumahnya di RT 01/ V Kelurahan Mangkubumen, Banjarsari, Solo, suara Soenarso masih terdengar membakar, meski sedikit bergetar. Mungkin karena usianya yang telah menginjak kepala delapan itu, suara Soenarso pun tak lagi kencang. “Eyang sudah tua. Usianya sekarang 80 tahun. Eyang sendiri yang memaksa acara tirakatan ini digelar di rumahnya,” ujar Suwardi, ketua RT setempat.

Malam itu, Soenarso benar-benar ingin mengenang masa mudanya dulu ketika gigih berjuang bersama Tentara Pelajar di Kota Bengawan ini. Lagu-lagu perjuangan ia putar. Songkok hitam yang ia kenakan, dia pasangi bendara merah putih berukuran mungil. Lantas, dia membagi selebaran tulisan berisi sejarah perjuangan bangsa Indonesia yang ia tulis dengan segala ingatan yang masih melekat di sanubarinya.

Di bawah terang purnama malam itu, mantan pejuang 45 itu berkali-kali memekikkan kata “Merdeka!” Tangannya mengepal ke atas. Suaranya masih bersemangat. Puluhan warga yang hadir, spontan memekikkan kata “Merdeka” bersama-sama. “Bangsa kita sudah merdeka. Van Solo begint de Victory. Dari Solo dimulai kemenangan,” kata Soenarso di hadapan warga RT setempat yang hadir pada acara tirakatan itu.

Bak sang resi yang sedang memberi bimbingan kepada para muridnya, Soenarso pun berkisah dengan pelan dan runtut tentang perjuangan tentara pelajar di Solo. Ada kisah perjuangan merampas senjata tentara Jepang. Ada pula perjuangan menggempur pertahanan tentara Belanda yang lebih dikenal dengan sebutan Serangan Umum Empat Hari di Solo. “Sebelum tentara Belanda datang ke Solo tahun 1949, jumlah tentara pelajar hanya 200 orang. Namun begitu tentara Belanda datang, jumlah tentara pelajar meledak menjadi 2000,” ujarnya penuh kebanggaan.

Jumlah Tentara Pelajar sebanyak itu, rupanya cukup membikin pusing dan kalang kabut tentara musuh. Soalnya, tentara pelajar yang tersebar di lima rayon di Kota Solo, setiap waktu selalu bikin gerah tentara asing dengan aksi perampasan senjata. “Setelah berhasil merebut senjata dan membunuh tentara Belanda cukup banyak, akhirnya disusunlah Serangan Umum Empat hari di Solo tahun 1949 hingga membuat tentara asing angkat kaki dari Solo dan dari Bumi Indonesia untuk selamanya,” ujarnya.

Kemenangan, memang tak lahir dengan sendirinya tanpa melaluli sumbu sejarah yang panjang. Kemenangan itu, kata Soenarso, harus ditebus dengan darah dan air mata, juga dari anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa. Bahkan, berdirinya Tugu Lilin pada tahun 1933 itu, tegasnya, adalah isyarat sebuah kemenangan. “Fondasi Tugu Lilin dibangun dari gumpalan tanah yang dibawa dari sabang sampai meraoke oleh para pemuda Indonesia. Itulah sebabnya, kenapa dulu pemerintah Belanda meminta membongkar Tugu Lilin, karena mereka takut jika melahirkan semangat persatuan bangsa Indonesia,” ujarnya.

Setelah berhasil mengusir bangsa penjajah, Soenarso dan kawan-kawan eks Tentara Pelajar rupanya tak mau berpangku tangan. Mereka terus berjuang dengan mendirikan ribuan taman pendidikan SD di pelosok-pelosok desa hanya dalam waktu sekejap, dua tahun. Ini adalah bukti nyata perjuangan para Tentara Pelajar yang telah mereka abadikan dalam semboyan “from the bullet to the books.” “Dari peluru ke buku adalah semboyan teladan, betapa pentingnya pendidikan bagi kemajuan bangsa. Kepada generasi penerus, ayo berjuang dengan keyakinan bahwa Tuhan bersama kita,” nasihatnya malam itu.

Kini, bangsa Indonesia telah merdeka. Melalui sepenggal kisah sejarah perjuangan itu, Soenarso ingin menegaskan bahwa perjuangan sekarang bukan lagi dengan memanggul senapan di pundak. Namun musti dengan jalan memberantas mentalitas pemalas dan korupsi, lalu menumbuhkan kembali mental kemandirian dan kepercayaan pada bangsa sendiri. “Itulah semangat tentara pelajar yang musti dikobarkan terus menerus kepada generasi sekarang,” kata Soenarso.

Aries Susanto, wartawan SOLOPOS, bertugas di Kota Solo

Read More

saat masih di BEC

ini koleksi orang-orang penting. ada calon atronot alias orang ilang, ada bidadari cantik turun dari bus harapan jaya , ada juga anak-anak kecil masa depan...hiii....lucu ya?





Read More

Tentang Blog

Ini hanya cerita tentang orang biasa. Tentang ketegarannya, kesabarannya, ketekunannya, kebesaran jiwanya, dan kepasrahan hidupnya kepada pemangku jagad ini.

Terpopuler

Designed ByBlogger Templates