Thursday, December 24, 2009

ibu itu...

Perbincangan itu terlahir ketika mentari tengah naik ke ubun-ubun kepala. Di teras belakang itu, aku melihat dia tengah menadah mangkuk plastik kecil dengan tangan gemetar. Aku mendekat dan belajar menjadi pendengar setia kisah ibu itu...
Ibu itu sebenarnya belum terlalu tua. Usianya sekitar 54 tahun. Namun, sejak serangan stroke 19 tahun silam melumpuhkan sepasang kaki dan kedua lengannya, ibu itu seakan memasuki masa senja. Ia pun sudah tak lagi mampu bekerja. Dan satu-satunya penampungan yang bersedia menerimanya ialah panti jompo. Ia pun kini tinggal di Panti Wreda Darma Bakti Laweyan Solo bersama-sama simbok-simbok dan puluhan manula lainnya dari berbagai daerah. “Di sini, ia baru beberapa pekan. Ia pindahan dari panti asuhan Sragen,” kata salah satu petugas panti jompo, Susilowati.
Ibu itu namanya Sri Mulyani. 21 tahun silam, ibu kelahiran asli Bumi Sukowati Sragen itu dikaruniai dua putra dari hasil pernikahannya dengan suami tercintanya. Namun, kecelakaan yang menimpa suaminya pada awal kali membangun rumah tangga, telah membalik segalanya. Suami Sri Mulyani pergi ke alam keabadian untuk selama-lamanya. “Saat itu, dua anak saya masih kecil-kecil. Saya tak tahu harus bekerja apa,” kenangnya. Hidup memang terkadang penuh teka-teki. Ibu itu semula bercita-cita ingin menyekolahkan anak-anaknya hingga jenjang perguruan tinggi. Sayang, nasib tak berpihak kepadanya. Dan mimpi ibu itu pun kandas. Sejak itulah, beban hidupnya kian terasa berat. Ibu itu harus menghidupi kedua anaknya yang masih kecil-kecil. Saudara kandung satu-satunya telah merantau ke tanah seberang Sumatera. Praktis, ia kini hanya seorang diri sebagai tulang punggung keluarga. Untuk membeli susu dan aneka kebutuhan buah hatinya, ia terpaksa bekerja sebagai penyulam tikar. Penghasilannya kala itu hanya bisa untuk makan sehari-hari ala kadarnya. Urusan sekolah, kesehatan, rekreasi, dan hiburan lainnya, sudah tak lagi terbesit di benaknya. “Bisa buat makan sehari-hari saja sudah lumayan itu,” jelasnya.
Dua tahun sebagai penyulam, rupanya tak ada yang berubah pada diri Sri Mulyani. Malah, kabar duka seakan tak kunjung reda. Sri Mulyani dinyatakan mengidap penyakit stroke kronis. Hari demi hari mulai terlihat suram. Kedua kaki dan lengannya mulai terasa melemah sebelum akhirnya benar-benar lumpuh tak berdaya. Ia pun tak lagi bisa meneruskan profesinya bekerja sebagai penyulam. Untuk membiayai hidup sehari-hari dan biaya berobat, sebidang tanah dan rumah warisan suami satu-satunya telah ia jual habis. Ia dan kedua anaknya yang masih kecil-kecil itu pun hanya memiliki rumah beratap langit dan berdinding angin malam. Namun, penyakit yang menggerogotinya tak kunjung pergi. “Anak saya yang pertama akhirnya saya titipkan di panti asuhan. Dan anak kedua saya titipkan pamannya di Sumatera,” kisahnya.
Peristiwa pilu itu telah berlalu hampir 20 tahun silam. Sri Mulyani sendiri tak tahu lagi kabar anaknya yang dititipkan di Sumatera bersama pamannya. Begitu pula kabar putera sulungnya yang ia titipkan di Panti Asuhan sejak kecil itu. “Kabar yang saya dengar, setelah lulus SMK ia merantau ke Jakarta untuk mencari pekerjaan. Namun, apakah sudah dapat atau belum, saya tak tahu,” katanya.
Kini, jika malam menjelang ibu itu selalu terbayang wajah anak-anaknya. Sudah sekian lama ia menanggung beban kerinduan mendalam. Tiap usai sembahyang, ibu itu selalu menyelipkan sebait doa di bibirnya. Sebuah doa yang sanggup membuatnya bertahan dalam penderitaan dan kerinduan. “Semoga anak-anak saya menjadi orang berhasil. Saya sudah ingin bertemu dan tinggal bersama anak-anak saya…,” doanya kala itu. Perlahan, air mata ibu itu menggenang di sudut kedua bola matanya. Entahlah, apa lagi harapan yang masih tersisa bagi ibu itu selain bisa mendekap kembali kedua anaknya yang terlahir dari rahimnya sendiri…

Solo, Kamis 24 Desember 2009. 06.00 WIB
Aries Susanto, wartawan SOLOPOS bertugas di kota Solo

Read More

Tuesday, August 11, 2009

Jurnalisme tanpa ‘memihak’!

Dulu ada ungkapkan bahwa jurnalisme musti obyektif. Ungkapkan itu, kini sudah terdengar usang. Karena, itu jadi mirip tingkah seorang mahasiswa semester awal yang baru mengenal teori komunikasi lantas menghapalnya penuh khidmat sebagai jimat saat berdiskusi di kelas. Semua juga sudah mafhum bahwa jurnalisme obyektif saat ini sudah tak lagi laku karena amat mustahil. Orang tak perlu sungkan mendendangkan bahwa obyektifitas hanyalah retorika semu. Rumus yang mendekati baku saat ini barangkali ialah kejujuran; bahwa tak ada yang obyektif dalam subyektifitas. Yang harus diuri-uri saat ini justru sikap penuh kejujuran dan menimbang penuh kehati-hatian atas segala peristiwa. Inilah barangkali yang sangat mungkin dilakukan.

Setelah era obyektif itu ditinggal, lahirlah kini jurnalisme musti subyektif. Artinya, ya musti memihak! Bahwa sebagai insan pers yang memiliki struktur perasaan dan memori batin, maka sikap yang subyektif harus benar-benar diarahkan untuk memihak kepada kebenaran dan rasa keadilan. Persoalannya, saat ini kata memihak telah mengalami distorsi. Karena, maknanya tak lagi diartikan memihak kepada kebenaran dan rasa keadilan yang sesungguhnya. Melainkan, hanya pada ruang artifisial yang setelah ditimang dengan kalkulasi bisnis, ternyata masih menguntungkan. Orang lantas menyematkan jurnalisme ini sebagai jurnalisme memihak kapital. Karena, kebenaran dan keadilan telah direduksi sedemikian rupa hingga menjadi hal yang remeh-temeh. Dan orang juga tak perlu susah payah memahami kebenaran itu, karena cukuplah kebenaran itu bisa ditampakan dari kulit paling luar. Selesai!

Era global, ketika keseriusan tak lagi penting, maka lahirlah jurnalisme tanpa memihak. Inilah jurnalisme mutakhir. Sikapnya jelas; tanpa keberpihakan sama sekali, bahkan terhadap kebenaran dan keadilan! Jurnalisme tipe ini bukan lahir dari pergulatan idiologi yang panjang. Melainkan, murni lahir dari kemalasan dan kedangkalan berpikir akibat menggejalanya era konsumerisme. Yang ada adalah hiburan, karena terlalu malas mengurai mata rantai ketidakadilan. Makanya, dengan mudah dia mengadopsi desain penjajahan yang telah baku bahwa negara sebagai pembuat dan pemilik undang-undang sah, maka segala yang menabrak ketentuannya harus dianggap salah. Tak boleh tidak! Contoh kasusnya ialah, ketika rakyat kecil mencari sesuap nasi di tepi jalan, maka kerangka berpikirnya ialah bahwa penggusuran oleh Satpol PP harus dilakukan karena PKL itu jelas melanggar undang-undang. Dan tugas Satpol PP harus dijunjung tinggi sebagai tugas mulia. Sementara, PKL itu harus dibikin salah, apapun alasanya. Munculah berita, “Satpol PP diminta menggalakkan penertiban terhadap sejumlah PKL-PKL liar yang berjualan di tepi jalan!” Si jurnalis pun dengan bangga menuliskannnya seolah mendapatkan berita kelas kakap. Tak perlu repot-repot mengurai di balik kenyataan itu. Karena di kepalanya semua telah jelas, PKL menabrak undang-undang. Jurnalis ini pun menuliskan laporannya hingga bersambung-sambung. Dia kutip pasal-pasal, dia wawancarai kepala Satpol PP, dia dramatisir, dia tarungkan dengan kegagalan lomba bergengsi piala Adipura dan seabrek argumen lainnya hingga menjadi berita semi investigasi; “Karena melanggar Perda, maka PKL itu harus angkat kaki. Selain memakai tanah negara, bikin kumuh, juga mengganggu ketertiban lalu lintas, meresahkan warga dan bla-bla-bla-….” Huffff, ribuan pemirsa dan pembaca pun dibikin naik adrenalinnya menyimak berita yang diturunkannya itu. Pejabat pun manggut-manggut dan bertepuk tangan, “Bagus…bagus…! berita bagus!”

Salahkah sikap yang ditempuh sang jurnalis itu? Tentu saja tidak. Karena, tugasnya ialah memihak negara, memihak tirani, memihak pembuat undang-undang, dan memihak ‘kebenaran’ yang dia pahami ala kadarnya dari para penguasa. Karena itu, dari awal dia memang tak ingin memihak rakyat, memihak rasa keadilan, dan memihak kebenaran itu sendiri. Dia memang murni tak tahu bahwa setiap kebijakan yang seolah mengatasnamakan undang-undang, sebenarnya selalu terselip kepentingan-kepentingan penguasa. Itu saja yang dia tak pahami. Karena begitu malasnya dia mengurai problem sosial atau karena memang dangkalnya pola pikirnya. Tapi tak apalah. Karena inilah jurnalisme gaya baru; jurnalisme yang benar-benar tanpa ‘memihak’!

Solo, 12 Juni 2009, pukul 00.05 WIB.

Read More

happy anniversary

Aku akan selalu mengingat moment-moment itu; moment ketika kita bertemu pertamakali di sebuah kursusan bahasa, pertemuan di atas panggung pementasan, dan pertemuan di Kota Pahlawan itu. Ah, sekian waktu tak bersua, ternyata telah membuat hati kita saling merasa. Resi Yogiswara mungkin benar, tak ada yang menciptakan pertemuan kecuali perpisahan. Dan kita telah melewati satu fase perpisahan itu. “Aku ingin menjadi satu bagian dari sayapmu yang terkepak itu,” begitu katamu kala itu.

Aku masyghul. Satu sayapku yang lama bersemayam dalam mimpiku, kini hadir dalam rupa mahasempurna. Dan kini, ketika aku pulang usia sayap kita telah setahun, sebuah usia yang mungkin teramat singkat. Namun, bukankah waktu tak selamanya hanya dimaknai pada hitungan detik, jam, hari, pekan, atau pun bulan? Ia justru akan sangat berarti ketika dalam proses perjalanannya, sang waktu itu mampu melahirkan kedewasaan dan melecutkan asa.

Kata Happy Anniversary yang kau ucapkan pagi ini, seakan mengajakku kembali menyusuri perjalanan sunyi kita setahun silam dalam ceruk kecemasan dan harapan. Tentang kecemasannmu pada kesehatan ibumu, masa depan adikmu, dan juga masa depan kita yang selalu menerbitkan harapan. Ah, engkau yang senantiasa tersenyum di pagi hari. Aku selalu berharap, engkau akan senantiasa mengingatkan moment-moment berharga itu, berapa pun lamannya sebuah penantian ini. Happy anniversary too…

Pare, 10 Agustus 2009 Pukul 07.55 WIB

Read More

Wednesday, July 8, 2009

Membangun motivasi diri; merencanakan strategi-strategi tanpa transendensi adalah arogansi. Ada factor ‘X’ yang mesti terlibat di dalamnya. Jangan alpakan penggerak daun, pewarna cabe, dan pemutar aras waktu ketika hendak merajut mimpi. Semua bakal menemukan jalan lempang itu ketika sudah tersambung dengan factor ‘X’. “Siapa berserah pada-Ku, maka akan kucukupi,” begitu bunyi sebuah janji termaktub dalam kitab suci.
Tapi, mimpi mungkin memang salah satu cara Dia berbisik melalui impuls-impuls kesadaran kita. Tak ada mimpi tanpa kudrah di baliknya. Dan mimpi mungkin memang bagian dari cara Dia menyapa sekaligus menguji kepasrahan kita. Itulah yang barangkali membedakan setiap kemenangan di muka bumi. Ada yang dimaknai semata karena tangan-tangan di balik layar. Ada juga yang justru kian mengukuhkan arogansinya...

Solo, 1 Juli 2009; Pukul 09.32 WIB

Read More

my father in memoriam...

Selepas azan duhur berkumandang, aku bergegas pulang; berharap bisa menatap sekilas wajah ayahku untuk yang terakhir kalinya. Namun, aku terlambat. Ayahku sudah disemayamkan. Dan aku hanya bisa menyaksikan bayang-bayang ayahku dalam pusara makam, bertabur bunga kamboja yang masih segar. Ayahku telah pulang ke negeri keabadian untuk selama-lamanya...

* * *

Ayahku lahir dan tumbuh di lingkungan sosial-politik yang sama sekali tak berpihak kepadanya. Kegemarannya semasa mudanya sebagai pegiat Lembaga Kebudayan Rakyat atau Lekra, rupanya menjadi musibah. Bersama kawan-kawanya, ayahku pun dijebloskan ke penjara hanya karena tuduhan sebagai pegiat organisasi yang ditunggangi komunis itu. Dan selama beberapa tahun, ayahku harus rela meringkuk di balik jeruji penjara. Rasa sakit itu sungguh terasa perih. Namun, ayahku bukanlah pendendam. Dia tetap sadar diri; sadar sebagai rakyat jelata yang berulangkali nyawanya nyaris ditebas celurit ketika tragedi pembataian massal ’65 meletus. Dan ayahku tetap bersyukur masih diberi kesempatan hidup kala itu.
Selepas menjalani kurungan penjara, ternyata tak lantas membuat ayahku bisa menghirup udara bebas di negerinya yang ia cintai ini. Ayahku ternyata harus rela menerima stigma komunis seumur hidup. Semua pintu-pintu berbau pemerintah tak akan sudi menerima pegawai macam ayahku. Getirnya lagi, seluruh putera ayahku juga masuk dalam daftar orang-orang terlarang masuk ke instansi pemerintah; termasuk aku, putera bungsunya. Rasa sakit itu kian terasa perih. Namun, ayahku ternyata bukanlah pendendam.
Ayahku mulai menyingsingkan lengan bajunya. Ia memang pekerja keras. Dia rela melakukan usaha apa saja di negerinya ini; asal tak memakan hak-hak orang lain, asal tak menambah beban negara, apalagi sampai merugikan negaranya. Itulah falsafah hidupnya yang ia lakoni seumur hidupnya; justru di saat orang beramai-ramai bancakan makan uang negara ini. Ia pernah sebagai penjual kayu, tukang kayu, tukang sobek karcis, hingga kerja serabutan sebagai makelar tanah. Semua, dilakoni ayahku dengan rela; demi membuat dapur keluarga tetap ngepul. Dan satu-satunya hak asasi ayahku-selain hak menghirup udara-yang tak dilarang pemerintah mungkin tinggalah menggemari sepak bola. Aku masih ingat, jauh hari, sebelum sepak bola menjadi bisnis kapitalisme seperti saat ini; ayahku kerap mengajakku menonton pertandingan sepak bola selepas asar. Pulang nonton sepak bola di luar kota, tak lupa membeli majalah Intisari favoritnya itu. Kadang membeli buku lawas yang tak pernah kutahu isinya itu. Setelah aku mengenal bangku sekolah; aku baru sadar ternyata ayahku gemar membaca karya Pramoedya, Di Bawah Bendera Revolusi-Soekarno, atau karya-karya terjemahan dari Rusia maupun buku-buku Marx.
Lepas dari sisi kelemahannya, ayahku memang menyimpan truma dalam memori ingatannya kepada formalisme keberagamaan. Aku tak tahu; apakah itu karena pengaruh buku-buku Marxian yang selalu menuding formalisme agama sebagai penjilat kaum borjuis. Yang jelas, ketika bicara agama; ayahku seakan trauma atas sekian peristiwa pertumpahan darah yang selalu mengatasnamakan agama. Itulah sebabnya, ayahaku memberikan kemerdekaan atas keyakinan beragama kepada anak-anaknya. Karena, baginya agama adalah sesuatu yang amat kudus, intim, antara hamba dengan khalik-Nya. Semua yang bernama insan, kata Ayahku yang terus kuingat, telah diberi bekal nur untuk mengenal Tuhannya. Apapun bentuk agamanya, kata ayahku, itu sah-sah saja. Anak sulung ayahku dikasih gelar nama dari Pulau Dewata yang identik dengan agama hindu-budha. Nama anak keduanya diambilkan dari bahasa arab. Nama anak ketiga dinukil dari bahasa kristian. Sedang nama anak keempatnya, diambilkan dari khasanah era filosuf yunani kuno. Meski demikian, semua anak-anaknya ternyata memeluk agama Islam; Islam yang lahir dari kultur jawa timur alias Islam bawaan.
* * *…….

Pare, 02 Juli 2009 Pukul 23.00 WIB

Read More

Hari terakhir pekan ini, genap empat hari ruh ayah melepas raganya. Handai taulan, termasuk ibuku selalu bilang,"Kasihan Le, bapakmu sekarang sendirian di kubur," begitu katanya selepas mengenang tiga hari kepergian ayah dengan berjuta iringan tahlil di rumah. Aku tak pernah menganggap ayahku sendirian di kubur tanpa cahaya penerang yang menemani. Bagaimana bapak bisa sendirian di alam kubur, sementara nyaris seluruh usia bapak sebagian besar hak-haknya telah diserahkan kepada sesama. Bahkan, haknya yang paling asasi untuk bekerja serta hak bercita-cita juga nyaris tak dimiliki ayahku. Bapakku telah terbiasa hidup dengan sekian beban kewajiban, tanpa memiliki hak-haknya.

Aku masih teringat suatu hari, ketika warga kampung membangun mesjid. Ayahku diam-diam mengirimkan separoh lebih kayu dagangannya ke mesjid, tanpa seorang pun tahu siapa pemberinya. Ibuku saat itu, aku tahu persis begitu mendongkol dengan keputusan yang diambil ayah kala itu. Ibuku dengan watak kecemasannya yang berpikir praktis untuk urusan kebutuhan dapur dan makan anak-anakanya esok hari, terus terang keberatan. Mestinya, bapak bisa menyumbangkan beberapa potong kayu saja karena itu nilainya sudah berjuta. Namun ayahku tetap tak mau berpikir sepotong-potong. Ia tetap pada keputusannya itu, meski modal untuk berdagang bulan depan belum ia pikirkan sama sekali.
Satu dari sekian kelemahan yang dimilikli ayahku ialah selalu mudah percaya kepada siapa saja. Apalagi kepada rekan kerja, bapakku tak pernah menyimpan secuil keraguan. Itulah sebabnya, tak jarang usaha bapakku harus bangkrut berkali-kali karena kiriman barang selalu dibawa kabur sopir atau rekan kerja. Jika sudah seperti ini, ibuku-lah orang yang pertama kali selalu uringan-uringan karena menilai bapak tak becus bekerja denga menaruh kepercayaan 100% kepada sesama. Dalam kondisi seperti ini, bapakku hanya bertanya penuh arti lantaran dia tak bisa memahami tingkah manusia saat ini; kenapa dirinya yang selama ini dituduh orang-orang tak memiliki Tuhan, namun justru dikhianati orang-orang yang mengaku bertuhan ketika dirinya berusaha menjalankan amanat Tuhan itu dengan tulus.
Bapakku mungkin memang tak memiliki batas perbedaan selain rasa senasib atas sesama. Di usianya yang sudah senja itu, bapakku selalu mendatangi kawan-kawannya, para tetangganya, serta orang-orang tercintanya dengan membawa oleh-oleh yang mampu ia beli. Ia tak akan bisa istirahat jenak jika mendengar kabar saudaranya yang masih hidup dalam kesusahan. Padahal, dirinya sendiri kala itu penyakitnya sudah menjalar ke seluruh tubuhnya hingga membuatnya susah bergerak. Namun, itulah ayahku yang tetap ingin hidup dalam nasib saudaranya.
Masih di ujung usianya itu, bapakku juga tak mau menyerah untuk tetap bekerja. Kakak-kakakku sudah berulangkali menasehatinya agar istirahat saja di rumah. Namun, kemauan bapakku memang sekeras batu. Rasa tanggungjawabnya sebagai kepala rumah tangga ternyata telah mengusik hatinya agar tak hanya duduk di kursi sambil menanti hari tua. Baginya, menyongsong hari tua dan juga hari kematian akan lebih terhormat jika tak hanya menjadi beban orang lain, termasuk anak-anaknya.

Ah, bapakku...aku masih teringat di hari-hari terakhir sebelum kepergiannmu. Engkau masih sempat bergurau denganku sambil menikmati jajan selera rakyat jelata kesukaanmu itu; ketela goreng. Malam itu, aku sempatkan ke alun-alun kota ketika pulang kampung hanya untuk membeli ketela goreng itu. Dan di atas kursi roda itu, engkau bertanya kabar tentang anak-anakmu, tentang kisah-kisah lucu masa lalu, juga tentang anekdot-anekdot mantan presiden Gus Dur yang kau idolakan setelah presiden Soekarno itu. Sebaliknya, Soehato adalah presiden lembaran kusam yang menggoreskan luka masa lalumu. Engkau selalu mengatakan, presiden Indonesia yang paling berkesan itu hanya Soekarno, Soeharto, dan Gus Dur. Presiden yang terakhir itu, kerap kau sebut-sebut sebagai Soekarno masa kini lantaran kau nilai sebagai sosok yang tahu peliknya persoalan masa lalu bangsa ini, sosok yang mengilhami rekonsiliasi politik antara kaum santri dengan kaum abangan, hingga sosok presiden yang paling kocak sepanjang sejarah di dunia ini. “Gus Dur itu ya le, gitu-gitu presiden yang berani mengatakan bahwa tingkah polah DPR itu kayak anak-anak TK. Tapi, juga presiden paling lucu. Presiden kok pakai celana kolor pendek di hadapan rakyatnya,” ujarnya yang langsung menyentak tawa terkekeh.
Ah, ayah ku...Selamat jalan ....

Pare, Sabtu 4 Juni 2009 pukul 07.50 WIB.
Read More

Friday, June 26, 2009

kidung rumah tangga

Siapa sangka usia rumah tangga mereka mampu bertahan hingga di tahun ke-35 ini. Jauh hari sebelum cincin kawin melingkar di jari manis ibu separuh baya itu, orang-orang dulu menyangsikan kelanggengan rumah tangga mereka. Para ahli nujum dan juga ahli pawukon Jawa telah mensabdakan melalui ketajaman intuisinya bahwa hari kelahiran sepasang insan itu adalah tibo rampas. Keduanya bagai dua arah mata angin yang tak akan pernah saling bertemu. Keduanya menyimpan pusat egoisme yang kuat. Selaksa gada yang menghantam sepotong besi, maka ketika sepasang insan itu dipertemukan pasti bakal memercikkan api, menolak segala unsur kebaikan, serta menutup pintu-pintu langit. Begitulah isyarat yang diujarkan para ahli pawukon Jawa kala itu. Tapi kenyataan hingga hari ini mengabarkan lain. Mereka tetap hidup serumah satu atap dan dikarunia empat orang anak yang telah memberi arti hidup, meski bagi mereka sendiri. Dan perkawinan yang diawali nyaris tanpa pertautan asmara itu, tetap langgeng tanpa ujung perceraian seperti yang diramal orang-orang selama ini.

Ibu paruh baya itu, terkenang masa lalunya saat detik-detik pernikahannya tiba. Tahun itu ialah 1974. Usinya masih terlalu hijau untuk menapak rumah tangga dan mencernak seabrek persoalannya. Namun, lazimnya tradisi pernikahan zaman dulu, dia hanya bisa menganggukkan kepala ketika orangtunya menuntunnya ke sebuah acara sakral, yakni lamaran. Siapa calonnya, dari mana latar belakangnya, namanya siapa, berapa usianya, dia tak pernah tahu. “Usia saya saat itu masih 13 tahun. Tiba-tiba, emak-bapak menggandengku ke ruang tamu. Di ruang itu ternyata sudah ada banyak orang berdandan rapi,” kenangnya mengisahkan prosesi lamaran saat itu. Semua seolah berlangsung sekejap mata saja. Acara pernikahan pun dihelat dengan menggelar tayub besar-besaran semalam suntuk. Semua bersuka cita. Mempelai perempuan seakan merayakan kebanggannya kepada ribuan mata khalayak bahwa anak perempuan mereka telah laku. Begitupun temanten laki-laki yang saat itu selisih usianya ialah 14 tahun lebih tua dari pasangannya, juga ingin menunjukkan bukti kegagahannya bahwa dia tak perlu susah mencari pasangan hidup.

Dalam perjalanannya, kisah rumah tangga mereka memang tak semeriah pesta pernikahannya. Prahara selalu muncul ke permukaan seiring dengan kelahiran buah hati mereka satu demi satu. Ada yang dipicu persoalan ekonomi, perasaan yang mudah tersinggung, serta sederet persoalan rumah tangga yang susah mereka urai. Anehnya, setiap kali prahara memuncak dan mengancam perceraian, selalu saja ada sesuatu yang mencoba meredamnya. Mereka pun kembali saling memohon maaf atas khilaf. Sayang, pelajaran berharga itu tak pernah mereka petik ibrohnya. Dan api amarah begitu mudah tersulut hanya sepercik masalah yang muncul tiba-tiba. Pertengkaran dan cekcok menjadi lagu lama. Anak-anak mereka yang masih kecil-kecil jadi korban. Anak-anak lugu dan polos itu kian menjadi pemurung di tengah kawan-kawannya, sekolahnya, dan diri mereka sendiri. Dalam pikirannya yang amat sederhana, mereka selalu bertanya kenapa tingkah orangtuanya tak ubahnya anak-anak kecil, tak ada yang mengalah, dan selalu memaksakan kehendak? Dan kenapa perselisihan harus dirayakan seperti perang bharatayudha? Serentetan pertanyaan absurd itulah yang menggiring anak-anak kecil mereka tercerabut dari kebahagiaannya di masa riang.

Mengenang kenyataan pahit itu, ada yang terasa menyesakkan dada. Ibu paruh baya itu seakan kembali teringat petuah para ahli pawukon Jawa dulu kala, bahwa biduk rumah tangganya memanglah tibo rampas alias bernasib sial. Pawukon, dalam pengertiannya yang paling sederhana, memanglah ada meski tak harus diyakini. Namun, serentetan kenyataan tiada henti yang menimpa dirinya, secara perlahan telah membersitkan kebenaran lain dari ramalan itu. Mungkin karena itulah, ibu itu kini menjadi banyak diam dan termenung.

Bertahun-tahun aku mencoba memahaminya. Kini, aku baru sadari, termenungnya dia bukan karena larut dalam penyesalan lantas mengharap bintang kejora jatuh seraya sekonyong-konyong membalik nasibnya. Namun, karena dia sedang menghimpun kekuatan dari dalam hati, memantapkan tekad, dan menginsyafi seluruhnya bahwa semua memang telah menjadi kehendak mutlak-Nya. Dia benar-benar menjadi manusia taslim,seorang insan yang menyerahkan jiwa seutuhnya kepada pemilik sejati hidunya. Karena, hidup, mati, dan perjalanan hidup, sesungguhnya milik Tuhan semesta alam. Dirinya yang disangka orang dan ahli pawukon sebagai orang bernasib sial, bagi dia sendiri itu telah tiada. Fana’...

Hari sudah petang. Ibu itu menutup jendela rumahnya. Suara batuk-batuk terdengar berat dari sebuah kamar suaminya yang mewariskan empat anak dan sejuta kenangan pahit namun menjelmakan kemanisan. Kini, jiwa ibu itu telah menjadi telaga yang siap menampung segala keluh-kesah hidup dari berjuta anak sungai. “Sesungguhnya hidupku, matiku, dan perjalananku, total milik Tuhan semesta alam…” ujarnya.


Pare, Rabu 6 Mei 2009; 18.36 PM
Read More

ibu dan bayi

Kelapangan yang tak berpulang hanya melahirkan kelalaian. Seorang perempuan muda dengan bara semangat menyala, pagi itu terisak di meja makan di hadapan seorang ibu tua. Ia seperti kembali menjelma seorang perempuan dengan kodratinya yang lemah. Tak seperti hari-hari biasanya yang bertabur berjuta keinginan, pagi itu dia menyandarkan tubuhnya seperti pasrah atas kegagalannya. Ia insyaf bahwa apa yang disangka baik dan selalu ia paksakan kepada orang-orang di sekelilingnya tentang pilihan hidupnya selama ini ternyata keliru. Ia baru sadar rupanya ada ruang kebenaran yang tersemat pada orang lain, sebuah kebenaran yang meski dha’if namun tetap memberi arti bagi diri sendiri. Kebenaran memang tak selamanya baik. Begitu pun sebaliknya, yang baik tak selalu benar. Seperti sebuah teori yang terus diujikan pada angka-angka statistik, maka ia akan menemukan titik kesimbangan. Dan itulah dialektika kehidupan yang perlahan akan menumbuhkan kearifan.

Ihwal itu bermula dari lahirnya sang buah hati setahun silam. Jerit tangis bayi yang pecah malam itu, seperti malaikat pembawa kabar gembira dari langit. Ia mulai merasa bahwa Tuhan telah menaruh perhatian atas segala doa dan citanya selama ini. Memang, satu demi satu tangga kehidupan ia lewati nyaris dengan sempurna. Sebuah pekerjaan mapan telah ia raih, setelah sebelumnya berjuang gigih dengan ratusan pelamar lainnya. Saat itu ia pun menepuk dada atas keberhasilannya menembus ratusan brikade pelamar pekerjaan. Begitu pun saat ia ingin menanjak tangga kehidupan selanjutnya mencari jodoh di usianya yang berkepala 26 tahun. Ia juga begitu amat yakin tak sulit amat. Ia merasa, pekerjaan yang ia miliki bakal melempangkan jalannya untuk memilih dan mencari jodoh sesuai hatinya. Wal hasil, cita dan asanya memang terkabul. Pekerjaan, suami, dan sang buah hati, semua sudah dalam rengkuhannya.
Namun, siapa sangka bahwa kelahiran sang buah hati rupanya menjadi titik balik segalanya. Ia menjadi manusia yang kian susah menoleh dan susah memaklumi saudara-saudara di kanan-kirinya, tetangganya, bahkan terhadap anak yang masih kecil pun. Ia menyangka, buah hatinya itu adalah kenikmatan tak terbatas tanpa keseimbangan kepekaan sosial sebagai perwujudan rasa syukur. Saben hari, selalu saja ada alasan untuk menjauhkan buah hatinya dari orang-orang di sekeliling. Begitu pun nenek yang telah renta itu, selalu menjadi sasaran hardik atas penilaian ketidakbecusannya dalam memomong buah hatinya itu. Pemahamannya yang ia cercap dari pelbagai majalah dan narasi-narasi tekstual selama ini, ternyata telah membumbungkan anggapan bahwa anak-anak kampung selalu menularkan penyakit dan kebiasaan buruk. Begitu pun kebiasaan neneknya yang selalu menitah buah hatinya tanpa alas sepatu, dinilai adalah kebiasan buruk yang tak baik bagi kesehatan anak. Sungguh, rasa cintanya yang berlebih kepada buah hatinya telah melahirkan fatamorgana dan egoisme baru. Orang-orang di sekelilingnya yang tak memiliki standar menimang sebagaimana keinginnya, harus dijauhi sedapat mungkin. Ia telah lupa di manakah buminya dipijak. Ia lebih mempercayai kebenaran tunggal dari ilmu-ilmu yang ia sadap dari berbagai media dan melalaikan bumi tempatnya berpijak.

Nenek renta itu hanya mampu menghela napas panjang saben hari. Tak jarang ia menangis sesenggukan seorang diri karena tak tahan mendengar kata-kata tajam yang keluar dari lidah ibu muda itu. Meski sakit, namun ia tak kuasa menahan kemauan kerasnya. Tak jarang, saat ibu bayi itu berangkat kerja sebagai wanita karir, nenek renta itu selalu bertanya kepada bayi yang ditimangnya itu; “Le, kenapa ya ibumu sekarang ini,” tanyanya dalam bahasa hati. Bayi itu hanya terdiam, namun penuh arti. Dalam diamnya itu, sang bayi terus mendengar keluh kesah nenek renta yang memomongnya tiap hari, seorang nenek yang tak pernah mengeluh menyalin popoknya tiap waktu tiap hari, yang memandikannya dengan air kehangatan, yang menyuapinya dengan telaten, yang menyuci baju-bajunya dengan air mata kasih sayang, dan yang menidurkannya dengan kidung cinta. Sebuah pekerjaan maha berat yang bahkan ibunya sendiri tak sanggup melakukannya, selain hanya bisa menghardik saat tak sesuai dengan kehendaknya. “Mbah…Mbah…Mbah…” kata bayi itu dengan terbata ketika melihat air mata neneknya mengalir dari sudut matanya yang kian senja. Dan hanya kata itulah yang selama ini mampu ia lafalkan, bukan kata yang lain seperti, “Ibu…Ibu…Ibu…”. Suatu hari, kata-kata bayi yang dilafalkan dengan terbata itu rupanya memberi isyarat lain, sebuah isyarat bahwa kelak ibunya-lah yang akan menumpahkan air mata sesal di hadapan nenek renta itu.

Ramalan bayi yang menjelma rintihan doa itu ternyata menjadi nyata. Perempuan muda itu menangis sesal di hadapan nenek renta yang telah lama mengasuh anaknya itu. Usai berlari jauh dari anak-anak kampung dan memisahkan anaknya dari neneknya selama beberapa pekan di rumah barunya, ternyata telah membuka mata batin kesadarannya. Dia baru menyadari, mengasuh bayi seorang diri tanpa pergaulan sosial di masyarakat sebagaimana pemahamannya selama ini, adalah ketakaburan. Bayi itu menangis tiada henti sepanjang siang-malam. Sejumlah pembantu yang ia seleksi dengan seleranya sendiri sudah angkat tangan. Perlahan-lahan kesehatan bayinya terus menurun. Ia tak tahu lagi bagaimana menenangkan putera semata wayangnya itu agar semenit saja berhenti menangis. Tapi, ibu itu tak kuasa. Ia tak tahu dari mana sumber kerewelan anaknya itu. Setumpuk majalah dan buku-buku yang ia imani sebagai panduan dalam mendidik anaknya, tiba-tiba bungkam tak bisa menjawab. Ia sadar betul, ilmu yang ia cercap selama ini hanyalah sebutir pasir di hamparan pantai kemahakuasaan Tuhan. Ia telah lalai. Ia telah takabur dan telanjur meyakini bahwa ilmu yang ia serap selama ini akan menjawab segalanya. Ia lupa bahwa sandaran sejati ialah Tuhannya. Ia lalai bahwa nikmat yang ia kecap itu hanya titipan saja. Sekarang, ia sadar betul Tuhan telah menegurnya. Kita tak pernah tak tahu, apakah teguran Tuhan itu juga membuat hatinya kian dewasa? Ataukah tak ada bedanya, tetap menjadi anak kecil yang hanya tahu kemauan kerasnya sendiri?

Solo, Kamis 14 Mei 2009 Pukul 21.07 WIB
Read More

Friday, May 8, 2009

INI hanya pesta DEMOKRASI...!

Tema talkshow di layar kaca itu ialah “Partai berbasis agama dengan partai berbasis nasionalis”. Pembicaranya dari berbagai kalangan. Ada kaum agamawan, kaum cerdik cendikia, budayawan, dan tentu saja kalangan anak-anak muda berlabel mahasiswa. Untuk lebih memfokuskan tema, produser TV pun menampilkan insert tayangan dari sejumlah reponden tentang sikap mereka terhadap pilihan antara partai berbasis agama dengan partai nasionalis.

Ada yang terasa lucu bagiku. Karena pemilihan tema itu sendiri seolah terkesan dipaksakan. Dengan mengajukan dua hal “agama dan nasionalis” seolah kita dipaksa untuk melakukan dikotomi agar jarak keduanya kian memanjang jauh dan tak akan saling bertemu. Bukankah ini tema kuno, yang ketika pembahasannya hanya pada aras dikotomi antara agama dan nasionalis, maka sebenarnya kita telah mengalami kemunduran peradaban dan politik. Bahwa agama-dalam tayangan itu-seolah diposisikan sesuatu yang selamanya tak akan memberikan sumbangan apapun terhadap perkembangan politik. Sebaliknya, untuk urusan politik, biarkan kaum nasionalis yang berkiprah karena dianggap mampu mengayomi semua golongan. Sebaliknya, agama selalu diidentikkan dengan hal yang eklusif, kolot, terbelakang, dan tak mampu mengakomodir semua golongan. Dan itulah kenyataanya. Sampai sekarang pun, kita masih menyimpan memori pemahaman di bawah alam sadar bahwa agama itu sesuatu yang bikin phobia.

Ada sumbu sejarah yang seolah sengaja dihilangkan ketika kita berkoar-koar soal nasionalis di Indonesia. Karena nasionalis yang terbangun di Indoensia saat ini seolah dilepaskan begitu saja dari kiprah perjuangan kaum santri dan pemuka agama. Apakah kita menafikan kisah kepahlawanan Bung Tomo, Pangeran Diponegoro, Cut Nyak Dien, Imam Bonjol, Hasyim Asy’ari, Muhammad Dahlan, dan berderet lagi santri yang lantang mengusir penjajah dan membangun bangsa. Kepada siapkah mereka berjuang, selain untuk mengusir ketertindasan hingga melahirkan bangsa Indonesia merdeka. Nasionalis Indonesia adalah nasionalis yang dibangun dengan semangat keagamaan anti penjajahan. Nasionalis kita juga dibagun dari semangat kebersamaan untuk bangkit melawan penindasan. Tak peduli siapa mereka. Dari kalangan santri, kafir, atau bahkan iblis pun, asal punya rasa senasib bersama mengusir penjajah. Tapi, nasionalis bangsa kita saat ini seperti apa? Nasionalis kita ialah nasionalis yang meninggalkan akar sejarah dan kebudayaan yang menjadi pondasinya. Dan ketika kita memaknai nasionalis dengan menafikan kontek sejarah, maka itulah kecerobohan terbesar sepanjang sejarah yang pada akhirnya, hanya melahirkan pemahaman bahwa nasionalis hanyalah milik kaum abangan. Sementara kaum satri telah disisihkan…

Dalam konteks berpolitik, pemakaian simbol agama memang terlalu naïf, meski dalam kenyataanya kian banyak Parpol yang memakainya untuk komoditas politik. Di satu sisi, akibat citra agama yang telanjur merosot dan tak punya harga diri itu, agama pun hanya bahan cacian seperti yang ditayangkan talkshow di salah stasiun TV kali itu.

Ada yang menggugah pemirsa, ketika cendekiawan muslim Komarudin Hidayat akhirnya angkat suara untuk melakukan pembelaan agama. Dengan runtutnya ia menjelaskan bahwa agama memang mengalami kemerosotan dalam konteks mikro, yakni sebatas pemakaian label dan simbol-simbol seperti yang dilakukan Parpol saat ini. Namun, dalam kontek makro, maka “the values of religion” tak akan meredup dan bahkan sinarnya terus berpendaran di penjuru dunia. Inilah yang ingin ditegaskan Komarudin bahwa ruh agama ialah rahmatallill’alamiin. Agama akan menyinari kepada siapa saja, tak terkecuali bagi negara yang akhirnya melahirkan nasionalis itu. Dan yang perlu dicatat, nasionalis hanyalah secuil produk agama, meski para pejuang agama yang melahirkan nasionalis itu akhirnya harus tersisih di pojok sejarah.

Tapi, tenang saja. Ini hanya ironi kecil sebuah demokrasi bangsa kita. “Ingat, ini hanya pesta Demokrasi...!” begitu kata Ki Dalang Suket, Slamet Gundono yang ikut nimbrung dalam acara itu. Lewat pentas monolognya, seniman bertubuh raksasa itu pun akhirnya mendendangkan kidung hingga membuat pemirsa kepingkal-kepingkal dan sejenak melupakan ruwetnya sejarah bangsa ini. Apalagi ruwetnya demokrasi negeri ini. “Ini hanya pesta Demokrasi...hanya pesta demokrasi…” suara Slamet berulang-ulang dan terus melemah…

Solo, Kamis 9 April 2009, pukul 00.55 WIB

Read More

-M.U.H.A.M.M.A.D-

Dari sudut bola mataku, menggenang air mata kesyahduan. Aku merindukannya, setelah sekian lama tak terasa ternyata aku begitu jauh berpaling darinya. Dia memang telah tiada belasan abad silam. Namun, risalahnya seolah tak pernah hilang dibaca orang. Dan malam ini, di tengah seribuan umat yang memenuhi Komplek Balaikota Solo dan pekikan salawat yang menggema (mauludan), tiba-tiba hatiku berbisik, ”Aku ingin menjadi makmum setianya. Aku ingin menumbuhkan kembali cintaku padanya, di tengah keculasan dan kebohongan yang saben hari selalu mengaburkan cinta itu.”

Dan aku memang harus membaca lagi berjuta-juta lembar risalahnya. Karena, rasa cinta itu tak akan tumbuh hanya berpangku pada acara seremonial mauludan yang digelar saben tahun, atau sekadar mengahapal kisah-kisahnya dari ustadz-ustazd kita dulu. Aku akan membaca lagi risalah tentang keberanian perjuangannya dan kepiawaiannya menyusun strategi perang yang mungkin tak pernah tertandingi oleh intelejen internasional sekelas CIA pun. Atau risalah tentang keberhasilannya menaklukkan koorporasi raksasa Abu Jahal dan kapitalis-kapitalis lainnya di Mekkah dengan modal ketulusan dan kejujuran. Aku juga harus kembali membaca risalah tentang semangat sosialisnya yang tiada duanya itu. Mungkin, sang paus sosialis, Karl Mark pun sebelum mengarang buku termahsyurnya Das Capital itu, dia terinspirasi dulu oleh sosok yang satu ini. Singkatnya, bagiku dia telah mengajarkan pokok-pokok demokrasi, egaliterianisme, dan pluralisme sejak dahulu kala, yang itu hanyalah secuil dari seluruh ajarannya.

Ah, Muhammadku… Aku ingin membaca keseluruhan risalahmu tentang kesungguhanmu membangun system pemerintahan yang jujur dan professional, hingga seorang pemimpin besar Yahudi saat itu pun memberimu award “Al-Amin”, artinya “orang yang dapat dipercaya”. Atau tentang keberhasilanmu mereformasi tatanan masyarakat Mekkah dari feodal dan menganut sistem homo homini lupus, hingga menjadi masyarakat madani. Masyarakat madani adalah sebuah tatanan masyarakat idealis yang menjadi embrio bagi peradaban negara-negara maju. Sunguh beralasan, jika Michael H Hart kemudian menempatkanmu pada urutan teratas dari 100 tokoh dunia paling berpengaruh. Pengaruhmu mengungguli Budha Gautama, Isa, William Shakespeare, Lao Tse, Rene Descartes, atau Newton, ilmuwan super hebat dari Inggris itu. Engkau sungguh layak dari sekadar memperoleh penghargaan sebagai orang yang paling banyak disebut namamu oleh miliaran manusia setiap detik.

Muhammadku, kini kutahu, seragam kebesaranmu adalah kesederhanaanmu itu. Di saat engkau memiliki berjuta peluang untuk membangun istana, engkau malah mengajarkan dan memberi contoh kepada kami tentang pola hidup bersahaja. Bahkan, hingga ajal mengetuk pintumu, engkau yang juga seorang pemimpin negara ternyata tak ingin merenovasi rumah sederhanamu yang kau bangun di atas lahan sempit berukuran tak lebih dari 4x4 meter persegi itu. Modal kekayaanmu yang melimpah ruah, justru 100% kau bagikan kepada masyarakat kecil untuk membentuk jaringan ekonomi kerakyatan di Madinah. Dan engkau tetap memilih abdan nabiyan, seorang nabi yang tak ada jarak dengan rakyat. Bukan nabi yang borjuis.

Muhammadku! Malam ini aku yakin engkau hadir di tengah-tengah seribuan umat yang merindukanmu itu. Atas nama cinta yang tak bertepi, maka terimalah salawat dan salamku untukmu…

Balaiokota Solo, Minggu, 15, Maret 2009, pukul 23:48 WIB.

Read More

bukan (semata) ojek

Malam telah larut. Jarum jam merayap pukul 23.30 WIB. Perempatan bangjo itu benar-benar terasa nglangut dan sepi. Hanya satu penjaja warung angkringan yang terlihat di sudut jalan, setia menanti pembeli di bawah temaram cahaya dimar kecil. Seperti pada malam yang sudah-sudah, sopir bus kerapkali berubah menjadi penguasa jalanan. Meski lampu yang menggantung pada tiang menyala merah penuh, mereka tetap menginjak gas dengan kencangnya. Dan puluhan penumpang di dalamnya itu tak ubahnya onggokan jasad yang begitu pasrah pada sang sopir.

* * *

“Kiri, Pak!!” puluhan penumpang yang terlelap tidur spontan terbangun. Di tepi trotoar bangjo itulah aku turun. Aku melangkah, memangul tas di pundak dan mulai sibuk memencet tombol handphone.

Dari seberang jalan yang gelap, seorang bapak setengah baya mendekatiku dengan sepeda motor bebeknya. Dia langsung menawari tumpangan tanpa banyak bertanya hendak kemanakah aku. Ada rasa heran bercampur cemas yang menyeruak ketika bapak itu tak mengeluarkan sepatah kata pun soal ongkos. Begitu pun soal kemana tujuanku. Dia malah menyerahkan sepenuhnya besarnya ongkos itu kepadaku. “Mpun, sak kersone njenegan. Kulo manut kemawon,” ujarnya. Dia pun langsung menghentikan sepeda motornya di depanku. Dalam irama waktu yang cepat ditingkahi sepoi-sepoi angin malam itu, tiba-tiba dorongan belas kasihan kepada bapak ini begitu menguasaiku. Aku merasakan ada ketulusan dan keprihatinan mendalam pada diri bapak ini. Dari seberkas wajahnya yang tersorot lampu merkuri jalan itu, tak kulihat ada guratan kekejian dan kebengisan. Dia terus merendah dengan segala ketulusanya. Dari kata-katanya dan raut wajahnya. Dan ini tak bisa dibohongi.

Aku pun langsung menyingkirkan segala wak dan prasangka yang sebelumnya menjajahku. Tentang kisah ojek yang memberandal. Tentang malam-malam yang liar. Tentang sepi yang rawan. Dan segala hal beraoma pikiran negatif. Biarlah semua berjalan sesuai kehendak-Nya. Aku meyakini, alam ini menyimpan segala energi yang digerakkan oleh pikiran manusia. Pikiran yang bening tanpa prasangka, akan melahirkan kebeningan pula. Sebaliknya, kecemasan yang berlebih akan melahirkan kecemasan dan derita batin.

* * *

Di sepanjang perjalanan, bapak itu mulai berkisah tentang keluarganya. Tentang tanggungan biaya sekolah ketiga puteranya yang semua masih duduk di bangku kuliah. Tentang seorang isterinya yang hanya seorang guru SD tanpa tunjangan memadai. Dia sendiri, sejak sebulan ini hanya menggantungkan rezeki dari usaha warung angkringan di pojok perempatan itu sambil berkawan angin malam. Setahun lalu, bapak ini telah dipensiun dini dari pekerjaan satu-satunya sebagai pegawai rendahan di Kabupaten Karanganyar. Sejak itulah, segala usaha dia lakoni tanpa malu, termasuk menjadi tukang ojek, sebuah profesi yang sebenarnya hanyalah kerjaan sambilannya saja lantaran tak tega kerapkali melihat orang kesusahan mencari tumpangan di malam hari di perempatan jalan sepi itu.

Sunguh benar kata orang bijak; kesusahan akan mendekatkan manusia kepada Tuhannya. Bapak itu, meniati menjadi tukang ojek bukan semata demi kalkulasi rupiah dan tawar-menawar harga sebagaimana umumnya transaksi jual beli abad modern saat ini. Namun, benar-benar lahir dari rasa kemanusiaannya yang sublim untuk menolong sesama. Dia tak mau dan tak akan pernah menyebutkan nominal ongkos ojeknya. Karena, niatan utamanya ialah menolong. Urusan rezeki, dia pasrahkan total kepada Sang Maha Penolong Sejati Jagad ini. Karena, baginya pintu rezeki dari langit menghampar jauh lebih luas ketimbang pintu rezeki di bumi! Selamat jalan, Pak...

Solo, Kamis 30 April 2009. Pukul 03.00 WIB

Read More

mencari jawab

Seorang anak kecil bertubuh ceking. Usianya tiga tahunan. Ia tumbuh di lingkungan yang sama sekali lain sebagaimana umumnya anak kecil. Segala pengetahuan yang tercercap di ingatan dan anggapannya, nyaris seperti pengetahuan orang dewasa. Kata-katanya selalu bernada tanya, tak jarang mengugat. Ini adalah kesekian ratus penggal malam baginya tanpa tidur. Ibu dan ayahnya tak tahu lagi bagaimana membujuk anak semata wayangnya itu agar mau sejenak saja berhenti berceloteh saat malam tinggal separoh. “Sudahlah le, mbok tidur. Besok lagi ya tanyanya?” kata-kata ibunda mencoba menghibur si buah hatinya itu.
Ia terdiam sesaat. Tapi sepasang bola matanya masih ketap-ketip mengamati langit-langit kamarnya. Dia menoleh ke samping kanan, terlihat ayahnya sudah tidur mendengkur. Menoleh ke samping kiri, ia amati wajah teduh ibunya bagai batu pualam; tenang! Malam pun perlahan menjemputnya dalam mimpi. Terbang…
* * *
Pagi hari, kuning cahaya surya perlahan membuka mata dan kesadarannya. Juga riuhnya jalanan dan pasar. Ia lihat ayah-ibunnya sudah tak lagi disampingnya. Seperti hari-hari biasanya, ia menjerit menangis meski tak ada yang menghirau. Namun, kedua kakinya tergerak turun dari dipan kasur dan selimutnya tanpa alas kaki. Ia melangkah mencari sumber kemerisik suara seperti suara tangan-tangan yang tengah mengayun cangkul. Di tengah tegal, ia tatap seorang pria bertelanjang dada bermandikan peluh menantang sengatan matahari. “Cangkul ini harus terus diayunkan, Nak. Karena, inilah satu-satunya yang Ayah bisa untuk makan kita,” si anak itu termangu mendengar kata-kata ayahnya yang kilat menyambar kesadarannya. Ia tak tahu, kenapa baru pagi itu kata-kata ayahnya menusuk kalbu benar. Sebuah cangkul, sepetak tegalan, sederas keringat, dan sebongkah tanah kering ternyata membuatnya sadar akan pentingnya rasa syukur. Ia tak lagi bertaya “Kenapa, harus mencangkul?” seperti pada hari-hari biasanya yang selalu penuh tanya. Mungkinkah, volume pertanyaan anak itu sudah memenuhi kepalanya? Tak ada yang tahu. Sejak itulah, ia tak lagi banyak bertanya. Lima tahun telah bergeser. Anak itu kini tumbuh remaja dengan segenap kedewasaan dan kematangan jiwanya. Ia kini lebih gemar membawa pena, buku, meringankan sisa-sisa pekerjaan ayahnya, dan mengunjungi sejumlah perpustakaan, berdialektika dengan segala lapisan persoalan dan masyarakat. Ia memang tak lagi sekadar bertanya. Tapi mencari jawab…

Solo, 26 April 2009

Read More

kidung rumah tangga 2

Selalu ada kisah pilu di kampung halaman. Tentang saudara dekat ayah yang terusir dari gubuknya sendiri. Tentang penyakit menahun bapak yang telah menggerogoti persendian tubuh dan membuatnya lumpuh tak berdaya. Tentang desakan ekonomi yang memaksa saudara ibu harus merantau ke negeri tetangga, memungut recehan ringgit di usianya yang berkepala 50-an tahun. Juga tentang budhe yang salah satu kakinya harus di-gip setelah ditabrak seorang anak muda tanpa tangungjawab. Dan seperti lagu lama yang tak pernah usang didengar, aku hanya termangu malam ini…
Mungkin, ini hanyalah bagian kecil dari rentetan peristiwa kelam masa lalu. Saudara ayah, sejak berpuluh-puluh tahun telah hidup dalam kemiskinan total. Anak tak punya, harta pun tak punya. Kini, gubuk satu-satunya tergadaikan sudah.
Saudara ibu, terpaksa mengadu nasib ke Malaysia sebagai pembantu warung makan. Utang-utangnya di bank plecit rupanya terus mencekik leher. Tak ada yang menghalau, meski semua saudara menyimpan rasa sesal. “Katanya, dikontrak dua tahun. Nanti, gajinya akan dikumpulkan untuk membayar hutang-hutang dan bekal hari tua,” kisah ibu.
Budhe, sejak salah satu kakinya patah sebulan lalu, dia tak lagi bisa menggelar dagangannya di tepi trotoar pasar. Peristiwa itulah yang menjadi tonggak waktu tak lagi ada pendapatan yang dipakai untuk membuat dapur ngebul.
Bapakku….Ah, aku hanya bisa pasrah saja kepada suratan takdirnya. Mungkin, ini lebih baik di antara pilihan terburuk lainnya. Mungkin, hanya doa-doa yang mampu membalikkan takdir.
* * *
Sejenak, aku teringat lagu Love of My Live-nya The Quen di tengah perjalananku pulang tadi. Atau Bayang-Bayang Ilusi-nya Anggun yang mengalun merdu di MP3-ku. Lirik-liriknya yang bersemangat itu, benar-benar membangkitkan gairah hidup. Membayangkan sepuluh atau 15 tahun lagi bahwa hidup semestinya bertabur suka cita. Tak ada lagi kesenjangan yang begitu lebar menganga, seperti dalam kisah para warga blandong di Blora, Cepu, Bojonegoro. Kepung dan sejumlah wilayah lainnya yang terisolir hutan dan segala isinya. Karena, tanah, air, udara, hutan, dan segala isinya, bagi mereka hanyalah bayang-bayang ilusi yang tak kan pernah bisa mereka nikmati. Dan mereka benar-benar miskin dan tak bisa makan di lumbung padinya sendiri…

Read More

sepeda bantul-yogya

Sungguh, cuaca benar-benar susah ditebak. Ketika April disangka sebagai awal musim pancaroba, ternyata tak selalu demikian. Hingga di penghujung bulan ke-empat ini, hujan masih kerap kali jatuh tanpa dinyana. Anehnya, saben hari hawa gerah serasa mengipaskan api dari tungkunya, memaksa melepas sederetan kancing baju. Huffff….

Para pengamat cuaca boleh saja bersabda penuh jumawa; sekarang ini telah berlangsung iklim ekstrem. Bermiliar macam penyakit bakal tercipta dan mengurai. Aneka kebiasaan menjadi susah dicegat. Kemarau tiba, petani susah menghimpun air. Saat hujan turun, air bah melimpah ruah, merendam rumah, sawah, jalan-jalan dan memutus sumber penghidupan mereka. Sungai murka! Dia tak lagi kuat menampung miliaran liter air dari berjuta anak sungai. “Dunia heboh!” begitu ujarnya dari dalam gedung megah penuh kaca.

Sebuah hipotesis lumat-lumat akhirnya berkumandang; ekstremnya iklim ini mungkin bagian dari puncak protes alam atas tingkah manusia yang juga kian ekstrem.

Aku terkesima saat melirik laporan dari IPCC, sebuah lembaga yang tekun melakukan kajian ilmiah, teknis dan sosio-ekonomi yang relevan untuk memahami perubahan iklim. Laporan ilmiahnya itu membeberkan bahwa 90% atau “very likely”, aktivitas manusia merupakan biang keladi perubahan iklim ektrem itu. Sungguh, bumi telah terluka. Alih fungsi hutan menjadi ladang subur bagi para konglomerat. Konsentrasi gas-gas karbondioksida, metana, dan dinitrogen oksida (N2O) meningkat tajam sejak 1750. Kenaikan suhu rata-rata sebesar 0,76oC antara periode 1850 – 2005. Tahun 2100, suhu diprediksi bakal naik suhu antara 1,8oC – 4oC!!

Sekarang, orang mulai sibuk berkhutbah tentang arti penting penghijauan, pengurangan gas karbon dioksida atau rumah kaca. Tapi, mesin penyumplai zat sampah itu kian hari kian tak menyusut. Gedung-gedung berdiri angkuh meninju langit dengan pantulan kacanya. Jalanan raya yang sudah sesak itu jadi ruang pamer terbuka bagi kendaraan bermesin mutakhir. Waktu serasa terus bekerjaran dalam bising. Malam ini, aku tiba-tiba terkenang sajak Iman Budi Santosa yang kian terasa syahdu benar:

“Orang-Orang sepeda Bantul-Yogya”.

Pagi paling hanya membekali berani. Sesekali pena atau gergaji. Kadang malah cukup dengan otot lengan. Bersama sepuluh jari dan lecutan cemeti. Berangkat menaklukkan matahari. Tapi, mereka setia mengayuh nasib. Dengan mata terbuka, sabar melata. Mencari celah dan remah-remah kota dekat millennium ketiga. “Mengapa percaya pada iklan, jika di tanah sendiri punya sepasang kaki untuk berdiri?” Maka, petang pun kembali. Memanjakan lelah, merindukan lampu merah. Di sana besok bisa dianyam. Dengan wajah tengahdah.

Solo, 27 April 2009 23.55 WIB.

Read More

Tiada Tuhan selain Tuhan

TIADA Tuhan selain TUHAN…

Mendadak saja, aku teringat kalimat “Tiada Tuhan selain TUHAN” pada sepenggal malam ini. Tak tahu kenapa? Mungkin karena baru saja aku teringat tingkah temanku yang mengikrarkan diri sebagai penyembah sejati Tuhannya lantas berkirim kabar dengan kalimat Laailahaillaah…

Aku tak tahu, apakah yang dia pahami dengan mengumandangkan kalimat Laailahaillaah itu? Apakah dia ingin menegaskan bahwa Tuhannya berbeda dengan tuhannya umat lain, yakni tuhannya umat Hindu, Budha, Kristen, Katholik, Khong Hucu. Atau dia ingin menegaskan bahwa Tuhannyalah yang paling hebat atau yang paling ada dan paling benar di antara tuhan lainnya? Atau jangan-jangan, kedalaman ilmu balaghah arab membuatnya syaukh, hingga subtansi kalimat itu malah tak terangkap. Semoga saja tidak demikian …

Tapi, jika demikian pemahamannya tentu akan merepotkan. Karena, akan ada banyak Tuhan lagi dalam pikirannya. Dan itu namanya bersekutu dengan tuhan-tuhan yang lain. Makna Laailahaillaah ialah bahwa tuhan itu satu. Itulah Tuhan yang selalu ingin dijangkau hamba-Nya. Itulah Tuhan semua umat manusia. Bukan Tuhan parsial. Tuhan yang sengaja kita pecah-pecah sendiri dan kita perdebatkan terus. “Itu kan tuhannya umat agama ini. Itu kan Tuhannya agama itu,” begitulah kira-kira pemahaman kita selama ini tentang Tuhan.

Dan itulah syirik sejati yang sebenarnya tak kita rasakan. Kita ingin meneguhkan kehadiran Tuhan kita, namun diam-diam mengakui tuhan-tuhan yang berserak lainnya. Cukuplah Tuhan itu satu! Tuhan semua umat manusia. Tuhan Umat Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, dan segala umat manusia yang memiliki identitas agama apapun dan manapun. Mulai dari jaman Adam hingga zaman kiamat, Tuhan tetaplah satu; itulah Tuhan seluruh mahluk! TIADA TUHAN SELAIN TUHAN.

* * *

Aku yakin, setelah ini aku bakal dicap sebagai orang sesat. Sesat karena dianggap lancang dan berlagak sebagai orang yang sok tahu hingga terjerembab pada lingkaran kaum berpikir liar. Ah, tak mengapalah kalau aku lantas masuk kategori ‘sesat’ versi dia. Karena, aku tahu persis, katagori sesat menurutnya ialah orang-orang yang tak sepaham dengannya. Bukankah, baginya pintu ijtihad itu telah tertutup rapat. Dan baginya pula, kebenaran itu hanya tunggal! Miliknya…Tak ada lagi dialektika. Aku akan tetap bertauhid, bahwa hidupku dan matiku hanya milik Tuhanku yang maha segalanya. Sesembahan seluruh umat manusia…

Solo, Sabtu 4 April 2009, pukul 23.31 WIB.

Read More

kidung rumah tangga

TIGA tahun menikah, rupanya telah membuatnya masuk pada titik jenuh. Sebuah karir masa lalu yang masih membekas di hati, kini seakan menggedor-gedor kembali hasratnya di tengah statusnya sebagai ibu rumah tangga dengan dua anak kecil-kecil. Dia benar-benar ingin berontak. Dia ingin berlari jauh meninggalkan kesibukan mengurus anak-anaknya yang telah membuatnya stres berat itu. Kehidupan rumah tangga dengan segala perniknya, ternyata di dalam bayangannya tak seperti yang dia sangka selama ini sebagai bagian dari istana yang bertabur bunga di sisi kanan-kirinya. Dan sang suami hanya mampu menghela napas panjang. Dia sudah tak punya kuasa lagi menghalau kemauan keras isterinya. Sekian puluh kali dia nasehati isterinya akan mulianya profesi sebagai ibu rumah tangga dan arti pentingnya sosok ibu bagi masa depan anak-anak. Dia wedarkan kisah-kisah tauladan wanita solaheh zaman dulu yang menjadi bagian penting pilar rumah tangga dan negara tanpa harus meninggalkan anak, suami dan tangungjawab kerumahtanggaan. Namun semua tetap sia-sia. Kerja keras suaminya selama ini, masih terlalu jauh dari harapan tinggi isterinya. Dan si isteri itu akhirnya tetap bersekeras memilih kembali bekerja di luar rumah, mengadu nasib di kota besar dengan bekal secuil pengalaman masa lalunya serta ijasah SMA terakhirnya. Sang suami limbung. Dia sudah tak tahu lagi, kemanakah nantinya dua anak-anaknya itu akan memanggil ibunya… Malam itu, sang suami melinangkan air mata. Dia merindukan kedua orangtuanya. Dia ingin sejenak melupakan persoalannya itu lantas tidur di pangkuan ayah-ibunya seperti saat masih kanak-kanak dulu. Dia ingin mengenang kembali masa kecilnya saat hidup tak ubahnya permainan tanpa diliputi kompleksitas permasalahan saat beranjak dewasa dan menikah seperti saat ini. Namun, kedewasaan tetaplah mengundang risiko tersendiri dengan pilihan-pilihan hidup sendiri pula. Dan menikah juga pilihannya sendiri, meski dia tahu betul bahwa isterinya memang belum matang saat akan memutuskan menikah dulu. “Insyallah saya akan mencoba membimbingnya,” begitu jawabnya meyakinkan saat mau menikah tiga tahun silam. Tak seperti pada malam-malam sebelumnya, dia peluk erat putera pertamanya itu sambil diusap kepalanya penuh cinta. Dia ajak putera itu menghitung bintang-bintang di langit, sambil menyenandungkan kidung bintang kecil di langit biru menghias angkasa. Mungkin, rasa sayang itu benar-benar tak kuasa ia tumpahkan ketika membayangkan hari-hari ke depan nanti anak-anaknya tanpa kasih sayang ibunya. Dia tak sedang berlari dari permasalahan yang merundungnya. Namun hanya sekedar ingin meregangkan ketegangan atas kemauan keras isterinya yang kian hari kian menjadi. Semua memang sudah telanjur. Nasi telah menjadi bubur. Dan si isteri tetap meninggalkan rumah dan dua anaknya, suaminya, serta melupakan ikrar bersama saat mau menikah dulu untuk selalu bersama dalam suka maupun duka… Pare, Senin 4 Mei 2009, Pukul 22.14 WIB…
Read More

kidung rumah tangga

TIGA tahun menikah, rupanya telah membuatnya masuk pada titik jenuh. Sebuah karir masa lalu yang masih membekas di hati, kini seakan menggedor-gedor kembali hasratnya di tengah statusnya sebagai ibu rumah tangga dengan dua anak kecil-kecil. Dia benar-benar ingin berontak. Dia ingin berlari jauh meninggalkan kesibukan mengurus anak-anaknya yang telah membuatnya stres berat itu. Kehidupan rumah tangga dengan segala perniknya, ternyata di dalam bayangannya tak seperti yang dia sangka selama ini sebagai bagian dari istana yang bertabur bunga di sisi kanan-kirinya. Dan sang suami hanya mampu menghela napas panjang. Dia sudah tak punya kuasa lagi menghalau kemauan keras isterinya. Sekian puluh kali dia nasehati isterinya akan mulianya profesi sebagai ibu rumah tangga dan arti pentingnya sosok ibu bagi masa depan anak-anak. Dia wedarkan kisah-kisah tauladan wanita solaheh zaman dulu yang menjadi bagian penting pilar rumah tangga dan negara tanpa harus meninggalkan anak, suami dan tangungjawab kerumahtanggaan. Namun semua tetap sia-sia. Kerja keras suaminya selama ini, masih terlalu jauh dari harapan tinggi isterinya. Dan si isteri itu akhirnya tetap bersekeras memilih kembali bekerja di luar rumah, mengadu nasib di kota besar dengan bekal secuil pengalaman masa lalunya serta ijasah SMA terakhirnya. Sang suami limbung. Dia sudah tak tahu lagi, kemanakah nantinya dua anak-anaknya itu akan memanggil ibunya…
Malam itu, sang suami melinangkan air mata. Dia merindukan kedua orangtuanya. Dia ingin sejenak melupakan persoalannya itu lantas tidur di pangkuan ayah-ibunya seperti saat masih kanak-kanak dulu. Dia ingin mengenang kembali masa kecilnya saat hidup tak ubahnya permainan tanpa diliputi kompleksitas permasalahan saat beranjak dewasa dan menikah seperti saat ini. Namun, kedewasaan tetaplah mengundang risiko tersendiri dengan pilihan-pilihan hidup sendiri pula. Dan menikah juga pilihannya sendiri, meski dia tahu betul bahwa isterinya memang belum matang saat akan memutuskan menikah dulu. “Insyallah saya akan mencoba membimbingnya,” begitu jawabnya meyakinkan saat mau menikah tiga tahun silam.
Tak seperti pada malam-malam sebelumnya, dia peluk erat putera pertamanya itu sambil diusap kepalanya penuh cinta. Dia ajak putera itu menghitung bintang-bintang di langit, sambil menyenandungkan kidung bintang kecil di langit biru menghias angkasa. Mungkin, rasa sayang itu benar-benar tak kuasa ia tumpahkan ketika membayangkan hari-hari ke depan nanti anak-anaknya tanpa kasih sayang ibunya. Dia tak sedang berlari dari permasalahan yang merundungnya. Namun hanya sekedar ingin meregangkan ketegangan atas kemauan keras isterinya yang kian hari kian menjadi. Semua memang sudah telanjur. Nasi telah menjadi bubur. Dan si isteri tetap meninggalkan rumah dan dua anaknya, suaminya, serta melupakan ikrar bersama saat mau menikah dulu untuk selalu bersama dalam suka maupun duka…

Pare, Senin 4 Mei 2009, Pukul 22.14 WIB…

Read More

Tuhan pun tersenyum

TAK semua yang mendengar dan melihat mampu mencercap cahaya. Cahaya itu hanya akan menancap ke ubun-ubun orang yang hatinya benar-benar tawadhu’ mengharap pada-Nya.

Yahdillahalinurihii mayyasa’…

Dia tak bisa didekati semata dengan menegakkan ritual dhohir penuh kecongkakan, yakni sebuah keyakinan yang menganggap bahwa segala amal perbuatannya selama ini adalah tebusan untuk Tuhannya. Inilah kesombongan baru seorang hamba kepada Tuhannya. Mereka ialah orang-orang yang memandang Tuhan tak ubahnya raja sangar pembuat aturan an sich. Sebuah kemuliaan, selalu mereka ukur berdasarkan norma dan dogma. Ketika aturan-aturan dhahir yang termaktub dalam serpihan ayat-ayat tersurat telah ia tunaikan, maka bangga benar mereka. Lantas, tanpa sadar mereka menilai diri sebagai hamba sejati dan hatinya kian tenteram untuk terus melakukan klaim kebenaran (truth claim) atas orang lain. Mereka tak kanKetika engkau melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan hati. Karena hati terlalu lemah, maka ubahlah dengan kepalan tangan dan senjatamu.” segan bertindak destruktif, anarkis, demi memaksakan keyakinannya itu sambil mengusung panji termasyhur ini: “

Mereka menyangka, hanya dengan bertindak demikianlah, Tuhannya akan tersenyum simpul kepadanya. Mereka sungguh tak ingin bertemu Tuhannya nanti dengan bermuram durja lantaran membiarkan kemungkaran menari-nari di depannya.

Mungkin benar, bahwa Tuhan akan tersenyum kepadanya. Seraya berbisik, Tuhan lantas mengulang firmannya, “Aku sungguh dekat dengan hamba-Ku, lebih dekat dari urat nadinya sendiri…”

Tuhan terus melanjutkan firmannya itu sambil tak henti tersenyum, “Akulah Tuhan yang penuh cinta kasih sayang. Engkau mendekat selangkah kepada-Ku, seribu langkah Aku kepadamu. Ketika engkau rasakan begitu dekat kehadiran-Ku, maka kaki-Kulah yang sebenarnya melangkah ketika engkau melangkah…”

“Dan ingatlah!!” mendadak Tuhan berhenti tersenyum, “Bahwa Aku ada dalam persangkaan hamba-Ku…” tegas Tuhan seolah ingin menyampaikan pesan yang selama ini terabaikan para hamba-Nya. “Janganlah kau sangka Aku sebagai Tuhan yang seperti itu; pemarah, pemurka, hingga membuat diri kalian selalu memonopoli dan merebut kebenaran yang sesungguhnya itu adalah hakku yang tahu…!” tiba-tiba suara Tuhan menggelegar diiringi gemuruh.

Solo, 18 Maret 2009, 04.03 WIB.

Read More

Tentang Blog

Ini hanya cerita tentang orang biasa. Tentang ketegarannya, kesabarannya, ketekunannya, kebesaran jiwanya, dan kepasrahan hidupnya kepada pemangku jagad ini.

Terpopuler

Designed ByBlogger Templates