Wednesday, July 8, 2009

Membangun motivasi diri; merencanakan strategi-strategi tanpa transendensi adalah arogansi. Ada factor ‘X’ yang mesti terlibat di dalamnya. Jangan alpakan penggerak daun, pewarna cabe, dan pemutar aras waktu ketika hendak merajut mimpi. Semua bakal menemukan jalan lempang itu ketika sudah tersambung dengan factor ‘X’. “Siapa berserah pada-Ku, maka akan kucukupi,” begitu bunyi sebuah janji termaktub dalam kitab suci.
Tapi, mimpi mungkin memang salah satu cara Dia berbisik melalui impuls-impuls kesadaran kita. Tak ada mimpi tanpa kudrah di baliknya. Dan mimpi mungkin memang bagian dari cara Dia menyapa sekaligus menguji kepasrahan kita. Itulah yang barangkali membedakan setiap kemenangan di muka bumi. Ada yang dimaknai semata karena tangan-tangan di balik layar. Ada juga yang justru kian mengukuhkan arogansinya...

Solo, 1 Juli 2009; Pukul 09.32 WIB

Read More

my father in memoriam...

Selepas azan duhur berkumandang, aku bergegas pulang; berharap bisa menatap sekilas wajah ayahku untuk yang terakhir kalinya. Namun, aku terlambat. Ayahku sudah disemayamkan. Dan aku hanya bisa menyaksikan bayang-bayang ayahku dalam pusara makam, bertabur bunga kamboja yang masih segar. Ayahku telah pulang ke negeri keabadian untuk selama-lamanya...

* * *

Ayahku lahir dan tumbuh di lingkungan sosial-politik yang sama sekali tak berpihak kepadanya. Kegemarannya semasa mudanya sebagai pegiat Lembaga Kebudayan Rakyat atau Lekra, rupanya menjadi musibah. Bersama kawan-kawanya, ayahku pun dijebloskan ke penjara hanya karena tuduhan sebagai pegiat organisasi yang ditunggangi komunis itu. Dan selama beberapa tahun, ayahku harus rela meringkuk di balik jeruji penjara. Rasa sakit itu sungguh terasa perih. Namun, ayahku bukanlah pendendam. Dia tetap sadar diri; sadar sebagai rakyat jelata yang berulangkali nyawanya nyaris ditebas celurit ketika tragedi pembataian massal ’65 meletus. Dan ayahku tetap bersyukur masih diberi kesempatan hidup kala itu.
Selepas menjalani kurungan penjara, ternyata tak lantas membuat ayahku bisa menghirup udara bebas di negerinya yang ia cintai ini. Ayahku ternyata harus rela menerima stigma komunis seumur hidup. Semua pintu-pintu berbau pemerintah tak akan sudi menerima pegawai macam ayahku. Getirnya lagi, seluruh putera ayahku juga masuk dalam daftar orang-orang terlarang masuk ke instansi pemerintah; termasuk aku, putera bungsunya. Rasa sakit itu kian terasa perih. Namun, ayahku ternyata bukanlah pendendam.
Ayahku mulai menyingsingkan lengan bajunya. Ia memang pekerja keras. Dia rela melakukan usaha apa saja di negerinya ini; asal tak memakan hak-hak orang lain, asal tak menambah beban negara, apalagi sampai merugikan negaranya. Itulah falsafah hidupnya yang ia lakoni seumur hidupnya; justru di saat orang beramai-ramai bancakan makan uang negara ini. Ia pernah sebagai penjual kayu, tukang kayu, tukang sobek karcis, hingga kerja serabutan sebagai makelar tanah. Semua, dilakoni ayahku dengan rela; demi membuat dapur keluarga tetap ngepul. Dan satu-satunya hak asasi ayahku-selain hak menghirup udara-yang tak dilarang pemerintah mungkin tinggalah menggemari sepak bola. Aku masih ingat, jauh hari, sebelum sepak bola menjadi bisnis kapitalisme seperti saat ini; ayahku kerap mengajakku menonton pertandingan sepak bola selepas asar. Pulang nonton sepak bola di luar kota, tak lupa membeli majalah Intisari favoritnya itu. Kadang membeli buku lawas yang tak pernah kutahu isinya itu. Setelah aku mengenal bangku sekolah; aku baru sadar ternyata ayahku gemar membaca karya Pramoedya, Di Bawah Bendera Revolusi-Soekarno, atau karya-karya terjemahan dari Rusia maupun buku-buku Marx.
Lepas dari sisi kelemahannya, ayahku memang menyimpan truma dalam memori ingatannya kepada formalisme keberagamaan. Aku tak tahu; apakah itu karena pengaruh buku-buku Marxian yang selalu menuding formalisme agama sebagai penjilat kaum borjuis. Yang jelas, ketika bicara agama; ayahku seakan trauma atas sekian peristiwa pertumpahan darah yang selalu mengatasnamakan agama. Itulah sebabnya, ayahaku memberikan kemerdekaan atas keyakinan beragama kepada anak-anaknya. Karena, baginya agama adalah sesuatu yang amat kudus, intim, antara hamba dengan khalik-Nya. Semua yang bernama insan, kata Ayahku yang terus kuingat, telah diberi bekal nur untuk mengenal Tuhannya. Apapun bentuk agamanya, kata ayahku, itu sah-sah saja. Anak sulung ayahku dikasih gelar nama dari Pulau Dewata yang identik dengan agama hindu-budha. Nama anak keduanya diambilkan dari bahasa arab. Nama anak ketiga dinukil dari bahasa kristian. Sedang nama anak keempatnya, diambilkan dari khasanah era filosuf yunani kuno. Meski demikian, semua anak-anaknya ternyata memeluk agama Islam; Islam yang lahir dari kultur jawa timur alias Islam bawaan.
* * *…….

Pare, 02 Juli 2009 Pukul 23.00 WIB

Read More

Hari terakhir pekan ini, genap empat hari ruh ayah melepas raganya. Handai taulan, termasuk ibuku selalu bilang,"Kasihan Le, bapakmu sekarang sendirian di kubur," begitu katanya selepas mengenang tiga hari kepergian ayah dengan berjuta iringan tahlil di rumah. Aku tak pernah menganggap ayahku sendirian di kubur tanpa cahaya penerang yang menemani. Bagaimana bapak bisa sendirian di alam kubur, sementara nyaris seluruh usia bapak sebagian besar hak-haknya telah diserahkan kepada sesama. Bahkan, haknya yang paling asasi untuk bekerja serta hak bercita-cita juga nyaris tak dimiliki ayahku. Bapakku telah terbiasa hidup dengan sekian beban kewajiban, tanpa memiliki hak-haknya.

Aku masih teringat suatu hari, ketika warga kampung membangun mesjid. Ayahku diam-diam mengirimkan separoh lebih kayu dagangannya ke mesjid, tanpa seorang pun tahu siapa pemberinya. Ibuku saat itu, aku tahu persis begitu mendongkol dengan keputusan yang diambil ayah kala itu. Ibuku dengan watak kecemasannya yang berpikir praktis untuk urusan kebutuhan dapur dan makan anak-anakanya esok hari, terus terang keberatan. Mestinya, bapak bisa menyumbangkan beberapa potong kayu saja karena itu nilainya sudah berjuta. Namun ayahku tetap tak mau berpikir sepotong-potong. Ia tetap pada keputusannya itu, meski modal untuk berdagang bulan depan belum ia pikirkan sama sekali.
Satu dari sekian kelemahan yang dimilikli ayahku ialah selalu mudah percaya kepada siapa saja. Apalagi kepada rekan kerja, bapakku tak pernah menyimpan secuil keraguan. Itulah sebabnya, tak jarang usaha bapakku harus bangkrut berkali-kali karena kiriman barang selalu dibawa kabur sopir atau rekan kerja. Jika sudah seperti ini, ibuku-lah orang yang pertama kali selalu uringan-uringan karena menilai bapak tak becus bekerja denga menaruh kepercayaan 100% kepada sesama. Dalam kondisi seperti ini, bapakku hanya bertanya penuh arti lantaran dia tak bisa memahami tingkah manusia saat ini; kenapa dirinya yang selama ini dituduh orang-orang tak memiliki Tuhan, namun justru dikhianati orang-orang yang mengaku bertuhan ketika dirinya berusaha menjalankan amanat Tuhan itu dengan tulus.
Bapakku mungkin memang tak memiliki batas perbedaan selain rasa senasib atas sesama. Di usianya yang sudah senja itu, bapakku selalu mendatangi kawan-kawannya, para tetangganya, serta orang-orang tercintanya dengan membawa oleh-oleh yang mampu ia beli. Ia tak akan bisa istirahat jenak jika mendengar kabar saudaranya yang masih hidup dalam kesusahan. Padahal, dirinya sendiri kala itu penyakitnya sudah menjalar ke seluruh tubuhnya hingga membuatnya susah bergerak. Namun, itulah ayahku yang tetap ingin hidup dalam nasib saudaranya.
Masih di ujung usianya itu, bapakku juga tak mau menyerah untuk tetap bekerja. Kakak-kakakku sudah berulangkali menasehatinya agar istirahat saja di rumah. Namun, kemauan bapakku memang sekeras batu. Rasa tanggungjawabnya sebagai kepala rumah tangga ternyata telah mengusik hatinya agar tak hanya duduk di kursi sambil menanti hari tua. Baginya, menyongsong hari tua dan juga hari kematian akan lebih terhormat jika tak hanya menjadi beban orang lain, termasuk anak-anaknya.

Ah, bapakku...aku masih teringat di hari-hari terakhir sebelum kepergiannmu. Engkau masih sempat bergurau denganku sambil menikmati jajan selera rakyat jelata kesukaanmu itu; ketela goreng. Malam itu, aku sempatkan ke alun-alun kota ketika pulang kampung hanya untuk membeli ketela goreng itu. Dan di atas kursi roda itu, engkau bertanya kabar tentang anak-anakmu, tentang kisah-kisah lucu masa lalu, juga tentang anekdot-anekdot mantan presiden Gus Dur yang kau idolakan setelah presiden Soekarno itu. Sebaliknya, Soehato adalah presiden lembaran kusam yang menggoreskan luka masa lalumu. Engkau selalu mengatakan, presiden Indonesia yang paling berkesan itu hanya Soekarno, Soeharto, dan Gus Dur. Presiden yang terakhir itu, kerap kau sebut-sebut sebagai Soekarno masa kini lantaran kau nilai sebagai sosok yang tahu peliknya persoalan masa lalu bangsa ini, sosok yang mengilhami rekonsiliasi politik antara kaum santri dengan kaum abangan, hingga sosok presiden yang paling kocak sepanjang sejarah di dunia ini. “Gus Dur itu ya le, gitu-gitu presiden yang berani mengatakan bahwa tingkah polah DPR itu kayak anak-anak TK. Tapi, juga presiden paling lucu. Presiden kok pakai celana kolor pendek di hadapan rakyatnya,” ujarnya yang langsung menyentak tawa terkekeh.
Ah, ayah ku...Selamat jalan ....

Pare, Sabtu 4 Juni 2009 pukul 07.50 WIB.
Read More

Tentang Blog

Ini hanya cerita tentang orang biasa. Tentang ketegarannya, kesabarannya, ketekunannya, kebesaran jiwanya, dan kepasrahan hidupnya kepada pemangku jagad ini.

Terpopuler

Designed ByBlogger Templates