Tuesday, August 11, 2009

Jurnalisme tanpa ‘memihak’!

Dulu ada ungkapkan bahwa jurnalisme musti obyektif. Ungkapkan itu, kini sudah terdengar usang. Karena, itu jadi mirip tingkah seorang mahasiswa semester awal yang baru mengenal teori komunikasi lantas menghapalnya penuh khidmat sebagai jimat saat berdiskusi di kelas. Semua juga sudah mafhum bahwa jurnalisme obyektif saat ini sudah tak lagi laku karena amat mustahil. Orang tak perlu sungkan mendendangkan bahwa obyektifitas hanyalah retorika semu. Rumus yang mendekati baku saat ini barangkali ialah kejujuran; bahwa tak ada yang obyektif dalam subyektifitas. Yang harus diuri-uri saat ini justru sikap penuh kejujuran dan menimbang penuh kehati-hatian atas segala peristiwa. Inilah barangkali yang sangat mungkin dilakukan.

Setelah era obyektif itu ditinggal, lahirlah kini jurnalisme musti subyektif. Artinya, ya musti memihak! Bahwa sebagai insan pers yang memiliki struktur perasaan dan memori batin, maka sikap yang subyektif harus benar-benar diarahkan untuk memihak kepada kebenaran dan rasa keadilan. Persoalannya, saat ini kata memihak telah mengalami distorsi. Karena, maknanya tak lagi diartikan memihak kepada kebenaran dan rasa keadilan yang sesungguhnya. Melainkan, hanya pada ruang artifisial yang setelah ditimang dengan kalkulasi bisnis, ternyata masih menguntungkan. Orang lantas menyematkan jurnalisme ini sebagai jurnalisme memihak kapital. Karena, kebenaran dan keadilan telah direduksi sedemikian rupa hingga menjadi hal yang remeh-temeh. Dan orang juga tak perlu susah payah memahami kebenaran itu, karena cukuplah kebenaran itu bisa ditampakan dari kulit paling luar. Selesai!

Era global, ketika keseriusan tak lagi penting, maka lahirlah jurnalisme tanpa memihak. Inilah jurnalisme mutakhir. Sikapnya jelas; tanpa keberpihakan sama sekali, bahkan terhadap kebenaran dan keadilan! Jurnalisme tipe ini bukan lahir dari pergulatan idiologi yang panjang. Melainkan, murni lahir dari kemalasan dan kedangkalan berpikir akibat menggejalanya era konsumerisme. Yang ada adalah hiburan, karena terlalu malas mengurai mata rantai ketidakadilan. Makanya, dengan mudah dia mengadopsi desain penjajahan yang telah baku bahwa negara sebagai pembuat dan pemilik undang-undang sah, maka segala yang menabrak ketentuannya harus dianggap salah. Tak boleh tidak! Contoh kasusnya ialah, ketika rakyat kecil mencari sesuap nasi di tepi jalan, maka kerangka berpikirnya ialah bahwa penggusuran oleh Satpol PP harus dilakukan karena PKL itu jelas melanggar undang-undang. Dan tugas Satpol PP harus dijunjung tinggi sebagai tugas mulia. Sementara, PKL itu harus dibikin salah, apapun alasanya. Munculah berita, “Satpol PP diminta menggalakkan penertiban terhadap sejumlah PKL-PKL liar yang berjualan di tepi jalan!” Si jurnalis pun dengan bangga menuliskannnya seolah mendapatkan berita kelas kakap. Tak perlu repot-repot mengurai di balik kenyataan itu. Karena di kepalanya semua telah jelas, PKL menabrak undang-undang. Jurnalis ini pun menuliskan laporannya hingga bersambung-sambung. Dia kutip pasal-pasal, dia wawancarai kepala Satpol PP, dia dramatisir, dia tarungkan dengan kegagalan lomba bergengsi piala Adipura dan seabrek argumen lainnya hingga menjadi berita semi investigasi; “Karena melanggar Perda, maka PKL itu harus angkat kaki. Selain memakai tanah negara, bikin kumuh, juga mengganggu ketertiban lalu lintas, meresahkan warga dan bla-bla-bla-….” Huffff, ribuan pemirsa dan pembaca pun dibikin naik adrenalinnya menyimak berita yang diturunkannya itu. Pejabat pun manggut-manggut dan bertepuk tangan, “Bagus…bagus…! berita bagus!”

Salahkah sikap yang ditempuh sang jurnalis itu? Tentu saja tidak. Karena, tugasnya ialah memihak negara, memihak tirani, memihak pembuat undang-undang, dan memihak ‘kebenaran’ yang dia pahami ala kadarnya dari para penguasa. Karena itu, dari awal dia memang tak ingin memihak rakyat, memihak rasa keadilan, dan memihak kebenaran itu sendiri. Dia memang murni tak tahu bahwa setiap kebijakan yang seolah mengatasnamakan undang-undang, sebenarnya selalu terselip kepentingan-kepentingan penguasa. Itu saja yang dia tak pahami. Karena begitu malasnya dia mengurai problem sosial atau karena memang dangkalnya pola pikirnya. Tapi tak apalah. Karena inilah jurnalisme gaya baru; jurnalisme yang benar-benar tanpa ‘memihak’!

Solo, 12 Juni 2009, pukul 00.05 WIB.

Read More

happy anniversary

Aku akan selalu mengingat moment-moment itu; moment ketika kita bertemu pertamakali di sebuah kursusan bahasa, pertemuan di atas panggung pementasan, dan pertemuan di Kota Pahlawan itu. Ah, sekian waktu tak bersua, ternyata telah membuat hati kita saling merasa. Resi Yogiswara mungkin benar, tak ada yang menciptakan pertemuan kecuali perpisahan. Dan kita telah melewati satu fase perpisahan itu. “Aku ingin menjadi satu bagian dari sayapmu yang terkepak itu,” begitu katamu kala itu.

Aku masyghul. Satu sayapku yang lama bersemayam dalam mimpiku, kini hadir dalam rupa mahasempurna. Dan kini, ketika aku pulang usia sayap kita telah setahun, sebuah usia yang mungkin teramat singkat. Namun, bukankah waktu tak selamanya hanya dimaknai pada hitungan detik, jam, hari, pekan, atau pun bulan? Ia justru akan sangat berarti ketika dalam proses perjalanannya, sang waktu itu mampu melahirkan kedewasaan dan melecutkan asa.

Kata Happy Anniversary yang kau ucapkan pagi ini, seakan mengajakku kembali menyusuri perjalanan sunyi kita setahun silam dalam ceruk kecemasan dan harapan. Tentang kecemasannmu pada kesehatan ibumu, masa depan adikmu, dan juga masa depan kita yang selalu menerbitkan harapan. Ah, engkau yang senantiasa tersenyum di pagi hari. Aku selalu berharap, engkau akan senantiasa mengingatkan moment-moment berharga itu, berapa pun lamannya sebuah penantian ini. Happy anniversary too…

Pare, 10 Agustus 2009 Pukul 07.55 WIB

Read More

Tentang Blog

Ini hanya cerita tentang orang biasa. Tentang ketegarannya, kesabarannya, ketekunannya, kebesaran jiwanya, dan kepasrahan hidupnya kepada pemangku jagad ini.

Terpopuler

Designed ByBlogger Templates