Friday, May 8, 2009

INI hanya pesta DEMOKRASI...!

Tema talkshow di layar kaca itu ialah “Partai berbasis agama dengan partai berbasis nasionalis”. Pembicaranya dari berbagai kalangan. Ada kaum agamawan, kaum cerdik cendikia, budayawan, dan tentu saja kalangan anak-anak muda berlabel mahasiswa. Untuk lebih memfokuskan tema, produser TV pun menampilkan insert tayangan dari sejumlah reponden tentang sikap mereka terhadap pilihan antara partai berbasis agama dengan partai nasionalis.

Ada yang terasa lucu bagiku. Karena pemilihan tema itu sendiri seolah terkesan dipaksakan. Dengan mengajukan dua hal “agama dan nasionalis” seolah kita dipaksa untuk melakukan dikotomi agar jarak keduanya kian memanjang jauh dan tak akan saling bertemu. Bukankah ini tema kuno, yang ketika pembahasannya hanya pada aras dikotomi antara agama dan nasionalis, maka sebenarnya kita telah mengalami kemunduran peradaban dan politik. Bahwa agama-dalam tayangan itu-seolah diposisikan sesuatu yang selamanya tak akan memberikan sumbangan apapun terhadap perkembangan politik. Sebaliknya, untuk urusan politik, biarkan kaum nasionalis yang berkiprah karena dianggap mampu mengayomi semua golongan. Sebaliknya, agama selalu diidentikkan dengan hal yang eklusif, kolot, terbelakang, dan tak mampu mengakomodir semua golongan. Dan itulah kenyataanya. Sampai sekarang pun, kita masih menyimpan memori pemahaman di bawah alam sadar bahwa agama itu sesuatu yang bikin phobia.

Ada sumbu sejarah yang seolah sengaja dihilangkan ketika kita berkoar-koar soal nasionalis di Indonesia. Karena nasionalis yang terbangun di Indoensia saat ini seolah dilepaskan begitu saja dari kiprah perjuangan kaum santri dan pemuka agama. Apakah kita menafikan kisah kepahlawanan Bung Tomo, Pangeran Diponegoro, Cut Nyak Dien, Imam Bonjol, Hasyim Asy’ari, Muhammad Dahlan, dan berderet lagi santri yang lantang mengusir penjajah dan membangun bangsa. Kepada siapkah mereka berjuang, selain untuk mengusir ketertindasan hingga melahirkan bangsa Indonesia merdeka. Nasionalis Indonesia adalah nasionalis yang dibangun dengan semangat keagamaan anti penjajahan. Nasionalis kita juga dibagun dari semangat kebersamaan untuk bangkit melawan penindasan. Tak peduli siapa mereka. Dari kalangan santri, kafir, atau bahkan iblis pun, asal punya rasa senasib bersama mengusir penjajah. Tapi, nasionalis bangsa kita saat ini seperti apa? Nasionalis kita ialah nasionalis yang meninggalkan akar sejarah dan kebudayaan yang menjadi pondasinya. Dan ketika kita memaknai nasionalis dengan menafikan kontek sejarah, maka itulah kecerobohan terbesar sepanjang sejarah yang pada akhirnya, hanya melahirkan pemahaman bahwa nasionalis hanyalah milik kaum abangan. Sementara kaum satri telah disisihkan…

Dalam konteks berpolitik, pemakaian simbol agama memang terlalu naïf, meski dalam kenyataanya kian banyak Parpol yang memakainya untuk komoditas politik. Di satu sisi, akibat citra agama yang telanjur merosot dan tak punya harga diri itu, agama pun hanya bahan cacian seperti yang ditayangkan talkshow di salah stasiun TV kali itu.

Ada yang menggugah pemirsa, ketika cendekiawan muslim Komarudin Hidayat akhirnya angkat suara untuk melakukan pembelaan agama. Dengan runtutnya ia menjelaskan bahwa agama memang mengalami kemerosotan dalam konteks mikro, yakni sebatas pemakaian label dan simbol-simbol seperti yang dilakukan Parpol saat ini. Namun, dalam kontek makro, maka “the values of religion” tak akan meredup dan bahkan sinarnya terus berpendaran di penjuru dunia. Inilah yang ingin ditegaskan Komarudin bahwa ruh agama ialah rahmatallill’alamiin. Agama akan menyinari kepada siapa saja, tak terkecuali bagi negara yang akhirnya melahirkan nasionalis itu. Dan yang perlu dicatat, nasionalis hanyalah secuil produk agama, meski para pejuang agama yang melahirkan nasionalis itu akhirnya harus tersisih di pojok sejarah.

Tapi, tenang saja. Ini hanya ironi kecil sebuah demokrasi bangsa kita. “Ingat, ini hanya pesta Demokrasi...!” begitu kata Ki Dalang Suket, Slamet Gundono yang ikut nimbrung dalam acara itu. Lewat pentas monolognya, seniman bertubuh raksasa itu pun akhirnya mendendangkan kidung hingga membuat pemirsa kepingkal-kepingkal dan sejenak melupakan ruwetnya sejarah bangsa ini. Apalagi ruwetnya demokrasi negeri ini. “Ini hanya pesta Demokrasi...hanya pesta demokrasi…” suara Slamet berulang-ulang dan terus melemah…

Solo, Kamis 9 April 2009, pukul 00.55 WIB

Read More

-M.U.H.A.M.M.A.D-

Dari sudut bola mataku, menggenang air mata kesyahduan. Aku merindukannya, setelah sekian lama tak terasa ternyata aku begitu jauh berpaling darinya. Dia memang telah tiada belasan abad silam. Namun, risalahnya seolah tak pernah hilang dibaca orang. Dan malam ini, di tengah seribuan umat yang memenuhi Komplek Balaikota Solo dan pekikan salawat yang menggema (mauludan), tiba-tiba hatiku berbisik, ”Aku ingin menjadi makmum setianya. Aku ingin menumbuhkan kembali cintaku padanya, di tengah keculasan dan kebohongan yang saben hari selalu mengaburkan cinta itu.”

Dan aku memang harus membaca lagi berjuta-juta lembar risalahnya. Karena, rasa cinta itu tak akan tumbuh hanya berpangku pada acara seremonial mauludan yang digelar saben tahun, atau sekadar mengahapal kisah-kisahnya dari ustadz-ustazd kita dulu. Aku akan membaca lagi risalah tentang keberanian perjuangannya dan kepiawaiannya menyusun strategi perang yang mungkin tak pernah tertandingi oleh intelejen internasional sekelas CIA pun. Atau risalah tentang keberhasilannya menaklukkan koorporasi raksasa Abu Jahal dan kapitalis-kapitalis lainnya di Mekkah dengan modal ketulusan dan kejujuran. Aku juga harus kembali membaca risalah tentang semangat sosialisnya yang tiada duanya itu. Mungkin, sang paus sosialis, Karl Mark pun sebelum mengarang buku termahsyurnya Das Capital itu, dia terinspirasi dulu oleh sosok yang satu ini. Singkatnya, bagiku dia telah mengajarkan pokok-pokok demokrasi, egaliterianisme, dan pluralisme sejak dahulu kala, yang itu hanyalah secuil dari seluruh ajarannya.

Ah, Muhammadku… Aku ingin membaca keseluruhan risalahmu tentang kesungguhanmu membangun system pemerintahan yang jujur dan professional, hingga seorang pemimpin besar Yahudi saat itu pun memberimu award “Al-Amin”, artinya “orang yang dapat dipercaya”. Atau tentang keberhasilanmu mereformasi tatanan masyarakat Mekkah dari feodal dan menganut sistem homo homini lupus, hingga menjadi masyarakat madani. Masyarakat madani adalah sebuah tatanan masyarakat idealis yang menjadi embrio bagi peradaban negara-negara maju. Sunguh beralasan, jika Michael H Hart kemudian menempatkanmu pada urutan teratas dari 100 tokoh dunia paling berpengaruh. Pengaruhmu mengungguli Budha Gautama, Isa, William Shakespeare, Lao Tse, Rene Descartes, atau Newton, ilmuwan super hebat dari Inggris itu. Engkau sungguh layak dari sekadar memperoleh penghargaan sebagai orang yang paling banyak disebut namamu oleh miliaran manusia setiap detik.

Muhammadku, kini kutahu, seragam kebesaranmu adalah kesederhanaanmu itu. Di saat engkau memiliki berjuta peluang untuk membangun istana, engkau malah mengajarkan dan memberi contoh kepada kami tentang pola hidup bersahaja. Bahkan, hingga ajal mengetuk pintumu, engkau yang juga seorang pemimpin negara ternyata tak ingin merenovasi rumah sederhanamu yang kau bangun di atas lahan sempit berukuran tak lebih dari 4x4 meter persegi itu. Modal kekayaanmu yang melimpah ruah, justru 100% kau bagikan kepada masyarakat kecil untuk membentuk jaringan ekonomi kerakyatan di Madinah. Dan engkau tetap memilih abdan nabiyan, seorang nabi yang tak ada jarak dengan rakyat. Bukan nabi yang borjuis.

Muhammadku! Malam ini aku yakin engkau hadir di tengah-tengah seribuan umat yang merindukanmu itu. Atas nama cinta yang tak bertepi, maka terimalah salawat dan salamku untukmu…

Balaiokota Solo, Minggu, 15, Maret 2009, pukul 23:48 WIB.

Read More

bukan (semata) ojek

Malam telah larut. Jarum jam merayap pukul 23.30 WIB. Perempatan bangjo itu benar-benar terasa nglangut dan sepi. Hanya satu penjaja warung angkringan yang terlihat di sudut jalan, setia menanti pembeli di bawah temaram cahaya dimar kecil. Seperti pada malam yang sudah-sudah, sopir bus kerapkali berubah menjadi penguasa jalanan. Meski lampu yang menggantung pada tiang menyala merah penuh, mereka tetap menginjak gas dengan kencangnya. Dan puluhan penumpang di dalamnya itu tak ubahnya onggokan jasad yang begitu pasrah pada sang sopir.

* * *

“Kiri, Pak!!” puluhan penumpang yang terlelap tidur spontan terbangun. Di tepi trotoar bangjo itulah aku turun. Aku melangkah, memangul tas di pundak dan mulai sibuk memencet tombol handphone.

Dari seberang jalan yang gelap, seorang bapak setengah baya mendekatiku dengan sepeda motor bebeknya. Dia langsung menawari tumpangan tanpa banyak bertanya hendak kemanakah aku. Ada rasa heran bercampur cemas yang menyeruak ketika bapak itu tak mengeluarkan sepatah kata pun soal ongkos. Begitu pun soal kemana tujuanku. Dia malah menyerahkan sepenuhnya besarnya ongkos itu kepadaku. “Mpun, sak kersone njenegan. Kulo manut kemawon,” ujarnya. Dia pun langsung menghentikan sepeda motornya di depanku. Dalam irama waktu yang cepat ditingkahi sepoi-sepoi angin malam itu, tiba-tiba dorongan belas kasihan kepada bapak ini begitu menguasaiku. Aku merasakan ada ketulusan dan keprihatinan mendalam pada diri bapak ini. Dari seberkas wajahnya yang tersorot lampu merkuri jalan itu, tak kulihat ada guratan kekejian dan kebengisan. Dia terus merendah dengan segala ketulusanya. Dari kata-katanya dan raut wajahnya. Dan ini tak bisa dibohongi.

Aku pun langsung menyingkirkan segala wak dan prasangka yang sebelumnya menjajahku. Tentang kisah ojek yang memberandal. Tentang malam-malam yang liar. Tentang sepi yang rawan. Dan segala hal beraoma pikiran negatif. Biarlah semua berjalan sesuai kehendak-Nya. Aku meyakini, alam ini menyimpan segala energi yang digerakkan oleh pikiran manusia. Pikiran yang bening tanpa prasangka, akan melahirkan kebeningan pula. Sebaliknya, kecemasan yang berlebih akan melahirkan kecemasan dan derita batin.

* * *

Di sepanjang perjalanan, bapak itu mulai berkisah tentang keluarganya. Tentang tanggungan biaya sekolah ketiga puteranya yang semua masih duduk di bangku kuliah. Tentang seorang isterinya yang hanya seorang guru SD tanpa tunjangan memadai. Dia sendiri, sejak sebulan ini hanya menggantungkan rezeki dari usaha warung angkringan di pojok perempatan itu sambil berkawan angin malam. Setahun lalu, bapak ini telah dipensiun dini dari pekerjaan satu-satunya sebagai pegawai rendahan di Kabupaten Karanganyar. Sejak itulah, segala usaha dia lakoni tanpa malu, termasuk menjadi tukang ojek, sebuah profesi yang sebenarnya hanyalah kerjaan sambilannya saja lantaran tak tega kerapkali melihat orang kesusahan mencari tumpangan di malam hari di perempatan jalan sepi itu.

Sunguh benar kata orang bijak; kesusahan akan mendekatkan manusia kepada Tuhannya. Bapak itu, meniati menjadi tukang ojek bukan semata demi kalkulasi rupiah dan tawar-menawar harga sebagaimana umumnya transaksi jual beli abad modern saat ini. Namun, benar-benar lahir dari rasa kemanusiaannya yang sublim untuk menolong sesama. Dia tak mau dan tak akan pernah menyebutkan nominal ongkos ojeknya. Karena, niatan utamanya ialah menolong. Urusan rezeki, dia pasrahkan total kepada Sang Maha Penolong Sejati Jagad ini. Karena, baginya pintu rezeki dari langit menghampar jauh lebih luas ketimbang pintu rezeki di bumi! Selamat jalan, Pak...

Solo, Kamis 30 April 2009. Pukul 03.00 WIB

Read More

mencari jawab

Seorang anak kecil bertubuh ceking. Usianya tiga tahunan. Ia tumbuh di lingkungan yang sama sekali lain sebagaimana umumnya anak kecil. Segala pengetahuan yang tercercap di ingatan dan anggapannya, nyaris seperti pengetahuan orang dewasa. Kata-katanya selalu bernada tanya, tak jarang mengugat. Ini adalah kesekian ratus penggal malam baginya tanpa tidur. Ibu dan ayahnya tak tahu lagi bagaimana membujuk anak semata wayangnya itu agar mau sejenak saja berhenti berceloteh saat malam tinggal separoh. “Sudahlah le, mbok tidur. Besok lagi ya tanyanya?” kata-kata ibunda mencoba menghibur si buah hatinya itu.
Ia terdiam sesaat. Tapi sepasang bola matanya masih ketap-ketip mengamati langit-langit kamarnya. Dia menoleh ke samping kanan, terlihat ayahnya sudah tidur mendengkur. Menoleh ke samping kiri, ia amati wajah teduh ibunya bagai batu pualam; tenang! Malam pun perlahan menjemputnya dalam mimpi. Terbang…
* * *
Pagi hari, kuning cahaya surya perlahan membuka mata dan kesadarannya. Juga riuhnya jalanan dan pasar. Ia lihat ayah-ibunnya sudah tak lagi disampingnya. Seperti hari-hari biasanya, ia menjerit menangis meski tak ada yang menghirau. Namun, kedua kakinya tergerak turun dari dipan kasur dan selimutnya tanpa alas kaki. Ia melangkah mencari sumber kemerisik suara seperti suara tangan-tangan yang tengah mengayun cangkul. Di tengah tegal, ia tatap seorang pria bertelanjang dada bermandikan peluh menantang sengatan matahari. “Cangkul ini harus terus diayunkan, Nak. Karena, inilah satu-satunya yang Ayah bisa untuk makan kita,” si anak itu termangu mendengar kata-kata ayahnya yang kilat menyambar kesadarannya. Ia tak tahu, kenapa baru pagi itu kata-kata ayahnya menusuk kalbu benar. Sebuah cangkul, sepetak tegalan, sederas keringat, dan sebongkah tanah kering ternyata membuatnya sadar akan pentingnya rasa syukur. Ia tak lagi bertaya “Kenapa, harus mencangkul?” seperti pada hari-hari biasanya yang selalu penuh tanya. Mungkinkah, volume pertanyaan anak itu sudah memenuhi kepalanya? Tak ada yang tahu. Sejak itulah, ia tak lagi banyak bertanya. Lima tahun telah bergeser. Anak itu kini tumbuh remaja dengan segenap kedewasaan dan kematangan jiwanya. Ia kini lebih gemar membawa pena, buku, meringankan sisa-sisa pekerjaan ayahnya, dan mengunjungi sejumlah perpustakaan, berdialektika dengan segala lapisan persoalan dan masyarakat. Ia memang tak lagi sekadar bertanya. Tapi mencari jawab…

Solo, 26 April 2009

Read More

kidung rumah tangga 2

Selalu ada kisah pilu di kampung halaman. Tentang saudara dekat ayah yang terusir dari gubuknya sendiri. Tentang penyakit menahun bapak yang telah menggerogoti persendian tubuh dan membuatnya lumpuh tak berdaya. Tentang desakan ekonomi yang memaksa saudara ibu harus merantau ke negeri tetangga, memungut recehan ringgit di usianya yang berkepala 50-an tahun. Juga tentang budhe yang salah satu kakinya harus di-gip setelah ditabrak seorang anak muda tanpa tangungjawab. Dan seperti lagu lama yang tak pernah usang didengar, aku hanya termangu malam ini…
Mungkin, ini hanyalah bagian kecil dari rentetan peristiwa kelam masa lalu. Saudara ayah, sejak berpuluh-puluh tahun telah hidup dalam kemiskinan total. Anak tak punya, harta pun tak punya. Kini, gubuk satu-satunya tergadaikan sudah.
Saudara ibu, terpaksa mengadu nasib ke Malaysia sebagai pembantu warung makan. Utang-utangnya di bank plecit rupanya terus mencekik leher. Tak ada yang menghalau, meski semua saudara menyimpan rasa sesal. “Katanya, dikontrak dua tahun. Nanti, gajinya akan dikumpulkan untuk membayar hutang-hutang dan bekal hari tua,” kisah ibu.
Budhe, sejak salah satu kakinya patah sebulan lalu, dia tak lagi bisa menggelar dagangannya di tepi trotoar pasar. Peristiwa itulah yang menjadi tonggak waktu tak lagi ada pendapatan yang dipakai untuk membuat dapur ngebul.
Bapakku….Ah, aku hanya bisa pasrah saja kepada suratan takdirnya. Mungkin, ini lebih baik di antara pilihan terburuk lainnya. Mungkin, hanya doa-doa yang mampu membalikkan takdir.
* * *
Sejenak, aku teringat lagu Love of My Live-nya The Quen di tengah perjalananku pulang tadi. Atau Bayang-Bayang Ilusi-nya Anggun yang mengalun merdu di MP3-ku. Lirik-liriknya yang bersemangat itu, benar-benar membangkitkan gairah hidup. Membayangkan sepuluh atau 15 tahun lagi bahwa hidup semestinya bertabur suka cita. Tak ada lagi kesenjangan yang begitu lebar menganga, seperti dalam kisah para warga blandong di Blora, Cepu, Bojonegoro. Kepung dan sejumlah wilayah lainnya yang terisolir hutan dan segala isinya. Karena, tanah, air, udara, hutan, dan segala isinya, bagi mereka hanyalah bayang-bayang ilusi yang tak kan pernah bisa mereka nikmati. Dan mereka benar-benar miskin dan tak bisa makan di lumbung padinya sendiri…

Read More

sepeda bantul-yogya

Sungguh, cuaca benar-benar susah ditebak. Ketika April disangka sebagai awal musim pancaroba, ternyata tak selalu demikian. Hingga di penghujung bulan ke-empat ini, hujan masih kerap kali jatuh tanpa dinyana. Anehnya, saben hari hawa gerah serasa mengipaskan api dari tungkunya, memaksa melepas sederetan kancing baju. Huffff….

Para pengamat cuaca boleh saja bersabda penuh jumawa; sekarang ini telah berlangsung iklim ekstrem. Bermiliar macam penyakit bakal tercipta dan mengurai. Aneka kebiasaan menjadi susah dicegat. Kemarau tiba, petani susah menghimpun air. Saat hujan turun, air bah melimpah ruah, merendam rumah, sawah, jalan-jalan dan memutus sumber penghidupan mereka. Sungai murka! Dia tak lagi kuat menampung miliaran liter air dari berjuta anak sungai. “Dunia heboh!” begitu ujarnya dari dalam gedung megah penuh kaca.

Sebuah hipotesis lumat-lumat akhirnya berkumandang; ekstremnya iklim ini mungkin bagian dari puncak protes alam atas tingkah manusia yang juga kian ekstrem.

Aku terkesima saat melirik laporan dari IPCC, sebuah lembaga yang tekun melakukan kajian ilmiah, teknis dan sosio-ekonomi yang relevan untuk memahami perubahan iklim. Laporan ilmiahnya itu membeberkan bahwa 90% atau “very likely”, aktivitas manusia merupakan biang keladi perubahan iklim ektrem itu. Sungguh, bumi telah terluka. Alih fungsi hutan menjadi ladang subur bagi para konglomerat. Konsentrasi gas-gas karbondioksida, metana, dan dinitrogen oksida (N2O) meningkat tajam sejak 1750. Kenaikan suhu rata-rata sebesar 0,76oC antara periode 1850 – 2005. Tahun 2100, suhu diprediksi bakal naik suhu antara 1,8oC – 4oC!!

Sekarang, orang mulai sibuk berkhutbah tentang arti penting penghijauan, pengurangan gas karbon dioksida atau rumah kaca. Tapi, mesin penyumplai zat sampah itu kian hari kian tak menyusut. Gedung-gedung berdiri angkuh meninju langit dengan pantulan kacanya. Jalanan raya yang sudah sesak itu jadi ruang pamer terbuka bagi kendaraan bermesin mutakhir. Waktu serasa terus bekerjaran dalam bising. Malam ini, aku tiba-tiba terkenang sajak Iman Budi Santosa yang kian terasa syahdu benar:

“Orang-Orang sepeda Bantul-Yogya”.

Pagi paling hanya membekali berani. Sesekali pena atau gergaji. Kadang malah cukup dengan otot lengan. Bersama sepuluh jari dan lecutan cemeti. Berangkat menaklukkan matahari. Tapi, mereka setia mengayuh nasib. Dengan mata terbuka, sabar melata. Mencari celah dan remah-remah kota dekat millennium ketiga. “Mengapa percaya pada iklan, jika di tanah sendiri punya sepasang kaki untuk berdiri?” Maka, petang pun kembali. Memanjakan lelah, merindukan lampu merah. Di sana besok bisa dianyam. Dengan wajah tengahdah.

Solo, 27 April 2009 23.55 WIB.

Read More

Tiada Tuhan selain Tuhan

TIADA Tuhan selain TUHAN…

Mendadak saja, aku teringat kalimat “Tiada Tuhan selain TUHAN” pada sepenggal malam ini. Tak tahu kenapa? Mungkin karena baru saja aku teringat tingkah temanku yang mengikrarkan diri sebagai penyembah sejati Tuhannya lantas berkirim kabar dengan kalimat Laailahaillaah…

Aku tak tahu, apakah yang dia pahami dengan mengumandangkan kalimat Laailahaillaah itu? Apakah dia ingin menegaskan bahwa Tuhannya berbeda dengan tuhannya umat lain, yakni tuhannya umat Hindu, Budha, Kristen, Katholik, Khong Hucu. Atau dia ingin menegaskan bahwa Tuhannyalah yang paling hebat atau yang paling ada dan paling benar di antara tuhan lainnya? Atau jangan-jangan, kedalaman ilmu balaghah arab membuatnya syaukh, hingga subtansi kalimat itu malah tak terangkap. Semoga saja tidak demikian …

Tapi, jika demikian pemahamannya tentu akan merepotkan. Karena, akan ada banyak Tuhan lagi dalam pikirannya. Dan itu namanya bersekutu dengan tuhan-tuhan yang lain. Makna Laailahaillaah ialah bahwa tuhan itu satu. Itulah Tuhan yang selalu ingin dijangkau hamba-Nya. Itulah Tuhan semua umat manusia. Bukan Tuhan parsial. Tuhan yang sengaja kita pecah-pecah sendiri dan kita perdebatkan terus. “Itu kan tuhannya umat agama ini. Itu kan Tuhannya agama itu,” begitulah kira-kira pemahaman kita selama ini tentang Tuhan.

Dan itulah syirik sejati yang sebenarnya tak kita rasakan. Kita ingin meneguhkan kehadiran Tuhan kita, namun diam-diam mengakui tuhan-tuhan yang berserak lainnya. Cukuplah Tuhan itu satu! Tuhan semua umat manusia. Tuhan Umat Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, dan segala umat manusia yang memiliki identitas agama apapun dan manapun. Mulai dari jaman Adam hingga zaman kiamat, Tuhan tetaplah satu; itulah Tuhan seluruh mahluk! TIADA TUHAN SELAIN TUHAN.

* * *

Aku yakin, setelah ini aku bakal dicap sebagai orang sesat. Sesat karena dianggap lancang dan berlagak sebagai orang yang sok tahu hingga terjerembab pada lingkaran kaum berpikir liar. Ah, tak mengapalah kalau aku lantas masuk kategori ‘sesat’ versi dia. Karena, aku tahu persis, katagori sesat menurutnya ialah orang-orang yang tak sepaham dengannya. Bukankah, baginya pintu ijtihad itu telah tertutup rapat. Dan baginya pula, kebenaran itu hanya tunggal! Miliknya…Tak ada lagi dialektika. Aku akan tetap bertauhid, bahwa hidupku dan matiku hanya milik Tuhanku yang maha segalanya. Sesembahan seluruh umat manusia…

Solo, Sabtu 4 April 2009, pukul 23.31 WIB.

Read More

kidung rumah tangga

TIGA tahun menikah, rupanya telah membuatnya masuk pada titik jenuh. Sebuah karir masa lalu yang masih membekas di hati, kini seakan menggedor-gedor kembali hasratnya di tengah statusnya sebagai ibu rumah tangga dengan dua anak kecil-kecil. Dia benar-benar ingin berontak. Dia ingin berlari jauh meninggalkan kesibukan mengurus anak-anaknya yang telah membuatnya stres berat itu. Kehidupan rumah tangga dengan segala perniknya, ternyata di dalam bayangannya tak seperti yang dia sangka selama ini sebagai bagian dari istana yang bertabur bunga di sisi kanan-kirinya. Dan sang suami hanya mampu menghela napas panjang. Dia sudah tak punya kuasa lagi menghalau kemauan keras isterinya. Sekian puluh kali dia nasehati isterinya akan mulianya profesi sebagai ibu rumah tangga dan arti pentingnya sosok ibu bagi masa depan anak-anak. Dia wedarkan kisah-kisah tauladan wanita solaheh zaman dulu yang menjadi bagian penting pilar rumah tangga dan negara tanpa harus meninggalkan anak, suami dan tangungjawab kerumahtanggaan. Namun semua tetap sia-sia. Kerja keras suaminya selama ini, masih terlalu jauh dari harapan tinggi isterinya. Dan si isteri itu akhirnya tetap bersekeras memilih kembali bekerja di luar rumah, mengadu nasib di kota besar dengan bekal secuil pengalaman masa lalunya serta ijasah SMA terakhirnya. Sang suami limbung. Dia sudah tak tahu lagi, kemanakah nantinya dua anak-anaknya itu akan memanggil ibunya… Malam itu, sang suami melinangkan air mata. Dia merindukan kedua orangtuanya. Dia ingin sejenak melupakan persoalannya itu lantas tidur di pangkuan ayah-ibunya seperti saat masih kanak-kanak dulu. Dia ingin mengenang kembali masa kecilnya saat hidup tak ubahnya permainan tanpa diliputi kompleksitas permasalahan saat beranjak dewasa dan menikah seperti saat ini. Namun, kedewasaan tetaplah mengundang risiko tersendiri dengan pilihan-pilihan hidup sendiri pula. Dan menikah juga pilihannya sendiri, meski dia tahu betul bahwa isterinya memang belum matang saat akan memutuskan menikah dulu. “Insyallah saya akan mencoba membimbingnya,” begitu jawabnya meyakinkan saat mau menikah tiga tahun silam. Tak seperti pada malam-malam sebelumnya, dia peluk erat putera pertamanya itu sambil diusap kepalanya penuh cinta. Dia ajak putera itu menghitung bintang-bintang di langit, sambil menyenandungkan kidung bintang kecil di langit biru menghias angkasa. Mungkin, rasa sayang itu benar-benar tak kuasa ia tumpahkan ketika membayangkan hari-hari ke depan nanti anak-anaknya tanpa kasih sayang ibunya. Dia tak sedang berlari dari permasalahan yang merundungnya. Namun hanya sekedar ingin meregangkan ketegangan atas kemauan keras isterinya yang kian hari kian menjadi. Semua memang sudah telanjur. Nasi telah menjadi bubur. Dan si isteri tetap meninggalkan rumah dan dua anaknya, suaminya, serta melupakan ikrar bersama saat mau menikah dulu untuk selalu bersama dalam suka maupun duka… Pare, Senin 4 Mei 2009, Pukul 22.14 WIB…
Read More

kidung rumah tangga

TIGA tahun menikah, rupanya telah membuatnya masuk pada titik jenuh. Sebuah karir masa lalu yang masih membekas di hati, kini seakan menggedor-gedor kembali hasratnya di tengah statusnya sebagai ibu rumah tangga dengan dua anak kecil-kecil. Dia benar-benar ingin berontak. Dia ingin berlari jauh meninggalkan kesibukan mengurus anak-anaknya yang telah membuatnya stres berat itu. Kehidupan rumah tangga dengan segala perniknya, ternyata di dalam bayangannya tak seperti yang dia sangka selama ini sebagai bagian dari istana yang bertabur bunga di sisi kanan-kirinya. Dan sang suami hanya mampu menghela napas panjang. Dia sudah tak punya kuasa lagi menghalau kemauan keras isterinya. Sekian puluh kali dia nasehati isterinya akan mulianya profesi sebagai ibu rumah tangga dan arti pentingnya sosok ibu bagi masa depan anak-anak. Dia wedarkan kisah-kisah tauladan wanita solaheh zaman dulu yang menjadi bagian penting pilar rumah tangga dan negara tanpa harus meninggalkan anak, suami dan tangungjawab kerumahtanggaan. Namun semua tetap sia-sia. Kerja keras suaminya selama ini, masih terlalu jauh dari harapan tinggi isterinya. Dan si isteri itu akhirnya tetap bersekeras memilih kembali bekerja di luar rumah, mengadu nasib di kota besar dengan bekal secuil pengalaman masa lalunya serta ijasah SMA terakhirnya. Sang suami limbung. Dia sudah tak tahu lagi, kemanakah nantinya dua anak-anaknya itu akan memanggil ibunya…
Malam itu, sang suami melinangkan air mata. Dia merindukan kedua orangtuanya. Dia ingin sejenak melupakan persoalannya itu lantas tidur di pangkuan ayah-ibunya seperti saat masih kanak-kanak dulu. Dia ingin mengenang kembali masa kecilnya saat hidup tak ubahnya permainan tanpa diliputi kompleksitas permasalahan saat beranjak dewasa dan menikah seperti saat ini. Namun, kedewasaan tetaplah mengundang risiko tersendiri dengan pilihan-pilihan hidup sendiri pula. Dan menikah juga pilihannya sendiri, meski dia tahu betul bahwa isterinya memang belum matang saat akan memutuskan menikah dulu. “Insyallah saya akan mencoba membimbingnya,” begitu jawabnya meyakinkan saat mau menikah tiga tahun silam.
Tak seperti pada malam-malam sebelumnya, dia peluk erat putera pertamanya itu sambil diusap kepalanya penuh cinta. Dia ajak putera itu menghitung bintang-bintang di langit, sambil menyenandungkan kidung bintang kecil di langit biru menghias angkasa. Mungkin, rasa sayang itu benar-benar tak kuasa ia tumpahkan ketika membayangkan hari-hari ke depan nanti anak-anaknya tanpa kasih sayang ibunya. Dia tak sedang berlari dari permasalahan yang merundungnya. Namun hanya sekedar ingin meregangkan ketegangan atas kemauan keras isterinya yang kian hari kian menjadi. Semua memang sudah telanjur. Nasi telah menjadi bubur. Dan si isteri tetap meninggalkan rumah dan dua anaknya, suaminya, serta melupakan ikrar bersama saat mau menikah dulu untuk selalu bersama dalam suka maupun duka…

Pare, Senin 4 Mei 2009, Pukul 22.14 WIB…

Read More

Tuhan pun tersenyum

TAK semua yang mendengar dan melihat mampu mencercap cahaya. Cahaya itu hanya akan menancap ke ubun-ubun orang yang hatinya benar-benar tawadhu’ mengharap pada-Nya.

Yahdillahalinurihii mayyasa’…

Dia tak bisa didekati semata dengan menegakkan ritual dhohir penuh kecongkakan, yakni sebuah keyakinan yang menganggap bahwa segala amal perbuatannya selama ini adalah tebusan untuk Tuhannya. Inilah kesombongan baru seorang hamba kepada Tuhannya. Mereka ialah orang-orang yang memandang Tuhan tak ubahnya raja sangar pembuat aturan an sich. Sebuah kemuliaan, selalu mereka ukur berdasarkan norma dan dogma. Ketika aturan-aturan dhahir yang termaktub dalam serpihan ayat-ayat tersurat telah ia tunaikan, maka bangga benar mereka. Lantas, tanpa sadar mereka menilai diri sebagai hamba sejati dan hatinya kian tenteram untuk terus melakukan klaim kebenaran (truth claim) atas orang lain. Mereka tak kanKetika engkau melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan hati. Karena hati terlalu lemah, maka ubahlah dengan kepalan tangan dan senjatamu.” segan bertindak destruktif, anarkis, demi memaksakan keyakinannya itu sambil mengusung panji termasyhur ini: “

Mereka menyangka, hanya dengan bertindak demikianlah, Tuhannya akan tersenyum simpul kepadanya. Mereka sungguh tak ingin bertemu Tuhannya nanti dengan bermuram durja lantaran membiarkan kemungkaran menari-nari di depannya.

Mungkin benar, bahwa Tuhan akan tersenyum kepadanya. Seraya berbisik, Tuhan lantas mengulang firmannya, “Aku sungguh dekat dengan hamba-Ku, lebih dekat dari urat nadinya sendiri…”

Tuhan terus melanjutkan firmannya itu sambil tak henti tersenyum, “Akulah Tuhan yang penuh cinta kasih sayang. Engkau mendekat selangkah kepada-Ku, seribu langkah Aku kepadamu. Ketika engkau rasakan begitu dekat kehadiran-Ku, maka kaki-Kulah yang sebenarnya melangkah ketika engkau melangkah…”

“Dan ingatlah!!” mendadak Tuhan berhenti tersenyum, “Bahwa Aku ada dalam persangkaan hamba-Ku…” tegas Tuhan seolah ingin menyampaikan pesan yang selama ini terabaikan para hamba-Nya. “Janganlah kau sangka Aku sebagai Tuhan yang seperti itu; pemarah, pemurka, hingga membuat diri kalian selalu memonopoli dan merebut kebenaran yang sesungguhnya itu adalah hakku yang tahu…!” tiba-tiba suara Tuhan menggelegar diiringi gemuruh.

Solo, 18 Maret 2009, 04.03 WIB.

Read More

Tentang Blog

Ini hanya cerita tentang orang biasa. Tentang ketegarannya, kesabarannya, ketekunannya, kebesaran jiwanya, dan kepasrahan hidupnya kepada pemangku jagad ini.

Terpopuler

Designed ByBlogger Templates