Friday, September 24, 2010

Dari teras rumah ingin membelah dunia

Sanggar itu bernama Lima Benua, sebuah nama yang melukiskan betapa besarnya cita-cita yang digantung di sana. Lokasinya yang berada di ujung jalan Dukuh Gritan Belang Wetan Klaten Utara, tak membuat sanggar itu seperti terasing. Justru yang tampak adalah terbitnya sebuah harapan. Sebab, anak-anak miskin telantar yang menimba ilmu di sana seperti kembali menemukan ruang berkreativitas yang selama ini terampas oleh takdir sosial. “Mereka itu sebenarnya bukan beban negara. Berikan mereka ruang berkreativitas, maka mereka akan menjelma potensi raksasa,” kata pendiri sanggar tempa Lima Benua, Hari Purnama di hadapan rombongan Menteri Sosial (Mensos) Salim Segaf Al Jufri saat berkunjung ke sanggarnya, Kamis (23/9).
Anak-anak, di mata Hari Purnama barangkali adalah cahaya purnama. Mereka memberi harapan yang terang ketika nasib sebuah bangsa dipertaruhkan masa depannya. Dan anak-anak itu adalah embrio yang akan melanjutkan sejarah kebesaran Nusantara ini. Itulah sebabnya, lelaki berambut gondrong ini seakan menggenggam cahaya terang ketika sanggar Lima Benua itu ia rintis bersama istri tercintanya, Hidayati sepuluh tahun silam. “Dulu hanya tempat bermain anak-anak di teras rumah. Tapi, ke depannya kami ingin nasib anak-anak di sini bisa terangkat hingga tingkat dunia,” kata Hidayati.
Mimpi Hidayati itu barangkali tak ubahnya lamunan kosong di siang bolong. Namun, siapakah yang sanggup membendung mimpi besar setiap insan. Di sana, memang tak tersedia gedung raksasa atau perabotan mewah layaknya sekolah-sekolah bertaraf internasional. Di sana, juga tak ada para penyandang dana besar dari para pengusaha berkelas. Di sana, sekali lagi, hanyalah sebuah sekolah untuk kaum miskin papa yang mungkin telah dilupakan orang. “Namun, kami mengajarkan kemauan yang keras, tekad yang kuat, dan keyakinan bahwa Tuhan akan memeluk setiap mimpi kita,” katanya.
Selama sepuluh tahun berdiri, sanggar Lima Benua memang telah membuktikan jati dirinya menjadi rumah penempa ratusan kaum miskin dan anak telantar. Mereka ditempa untuk menjadi desainer, menjadi musisi, menjadi seniman, dan menjadi siapa saja asal memiliki kepercayaan diri. Semua itu, mereka tebus bukan dengan modal uang, namun dengan kemauan dan niat yang kuat. “Sebenarnya, sekolah ini digratiskan bagi anak-anak yang benar-benar tak mampu. Namun, yang sekolah ke sini ternyata dari kalangan tak mampu semua,” pungkas Hidayati.
Read More

membuka mata desa...

Pria itu tak menaiki mobil mewahnya. Ia memilih kereta bendi yang ditarik seekor kuda. Sosok yang memiliki 90 lebih karya riset itu juga tak mengenakan jas mlipit atau bersepatu kantoran. Ia hanya berpakain sorjan Jawa dan bertopi caping. Kedua kakinya pun melangkah kesana kemari tanpa alas kaki. Padahal, rumahnya di Krakitan Bayat Klaten sebentar lagi kedatangan orang nomer satu di daerahnya, Bupati Sunarna beserta rombongannya. Namun, bapak berputra tiga ini memiliki cara tersendiri dalam menyambut bupatinya itu.
Bersama warganya, ia sajikan menu makan seadanya dari hasil ladang dan sawahnya. Ada ubi-ubian, ketela, kacang tanah, jagung rebus, kelapa muda, rambutan, atau pisang rebus. Semuanya dikemas dalam balutan budaya rakyat kecil; tarian, salawatan, karawitan, musik lesung, hingga aneka dolanan anak-anak. “Kita ini bangsa agraris. Jadi, memang demikianlah sajiannya,” katanya merendah di sela-sela peresmian Museum Pertanian di kediamannya, Kamis (16/9) lalu.
Pria itu bernama Suratman Worosuprojo. Ia biasa dipanggil Suratman. Beberapa tahun terakhir ini, namanya begitu lekat di telinga warga Klaten, khususnya Desa Krakitan Bayat. Bukan soal gelar keprofesorannya atau seabrek karya risetnya yang telah memposisikannya dia sebagai Pengurus Pusat Ikatan Geografi Indonesia (IGI). Namun, hanya karena satu hal, yakni kecintaannya kepada desa kelahirannya. “Dulu, Pak Suparlan (ayah Suratman-red) pernah wasiat agar desanya ini ada yang melestarikan,” kata Darsono, tetangga Suratman.
Wasiat itu ternyata begitu terngiang di telinga Suratman. Dan ketika perjalanannya menempuh pelbagai riset tentang tanah dan lingkungan telah menobatkannya sebagai guru besar UGM, bapak kelahiran 6 Juni 1954 ini seperti terus terpanggil untuk mewujudkan mimpi ayahnya itu. “Yang terpikir saat itu, betapa bapak saya sangat mencintai tanah desa. Tanah tumpah darahnya, tanah negerinya sendiri,” katanya.
Sejarah itu bermula pada tahun 2000 ketika Suratman bertekad menyingsingkan lengan bajunya. Desa Krakitan yang sejauh mata memandang dipenuhi hamparan tegalan, kebun, perbukitan dan rawa seluas 180 hektare itu didesain ulang hingga mencitrakan kampung wisata yang eksotik. Rumah warisan orangtuanya, ia sulap menjadi Museum Tani Indonesia—satu-satunya museum di Klaten yang ia bangun dengan modal sendiri.
Ia juga menggarap home stay melalui rumah-rumah penduduk, menata infrastruktur praktek bertani, outbond di alam desa, memancing, upacara tradisi, festival tani serta menyaksikan upacara tradisi. Selain itu, ia juga membikin konsep agar wisatawan bisa terlibat langsung dalam berbagai permainan tradisional, tari-tarian, membaca di perpustakaan tani, serta memetik buah langsung dari pohon. “Setidaknya ada 25 kegiatan yang kami himpun dalam desa wisata ini. Semua itu disengkuyung oleh warga dan hasilnya juga dinikmati oleh warga,” urainya.
Tanah, di mata pakar geografi jebolan UGM ini bukanlah sesuatu yang sekadar menyimpan kekayaan alam. Namun, aneka budaya, pranata sosial beserta kearifan lokalnya juga tumbuh dan berkembang di sana. Itulah sebabnya, Suratman tak ingin membangun desa wisata hanya bertumpu pada potensi alam. Namun, harus dibangun berdasarkan nilai-nilai tradisi dan kearifan lokal. “Alam ini hanya mampu memenuhi kebutuhan manusia, tapi tak akan pernah mampu memenuhi kerakusan manusia,” kata dia mengutip ungkapan Mahatma Gandhi.
Al hasil, tanah peninggalan orangtuanya seluas dua haktare itu ia wakafkan demi terwujudnya museum pertanian. Sisa lahan di sampingnya, ia bangun taman bacaan, panggung mini untuk pentas budaya, serta budidaya ternak yang menyebar di pekarangan milik warga. Ada penangkaran burung Jalak Uren, ada yang beternak bebek, kambing, sapi, burung puyuh, hingga pembibitan aneka tanaman. Dia juga menggerakkan warga untuk bersama-sama merekayasa setiap jengkal tanah agar mampu mendatangkan manfaat. “Ibaratnya itu, selokan saja di mata Suratman jangan sampai sia-sia. Sebab, masih bisa untuk budidaya lele atau diolah agar ramah tetap lingkungan,” lanjut saudara Suratman, Sugiyanto.
Salah satu kisah kesuksesan yang dirasakan warga sejak 2 tahun terakhir ialah berkembangnya budidaya burung Jalak Uren—mamalia dengan kemampuan bersuara 32 jenis. Hewan yang tergolong langka itu rupanya mampu mendongkrak penghasilan warga rata-rata Rp 2 juta per bulan. Gara-gara Jalak Uren ini pula, warga meraih penghargaan di bidang lingkungan dari pusat Penyuluhan Kehutanan Jakarta sekitar dua bulan lalu. “Dari perangkat desa dengan gaji pasa-pasan hingga pemuda pengangguran, kini sama-sama menekuni budidaya ini. Kesannya memang main-main. Tapi, di tangan Suratman hasilnya bukan main,” kata Rahmanto.
Kehadiran Suratman ke tengah-tengah masyarakat, menurut kepala Desa Krakitan Sunudi, memang memiliki momentum yang tepat. Ketika kebanyakan profesor “bertapa” di menara gading, Suratman justru turun gunung. Ia memilih kembali ke desa tempat dia dilahirkan untuk memperkuat jati diri desa. “Dia itu pioner. Sosok yang mampu menggali dan merangkum segala kemungkinan potensi desa yang ada,” katanya.
Atas jasa Suratman itulah, Bupati Klaten Sunarna mengaku terharu bercampur bangga. Baginya, jerih payah Suratman dalam memberdayakan warganya di bidang lingkungan dan ekonomi kerakyatan adalah aset terbesar yang pernah dimiliki Kabupaten Klaten. “Saya hanya bisa haturkan terimakasih mendalam kepada Pak Suratman, pemrakarsa berdirinya desa wisata dan museum tani Indonesia ini,” kata Sunarna dalam sambutannya itu.
Read More

Kematian Zaskia adalah potret kekalahan orang miskin

Zaskia Nur Aulia akhirnya mengembuskan nafas terakhirnya di RSI Klaten, Rabu (22/9) siang. Zaskia pergi penuh cerita pilu. Kepergian bocah malang yang tercebur ke dalam panci berisi air mendidih beberapa waktu lalu itu sungguh potret kekalahan orang-orang miskin di negerinya sendiri. Ironis memang. Sebab, hingga di ujung mautnya itu, Zaskia yang lahir dari keluarga kurang mampu itu tetap tak mendapatkan Jaminan kesehatan dari pemerintah. “Zaskia meninggal di tengah hiruk pikuk politik di Klaten. Dan nyawa Zaskia sungguh tak dianggap penting bagi para pemimpin di Klaten,” kata Zainal Abidin, tetangga keluarga Zaskia yang sejak awal mendampingi dan memperjuangkan nasib keluarga Zaskia dalam memperolah Jamkesmas dan Jamkesda.
Zainal telanjur kecewa. Ia juga marah bercampur sedih. Sebab, upaya kerasnya dalam merebut Jamkesmas dari tangan pemerintah untuk orang miskin seperti Zaskia rupanya berujung sia-sia. Dan bocah dari Desa Gledek Karanganom Klaten itu akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya tanpa menikmati sepeserpun uang yang semestinya menjadi hak orang miskin seperti dirinya. “Dari Desa hingga Pemkab Klaten saya datangi. Namun, jawabnya sama; tak ada lagi quota bagi Zaskia,” katanya.
Malapetaka, siapapun tentu tak mengharapkannya. Tak terkecuali bagi Zaskia, bocah yang terlahir dari seorang buruh pabrik dan buruh rumah tangga musiman itu. Kini, ketika Zaskia telah pulang ke negeri keabadian, tak satu pun pejabat pemerintah yang peduli. Ayah-ibunya, Agus dan Siti Munfiatun barangkali hanya bisa mengenang masa-masa keceriaan anak bungsunya itu dari balik air matanya yang berlinang.
Kepergian Zaskia barangkali hanya dianggap angin lalu layaknya orang miskin tanpa nama. Namun tak demikian bagi Zainal. Pria yang telah menanggung biaya perawatan Zaskia selama di RSI Klaten itu tetap menganggap penting arti sebuah kematian Zaskia. “Kematian Zaskia adalah cermin betapa banyak calon pemimpin di Klaten ini yang tak tanggap atas nasib orang miskin,” kecamnya.
Dokter spesialis bedah anak yang menangani Zaskia, dr Guntur Surya Alam mengungkapkan, Zaskia meninggal disebabkan daya tahan tubuhnya yang melemah sejak Selasa (21/9) malam. Kesadarannya menurun disertai muntah-muntah. “Saya sungguh tak menduga Zaskia meninggal begitu cepat,” kata dr Guntur berbela sungkawa.
Zaskia pergi di saat kegaduhan politik di Kota Bersinar itu telah usai. Kepergiannya mungkin tak banyak yang tahu dan menyesalinya. Namun, ia pergi dengan sebuah pesan mendalam betapa masih banyak orang-orang miskin di Klaten yang tak tercover jaminan kesehatan, baik pemerintah daerah, provinsi atau nasional. “Semoga kepergian Zaskia bisa mengetuk hati para pemimpin di Klaten,” kata Zainal penuh harap.
Read More

Sunday, September 19, 2010

Cerita pilu Lebaran...

Zaskia, bayi berusia 2 tahun dua bulan itu masih tertidur lelap. Dari balik selimutnya, separuh tubuhnya terlihat penuh balutan perban. Ibunya, Siti Munfi’atun hanya sanggup menatap wajah puterinya itu penuh kasih sayang bercampur iba. Raut mukanya pias memantulkan kesedihan seperti tengah menyesali kejadian sepekan lalu di sebuah acara halalbihalal di Gledek Karanganom Klaten. “Saya hanya berharap Zaskia lekas sembuh dan ingin melihat Zaskia ceria seperti semula,” kata Siti penuh harap di salah satu kamar Rumah Sakit Islam (RSI) Klaten, Sabtu (18/9).
Zaskia Nur Aulia adalah anak bungsu dari dua bersaudara. Sejak kecil, pasangan Siti Munfi’atun dan Agus itu terkenal periang. Kemana pun ibunya pergi, dia seperti tak mau berpisah. Namun, keceriaan Zaskia tiba-tiba seperti teregggut ketika sebuah acara halalbihalal digelar di kampungnya pekan lalu, Minggu (12/9). Tubuh mungil bocah itu tanpa dinyana tercebur ke dalam panci besar berisi air mendidih. Separoh tubuhnya—mulai kedua lengan kaki hingga lehernya—seketika memerah dan melepuh. “Saat itu, dia ingin membantu ibunya yang masak di dapur di rumah tetangganya dalam acara halal bihalal. Tapi, semua malah berubah malapetaka,” kisah Biman, kakek Zaskia penuh kesedihan.
Orangtua Zaskia mungkin lupa betapa usia anaknya itu masih terlalu dini untuk belajar membantu ibunya. Dan malapetaka itu bermula hanya dalam sekejap mata. Zaskia yang berada di dapur itu melangkah ke belakang sambil membawa kuah soto untuk suguhan ayahnya. “Saat baru tiga langkah, dia terjungkal ke belakang dan masuk panci besar berisi air mendidih. Dia pun langsung meronta kencang,” tambah Biman.
Jeritan Zaskia itu seketika membuat seisi rumah acara halalbihalal tersentak histeris. Ia yang terendam air mendidih itu langsung ditarik. Sekujur tubuhnya langsung disemprot air kran dan dilepas bajunya. “Saat itu, yang terpikir bagaimana menyelamatkan nyawa Zaskia,” kata Biman. Ambulan pun meluncur cepat dengan sirine meraung-raung mengangkut Zaskia ke RSI Klaten. “Berulangkali, Zaskia dipindah kamar karena penjenguk datang seperti tak henti. Dokter khawatir, terlalu banyak penjenguk bisa membuat luka Zaskia terkena infeksi,” kata Siti.
Beruntung nyawa Zaskia berhasil tertolong. Selama berhari-hari dirawat intensif, kondisi bocah malang itu pun kini telah membaik. Namun, Mufi’atun seperti masih menyimpan gundah. Ia rupanya terbayang seluruh biaya perawatan puteri kesayangannya itu yang diluar kesanggupannya. Suaminya hanyalah pekerja biasa di pabrik gula Goendang Winagoen Klaten. Dia sendiri hanyalah seorang ibu rumah tangga tanpa penghasilan sama sekali. Sedangkan, kartu Jamkesmas, Jamkesda, atau pun Jamkesprov bagi warga kurang mampu seperti dirinya itu hingga kini hanya terbayang diawang-awang. “Seluruh biaya kami tanggung sendiri. Tak ada bantuan dari pemerintah,” katanya lirih.
Mendengar kisah pilu itu, Kepala Dinas Kesehatan Klaten, dr Ronny Roekmito serasa tak bisa berbuat banyak. Menurutnya, satu-satunya upaya ialah berharap ada tangan-tangan dermawan dari masyarakat atau pihak RSI Klaten yang bersedia meringankan biaya perawatan Zaskia. “Jika tak memperoleh Jamkesmas, Jamkesda, atau Jamkesprov, harapannya semoga pihak RSI Klaten bersedia meringankan biayanya,” kata Ronny. 


Read More

Thursday, September 16, 2010

ketika khatib ditinggal pendengarnya

Catatan yang tersisa di hari fitri


Dia berdiri di barisan terdepan dengan tangan bersedekap. Selembar surban melilit di lehernya, lengkap dengan songkok hitamnya. Tatapannya seperti burung elang, tajam, menyiratkan sinisme. Sesekali ia mengeluarkan batuk-batuk kecil seperti ingin sekali menjaga kewibawaan. Ketika ratusan jamaah salat Idul Fitri menyerukan takbir sambil bersimpuh di atas tikar di tanah lapang, pria tua itu masih termanggut-manggut menghitung jemaah yang terus berdatangan. “Salat Id akan kita mulai. Bagi jemaah yang belum menempati shof, mohon segera mengisi barisan yang masih kosong,” demikian sebuah maklumat yang terdengar sebelum ceremonial agung itu dimulai.
Waktu yang dinanti pun tiba. Ratusan jemaah berdiri di tanah lapang. Mereka bertakbir membentangkan tangannya. Mereka bertakbir merukuk, bersujud, bersimpuh dan mengagungkan Tuhannya Yang Esa. “Tuhan tak memandang jasad kita, pangkat kita, kekayaan kita, atau status sosial kita. Tapi, Dia memandang di kedalaman hati kita,” demikian sepenggal nasehat sang imam yang sempat kuingat kala itu.
Usai salam, satu persatu besek amal pun berjalan di antara puluhan shof. Ada yang memberi uang seribu, dua ribu, sepuluh ribu, ada pula yang memasukkan uang recehan. Tentu saja, tak sedikit yang membiarkan besek plastik itu berjalan sendiri tanpa menghampiri jemaah.
“Ehmmm-ehmmm….!!” pria berkalung serban itu kembali mengeluarkan suara batuk berdehem. Kali ini, dia tak lagi berdiri shof terdepan. Namun, sudah berdiri gagah di podium sambil membenahi posisi mikrofon. Wajar, jika kemudian dia berdehem, meski penuh tanda tanya. Mungkin sindiran, mungkin pula ingin mencuri perhatian jemaah bahwa dirinyalah yang akan mengisi khutbah Salat Idul Fitri itu.
“Tolong kotak amalnya itu diisi yang banyak. Jangan diisi recehan,” kata dia sebelum mengawali khutbahnya. Jemaah terheran, tak terkecuali aku.
“Tadi, saya dikeluhi panitia salat Id. Katanya jemaah salat Id di sini pelit-pelit,” lanjutnya sambil menatap ke arah jemaah.
“Sudah bertahun-tahun salat Id di sini, sound sistem aja nggak punya. Ayo, cemplungin uang yang banyak, biar nggak sewa sound terus waktu salat Id,” tegasnya.
Salah satu jemaah di sampingku mulai gusar. Dia sepertinya terusik dengan pesan yang disampaikan sang khatib itu.
“Apa hubungan antara jemaah yang datang hanya setahun sekali dengan tak adanya sound sistem,” gerutu dia mendengar pesan khatib yang terkesan memaksa itu.
Benih-benih ketidaksimpatikan pun mulai bersemai. Jemaah yang lain mungkin juga merasakan hal serupa.
Mulailah, sang khatib mengawali khutbahnya dengan memekikkan takbir. Suaranya menggetarkan. Berulangkali ia mencontohkan dirinya yang telah renta, namun tetap semangat mengejar kebajikan. Ia tamsilkan betapa pahala kebajikan sanggup menghapus segala dosa manusia. “Jadi, kalau usia saya sudah 65 tahun saat ini, saya sejak 10 tahun lalu sudah tak punya dosa,” katanya penuh bangga.
Lima belas menit telah berlalu. Namun, doa di penghujung khutbah tak kunjung terdengar. Sang khatib masih bersuara lantang membaca teks khutbah yang berlembar-lembar. Ia mungkin lupa, betapa masih banyak jemaah yang juga ingin mengejar kebajikan dan menyambung silaturahmi bersama sanak keluarga dan teman di rumah dan kampung halamannya. Ia mungkin juga tak menyadari bagaimana beban psikologi jemaah yang lama tersiksa oleh nasehat-nasehatnya yang menggurui itu. Ia mungkin beranggapan, memanjangkan isi khutbah bisa mendatangkan dua macam pahala. Pertama, akan ada setumpuk pesan yang ia desakan ke memori jemaah betapapun tanpa tauladan. Kedua, dengan begitu ia memberi kesempatan kepada panitia salat Id untuk menghitung jumlah infak yang terkumpul pagi itu.
Waktu terus mengalir. Sinar mentari mulai terasa membakar kulit. Jemaah yang gusar terus meluas. Entah dari mana asal muasalnya, tiba-tiba di shof tengah, jemaah membubarkan diri. Jemaah lainnya terperangah. Mereka pun terprovokasi ikut-ikutan melipat sajadahnya dan beranjak meninggalkan tanah lapangan. Aksi pembubaran jemaah pun seakan menjadi dramatikal yang tak terpisahkan dari salat Id. Namun, sang khatib tetap bergeming. Ia sepertinya tak menghiraukan kekesalan jemaah. Ia masih terus membaca teks khutbah tanpa koma, tanpa titik. Namun, kian lama kian cepat bacaannya, seperti dikejar janji yang terlanjur ia sampaikan kepada jemaah bahwa isi khutbahnya tak akan lebih dari 15 menit. Lama-lama, isi khutbahnya kian tak tereja jelas. Takbir dan ayat-ayat yang ia baca tak lagi berintonasi seperti di permulaannya. Jemaah pun kian dibikin bingung dengan materi khutbahnya. Dan ketika tiba doa di penghujung khutbah, jumlah jemaah yang masih setia duduk di atas sajadah rupanya tinggalah ibu-ibu yang sejak lama ngerumpi soal baju barunya, soal anak-anaknya yang sukses di perantauan, atau soal makanan favoritnya, serta seabrek lagi obrolan pengiring khutbah yang terasa hambar bagai angin lalu itu.
Read More

Tentang Blog

Ini hanya cerita tentang orang biasa. Tentang ketegarannya, kesabarannya, ketekunannya, kebesaran jiwanya, dan kepasrahan hidupnya kepada pemangku jagad ini.

Terpopuler

Designed ByBlogger Templates