Friday, July 16, 2010

kesaksian Martono YS

Malam yang panjang adalah kegelapan. Tapi, ia juga berarti keajaiban. Ini hanya bagian kecil kisah kegelapan sekaligus keajaiban para tahanan salah tangkap. Martono—tukang service elektronik itu—masih ingat betul peristiwa getir yang menimpanya setengah abad silam. Di usianya yang baru beranjak 22 tahun kala itu, dia ditangkap oleh tangan-tangan kekar berwajah asing di salah satu rumah tetangganya wilayah Kedunglumbu Pasar Kliwon Solo. “Ada sekitar enam orang yang menangkap saya. Sebagian memakai penutup wajah seperti ninja,” kisah Martono.
Peristiwa itu terjadi tepat pada Hari Pahlawan 10 November 1965, ketika pidato kenegaraan Presiden Soekarno menyebar semangat melalui berbagai siaran radio. Malam harinya, saat jarum jam bergeser pukul 22.00 WIB, Martono yang kala itu khidmat mendengarkan pidato Soekarno, tiba-tiba merasakan ada firasat kurang baik. Itulah tragedi penangkapan atas orang-orang yang dianggap berhaluan kiri komunis. Ibunya yang seorang janda, malam itu tak bisa berbuat apa-apa selain menahan ketakutan di dalam rumah sewanya beranyam bambu 3X4 meter. “Dan saya adalah satu di antara ratusan orang salah tangkap saat itu,” cerita Martono di sudut pasar Kota Solo suatu malam.
* * *
Perlahan namun pasti, Martono mulai membuka kembali memori ingatannya atas peristiwa yang menelan ribuan korban jiwa tak berdosa itu. Dengan rinci, ia uraikan tragedi penangkapannya itu sebagaimana yang pernah ia wedarkan kepada tim ad hoc penyelidikan pelanggaran HAM berat peristiwa 1965-1966 oleh Komnas HAM RI setahun lalu. Ia bahkan ingat betul setiap tahananan yang kala itu meringkuk di tahanan pengap sebelum akhirnya diseret keluar dan tak pernah kembali untuk selamanya. “Sayang, setelah BAP (berita acara pemeriksaan-red) itu ditandatangani Komnas HAM, ternyata hingga kini tak jelas kelanjutannya,” sesalnya.
Martono sungguh kecewa. Ia bersaksi dengan segenap jiwanya, mengingat dengan segala kemampuan yang masih terekam kuat di hati dan sanubarinya tanpa secuil pun keraguan. Ia bercerita atas setiap kejadian yang sungguh sukar terbantahkan. Sebab, ia bersaksi untuk kebenaran, bukan untuk kepentingan pribadi apalagi kepalsuan. “Saya mengalami bagaimana penyiksaan disetrum listrik, ditendang, diseret, dijemur, hingga jadi juru angkut mayat,” kenangnya.
Tapi, Martono tetaplah orang kecil yang tak ingin menyimpan bara dendam di dalam hati. Seperti nama baptis yang tersemat di akhir namanya, Yeshua—yang berarti cinta kasih—Martono pun tetap menebarkan cinta kasih kepada sesama seperti ajaran Tuhannya itu. “Buat apa saya dendam. Dendam itu menghancurkan semangat cinta kasih,” sanggahnya.
* * *
Malam kelabu itu, sungguh membekas di ingatan Martono. Dalam kegelapan dengan mata dan tangan terikat, ia diseret keluar kampung. Lalu diangkut naik jeep tanpa ia tahu kemana kendaraan itu meluncur. “Saya ternyata di bawa ke markas RPKAD Kandang Menjangan Karanganyar,” kisahnya.
Di sanalah, Martono mengalami langsung bagaimana tragedi banal manusia dipraktekkan. Empat orang petugas, mencengkeram kuat kedua tangan dan kakinya lalu dilempar ke udara tanpa ia kuasa bertahan saat terjun bebas ke tanah. Martono mengerang kesakitan. Tapi, mimpi buruk itu tak sekali. Melainkan terus berulang hingga tiga kali. Dalam kesakitan itu, ia dicecar pertanyaan para petugas, “PKI atau bukan?!”
“Bukan. Saya adalah tukang listrik,” jawab Martono. Ia kembali dicecar pertanyaan serupa. Namun, Martono menjawab serupa pula. Ia pun dengan sumpah serapah menjelaskan identitas dirinya, pekerjaanya, hingga aktifitasnya yang tak tahu menahu tentang organisasi, apalagi sebuah organisasi terlarang seperti PKI. “Sekolah rakyat saja, saya nggak pernah lulus. Saking bodohnya, saya dua kali dilorot ke kelas I saat mau naik kelas III,” akunya.
Saat itu, Martono hanya bisa menduga ada orang yang tak senang padanya hingga dia jadi sasaran korban salah tangkap. “Mungkin ulah orang yang sentimen pada saya,” terangnya.
Karena kejujurannya, Martono pun dilepas untuk sementara. Namun, bukan untuk kembali ke rumahnya, melainkan diangkut ke kamp militer. Dua hari ia ditahan di sana tanpa ditanyai apa-apa. Hari ketiga, ia kembali diangkut naik jeep terbuka dan dibawa ke lapangan terbuka di kompleks Balaikota Solo. Ratusan orang dengan wajah penuh belas kasihan sudah berjemur di sana. Martono terperangah setengah gemetar menyaksikan peristiwa di hadapan matanya itu. Mereka bertelanjang dada dan hanya celana dalam yang masih melekat di tubuhnya. “Kami dipertontonkan di muka umum, disuruh push up, dan berjemur di atas seng,” kisah Martono.
* * *
Tragedi di Balaikota itu hanyalah awal dari kisah kelamnya menjalani hidup sebagai tahanan salah tangkap. Martono bersama 2.000-an tahanan lainnya lantas kembali menjalani masa-masa tahanan yang panjang di Sasono Mulyo Keraton Kasunanan Surakarta. Di dalam penjara pengap itu, Martono menjadi tukang kebun, tukang servis listrik, sesekali mencuri beras di kamp militer untuk kawan-kawannya senasib yang saben hari hanya kebagian makan bulgur, sejenis bahan mentah untuk makanan kuda di Amerika. Soal keahliannya curi-mencuri ini, Martono memang dipercaya sebagai juru masak yang kerap wira-wiri keluar masuk dapur tahanan. “Bagaimana saya tega makan nasi, sedang mereka yang di tahanan sakit-sakitan tak kebagian nasi,” katanya penuh haru.
Ada satu kisah yang tak akan pernah hilang dari ingatan Martono selama setahun meringkuk di penjara Sasono Mulyo. Itulah cerita panggilan kematian. Di sana, setiap detik tak ubahnya penantian mendebarkan yang selalu meneror mental para penghuni tahanan. Sebab, setiap panggilan nama yang terdengar berarti akhir dari sebuah kehidupan. “Kami mengalami perang syaraf tiap hari. Dan begitu ada tahananan yang dipanggil, maka hanya ada ucapan selamat tinggal!” kisah Martono.

* * *
Kesaksian barangkali adalah omong kosong. Meski Martono telah bersumpah tak tahu menahu tentang organisasi pimpinan Aidit itu, namun siapa yang peduli atas nasib orang kecil seperti dirinya, seorang anak yang saben hari hanya berkawan kemiskinan bersama janda tua ibunya itu. Sama seperti tahanan lainnya, ia pun tetap harus menjalani masa tahananan tanpa kabar yang pasti.
Setahun mendekam di tahananan Sasono Mulyo, Martono lantas dipindah di kamp militer. Tak sebentar ia di sana, sekitar 2 tahun. Di sana, ia kembali menjalani pemeriksaan seperti saat pertamakali dicecar pertanyaan di Kandang Menjangan. Kali ini bukan dilempar ke udara oleh empat petugas berbadan tegap. Namun, disetrum listrik di ujung jempol kaki dan jempol tangannya. Para tahanan lainnya, ada yang disetrum di kemaluannya hingga ajal menjemput. “Katanya, agar tahananan mengaku. Tapi, yang terjadi malah banyak tahananan mati.”
Di sinilah perjalanan kelam Martono sebagai tahanan salah tangkap mulai menemukan keajaibannya. Martono yang sejak kecil berprofesi sebagai tukang listrik, rupanya mulai terjalin bersahabatan dengan listrik. Sengatan tinggi yang semestinya bisa membuat orang kejang-kejang dan berujung sekarat, ternyata tak mempan saat menyengat tubuh Martono. Petugas tahanan pun dibikin terheran setengah geram. “Saat itu saya dikira punya ilmu kanuragan. Padahal, saya sendiri juga tak tahu,” kata Martono sambil terkekeh.
Peristiwa penyetruman itulah yang membuat status Martono benar-benar dianggap bukan dari bagian komunis. Petugas militer punya pandangan bahwa orang-orang komunis tak mungkin percaya ilmu kanuragan. “Jadi, mereka baru percaya setelah melihat saya tak mempan disetrum,” imbuhnya. Satu pelajaran bisa dipetik Martono. Bahwa kesaksian ternyata tak lebih berharga dari sebuah setruman yang kadang tak masuk diakal.
Langkah Martono lambat laun kian leluasa. Di dalam tahanan, ia terbiasa mengendarai mobil jeep petugas tanpa ada yang mencurigai apalagi menanyai. Semua menganggap Martono adalah rakyat jelata yang pantas untuk diajak kerjasama dalam urusan listrik dan bengkel mobil. “Saat itu saya memang kerjasama dengan mereka, namun hati kami tak sama,” katanya.
Saben hari, Martono memiliki banyak aktifitas, mulai membetulkan saluran listrik, membetulkan mobil-mobil militer, hingga membersihkan kebun dan memasak. Dan yang membuatnya tak habis pikir ialah, dirinya juga harus mengantarkan mayat-mayat para tahanan yang mati karena disiksa ke RS DR Moewardi dengan kendaraan jeep terbuka. “Setiap hari saya mengantarkan bandeng-bandeng ke kamar mayat. Hati saya sampai kebal karena menyaksikan mayat-mayat bergelimpangan,” kenangnya.
* * *
Kini, Martono telah bebas. Tragedi setengah abad silam itu bagai perjalanan kelam sekaligus keajaiban yang membakar jiwanya. Martono yang dahulunya adalah anak kampung biasa yang tak pernah lulus SR, kini seperti manjelma manusia pemberani dan kebal. Selain kebal dari sengatan listrik, ia juga kebal dari segala rasa takut meneriakkan kesaksian di bumi pertiwi ini. “Saya berulangkali ditangkap polisi. Namun, langsung dilepas karena mereka tak punya bukti kesalahan saya,” katanya.
Pernah ia mengibarkan spanduk sepanjang lima meteran di sebuah pasar tradisional di Kota Solo tahun 2005 lalu. Spanduk itu berisi ucapan selamat Hari Raya Idul Fitri dengan lambang kecil palu arit. Akibat keberaniannya itu, Martono disorot media internasional, nasional dan juga didatangi pasukan kepolisian satu kompi. “Saya disangka sudah gila dan menghidupkan kembali ajaran komunis. Lha wong saya itu anti komunis,” katanya enteng.
Kejadian menggegerkan itu juga membuat kios Martono dikepung aparat kepolisian selama berhari-hari. Namun, Martono malah duduk santai di depan kios sambil menyeduh teh hangat. “Tapi, tak ada yang berani menangkap saya. Sebab, saya mengajarkan cinta kasih dan toleransi beragama, bukan mengajarkan paham komunis,” sergahnya. Soal lambang palu arit, bagi Martono, siapa pun bisa membikinnya. “Sebab, itu bukan menyebarkan paham komunis seperti yang tertuang dalam TAP MPR No 25 Tahun 1966,” lanjutnya.
Dalam sebuah dialog interaktif bersama Hamengku Buwono X di RRI Solo, Martono juga pernah digelandang sejumlah intel aparat usai acara. Persoalannya, dia memaki-maki Presiden SBY lantaran presidennya itu menutup proses pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), sebuah komite yang dinilai sangat berarti bagi pemulihan hak-hak ratusan ribu keluarga korban 1965-1966. “Intel-intel itu malah saya ceramahi. Anda itu tahu sejarah bangsa tidak, kok KKR saja nggak ngerti,” tegas Martono.
Sebagai korban salah tangkap, Martono juga mendapatkan stigma eks tapol yang melekat di KTP-nya. Semua anak-anaknya kena imbasnya, sebab jalur instansi negara menutup pintu pekerjaan bagi mereka. “Untung, saya mengharamkan anak saya bekerja di tiga institusi, yakni Polri, TNI dan PNS,” tegasnya. “Anak-anak saya pokoknya harus berdiri dengan kakinya sendiri,” lanjutnya.
Sumpah Martono itu sungguh dipegang erat. Kelima anaknya, tak satu pun yang berkeinginan menjadi PNS, apalagi TNI dan Polri. Semua berwirausaha dengan kemampuan yang diajarkan alam sebagaimana ayahnya. “Tiga anak saya mengelola sejumlah bengkel yang tersebar di berbagai tempat. Saya sendiri meski sudah berusia 75 tahun, masih terus mengelola ekonomi rakyat kecil yang kesulitan modal di pasar-pasar tradisional,” paparnya.
* * *
Martono adalah gambaran lelaki tegar yang tegak menentang kepalsuan. Dalam beragama, ia menentang segala bentuk kepalsuan berjubah agama. Ia menentang borjuasi gereja, radikalisasi agama, atau halusinasi sebuah dogma. Ketika kebanyakan orang berkeyakinan bahwa syurga itu diberikan di akhirat kelak, Martono menawarkan jalan syurga di dunia saat ini. “Karena berharap syurga di akhirat, orang rela ditindas. Tapi, saya akan melawan, karena syurga itu sebenarnya ada di dunia saat ini,” katanya.
Pandangan seperti itulah yang membuat Martono tak henti menyuarakan kesaksian sebagai orang-orang salah tangkap, betapa pun terhalang sederet tudingan politis dan ideologis. Tapi, Martono sampai kapan pun tak akan berhenti untuk bersaksi....

Solo, Jumat 16 Juli 2010.
Read More

Tentang Blog

Ini hanya cerita tentang orang biasa. Tentang ketegarannya, kesabarannya, ketekunannya, kebesaran jiwanya, dan kepasrahan hidupnya kepada pemangku jagad ini.

Terpopuler

Designed ByBlogger Templates