Wednesday, August 25, 2010

juru warta...

Dua hari ini aku dalam pengasingan. Di daerah yang sama sekali baru ini, tugasku masih sama seperti sebelumnya yakni sebagai juru warta. Namun, akhir-akhir ini aku selalu bertanya dalam hati, akankah aku terus bergelut dengan dunia ini? Dunia aneh yang terkadang remeh temeh.
Orang barangkali menganggap profesi wartawan sebagai pekerjaan yang memiliki gengsi sosial tinggi di masyarakat, sama seperti polisi atau pengacara. Wartawan diposisikan sebagai agen anti kemapanan yang serba tahu. Barangkali ia memang memberi manfaat kepada publik lantaran tugasnya memburu fakta meski tak dibekali senjata seperti polisi atau pengacara. Ia barangkali menjadi sandaran bagi kelompok yang lemah sebab wartawan melakukan kontrol sosial dengan insting yang dicetak untuk selalu mengorek kejanggalan. Dan semua itu memang demikian adanya. Pers menempati posisi penting di sebuah masyarakat dan negara.
Namun, orang mungkin lupa bahwa profesi ini sebenarnya seperti orang yang berdiri di atas mainan egrang. Ia terlihat tinggi di atas yang lain, namun sejatinya sangatlah ringkih. Ringkih dalam segalanya—kemapanan ekonomi, keselamatan kerja, termasuk kemandirian sikap dan pilihan hidup masa depannya.
Kode etik yang selama ini didoktrinkan kepada wartawan terkadang tak ubahnya jimat yang tak masuk akal. Wartawan diatur sedemikian rupa hingga menyerupai malaikat. Sementara, mereka sendiri tak pernah tahu polah bosnya yang menertawakan kode etik itu. Wartawan didoktrin untuk menatap kode etik layaknya seorang siswa mematuhi P4 dalam pemerintahan Orde Baru. Kode etik itu didewa-dewakan bagai pelaksanaan upacara bendera yang menghormati sang saka merah putih sepenuh hati. Namun, nasib wartawan sendiri—seperti kata saya tadi—begitu sangat ringkih.
Wartawan dalam konteksnya sebagai individu, seakan tak henti diserang rasa gundah, sepi, dan cemas. Namun, kecemasan itu bukan atas fakta sosial atau karut marutnya tatanan yang ia temukan di lapangan. Melainkan, kecemasan atas nasibnya sendiri. Tentang ketercukupan ekonominya, keselamatan kerjanya, atasannya, kemandirian sikapnya, dan terbengkalainya cita-cita mulianya sebagai pribadi di luar profesinya sebagai juru warta.
Saben hari, wartawan dipaksa bekerja bagai mesin serba cepat dalam keterbatasan waktu. Ia menelusuri satu medan ke medan yang lain tanpa perlindungan diri. Menemui orang-orang yang dianggap penting dalam hitungan detik. Dan semua tugas itu harus ditaklukkan wartawan secara perfectionis dengan segenap kemampuan dirinya.
Wartawan sebagai salah satu pilar demokrasi mestinya tak bisa dipandang sebagai profesi yang bekerja secara sendiri. Namun, ia musti ditatap sebagai sebuah institusi yang memiliki sistem kerja komunal. Sebab, jika hanya dipandang sebagai profesi yang melekat pada individu, maka ia hanya memiliki dua pilihan; menjadi martir atau melacur!
Read More

Thursday, August 19, 2010

keong racun dan zaman kalatida

Keong Racun mendadak meroket di dunia maya. Lagu yang telah menembus 2,3 juta lebih pengunjung di YouTube itu barangkali adalah pameo pedas atas keruwetan bangsa ini. Ketika semua berharap bakal datang sang penawar, obat, atau satrio piningit bagi bangsa yang sakit, maka bukan zat antitoksin yang ditawarkan, melainkan racun, bisa, dan zat-zat adiktif berbahaya lainnya. Semua seakan ikut mengamini ketika negeri ini menyongsong era baru dengan menyanyikan lagu “Bersama Kita Bisa!” Dengan kata lain, kebersamaan yang diharap-harapkan itu tak ubahnya racun, toksin, atau zat adiktif lainnya yang berbahaya. Sebab, kebersamaan yang dirayakan bareng-bareng itu hingga kini tak pernah memberikan harapan yang lebih baik.

Keong dalam tradisi dongeng nenek moyang kita, memiliki posisi di hati rakyat. Sebab, betapapun langkahnya sangat lamban, namun keong dikenal sebagai salah satu binatang yang mampu menumbangkan kesombongan kancil, hewan yang terkenal cerdik dan licik. Keong yang bersatu itu adalah simbol keutuhan rakyat kecil. Mereka mampu mengalahkan kecepatan lari kancil meski tak memiliki kuasa dan kekuatan seperti kancil.

Dalam serat kancil yang diadopsi dari Kisah Jataka dari Negara India, Kancil sebenarnya menemukan kesadaran diri dan kebijaksanaan setelah berguru kepada keong. Kancil yang memasuki gua garba keong itu lantas menemukan dunia sunyi dan menjadi terang jalan hidupnya. Kisah itu, sama persis dengan kisah perjalanan spiritual Dewa Ruci yang menjadikan Bima sebagai seorang ksatria. Dan kisah-kisah di atas, betapapun hanya dongeng namun sejatinya mengajarkan teladan bahwa sebuah kekuatan yang lemah seperti keong pun, tetap mampu mengalahkan kancil yang licik.

Rakyat dalam berbagai personifikasi selalu ditempatkan sebagai pihak yang lemah seperti keong. Di sisi lain, rakyat juga selalu digambarkan sebagai suara Tuhan yang memiliki kekuatan. Dalam nostalgia perjuangan masa lampau misalnya, rakyat yang digerakkan oleh perasaan senasib itu menjelma kekuatan raksasa yang mampu menggulingkan segala kediktatoran dan kelicikan penjajah. Namun, seperti hukum alam bahwa kesadaran bersama itu akan perlahan luntur dengan sendirinya ketika musuh bersama itu hanya tersisa dalam selimut. Dan lahirlah musuh-musuh dalam selimut.

Hikayat keong melawan kancil barangkali kini tercermin dalam sejarah negeri ini. Keong yang merupakan gambaran rakyat rupanya tak kunjung menemukan kesadaran diri ketika penguasa terus melangsungkan manuver kelicikannya sebagai musuh dalam selimut. Rakyat justru mengalami polarisasi strategi perjuangan, mengalami krisis moral dan etika. Kerusuhan berbau etnis kedaerahan telah jamak meletus di mana-mana. Rasa saling menghargai bukan lagi diikat oleh keutuhan kemanusiaan, senasib dan setanah air. Melainkan, tercerai berai oleh suku, agama, dan ras (SARA). Warna masyarakat bukan lagi seperti yang tersemboyan dalam bhineka tunggal ika, melainkan dalam gelanggang penonjolan identitas partai politik dan ormas-ormas puritan primordial.

Rakyat—seperti dalam judul lagu Keong Racun itu—memang benar-benar terserang racun berbisa. Negeri ini bahkan mungkin telah kenyang menghirup aneka zat berbisa. Penyair besar Ranggawarsita, di pertengahan abad 19, menggambarkan zaman pancaroba itu sebagai Kalatida dan Kalabendu. Zaman Kalatida adalah zaman ketika akal sehat diremehkan. Perbedaan antara benar dan salah, baik dan buruk, adil dan tak adil, tidak digubris. Krisis moral adalah buah dari krisis akal sehat. Kekuasaan korupsi merata dan merajalela karena erosi tata nilai terjadi di lapisan atas dan bawah.

Zaman Kalabendu adalah zaman yang mantap stabilitasnya, tetapi alat stabilitas itu adalah penindasan. Ketidakadilan malah didewakan. Ulama-ulama mengkhianati kitab suci. Penguasa lalim tak bisa ditegur. Korupsi dilindungi. Kemewahan dipamerkan di samping jeritan kaum miskin dan tertindas. Penjahat dipahlawankan, orang jujur ditertawakan dan disingkirkan.

Dalam berbagai lini kehidupan sosial, ekonomi, hukum, politik, budaya, maupun agama, aneka racun itu begitu terasa menjalar kemana-mana. Kentalnya semangat individualisme misalnya, telah menembus di berbagai tata kehidupan sosial kemasyarakatan. Tata kehidupan ekonomi pun tak ubahnya mesin penghisap bagi mereka yang lemah dan kecil. Hukum kita bagai sebilah pedang yang bermata tajam ketika menghadap ke bawah dan tumpul ketika mendongak ke atas. Berbagai penanganan kasus orang besar selalu berujung kabur. Namun, begitu cepat mengeluarkan vonis bagi nenek renta pencuri tiga biji kokao.

Panggung politik kita nyaris dipenuhi sandiwara konyol nan bebal oleh para politisi. Dari dana aspirasi, absensi, hingga tanpa prestasi. Kehidupan budaya pun ikut-ikutan mengalami pembusukan secara berkala baik yang lahir di tengah masyarakat maupun melalui birokratisasi. Tak kalah dengan tata kehidupan beragama masyarakat yang terus mengalami kamuflase dan pendangkalan nilai-nilai transendensi dan humanisasi.

Setelah Kalatida dan Kalabendu, seperti kata Ronggowarsito itu, kelak akan muncul zaman Kalasuba, yaitu zaman stabilitas dan kemakmuran. Dan agar orang bisa selamat di masa Kalatida, maka mereka harus selalu eling lan waspodo, tidak ikut dalam permainan gila. Sedang, di masa Kalabendu orang harus berani prihatin, sabar, tawakal dan selalu berada di jalan lurus sebagaimana tercantum di dalam kitab suci-Nya. Maka nanti akan datang secara tiba-tiba masa Kalasuba yang ditegakkan oleh Ratu Adil.

Urutan zaman Kalatida, Kalabendu, dan Kalasuba ini pernah menimpa di berbagai belahan dunia. Di Yunani purba, di Romawi, di Reich pertama Germania, di Perancis, di Spanyol, Portugal, Italia, Iran, Irak, India, Russia, Korea, Cina, di manapun dan kapanpun. Demikian pula republik Indonesia, juga tidak luput dari pergolakan zaman serupa itu.

Negeri ini membutuhkan zat antitoksin untuk sembuh. Sebab, hakikat racun adalah keterceraiberaian. Negeri ini perlu kembali berguru kepada kerendahhatian keong agar menemukan kebijaksanaan, bukan lagi kesombongan dan kelicikan.
Read More

Thursday, August 12, 2010

happy anniversary...

Petang usai berbuka tadi, kau kembali mengingatkanku. Persis setahun lalu, pesan yang sama juga kau kirimkan kepadaku. Saat itu, usia ikrar kita masih sangat belia layaknya bunga yang tengah bermekaran di taman belakang rumah. “Happy Anniversary...Masku!” katamu melalui pesan pendek itu.
Aku tak tahu bagaimana caraku menyambut perayaan ulang tahun kita yang sepi itu. Aku sendiri selalu dirundung sepi, ngungun, terkurung dalam kelemahanku yang tercipta olehmu. Bahkan, untuk sekedar bertanya sudah berapa purnamakah yang kita lewati, aku pun tak sanggup. Aku terlalu takut berharap lebih padamu.
Petang itu, setelah sekian lama kita tak saling bersua, engkau bertanya kembali padaku tentang mudik. Aku terdiam. Sebab, aku harus menghimpun kekuatan lebih dahulu untuk menjawabnya. Adakah yang lebih berarti atas kepulanganku nanti, selain sekedar bertemu denganmu. Kita memang sama-sama tak tahu harus berbuat apa. Engkau telah bertekad menuntaskan asamu yang kau gantungkan di setiap mimpimu. Sedang aku, hanya bisa menitip salam rindu tanpa sanggup menjemputmu. Dan di antara ketakberdayaan itu, kita sama-sama menyimpan kegundahan serupa. Kita sama-sama tak lagi membahas tentang purnama sebab hanya akan mengusik cita-citamu. Kita pun sama-sama bersikap seakan tak saling menghirau. Kita seperti berjalan sendiri-sendiri. Mungkin, memang demikinkah hakikat tak saling menuntut?
Sudahlah, biarkan semua berjalan apa adanya. Semoga tahun depan, kita masih bertemu happy anniversary itu—betapa pun telat dua hari. Biarlah happy anniversary itu selalu terlahir, hadir, dan menyapa kita meski dalam sepi yang pilu.

Solo, Kamis 12 Agustus 2010.
Read More

tiga biji kurma pembuka puasa...

Sirine di senja hari itu mengaum, menandai waktu berbuka puasa tiba. Di atas tikar di serambi utara masjid Agung Keraton Surakarta, sebungkus nasi telah tersaji. Tak ada makanan pendamping yang lebih mewah selain segelas air minum pelepas dahaga dan tiga biji kurma. Semua tersaji dalam satu loyang piring plastik. Selebihnya, hanya sebait doa pembuka puasa. “Mari, Mas,” kata Setiawan, pria setengah baya yang menawari orang-orang di samping kanan kirinya. Seteguk air minum pun mengawali hari pertamanya berbuka puasa penuh kesederhanaan itu.
Tiga bulan lalu, Setiawan merantau ke Solo meningalkan tanah kelahirannya Madiun Jawa Timur untuk sebuah nasib lebih baik. Tak ada modal yang ia miliki kala itu, selain hanya kemampuannya menjajakan minuman es kacang hijau bersama gerobaknya di kawasan alun-alun utara. Dan ketika bulan puasa tiba, anak dan isterinya di rumah harus siap menerima pendapatannya yang tak seberapa itu. “Makanya, saya ikut berbuka puasa di sini. Bisa menghemat uang,” terangnya.
Hidangan pembuka puasa itu mungkin sungguh berarti bagi Setiawan. Betapa pun hanya ditemani sepotong tahu dan sayur oseng kacang panjang, acara itu sungguh menyentuh langsung pesan universal puasa, yakni kesederhanaan. “Kalau setiap hari begini, saya akan ajak anak-anak saya berbuka puasa di sini,” sahut orang di samping Setiawan yang beseragam pegawai. Orang itu barangkali sadar, menyantap hidangan di tengah-tengah orang yang serba terbatas dan fakir, akan mengajari betapa pentingnya empati sosial. “Kesederhaan ini sangat baik untuk mendidik anak-anak kita,” sambungnya penuh bijak.
Ya, puasa bagi mereka barangkali memang bukan sekadar ritual menahan makan, minum, atau hasrat syahwati lainnya. Puasa adalah sebuah laku batin, belajar menahan keinginan tamak, rakus, dan loba—termasuk keinginan makan sepuas-puasnya ketika tiba berbuka puasa. Dan pesan universal itu sungguh tertangkap orang-orang kecil semacam Setiawan dan juga seratusan orang-orang di Masjid Agung itu. Ketika sebagian orang menanti datangnya waktu berbuka dengan mendatangi restoran mahal atau warung makan dengan aneka menu mewah, maka tak demikian bagi Setiawan. Segelas air teh, tiga biji kurma, serta sebungkus nasi ditemani sepotong tahu bacem cukuplah untuk mengisi perutnya. Dan tradisi yang demikian itu, sesungguhnya terselip pesan akan pentingnya empati sosial…

Solo, Kamis (11/8) 2010.
Read More

Monday, August 9, 2010

di depan salib...

Sama seperti lukisan kaligrafi yang menyimbol dalam identitas Islam, umat Nasrani barangkali diwakili simbol salib sebagai salah satu identitas diri. Simbol dalam sejarah yang paling panjang sekalipun—mulai zaman primitif hingga zaman modern yang serba fiktif—akan tetap hadir. Sebab, simbol selalu mengejawantahkan kehadiran yang tak terjangkau. Ia akan selalu dilahirkan agar manusia bisa meraba.
Ini hanya sekelumit kisah tentang simbol dari seorang bapak yang kujumpai di suatu hari tanpa persengajaan sebelumnya.
“Sudah sembahyang, Mas?” tanyanya.
“Belum, Pak!”
“Di rumah saya saja. Keburu sore lho,” tawarnya.
Saya tak bisa mengelak. Diajaklah saya masuk ke dalam rumahnya. Di sana tak kutemukan simbol kaligrafi, salib, atau patung. Saya lega. Sebab, dari awal saya memang tak ingin tahu apa keyakinan atau agama bapak itu. Saya percaya hubungan kemanusiaan itu memang semestinya utuh, tulus, tanpa berjarak keyakinan yang berbeda. Saya hanya ingin mengetahui kebaikan bapak itu. Seorang yang mengajakku keliling naik kendaraanya, mampir ke warung makan, dan menawariku sembayang setelah menuntaskan pekerjaanku.

* * *

Tawaran sembayang itu memang sempat membuat hati kecilku tergelincir. Sebab, pada akhirnya saya menarik kesimpulan bahwa bapak itu mungkin se-iman denganku.
Saya lantas bergegas menuju kamar mandi, menuntaskan hajat kecil, dan mengambil air wudhu. Di sebuah ruangan yang kusangka adalah musala kecil itu, aku sembayang. Aku khidmat merapal doa dalam hati. Aku himpun segenap kekuatan untuk mentakbirkan segala kebesaran-Nya lalu aku tundukkan segala kedha’ifanku, duniaku, dan kefana’anku.
“Allahu Akbar....”Aku angkat pandanganku ke haribaan-Nya. Aku baca segala janji yang kuhapal sejak kecil. Aku himpun hatiku agar sanggup menghadirkan kekhusu’an. Namun tak seberapa lama, tiba-tiba sepasang mataku menatap sebuah simbol salib tepat di depanku. Aku tercenung sesaat. Siapakah gerangan yang di hadapanku itu. Simbol identitaskah? Simbol keyakinan yang berbedakah? Ataukah simbol Tuhan?

* * *

Lama aku tercenung, bertanya tentang ikhwal itu. Hatiku mengembara entah kemana? Aku pun melepas segala keangkuhan pemahamanku tentang sembahyang. Aku lantas belajar membaca kemauan-Nya. Tuhan, kata hatiku, mungkin sengaja mengajakku berlayar ke dasar samudera luas-Nya yang tak bertepi itu. Aku belajar pasrah, mencoba bersandar kepada keesaan-Nya.Dan aku pun ‘tersesat’ di samudera-Nya. Aku saksikan, sungguh dalam haribaan-Nya tak ada siapa-siapa lagi selain Dia. Bukan kekhusu’an, tumakninah, pahala, apalagi perbedaan keyakinan yang berseliweran dalam hatiku.

* * *
Aku kembali hening. Ragaku mungkin sembahyang di hadapan salib itu. Namun, kehadiran Tuhan bisa di mana saja dan kapan saja. Bisa di salib, di masjid, di pura, di wihara, di hutan, di lautan, di gedung, di berbagai simbol, atau di kesunyian hati. Tuhan memang menjelma dalam setiap keyakinan para hamba-Nya yang beraneka rupa itu, namun pada hakikat Ia tetap satu! Esa!

Solo, Senin 9 Agustus 2010.
Read More

Thursday, August 5, 2010

televisi, hati dan bulan suci...

Tulisan ini, saya awali dari sepenggal cerita puasa yang digeber guru mengaji saya di suatu hari di sebuah surau. Puasa itu, Nak! kata guru saya, adalah ibadah yang sungguh intim. Saking intimnya, ibadah itu hanya sanggup diketahui oleh hamba dan Sang Khaliknya. Sebab, puasa bukanlah semata urusan tak makan dan tak minum atau menahan keinginan syahwati. Namun, berurusan langsung dengan kesucian hati. Makanya, benar kata Nabi, ada banyak orang yang berpuasa, namun sesungguhnya mereka tak mencercap apa pun, selain lapar dan dahaga. Begitulah kira-kira pesan terakhir guru saya sepuluh tahun lalu.

Bulan puasa, dalam gerak zaman yang mengalami kompleksitas persoalan seperti sekarang ini, memang telah mengalami transformasi sosial luar biasa. Ibadah puasa bukan saja menjadi laku ritual. Namun, juga telah menjadi sebentuk fenomena yang mungkin amat sukar didefinisikan macam apakah gerangan fenomena itu?

Atas nama menghormati bulan puasa misalnya, kita merasakan privilese, semacam hak istimewa untuk dihormati. Aneka warung makan, hiburan, dan tempat-tempat usaha yang dianggap profan terpaksa harus ditutup, betapa pun kita tak pernah terpikir bagaimana nasib mereka selanjutnya. Dengan dalih memerangi kemaksiatan, kita tiba-tiba menjadi manusia yang sukar memberi empati, bersikap berlebihan dan mengabaikan gerak dan kesucian hati yang menjadi inti bulan suci. Sebegitu ringkihkah iman kita—mengutip istilah Kiai Mustofa Bisri Rembang—hingga orang yang mencari penghidupan pun merasa ketakutan atas sikap kita di bulan puasa?

Menghormati, tentu saja berangkat dari keikhlasan hati. Bukan karena aturan pemerintah apalagi karena tekanan dari berbagai golongan tertentu. Sebab, jika demikian kenyatannya, sikap menghormati yang diperlihatkan beramai-ramai di publik itu jangan-jangan hanya karena keterpaksaan dengan hati menggerutu.

* * *

Di berbagai acara televisi, kita juga akan dibikin terkejut. Si kotak ajaib itu tiba-tiba saja berubah wujud dari menjelang sahur hingga kembali sahur. Semua acara mendadak beraroma religi. Dari acara yang remeh remeh—kuis, sinetron, lagu-lagu, reality show—hingga yang agak serius, menjadi penuh keislam-islaman. Kenyataan itu seolah-olah memercikkan harapan bahwa selama Ramadan ada upaya untuk menguatkan spiritual yang mulai keropos terkikis keriuhan duniawi. Dan tanpa kita nyana, sesungguhnya fenomena itu tak ubahnya bentuk lain dari pendangkalan nilai-nilai agama.

Menyitir klasifikasi Ashadi Siregar tentang realitas yang dibangun media, maka jenis realitas tontonan dan permainan nampaknya masih padat menjejali acara TV kita. Lihatlah, acara kuis yang dari waktu ke waktu, materinya melulu hanya itu-itu saja. Pertanyaan yang diajukan pun bersifat superficial, permukaan, karikatif, dan hanya sebatas peristilahan-peristilahan yang jauh dari subtansial makna puasa. Cukup menjawab pertanyaan apa rukun Islam kelima atau apa yang membatalkan puasa, pemirsa sudah dipersiapkan hadiah yang menggiurkan hasrat dan naluri syahwat.

Begitu pun pengisi materi yang tak jarang hanyalah orang-orang tak jelas kualifikasi keilmuan agamanya. Mereka bisa siapa saja, asal siap didapuk untuk selalu melawak. Tak penting apa materi inti yang disampaikan, sebab yang penting bisa membikin hiburan atau membuat terkekeh pemirsa. Pesan agama seakan telah dipresentasikan sebagai sesuatu yang lucu dan layak untuk disampaikan penuh kekocakan. Meski dalam beberapa kasus, tak bisa dipungkiri masih ada sejumlah pengisi acara yang memang memiliki disiplin ilmu.

* * *

TV sungguh tahu bagaimana bersahabat dengan bulan puasa termasuk menjadikannya komoditi. Semua stasiun TV berlomba memanfaatkan Ramadan untuk menayangkan program-program unggulan berbau dakwah. Iklan terus membanjir dengan tampilan kian menarik seperti tak henti memaksa hasrat konsumtif dan konsumeris pemirsa di bulan Ramadan.

Tanpa disadari, kita sebenarnya telah teraliri budaya baru bernama hipokrit penuh kepura-puraan. Para artis, penyanyi, bintang film, pelawak dan pemain sinetron berhamburan di layar kaca. Yang lelaki memakai sarung, baju koko, songkok, pendek kata berdandan penuh pesona. Begitu pula yang muslimah, pakai jilbab, kerudung, pakai baju rapi tertutup. Semuanya indah-indah, cakep-cakep. Semua punya ciri yang sama, penuh kombinasi warna warni. Gemerlap, gemebyar, dan tentu saja ngejreng! Idiom Assalamualaikum, Insyalaah, Alhamdulillah tiba-tiba menjadi bahasa karib mereka. Kita sebagai pemirsa pun terkagum-kagum, seakan nilai-nilai Ramadan benar-benar merasuk dan menjadi pakaian budaya kaum selebiritis.

Persis sebuah pementasan drama, ketika syuting usai maka usai pula peran yang dimainkan. Dan potret indah penuh simbol agama itu pun akan usai dengan sendirinya begitu Ramadan usai. Nilai-nilai Ramadan pun meruap begitu saja tanpa bekas. Mereka pun kembali menanggalkan busana muslimahnya, mempertontonkan auratnya, kembali glamour. Dan meniti nilai agama sungguh tak ubahnya sebuah pementasan drama atau telenovela. Semua penuh kepura-puraan…

TV sebagai sebuah industri mungkin tak bisa disalahkan. Sebab, memang demikianlah hakikat bisnis jual beli. Setiap detik adalah logika pembiayaan dan untung rugi. Sehingga, setiap acara harus berkorelasi langsung dengan sumber untung rugi, laku atau tidak, apa sih yang dimaui pasar, jangan bertanya apa kaitannya dengan nilai Ramadan.

Ramadan yang penuh nilai-nilai kebersahajaan dan etos sosial pun runtuh. Semua telah berbau materialistik-konsumtif. Budaya massif yang memvirus di mana-mana—makanan yang lezat, baju terbaru, model terbaru, perabotan mewah—telah melipatkan anggaran keseharian kita. Dan kita pun lantas bertanya, demikiankah cara kita menghormati bulan suci?
Kini, bulan suci akan tiba. Rahmat-Nya meluas bagai samudera. Semoga puasa kita adalah ibadah yang menjaga gerak dan kesucian hati, bukan hanya memperoleh lapar dan dahaga...

Solo, Kamis, 5 Agustus 2010 pukul 23.25 WIB
Read More

Sunday, August 1, 2010

Sepenggal cerita menjelang Ramadan...


Ada sepenggal cerita di bawah pohon tua di permulaan malam itu. Sebuah batu nisan bertuliskan Mbah Demang Jebres berdiri dengan tenang seperti tengah mewedarkan kisah-kisah masa silam yang mulai terhapus ingatan. “Dia adalah cikal bakal Kelurahan Jebres,” kata lelaki tua itu, Mbah Soejoko dengan suara pelan. Angin mulai mendesis di antara dedaunan pohon-pohon di kawasan Pedaringan Jebres, Jumat (30/7) malam. Mbah Soejoko—lelaki yang ke mana-mana gemar berjalan kaki itu—pun melanjutkan ceritanya dengan segala ingatan yang masih melekat di sanubarinya. Dahulu, kisahnya, kawasan pedaringan adalah tanah yang penuh dengan makam. Pada tahun 1977 terdengar kabar yang menggegerkan bahwa makam-makam di sana akan digusur untuk proyek besar-besaran. “Saat itu, semua makam dipindahkan. Namun, ada satu makam yang tak bisa dipindah, tanpa tahu sebabnya,” lanjut bekas lurah di era tahun 1983-1987 itu. Warga pun sudah menduga. Satu makam yang tertinggal itu tak lain ialah makam Mbah Demang Jebres. Lalu, tergeraklah hati warga untuk menjaga keberadaan makam yang berusia ratusan tahun itu. Tak ada yang tahu persis kapan Mbah Jebres bersemayam di sana. Namun, berdasarkan saksi dan petilasan yang terbaca, makam itu ada sekitar tahun 1800. “Dia dulu seorang abdi dalem Keraton Kasultanan Yogyakarta,” lanjut sesepuh warga Jebres lainnya, Hadi Suparto.
Nama Mbah Demang Jebres inilah—dalam tradisi pitutur atau cerita rakyat—kerap disandingan dengan nama salah satu pengusaha Belanda yang tinggal di Solo, yakni tuan Jefres. “Tapi, kelahiran tuan Jefres jauh setelah nama Mbah Demang Jebres ada,” sahut Soejoko, warga lainnya yang ikut nyadran di sana.
Makam Mbah Jebres kini bak seutas tali. Dia adalah satu di antara beratus situs yang menyambungkan masa lalu dengan masa sekarang. Melalui sebuah penanda yang ada, makam itu seakan memperkaya sejarah dan menceritakan sisi lain tentang arsip kota tua ini. “Sayang, makam Mbah Demang Jebres ini belum tercatat sebagai salah satu situs budaya di Kota Solo,” sambut Lurah Jebres, Tamso. Betapa pun telah terlupakan zaman, namun masih saja ada satu atau dua orang yang setia menziarahinya. Belakangan, ada yang mulai membangunkan rumah di atas makam itu. “Namun, baru mendirikan tiang, dia mendapatkan firasat agar tak meneruskan. Kayaknya, Mbah Jebres tak berkenan,” kata Budi Hartono, tokoh Jebres lainnya.
Read More

Tentang Blog

Ini hanya cerita tentang orang biasa. Tentang ketegarannya, kesabarannya, ketekunannya, kebesaran jiwanya, dan kepasrahan hidupnya kepada pemangku jagad ini.

Terpopuler

Designed ByBlogger Templates