Saturday, October 23, 2010

Sepengal harapan mereka di lereng Merapi....


Kabut tebal turun lebih awal sore itu. Jalanan yang terjal nan menanjak telah memaksa perjalananku terhenti di sana. Di ujung jalan di depan gardu pandang itulah, tiba-tiba terdengar suara gemuruh beberapa kali.
“Suara apa itu, Pak?” tanyaku kepada dua lelaki setengah baya yang melintas.
“Itu suara guguran batu Merapi, Mas,” jawabnya.
Aku terheran dalam batin, sebab orang itu sama sekali tak menampakkan ekspresi terkejut ketika mendengar suara gemuruh dari Merapi. Barulah aku sadar, betapa
perjalananku sore itu rupanya telah tiba di Dukuh Deles, sebuah dukuh yang hanya berjarak empat kilometer dari puncak Merapi. Di lokasi paling ujung dari Desa Sidorejo Kecamatan Kemalang Klaten itulah, tampak olehku sejumlah anak-anak muda berjaga di sebuah ruangan yang dilengkapi pemancar radio. Mereka ialah relawan yang tergabung dalam Paguyuban Siaga Merapi (Pasag). Di sana, sinyal handy talk(HT) tak henti mendenging. Sesekali terdengar meliuk-liuk panjang seperti ada gangguan frekuensi. “Kalau suaranya tak normal seperti itu, artinya ada guguran batu Merapi,” urai Sarjino, relawan Pasag.
Malam kian larut. Suara gemuruh juga masih kerap terdengar. Sesekali terdengar suara anjing melonglong dari kejauahan. “Warga di sini itu sudah kapok diungsikan, Mas. Bikin sengsara warga saja,” celetuk warga lainnya, Kopral dengan kesal. Aku mulai tertarik dan menyimak penuturan warga di sana.
Rupanya, pengalaman evakuasi di tahun 2006 silam telah menjelma kenangan kelam dan menjadi sumbu kekesalan warga. Sebab, mereka yang diungsikan pemerintah kala itu bukannya selamat dari bencana, melainkan malah tertimpa bencana. Selama tiga bulan lamannya, mereka rupanya dipaksa menjalani masa pengungsian tanpa kerja, tanpa kesiapan logistik, serta tanpa bantuan yang memadai. “Warga dikasih makan lauk gereh asin tiap hari. Mereka juga harus membayar sendiri ongkos transportasi Rp 10.000 per hari. Ternak tabungan banyak yang dijual karena kehabisan bekal,” kisahnya.
Niat pemerintah mengevakuasi kala itu barangkali sangat mulia. Namun, siapakah yang mengerti betapa tindakan evakuasi kala itu penuh dengan kamuflase dan kecerobohan. Warga yang kala itu masih tenang, tiba-tiba dipaksa mengungsi lantaran Gubernur Jawa Tengah bakal mengunjungi Kemalang. “Padahal, saat itu status Merapi masih belum siaga. Orang kecil malah dikorbankan,” gugat Sarjino.
Peristiwa itu sungguh melukai hati warga di kawasan rawan bencana Kemalang. Sebab, warga harus menanggung derita tiga bulan lamanya di tenda pengungsian yang tak siap pakai itu. Harta mereka terkuras untuk biaya operasional evakuasi. Anak-anak mereka terserang diare. Ternak mereka pun kurus tak terurus. “Dan setelah logistik di tenda habis lantaran Merapi tak kunjung meletus, warga baru disuruh kembali ke rumah,” jelasnya.
Namun, di sinilah luka warga kian menganga. Sebab begitu warga kembali ke rumah masing-masing, sekejap kemudian Merapi memuntahkan isi perutnya. Mereka pun pulang disambut dengan debu bercampur lumpur. “Inilah akibat keputusan yang diambil dengan gegabah,” tandasnya.
Warga mungkin telanjur kecewa. Namun, mereka hanya bisa menghela napas panjang kala itu. Mereka adalah orang kecil yang tak terbiasa bersikap kamuflase. Mereka hanya ingin selamat dari bencana Merapi. Bukan mengada-ada membikin program atas nama bencana Merapi. Itu saja yang mereka harapkan. Tak lebih!
Read More

Monday, October 11, 2010

Mawar Melati itu...

Mawar dan Melati adalah dua bocah kembar. Usianya masih lima tahunan. Ketika mereka lahir, ada tangis bahagia dan tangis duka. Sebab, ibunya telah mendahului pergi ke alam baka bersamaan dengan kelahiran dua bocah itu. Dan seperti anak-anak yatim yang lain, Mawar dan Melati pun harus menjalani hidup tanpa pernah menatap wajah ibunya meski sekilas. Untuk mengisi hari-harinya, mereka pun diasuh bibinya, Marsih, 50, di Dukuh Klebengan Desa Juwiran Kecamatan Juwiring Klaten. “Ayahnya merantau ke Jakarta untuk menghidupi dan menata masa depan Mawar Melati,” kisah seorang pengacara, Gino, penuh iba. Senin (11/10) siang itu, Mawar dan Melati tak bermain riang di taman kanak-kanak (TK) bersama teman sebayanya. Mereka bermain di emperan Pengadilan Negeri (PN) Klaten bersama bibinya dan sejumlah saudaranya. Kedua bocah itu sama-sama berpakaian serba merah, namun bukan simbol marah. Mereka datang untuk menjadi saksi korban atas rentetan malapetaka yang menimpanya selama setahun ini. “Mawar dan Melati bukan saja telah dicabuli. Namun, telah disetubuhi,” tegas Gino dengan marah tertahan. Sejak awal, Gino memanggil dua bocah kembar itu dengan nama samaran Mawar dan Melati. Panggilan itu bukan sekadar untuk melindungi identitas mereka yang masih panjang masa depannya. Namun, memang semestinya Mawar-Melati diperlakukan seperti bunga yang tumbuh dan disiram penuh kasih sayang. “Sayang, sejak Agustus 2009 hingga Juli 2010, Mawar-Melati telah menjadi korban pelampiasan nafsu seorang ramaja lulusan SMP yang suka nonton film porno,” jelas Gino. Malapateka itu sungguh terasa menyakitkan. Sebab, korban bukan saja seorang bocah yang masih lugu. Namun, juga seorang anak yatim sejak lahir. Lebih memprihatinkan, pelaku yang masih berusia 17 tahun itu, Ar, bukan sekali dua kali menuruti nafsu bejatnya. Namun, lebih dari empat kali hingga selaput dara dua bocah kembar itu robek. “Kesaksian korban menyebutkan empat kali. Namun, saya yakin lebih dari tujuh kali, sebab korban masih bocah yang tak mengingat betul kejadiannya,” urai Gino. Terkuaknya kisah itu bermula dari kesaksian Marsih yang kerap melihat bercak warna merah di pakaian dalam Mawar-Melati saat memulai aktivitasnya mencuci. Warna merah itu rupanya bukanlah warna biasa. Melainkan warna merah darah. “Semula bibinya tak menaruh curiga sama sekali. Namun, ketika Mawar-Melati mengeluh sakit, mereka pun diperiksakan ke dokter hingga ke dukun. Hasilnya, ada luka robek serius di selaput daranya,” ceritanya.Semua terkejut, terpukul, dan marah. Ibu kedua bocah kembar itu barangkali akan menangis tersedu andai menyaksikan buah hati yang ia lahirkan dengan taruhan nyawanya itu diperdaya oleh remaja yang masih tetangganya sendiri. Dan seperti yang sudah diduga, pelaku yang diancam UU Perlindungan Anak dengan kurungan maksimal 15 tahun penjara itu mengaku menyesali kelakuannya. “Saya sangat menyesal,” katanya lirih kepada Gino, penasehat hukumnya yang ditunjuk PN. Rasa sesal memang selalu datang di kemudian hari. Dan remaja itu baru menyadari betapa dirinya selama ini telah terpedaya oleh kemajuan teknologi tanpa batas itu. “Jika bukan orangtua dan keluarga, siapa lagi yang akan menjaga anak-anak kita dari gempuran kemajuan teknologi itu,” pesan Gino.
Read More

Monday, October 4, 2010

negeri KTP

Negeri ini, kata orang-orang, konon tak hanya salah urus. Tapi juga salah membikinnya, salah mengandungnya dan salah melahirkannya.

Seorang anak yang sejak lahir sudah menginjak tanah negerinya sendiri, dibilang bukan warga negara ini hanya karena tak punya KTP. Fatalnya lagi, gara-gara telat memperpanjang KTP, dia diangap batal status kewarganegaraannya. Di sejumlah daerah, malah telah disiapkan Perda yang mengatur denda bagi warga yang telat memperbarui KTP. Sebentar lagi, mungkin bakal ada Perda yang lebih galak. Barangsiapa telat memperbarui KTP, maka masuk pelanggaran pidana!

Di Kecamatan Jatinom Klaten, seorang ibu rumah tangga yang hanya buruh batu bata ditolak berobat dengan kartu Jamkesmas-nya hanya gara-gara KTP-nya belum diperbarui. Ibu itu barangkali tak hanya bingung memahami KTP lantaran dia memang buta huruf. Namun, dia juga absurd memahami KTP yang ternyata jauh lebih penting ketimbang nyawa dan kandungannya itu.

KTP—kartu tanda penduduk itu—barangkali kini telah menjadi ironi baru. Ia tak hanya dianggap sekedar pelengkap administrasi. Namun telah membius dan menembus segala lini kehidupan. Ia bahkan menjadi lebih esensi ketimbang pemegangnya.

Saya pernah ditugasi untuk meliput sebuah acara di kompleks TNI. Sampai di depan gerbang pintu, ada beberapa petugas berwajah galak mengadang. Dan satu pertanyaan yang mereka lontarkan, “Mana KTP-nya?”

Saya heran. Selembar kertas yang dipress plastik bening itu ternyata jauh lebih berharga ketimbang kedatangan tamu. Ini negera seolah-olah dihuni KTP, bukan nyawa, jiwa, raga, dan berjuta rakyat dengan peradabannya. Mungkin karena kesal itulah, saya bohongi petugas jaga malam itu. “Maaf, Pak. Saya tak bawa KTP!”

Saya pun disuruh pulang mengambil KTP dan tak pernah kembali lagi masuk komplek TNI itu.

Saya pulang dari sana bukan mengangkut kekalahan. Namun merayakan kemenangan. Sebab, status KTP itu telah aku taklukkan. Dalam hati kecilku, saya bertanya, apakah selembar KTP menjadi lebih subtansial ketimbang pemegangnya. Jika tujuan KTP tidak lebih hanya untuk mempermudah negara dalam mengidentifikasi warganya, kenapa bukan negara—pejabatnya, atau siapa saja yang digaji negara—yang memberi KTP warga? Kenapa justru penduduk asli yang harus merengek-rengek dibuatkan KTP?

Posisi seperti ini sebenarnya mengandaikan bahwa tanpa KTP warga tidaklah sah menjadi warga negara. Dan ini bukan saja bentuk perampasan status penduduk. Namun, juga bentuk pengalihan hak kemanusiaan yang paling utuh penghuni sah negeri kepada selembar KTP.
Read More

Tentang Blog

Ini hanya cerita tentang orang biasa. Tentang ketegarannya, kesabarannya, ketekunannya, kebesaran jiwanya, dan kepasrahan hidupnya kepada pemangku jagad ini.

Terpopuler

Designed ByBlogger Templates