Sunday, December 26, 2010

orkestra cinta

Pesan singkat itu datang di sepertiga malam. Aku pun terbangun. Aku telah menduga, itu pasti darimu. “Don’t let me alone...” sebaris kalimat penuh cemas itu kuketik di layar ponselku. Lalu kukirim penuh harap. Dan hatiku pun terus terjaga di antara gelisah dan harapan. Waktu terus merambat. Namun tak kunjung datang balasan darimu. Aku berpikir, mungkin dirimu sengaja menyampaikan pesan tersirat kepadaku sebagaimana pesan yang pernah kau sampaikan sehari sebelumnya dalam sekejap waktu yang hilang. Lalu kau biarkan diriku gelisah dalam kesendirian.
Aku pun ngungun dalam kebisuan. “Maafkan aku...” kataku penuh sesal. Namun, engkau masih berdiri di ujung waktu yang samar tanpa memberi jawab meski sepatah kata.
* * *
Malam itu, engkau bertanya kepadaku tentang maafku. Tahukah, sejak dirimu menghilang dari sisiku di suatu petang itu, aku sebenarnya begitu menanti datangnya pesan darimu. Aku hanya ingin meminta maaf. Itu saja. Namun, engkau tak kunjung datang. Aku hanya bisa menduga mungkinkah itu pesan tersiratmu bahwa engkau terusik dengan pertanyaan dan pernyataanku tentang orkestra cinta kita?
“Maafkan aku...” kataku sebelum tidur malam itu. Lima jam kemudian engkau baru membalas.
“Kenapa, Kanda?” jawabmu begitu tenang.
“Don’t let me alone...” jawabku penuh kecemasan. Setelah itu, aku tak lagi menemukan dirimu. Aku sebenarnya ingin bertanya lagi. Namun, ketenangan jiwamu sungguh membuatku merasa tak pantas bertanya lebih kepadamu. Biarlah malam ini hanya terisi dalam kebeningan doa.
* * *
Cinta terkadang memang seperti kebisuan. Di situlah kegelisahan kerap datang. Namun, di antara kata yang tak terucap itu sebenarnya juga menaburkan berjuta rasa dan asa. Engkau mungkin bersembunyi di balik misteri kata-kata. Namun, diam-diam aku yakin engkau sebenarnya perlahan mulai membangun kekuatan cinta dari samudera hati. Dari caramu hadir dalam malamku itu, engkau sebenarnya ingin menyampaikan pesan bahwa tak selamanya cinta selalu berbuih kata. Selalu ada kata di balik kata-kata, sebagaimana selalu ada makna di balik diam. Dan diammu sesungguhnya ingin mengajakku untuk bermain orkestra cinta yang sesungguhnya.
* * *
Sayup-sayup suara azan subuh berkumandang membelah fajar. Aku yang masih tertekur dalam doa itu tiba-tiba menemukan pertunjukan orkestra cinta yang sesungguhnya darimu.

Solo, 26 Desember 2010.
Read More

Sunday, December 12, 2010

cerita di pagi hari...


Pagi hari usai sembahyang subuh itu, aku berangkat mengayuh sepeda menyusuri jalan raya. Jalanan yang lebar dan mulus itu kini memang terasa bersahabat sepekan sekali setiap tanggal merah. Tak ada deru kendaraan bermesin yang beradu kecepatan apalagi melintas. Yang ada adalah pengayuh sepeda sepertiku, pejalan kaki, pegiat senam, aktivitas olahraga dan olahrasa lainnya. Jika dinamakan lapangan olahraga terpanjang sedunia, mungkin tak salah. Sebab, semua orang mulai remaja, dewasa, manula, hingga Balita pun bisa menikmati lapangan beraspal sepanjang 4 kilometer itu secara cuma-cuma. Tak terbayang olehku bahwa jalan raya ternyata tak selamanya berkisah tentang tragedi berjuta nyawa melayang atau laju keserakahan ekonomi kapital. Jalan raya ternyata juga bisa berkisah tentang manusia yang menemukan kembali keutuhan dirinya secara fitrah dan alami. Mereka bisa saling menyapa, tersenyum, menghirup udara segar, mengayuh tanpa beban pekerjaan atau bersimpangan tanpa adu gengsi sosial.
* * *
Di titik nol kilometer kota tua itu, laju sepedaku membelok ke kanan dan membuntuti terus rombongan para pengayuh sepeda. Satu persatu mozaik kerajaan penerus Mataram yang masih tersisa seakan berjalan ke belakang seiring dengan laju sepedaku. Ada gapura yang mengingatkanku akan kehebatan raja PB X. Ada masjid agung yang menjadi inti spiritualitas bangunan-banguan keraton nan megah itu. Selintas saja pandanganku menoleh kori kamandungan. Di sana, ingatanku memutar kembali pada berderet cerita panjang di balik tembok tinggi yang mengelilingi keraton itu; tentang kesaksian kepahlawanan, pengkhianatan, kesetiaan, juga darah dan air mata yang telah terkubur dalam sejarah kerajaan yang berdiri beratus tahun silam itu. Ada yang masih terbungkus rapi dalam lembaran manuskrip kuno atau cerita-cerita rakyat. Ada pula yang telah terkubur masa, hilang bersama segala kenangannya.
* * *
Tiba di ujung utara bangunan kuno kerajaan itu, rombongan sepeda langsung disambut beberapa ekor kerbau bule keturunan Kiai Slamet. Anak-anak kecil bersama kedua orangtuanya begitu riang memberi makan rumput kerbau-kerbau asuhan Gunadi “Babeh” itu. Kerbau bule itu—betapapun lugunya—tetaplah menyimpan eksotisme terutama di malam 1 Sura. Kehadirannya sebagai cucuk lampah acara sakral keraton, telah membuktikan diri bahwa mereka mampu menyedot ribuan warga dari beribu penjuru desa dan kota. “Ia adalah simbol kesuburan,” kata seorang kerabat keraton Satrio Hadinagoro. Sejarah Sura memang ada yang berkisah tentang Karbala, sebuah kekejian politik yang telah memenggal leher cucu Nabi Muhammad SAW, Hasan dan Husain di balik pengkhianatan agama. Namun, Sura juga berkisah tentang harapan. 1 Sura menjadi amat sakral sebab kehadirannya menjadi awal catatan bagi manusia antara yang baik dan yang kelam. 1 Sura adalah sejarah perjalanan (hijrah) kaum muhajirin dari Mekah ke Madinah. 1 Sura adalah inspirasi jutaan orang untuk melakukan hijrah dari kegelapan menuju cahaya.
* * *
Tiba di tanah lapang alun-alun itu, aku tiba-tiba merasakan seperti setitik noktah di tengah ribuan manusia. Saat-saat seperti itu, aku selalu merasakan betapa diriku adalah bagian tak terpisahkan dari mereka, orang-orang kecil yang terus mencoba bertahan melawan ketidakpastian nasib. Aku sadar betapa diriku hanyalah orang kecil yang sejajar—atau bahkan jauh lebih kecil—dari mereka itu. Seperti juga di pasar-pasar tradisional di tepi jalan yang kumuh, di situlah kurasakan segala kepongahanku, gengsi sosialku, serta dunia mayaku runtuh. Aku nyaris tak memiliki kemampuan seperti mereka; tentang kematangan hidupnya, tentang pengalaman hidupnya, atau tentang ketegarannya. Dan pagi itu aku sungguh mendapatkan pelajaran hidup berharga bahwa Tuhan sesungguhnya selalu bersemayam di hati mereka...
Read More

Saturday, December 11, 2010

Jambret vs rencana nikah


Pemuda itu melangkah dengan kepala merunduk. Seragam biru tua bernomer 29 dan celana kolor masih membalut tubuhnya. Ia mencoba memalingkan mukanya ketika kamera wartawan membidiknya. Tak ada sepatah kata yang terucap dari bibirnya, selain rasa sesal. “Saya menyesal, Pak,” ujar dia di hadapan Kasatreskrim Klaten, AKP Edy Suranta S di Mapolres Klaten, Sabtu (11/12).
Darmadi, pemuda asal Sukoharjo Kota itu masih ingat betul hari Jumat (26/11) dua pekan lalu. Hari itu, dia dan calon istrinya semestinya duduk bersanding penuh bahagia di singgasana pernikahan. Namun, angan-angan itu tiba-tiba meruap begitu saja ketika dirinya ditangkap aparat kepolisian Klaten beberapa hari sebelum hari H pernikahannya. “Dia kami tangkap di rumahnya bersama kawannya yang juga penjambret,” kata Edy.
Darmadi, pemuda yang masih berusia 21 tahun itu memang mengakui bahwa dirinya telah empat kali melakukan aksi jambretnya. Bersama rekan setianya, Sutarman, ia sungguh terlatih memepet pengendara bermotor terutama kaum perempuan di tempat sepi. Ibarat tupai yang melompat ke sana kemari, Darmadi telah menjelajah di Kecamatan Juwiring, Trucuk, dan Polanharjo demi merampas tas dari pemiliknya. Kelihaiannya melompat mencari mangsa seakan kian tak bisa dihentikan ketika aparat kepolisian disangkanya tak mengendusnya. Ia bahkan mulai kian nekad ketika hari H pernikahannya telah di depan mata. “Saya nyari kerja nggak dapat-dapat. Padahal, mau nikah. Akhirnya, ketika diajak teman njambret, ikut saja,” akunya.
Darmadi mungkin lupa bahwa sepandai-pandai tupai melompat pasti akan jatuh juga. Dan serapat mungkin ia membungkus aksi nekadnya itu, lama-lama juga akan terendus. Alhasil, atas perbuatannya itu ia bukan saja terjatuh, namun juga tertimpa tangga. Calon isterinya, juga keluarganya serasa tertampar menahan malu tak terperikan mengetahui dirinya adalah seorang penjambret. “Sekarang, calon isteri dan keluarganya tahu semua. Mereka akhirnya memutuskan sepihak rencana pernikahan kami,” katanya pelan.
Darmadi, kini harus rela meringkuk di penjara Mapolres Klaten yang pengap. Ia bukan saja kehilangan calon istri yang lama ia damba untuk bisa mendampingi hidup serumah dalam suka atau duka itu. Namun, ia juga mulai merasakan hari-hari depannya yang terasa suram seperti tanpa harapan itu....
Read More

Bercanda dengan lahar Merapi demi sesuap nasi....


Hari masih gelap ketika Ny Partini terbangun dari tidur lelapnya. Pagi hari selepas sembahyang subuh, ia pun melangkah ke Kali Woro. Tak ada bekal yang ia bawa, selain sekup, keranjang, dan niat dalam hati untuk mencari sesuap nasi dari limpahan pasir Merapi. “Kalau tak ada hujan, bisa dapat dua rit sehari. Tapi, akhir-akhir ini hujan terus,” ujar Partini, warga Desa Talun Kecamatan Kemalang.
Jumat (10/12) siang itu, Partini memang kurang beruntung. Hujan yang tiba-tiba mengguyur deras, membuatnya harus menepi dan beristirahat di bibir Kali Woro. Padahal, ia bersama delapan perempuan penggali pasir lainnya belum genap mengumpulkan satu rit pasir yang telah dipesan. Dan di bawah gubuk reot penuh celah berlubang itulah, mereka pun menanti hujan reda sambil bercerita tentang pasir-pasir Merapi yang tersohor karena kualitas supernya. “Lumayanlah, hasilnya bisa untuk beli beras,” sahut Ny Jumini, pencari pasir lainnya.
Partini dan kawan-kawannya adalah potret perempuan perkasa dari lereng Merapi. Mereka tak berpangku tangan meski baru saja dilanda bencana. Mereka bangkit dan kembali memutar roda ekonomi keluarganya meski harus berkawan risiko. Setiap kabut pagi tiba, mereka selalu bergegas ke Kali Woro. Bersama delapan orang lainnya, mereka pun saling membahu menggali dan menaikkan pasir Kali Woro ke dalam bak truk terbuka. “Satu rit-nya dihargai Rp 170.000. Jadi, setelah kami bagi delapan, ya dapat sekitar Rp 21.000,” terang Jumini.
Uang sebanyak itu memang tak seberapa dibanding kerja keras mereka dan segala risikonya. Sebab, untuk bisa mengumpulkan satu rit pasir, mereka harus berangkat pagi buta. Jika hujan deras datang, mereka pun harus berhenti dengan menyimpan perasaan penuh waswas. “Kalau hujan, sering banjir lahar dingin. Kami pilih menjauhi Kali Woro agar truk tak kejebak,” terang Joko Pariyatno, sopir truk penadah pasir.
Perempuan-perempuan itu menggali pasir bukan semata dengan cucuran keringatnya. Namun juga dengan semangat hidup dan cinta kasihnya kepada keluarga dan anak-anaknya. Rasa cemas itu memang ada. Namun, siapa yang sanggup mencegah sebuah tekad untuk kembali bangkit setelah bencana Merapi itu lewat. “Dulu mereka itu hanya merumput. Namun, sejak berkah pasir Kali Woro meluap, ibu-ibu itu rela menjadi penggali pasir setiap hari. Kami hanya pesan agar tetap berhati-hati,” papar Kepala Desa Talun, Jumarno.
Read More

Wednesday, December 8, 2010

mimpi-mimpi indah...


DALAM suasana sepi, hatiku selalu larut terbawa sepi. Beginilah yang senantiasa kurasakan; hari pertama tiba di kota nan jauh dari purnama hati, rasa sepi itu selalu menyayat hati. Aku membayangkan dia saat ini tengah bergelut dengan setumpuk tugas-tugas kantornya. Dia di Kota Pahlawan. Aku di Kota Bengawan. Namun, hati kami tetap tak terpisahkan. Semoga sampai akhir hayat nanti...
* * *
Aku mengagumi dia dalam segalanya; talentanya, kecerdasannya, kelembutan, dan kejernihan hatinya. Dia yang kukenal empat tahun silam di sebuah panggung pementasan itu juga memiliki kesetian dan kejujuran yang tak pernah kuragukan. Dia bersahaja, tekun, namun tetap luas hati dan pikirannya.
Dia begitu istimewa di mataku. Nyaris tak kutemukan kekurangan dalam dirinya. Sebab, cinta kami selalu mengajari betapa kekurangan adalah kelebihan. Dan itulah keindahan cinta; setiap kelebihan selalu memendam kerinduan.
* * *
SETIA, demikian aku menyerunya. Nama itu sungguh indah, mencerminkan kesetian hatinya kepada jalan hidupnya. Aku mengikrarkan janji setia dengannya melalui cara yang sangat sederhana, yakni lewat selarik sms. Begitulah cinta kami; menjunjung tinggi semangat kesederhanaan. Selama dua tahun lebih, kami menguji kesetiaan itu. Kami sama-sama berjuang melawan ancaman kekalahan hidup hanya berbekal ikrar setia. Kami sama-sama memanjat pohon asa meski didera rasa rindu. Setia sama sekali tak pernah meragukan kesetianku, sama sepertiku yang tak pernah meragukan kesetiannya. Kami dianugerahi rasa saling percaya yang tumbuh dan berkembang jauh sebelum kami bertemu. Dan aku menghargai dia sebagai kaum hawa yang sejajar dengan kaum adam.
* * *
SETIA...kita selalu menanti saat-saat purnama itu tiba. Kita juga selalu menanti hari nan fitri itu segera datang. Juga hari bersejarah kita semoga kembali berputar. Lalu kita sama-sama merayakannya dengan cara kita masing-masing. Engkau, akan berkirim pesan pendek kepadaku. Begitupun aku, akan bercanda denganmu meski hanya lewat kata-kata. Sungguh, begitu sederhananya kita dalam merawat cinta ini. Dan tanpa terasa, telah tiga kali kita melewati malam-malam penuh kembang api itu. Terakhir kali, saat kita bertemu di tepi kota di sebuah kolam pemancingan, aku melihatmu kian matang. Usiamu memang empat tahun lebih muda dariku, namun cara pandangmu jauh lebih panjang dariku. Engkau membeberkan tentang masa depan kita kelak, namun engkau tak melupakan masa depan adik dan ibu tunggalmu; tentang kesehatannya, sekolahnya, tempat tinggalnya, juga hari senjanya.
* * *
SETIA....aku ingin mencintaimu dengan sederhana, seperti kata Sapardi dalam sajaknya. Kita pernah saling bercerita bahwa suatu saat nanti kita akan tinggal di sebuah rumah mungil di sudut desa. Lalu di pekarangan rumah belakang yang tak luas itu, kita bangun gazebo. Di terasnya, kau sendiri yang meminta akan ditata taman-taman bunga agar selalu sejuk. Kau pernah memintaku untuk membuatkan tiga kamar agar saudara-saudara kita yang sewaktu-waktu ingin berkunjung tetap bisa bermalam. Aku sungguh bahagia mendengar impianmu yang ingin tetap bekerja, tetap bisa beraktualisasi diri di lingkungan sosial, meski kita telah berumahtangga kelak. Engkau pernah mendamba jika anak pertama kita lahir seorang perempuan, maka engkaulah yang akan menyematkan sebuah nama di jiwanya. Aku sungguh bahagia ternyata kita sama-sama mendamba seorang anak yang lahir pertamakali ialah perempuan. Kita juga sama-sama tak menginginkan anak kita kelak sekolah di lembaga yang menerapkan pelajaran sehari penuh. Biarlah anak-anak kita menemukan dunia bermainnya sendiri tanpa dibebani setumpuk pelajaran. Biarlah anak-anak kelak kita tumbuh dan mencercap cahaya ilmu dengan cara yang alami, bukan dibonsai. Ah...sungguh indahnya mimpi kita itu. Semoga Tuhan memeluk mimpi-mimpi kita itu....aminnn...

Solo, 7 Desember 2010
Read More

Monday, December 6, 2010

Memenuhi janji ...


Aku telah menantinya penuh kerinduan. Senja itu diguyur hujan. Akhir-akhir ini, kotaku memang tak pernah absen disiram hujan. Kadang disertai angin kencang, kadang banjir bandang, kadang juga listrik turut padam. Tapi, belum pernah ada catatan dalam sejarah hidupku bahwa hujan mampu menciutkan nyaliku untuk menjemputnya. Seperti Sabtu (4/12) petang hari itu, dia pulang dari Kota Pahlawan untuk memenuhi sebuah janji. “Adik naik patas, Mas. Tapi, tetap banyak yang berdiri,” kata dia dalam selarik pesan pendek itu.
Aku meluncur ke perempatan jalan, tempat yang biasa jadi pemberhentian bus penumpang. Di sana, aku melihatnya menepi di teras toko menahan hawa dingin. Aku tersenyum, sebab dia sungguh nampak istimewa. Dengan balutan batik khas Kota Bengawan, purnama itu terlihat anggun. “Ayo naik. Ibu telah menanti di rumah,” kataku.
Kami pulang membelah hujan di bawah lindungan mantel. Sepanjang perjalanan itu, kami bersama-sama berbagi cerita dan bersenandung cinta. Kami diliputi rasa senang dan bahagia. Kami pulang untuk memenuhi panggilan hati. Kami pulang untuk menyongsong harapan. Itulah barangkali yang membuat perjalanan terasa indah, termasuk hujan yang kian deras petang itu. Tiba di sudut kota di simpang jalan, tiba-tiba kami merasakan keganjilan. Roda belakang motor kami terasa bergoyang-goyang. Lama-lama, pelegnya seperti menyentuh aspal.
“Oo..oo...” rupanya bocor.
“Di sana ada vulkanisir, Mas,” teriak abang becak dari kejauhan. Aku pun dorong kendaraan menepi. Hujan masih cukup tinggi. Irama kencang musik dangdut dari dalam gubuk vulkanisir kian menambah bising suasana.
“Bocornya di bagian dop-nya, Mas! Harus ganti ban,” teriak tukang bengkel itu dari gubuk reotnya.
“Ganti saja, Bang!” sahutku tak kalah kencang.
“Nih, pakai saja sepeda pancalku,” tawarnya.
“Untuk apa, Bang?” tanyaku.
“Beli ban motormu,” sahutnya.
“Lho??”
“Saya nggak jualan ban,” tegasnya.
“Asemmm!” batinku.

* * *

Esok hari, aku benar-benar mencatat peristiwa yang mendebarkan dalam sejarah hidupku. Bersamanya, kami mencoba meyakinkan kepada saudara-saudaranya bahwa kami adalah sepasang insan yang siap mengarungi bahtera kehidupan. Kami benar-benar tak menyangka bahwa perjalanan seharian itu, lidah dan hatiku telah mengucap sebuah tekad. “Insyallah, pertengahan tahun depan,” kataku.
Mereka menatap wajah kami penuh keyakinan. Tak ada secuil keraguan. Semua malah menegaskan, “Jika itu memang keputusan kalian, kami hanya bisa menitip doa restu!” sebuah jawaban indah mendarat di telinga kami. Kami semakin yakin bahwa tangga kehidupan itu memang telah dekat. Terbayang saat itu sebuah tanggungjawab besar, jalan yang panjang, berlubang, dan berdaki. Dan kami sadar bahwa memang itulah kehidupan kami nanti...

Pare, 6 Desember 2010.
Read More

Thursday, December 2, 2010

kisah religi : aku, kawan lamaku, dan masjid agung surakarta


Setelah lama bernazar, akhirnya kuputuskan untuk memulai perjalanan sunyi itu. Petang hari selepas salat Maghrib, kupacu kendaraanku di tengah rinai gerimis. Aku tiba di sebuah dusun kecil di tengah sawah. Dusun itu hanya berjarak sekitar sepuluh kilometer dari tempat singgahku sementara. Di sana seorang kawan lamaku masih seperti dulu; berperawakan kurus, selalu berbalut sarung dan tak lepas dari songkoknya. Dia menyalamiku layaknya saudara yang lama berpisah. Ia tak pernah mengutarakan harapan yang besar apalagi cita-cita muluk layaknya anak muda penuh gelora asa. Ia sudah merasa cukup jika bisa mengajak anak-anak kampung menghapal juz amma dan bermain rebana. Selebihnya, ia tetap ingin tinggal di kampungnya itu, mendampingi seorang kiai yang ia takzimi itu. “Yo wes ngeneki rutinitasku, Kang. Ngakeh-akehi solawat marang Kanjeng Nabi. Iku wes cukup. Arep lapo maneh,” serunya.
Perjumpaanku dengannya kala itu sungguh mengingatkanku pada seorang pemuda desa di tempat kelahiranku dulu yang setiap hari selalu menjadi juru azan di surau. Jangan dibayangkan suaranya sangat indah dan menggetarkan hati layaknya seorang muazin di layar kaca. Ia hanya memiliki pita suara pendek yang terdengar serak dan tak jelas mahraj hurufnya. Jika azan Subuh, terdengar dengan jelas bagaimana suaranya yang khas bangun tidur itu seperti ayam kluruk. Orang-orang kampung kerap menyindirnya. Namun, ia tak berkecil hati, apalagi berputus asa. Setiap tiba waktu salat Subuh, Dhuhur, serta Ashar—waktu yang paling sering dilupakan orang pergi ke surau—dialah yang paling bisa diharapkan untuk menyeru salat berjemaah di surau. Selebihnya—Magrib dan Isyak—ia memilih mengalah, sebab pada waktu-waktu itu surau sudah ramai orang-orang yang berebut azan.
* * *
Perjalanan memenuhi nazar itu kulanjutkan. Kali ini, gerimis telah mereda. Namun, hari semakin gelap. Kuputuskan untuk singgah sementara di sebuah kota. Aku lepas tas punggungku. Di sana, bekal pakaian dan segala kebutuhan perjalanan telah kusiapkan. Tak terkecuali bijih tasbih yang terbuat dari kayu stigi warna hitam gelap. Aku bergegas membaringkan tubuhku di alas lantai dan memejamkan mata selepas salat Isyak. Dalam tidurku, kutahan sekuat tenaga rasa lapar yang menyerangku. Aku telah berjanji untuk tak memasukkan seteguk air atau sebutir nasi sekalipun ke lambungku hingga esok petang kembali datang. Biarlah rasa lapar ini membakar jiwaku, nafsuku, dan ragaku. “Dalam perut yang kosong, suara bedug itu akan terdengar indah,” begitulah kata Rumi yang kuingat.
* * *
Azan Subuh terdengar dari daun jendela. Aku terbangun. Aku mulai merasakan suara bedug terdengar dari dalam perutku yang kosong. Namun, aku belum menemukan keindahannya seperti kata Rumi. “Mungkin, perjalanannku masih panjang,” batinku. Aku bergegas dan mengemasi perbekalanku. Aku kembali melanjutkan perjalanan. Kali ini aku memilih mengayuh sepeda. Aku susuri jalan raya yang terang, riuh, dan terik itu. Satu kendaraan dengan kendaraan yang lain seakan saling berebut jalan, saling meniup klakson penuh ketaksabaran. Semua merasa paling berhak melewati jalan itu. Semua beradu gengsi dengan mobil-mobil mewahnya. Mereka mungkin akan siap beradu mulut atau baku hantam andai mobil mereka bersenggolan sedikit saja satu sama lain.
* * *
Mentari mulai membujur di atas kepala. Aku tiba di sebuah masjid tua di sudut kota dengan peluh bercucuran. Mataku kurasakan seperti keluar beribu kunang-kunang. Kakiku melangkah namun seperti melayang. Aku benar-benar lelah. Dan aku pun langsung terkapar tak sadarkan diri begitu rebah di lantai serambi masjid itu. Sesekali saja, aku terbangun oleh gigitan semut merah yang merayap di lantai. Setelah itu, aku kembali terhempas dalam irama lelah nafas. Dalam tidurku itu, terlihat samar olehku selintas langkah kaki tertatih orang tua. Aku menyangka itu hanyalah halusinasi karena perutku yang kosong. Namun, ternyata bukan. Langkah tertatih orang tua itu rupanya benar adanya. Bukan dalam mimpiku. Aku melihatnya di barisan belakang shof salat. Kadang aku melihatnya bersandar pada dinding masjid, pada tiang masjid, dan pada pintu masjid. Bibirnya tak berucap apa-apa selain mengulum zikir. Jari-jarinya berirama memutar bijih tasbih. Jika tiba waktu salat, ia akan mengambil air wudhu di samping masjid dengan langkahnya yang tertatih itu.
* * *
Senja memerah di ujung barat. Bedug ditabuh disusul suara azan dari puncak menara. Derap langkah kaki pun berdatangan. Mereka kenakan mukena putih bersih bersinar memancarkan keanggunan seorang wanita salehah. Tak lama setelah diseru iqomah, lima barisan shof telah berjajar rapi. Aroma minyak kasturi, za’faron dan melati meruap di barisan shalat di masjid tua itu. Semua nampak berbaju rapi, wangi, dan wajah berseri. Dengan fasih dan merdu sekali anak muda itu memimpin upacara agung itu. Semua seperti terhanyut dalam irama salat hingga tak terasa telah tiba di penghujung doa. “Assalamualaikum warahmatullah...,” kutengok wajahku ke kanan dengan segenap doa bagi saudaraku di penjuru bumi di sisi kanan. Di sana, kulihat orang tua itu bersimpuh dengan kepala tertunduk. “Assalamualaikum warahmatullah...,” kutengok wajahku ke kiri dengan segenap doa bagi saudaraku di penjuru bumi di sisi kiri. Aku sungguh terkejut. Sebab, orang tua itu kembali kulihat bersimpuh masih dengan kepala tertunduk di sisi kiriku. Siapakah dia gerangan?
Read More

Tentang Blog

Ini hanya cerita tentang orang biasa. Tentang ketegarannya, kesabarannya, ketekunannya, kebesaran jiwanya, dan kepasrahan hidupnya kepada pemangku jagad ini.

Terpopuler

Designed ByBlogger Templates