Sunday, February 27, 2011

Cerita di sudut pasar sepeda kebo


Pasar itu berdiri di simpang jalan di samping tugu Desa Borangan, Kecamatan Manisrenggo, Klaten. Setiap pasaran Wage dan Pahing, puluhan lelaki berusia senja berdatangan satu persatu, mengayuh sepeda kebo tuanya yang telah dilap mengkilap. Mereka lalu saling bertukar cerita sambil menyeduh teh Ginastel (legi,panas, tur kentel-red) di kedai sederhana di tengah pasar itu. “Kalau ada yang beli, ya dilayani. Kalau tak ada, ya tak apa-apa. Yang penting kami bisa saling bertemu,” kata Lasno Subroto, sesepuh Paguyuban Dagang Sepeda Borangan (PDSB).
Pertemuan barangkali memang sebuah kenikmatan. Betapapun tak ada keuntungan materi yang memadai, namun anggota PDSB rela berdatangan dari berbagai kota dan daerah demi pertemuan itu. Di sana, mereka berbincang apa saja untuk mengisi hari senja mereka. Mulai soal pertanian, soal arisan, soal anak-anak mereka, hingga aneka sepeda kebo bermerek gazale hingga simplex. “Ketika Merapi meletus, pasar ini sempat sepi. Kami sempat kebingungan mencari tempat bertemu,” lanjut Subroto.

PDSB bukanlah sebuah pasar yang sengaja dirancang melalui kalkulasi matematis. Ketika ada transaksi jual beli yang deal, pengurus PDSB hanya memperoleh uang kas senilai Rp 3.000 sekadar uang jasa pembuatan kuitansi. “Padahal, dalam sehari belum tentu ada sepeda yang laku terjual atau terbeli,” terangnya.
PDSB barangkali hanyalah pasar yang cocok untuk ajang berkumpul dalam kehangatan persaudaraan. Ketika kebanyakan orang berlomba bergerak cepat dalam kesibukan kerja, pasar yang berdiri di sepetak lahan seluas 200 meter persegi itu justru menawarkan gerak pelan mengikuti irama senja. Mereka mengayuh sepeda dengan ketenangan, lega, dan damai di hati. “Kami ini kan sudah tua, sebagian adalah pensiunan. Jadi, kami ingin menikmati hari tua sambil bersepeda,” sahut Mardi, pengurus PDSB lainnya.
Kini, usia pasar sepeda kebo itu telah mencapai 31 tahun. Namun wajah dan suasananya tetap alami bersahaja; penuh para lelaki bertopi ala koboi. Kedai soto dan teh Ginastel bergula batu tetap begitu dari dulu. Di sampingnya selalu mangkal tukung cukur tradisional dan penjual barang onderdil bekas. Semua seakan menjadi saksi dari kisah pasar sepeda kebo di sudut desa yang selalu menawarkan suasana tempo dulu.
Belakangan, Camat Mansirenggo Gandung Wahyudi sempat mencemaskan eksistensi pasar sepeda kebo itu. Penyebabnya, pasar itu berdiri di tanah hak milik warga. Gandung yang juga pecinta sepeda kebo itu terpikir untuk menyiapkan tanah kas desa di samping pasar untuk merelokasinya. “Kalau pemilik tanah memintanya, mau tak mau pasar ini kan harus menyingkir,” katanya.
Read More

Tentang Blog

Ini hanya cerita tentang orang biasa. Tentang ketegarannya, kesabarannya, ketekunannya, kebesaran jiwanya, dan kepasrahan hidupnya kepada pemangku jagad ini.

Terpopuler

Designed ByBlogger Templates