Saturday, April 11, 2015

Islam Pribumi, Islam Desa, Islamku

Sebagai orang desa, aku cukup bangga berislam dengan tradisi keislaman orang desa yang sahaja dan apa adanya itu. Itulah islam yang menurutku membumi, mendarah daging, dan tak kehilangan ruangnya.

Biarlah aku berislam dengan kejawaanku, tanpa harus kearab-araban. Bagiku, Tuhan seperti matahari. Meski diseru dengan berbagai nama, namun sejatinya tetap satu dan diterima di banyak ruang. Itulah kenyataan bahwa Tuhan berkomunikasi dengan bahasa budaya yang dipahami hamba-Nya. 
Read More

Kita Manusia Sunnah, Mubah, Haram, atau Wajib?

Sang begawan itu bilang, jika tak bisa menjadi manusia wajib, paling tidak jadilah manusia sunnah yang selalu dirindukan sesama.

Jangan pernah menjadi manusia mubah yang sama sekali tak punya makna atas kehadirannya atau ketidakhadirannya di tengah-tengah pergumulan manusia.

Kita sebenarnya kerapkali memosisikan diri sebagai manusia makruh, yang lebih baik tak pernah lahir karena hanya akan menjadi beban bagi sesama.

Bahkan, ada pula yang memosisikan diri sebagai manusia haram yang sama sekali tak pernah diharapkan karena hanya membawa malapetaka dan ditakuti sesama.

Ini nasehat Budayawan Emha Ainun Nadjib. Suatu pagi, selepas salat Subuh, nasihat ini pernah saya sampaikan di hadapan ibu-ibu jemaah salat subuh... 
Read More

Friday, April 10, 2015

Pengalaman Saat Pengajian Cak Nun

Aku meluncur ke Jogja bersama motor tuaku. Usai maghrib menjelang isyak itu, jalan Solo-Jogja tak lagi padat merayap seperti hari-hari sebelumnya. Tak ada antrean panjang di simpul-simpul persimpangan jalan, atau parade klakson mobil penuh ketaksabaran. Sesekali saja, bola mata ini tak bisa menepis sepasang anak muda di mabuk asmara yang kian lengket di atas jok motor ketika lampu merah bangjo menyala.

Ah, gerimis yang turun senja itu sungguh menjadi awal yang indah bagi perjalanan malam ini. Ponselku berkali-kali berdering. Tapi, aku tak lagi peduli. Sepenting apapun pesan yang masuk, bagiku tetap tak mampu mengalahkan arti sebuah keselamatan di jalan raya. Aku tak ingin menambah deretan panjang angka kecelakaan di jalan raya hanya demi menuruti kemauan teknologi. Jalan ini sudah terlalu sering bersaksi betapa nyawa manusia tak lebih berharga dari seikat sayur di pasar.

Malioboro! Jalan itu masih lengang. Aku tak peduli. Aku terus meluncur, berbelok, menarik gas ke arah selatan dan terus meluncur berkilo-kilo meter lagi. Tibalah aku di ruas jalan setengah gelap. Lalu menikung ke kiri dan masuk ke sebuah desa. Di sana, terdengar lumat-lumat senandung shalawat yang tak lagi asing di telingaku. Suara itu terdengar meratap, namun bukan sesal. Suara itu sungguh penuh harapan, cinta, dan khouf, bukan keputusasaan.

Itulah suara Markesot, sosok imajiner dalam esai-esai budayawan mbeling asal Jombang. Dia sebut-sebut asma kanjeng Muhammad penuh kesungguhan tiada henti. Dia seakan ingin sekali mengaku dan menangis sejadi-jadinya di pangkuannya. “Kanjeng Nabi, saban hari engkau selalu mengunjungi kami, memperhatikan kami, tapi kami sama sekali tak pernah menyapamu,” katanya.

* * *

Hidup barangkali bukan hanya melintasi segala yang kasat mata atau yang rasional. Sebab, perasaan di ruang batin terkadang menjadi bahasa yang paling sublim. Ia tak terkatakan, tapi selalu mengetuk dan memanggil-manggil yang suci. Itulah hakikat kehadiran. Dan malam ini, aku hanya ingin merasakan kehadiran itu, di dalam lingkaran cinta Kanjeng Nabi itu.
Allohumma solli ‘ala Muhammad!!

Kasihan Bantoel Jogja, 17 September 2010
Read More

Nasehat untuk diri sendiri

Malam ini, ada seseorang memberiku petuah bijak demikian,"Kawan, apa pun yang anda inginkan, pikirkanlah hingga kesadaran batinmu benar-benar menikmatinya, sebab hanya demikianlah Anda akan benar-benar bisa menikmati yang Anda inginkan secara nyata. Ketahuilah, apa yang kita alami, yang berjalan sekarang ini, sesungguhnya adalah buah pikiran kita di masa lalu."

Aku termanggut atas nasehatnya itu. Mungkin memang demikianlah nasehat bijak. Aku lantas mencoba mengikuti petuahnya itu. Aku coba hadirkan keinginanku dalam pikiran dan kesadaranku sepenuhnya, baik dalam waktu senggang, dalam sepi, atau dalam sembahyang sekalipun.

Namun, rupanya aku selalu gagal membangun impian itu, meski lewat kesadaran sekalipun. Yang terlahir, justru sebuah khayalan dan lamunan kosong. Aku justru merasa menjadi manusia paling sombong yang tiba-tiba lupa bahwa setiap impian paling samar sekalipun sesungguhnya tidak ada daya dan kekuatan yang melahirkan, kecuali atas izin-Nya.
"Astaghfirullah..." tiba-tiba kesadaranku tersentak.
Bukankah aku telah menyekutukan-Nya dengan yang lain. "Ya, Gusti...ampunilah hamba, karena selalu merasa dan mengklaim segala kemurahan dan kasih sayang-Mu sebagai upadayaku. Beri daku kekuatan agar selalu mengingat bahwa diri-Mu lah sandaran sejatiku.Hasbunallah wanikmalwakil, nikmal maula wanikmannasiir..."
Read More

Wednesday, April 8, 2015

Aku dan Bekas Petinggi Jemaah Islamiyah


Tragedi itulah rupanya yang membuatnya gelisah. Peristiwa itu baginya adalah titik balik dari perjalanan panjangnya sebagai pentolan Jemaah Islamiyah sejak 1984.


ABDUL Rahman Ayub, itulah namanya. Aku bertemu dan berbincang dengannya suatu senja di Kota Bengawan pertengahan 2013 silam. Tak kusangka, pertemuan itu sangat membekas di hatiku. Sampai saat ini, ketika isu radikalisme digoreng menjadi santapan nikmat oleh sejumlah kelompok orang, sosok Ayub mendadak hadir dalam ingatanku.

Wajah Ayub menyiratkan keseriusan ketika berkisah kepadaku. Siapa sangka, lelaki sepuh dan berjenggot itu adalah bekas petinggi Jamaah Islamiyah. Ia bahkan menjadi salah satu orang orang yang paling diincar polisi Australia pascabom Bali I. Namun, gara-gara tragedi itulah, Ayub menemukan jalan terang. Pria kelahiran 5 Maret 1963 silam ini sadar sepenuh jiwa, pemahamannya tentang yang ia imani selama ini keliru.

Suatu malam, pertengahan Oktober 2002 silam, kisah Ayub, ia dikejutkan sebuah berita pada tayangan televisi. Saat itu, ia saksikan asap hitam membumbung tinggi di langit Legian, Kuta, Bali, 12 Oktober 2002. Sebuah bom berdaya ledak tinggi menghancurkan Paddy’s Pub dan Sari Club (SC). Lebih dari 200 nyawa melayang. Ratusan orang cedera dan terluka.

“Aku sudah menduga, itu pasti ulah Hambali, teman seangkatan saya di Afghanistan ,” kata dia.

Aku tertegun mendengar kisah-kisahnya. Wajah Ayub masih serius. Sekadar diketahui, Ayub pernah belajar di Akademi Militer (Akmil) Mujahidin Afghanistan Kamp Ijtihad Islami Abdul Rasul Sayaf.

Tragedi itulah rupanya yang membuatnya gelisah. Peristiwa itu baginya adalah titik balik dari perjalanan panjangnya sebagai pentolan Jemaah Islamiyah sejak 1984.

Perlahan ia lantas meragukan sepak terjang organisasi JI yang menurutnya telah keluar dari manhaj atau doktrin yang ia pelajari sejak awal. Pemahaman keislaman Ayub pun mulai perlahan tercerahkan setelah intens berdiskusi dengan para syekh asal Madinah yang membuatnya sangat terpukai oleh kecerdasan dan kealimannya.
“Para ulama dari Madinah tak sekadar hafal Alquran. Mereka bahkan hafal dan mengusasi tafsir tujuh kitab hadits termasyhur.”

Aku terpana ketika Ayub berkisah tentang kemahirannya membikin bom. Baginya, merakit bom adalah aktivitas yang paling gampang. “Merem pun, saya bisa bikin bom,” ujarnya.
Begitu pun soal doktrin, Ayub bahkan mengaku bisa mencuci otak anak remaja hingga antipati kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) hanya dalam waktu dua jam. Ayub cukup beberkan kepingan fakta sejarah NKRI hingga dalil-dalil agama yang intinya bahwa negara Indonesia ini kafir dan harus diganti.

“Apalagi orang awam, dikasih tulisan berbahasa Arab saja langsung dicium-cium. Padahal, bisa jadi itu iklan handphone,” ujarnya.

Ayub bergabung dengan JI ketika masih duduk di kelas II STM Boedi Oetomo Lapangan Banteng Jakarta. Di usia yang 17 tahun kala itu, Ayub ikut pengajian di salah satu masjid daerah Kramat Raya. Dari sanalah, lorong samar itu terbentang. Ia lantas mengenal Sulaiman Mahmud, komandan Darul Islam Aceh. Kemudian ia mengenal sejumlah petinggi Jamaah Islamiyah hingga ia dibaiat untuk setia di Solo 1984.

Setahun berikutnya, Ayub menempuh ilmu kemiliteran di Afghanistan selama lima tahun. Di sana, selain jago bertempur melawan Uni Soviet (Rusia), Ayub juga seorang pengajar Akmil para milisi JI pimpinan Osamah Bin Laden. Ia memiliki sejumlah murid asal Indonesia yang sudah “terkenal”, antara lain Imam Amrozy dan Imam Samodra.

Untuk menjadi seorang pengajar, kata Ayub, mereka harus diambil dari murid yang cerdas dan berbakat. Bagi murid yang dianggap kurang cerdas, akan dikembalikan ke tanah airnya. Aku masih ingat, Ayub sempat menyebut Hambali sebagai pelajar kurang cerdas. “Ia dipulangkan ke Indonesia gara-gara dianggap kurang cerdas itu,” katanya.

Lima tahun berikutnya, Ayub bergerak di Sabah, Malaysia, tepatnya di Sandakan, tak jauh dari Lahad Datu. Di sana, ia menjadi semacam penghubung atau kurir bagi mujahidin yang hendak berlatih ke Moro, Filipina, melalui jalur Malaysia. “Saya pernah mengirim Omar Patek, Abu Tolut dan banyak lagi,’’ ungkapnya.

Pada 1997-2002, Ayub lantas ditugaskan petinggi JI ke Australia. Alasannya, Ayub dinilai cukup mahir dalam berdakwah. Di sana, ia masih menjabat sebagai pentolan Jamaah Islamiyah (JI) divisi kekuatan ekonomi dan politik. Ia juga berdakwah dan memiliki murid cukup banyak. Salah satunya, bernama Jack Roche, imigran asal Inggris yang memeluk Islam karena dakwahnya. “Namun, dia ditangkap polisi lantaran merencanakan pengeboman Kedutaan Israel di Canberra.”


Ayub hidup mapan di Australia. Ia tak boleh bekerja, sebab segala kebutuhan hidupnya dicukupi oleh JI. Uang bulanannya saja saat itu berkisar Rp5 juta/ bulan. Belum uang transport pesawat, dan lain-lainnya. “Akses internet saat itu bagus. Saya sering berdiskusi dengan ulama Madinah sampai akhirnya tercerahkan,” paparnya
Read More

Monday, April 6, 2015

Sembahyang

Sama seperti lukisan kaligrafi yang menyimbol dalam identitas Islam, umat Nasrani memiliki salib sebagai salah satu identitas diri. Simbol dalam sejarah yang paling panjang sekalipun—mulai zaman primitif hingga zaman modern yang serba fiktif—akan tetap hadir. Sebab, simbol selalu mengejawantahkan kehadiran yang tak terjangkau. Ia akan selalu dilahirkan agar manusia bisa meraba.

Ini hanya sekelumit kisah tentang simbol dari seorang bapak yang kujumpai di suatu hari tanpa persengajaan sebelumnya.

“Sudah sembahyang, Mas?” tanyanya.
“Belum, Pak!”
“Di rumah saya saja. Keburu sore lho,” tawarnya.

Saya tak bisa mengelak. Diajaklah saya masuk ke dalam rumahnya. Di sana tak kutemukan simbol kaligrafi, salib, atau patung. Saya lega. Sebab, dari awal saya memang tak ingin tahu apa keyakinan atau agama bapak itu. Saya percaya hubungan kemanusiaan itu memang semestinya utuh, tulus, tanpa berjarak keyakinan yang berbeda. Saya hanya ingin mengetahui kebaikan bapak itu. Seorang yang mengajakku keliling naik kendaraanya, mampir ke warung makan, dan menawariku sembayang setelah menuntaskan pekerjaanku.

* * *

Tawaran sembayang itu memang sempat membuatku menarik konklusi bahwa bapak itu mungkin se-iman denganku. Saya pun bergegas menuju kamar mandi, menuntaskan hajat kecil, dan mengambil air wudhu. Di sebuah ruangan yang kusangka adalah musala kecil itu, aku khidmat merapal doa dalam hati. Aku himpun segenap kekuatan untuk mentakbirkan segala kebesaran-Nya lalu aku tundukkan segala kedha’ifanku, duniaku, dan kefana’anku.

“Allahu Akbar....”Aku angkat pandanganku ke haribaan-Nya. Aku baca segala janji yang kuhapal sejak kecil. Aku himpun hatiku agar sanggup menghadirkan kekhusu’an. Namun belum seberapa lama itu, tiba-tiba sepasang mataku menatap sebuah simbol salib tepat di depanku. Aku termenung sesaat. Siapakah gerangan yang di hadapanku itu. Simbol identitaskah? Simbol keyakinan yang berbedakah? Ataukah simbol Tuhan?

* * *

Lama aku tercenung, bertanya tentang ikhwal itu. Hatiku mengembara entah kemana? Aku pun melepas segala keangkuhan pemahamanku tentang sembahyang. Aku lantas belajar membaca kemauan-Nya. Tuhan, kata hatiku, mungkin sengaja mengajakku berlayar ke dasar samudera luas-Nya yang tak bertepi itu. Aku belajar pasrah, mencoba bersandar kepada keesaan-Nya. Aku pun ‘tersesat’ di samudera-Nya. Aku menyaksikan sungguh dalam haribaan-Nya, tak ada siapa-siapa lagi selain Dia. Bukan lagi kekhusu’an, tumakninah, pahala, atau perbedaan keyakinan yang berseliweran di hatiku.

* * *

Aku kembali hening. Ragaku mungkin sembahyang di hadapan salib itu. Namun, kehadiran Tuhan bisa di mana saja dan kapan saja. Bisa di salib, di masjid, di pura, di wihara, di hutan, di lautan, di gedung, di berbagai simbol, atau di kesunyian hati. Tuhan memang menjelma dalam setiap keyakinan para hamba-Nya yang beraneka rupa itu, namun pada hakikat Ia tetap satu! Esa!

Read More

30 Menit melepas rindu...

Perempuan bercadar itu berjalan bergegas sambil memeluk seorang anak Balita. Di belakangnya, seorang bocah dan perempuan setengah baya sambil menggendong anak Balita membuntutinya. Ketika tiba di depan pintu Pengadilan Negeri (PN) Klaten, langkah mereka tiba-tiba terhenti. Aparat kepolisian dari Polres Klaten, rupanya tak memberinya izin masuk ke PN. “Tolong, kami ingin masuk. Kami kangen suami,” kata Evi, perempuan bercadar dan berjubah serba hitam itu kepada petugas di PN Klaten, Kamis (24/3).
Evi hanya berdiri sesaat sebelum akhirnya kembali dengan perasaan kecewa. Ia tak bercakap banyak. Ia hanya mencemaskan anak Balita di pelukannya yang terus mencari tempat berteduh dari sengatan mentari siang itu. Sambil menyusuri trotoar bersama ketiga anak serta mertuanya itu, ia pun terus berharap semoga bisa bertemu suaminya yang kini dihadirkan sebagai saksi mahkota dalam persidangan perkara terorisme. “Ibu itu mencari Roki Aprisdianto, suaminya yang kini menjadi tersangka teroris,” kata aparat kepada wartawan.
Roki Aprisdianto, 29, adalah salah satu tersangka teroris yang dibekuk Tim Densus 88 akhir Januari 2011 bersama rekannya di Klaten. Ketiga korp burung hantu menciduknya, warga Desa Tegalwaru, Kecamatan Baki, Sukoharjo itu meninggalkan seorang istri dan ketiga anaknya yang masih kecil-kecil. Sejak peristiwa penangkapan itulah, Evi seperti kehilangan separuh jiwanya. Evi tinggal di Sukoharjo sebagai ibu rumah tangga yang harus membesarkan ketiga anaknya. Sementara, Roki mendekam di ruang tahanan Mabes Polri Jakarta sebagai tersangka teroris.
Perpisahan barangkali memang sungguh menyakitkan. Wajar, jika harapan Evi langsung terbit begitu mendengar kabar bahwa suaminya bakal dihadirkan di PN Klaten. Bersama keluarga dan mertuanya, Evi pun berangkat dari Sukoharjo meski menyewa kendaraan tetangganya. “Kami datang jauh-jauh hanya untuk melihat suami saya,” katanya setelah akhirnya dipersilakan aparat untuk bertemu suaminya di PN Klaten.
Evi dan Roki akhirnya bertemu untuk kali pertama setelah perpisahan itu. Di sebuah ruangan Jaksa PN Klaten, Evi melepas rindu dan melepas cadarnya seperti tak lagi menghiraukan juru kamera atau aparat bersenjata lengkap. Selama 30 menit, Roki dan Evi telah menghabiskan waktu dalam canda tawa. Mereka mencoba melupakan sejenak beban di pundaknya bersama ketiga anaknya yang masih lucu-lucu itu. Pukul 13.30 WIB ketika jam kunjungan telah habis, Roki dan Evi kembali berpisah. Entah untuk berapa lama lagi...

Read More

Tentang Blog

Ini hanya cerita tentang orang biasa. Tentang ketegarannya, kesabarannya, ketekunannya, kebesaran jiwanya, dan kepasrahan hidupnya kepada pemangku jagad ini.

Terpopuler

Designed ByBlogger Templates