“Ayah pasti menangis seperti tak rela melepas buah hatinya jauh darinya. Namun, ia usap sendiri air matanya dan selalu menutupi tangisnya itu seraya berusaha tegak menjadi seorang ayah, “Pergilah, Nak! Kejarlah mimpimu!”
KINI, baru kusadari kehadiran sang ayah dalam sebuah keluarga sungguh begitu berarti. Seperti anggota tubuh, keluarga tanpa ayah mungkin tak ubahnya tubuh tanpa kepala. Keberadaannya, betapa pun lemahnya tetaplah memberi ruh dan wibawa. Ia bukan sekadar pemimpin, namun juga melindungi harkat dan martabat keluarga. Mungkin dengan tangannya, kharismanya, atau nama besarnya yang memancar. Ayah bukan harus dimaknai sebagai penguasa yang serba bisa. Ia menjadi sangat berarti karena eksistensinya adalah simbol keutuhan keluarga. Ia adalah simbol perjuangan tanpa letih. Ia adalah sayap yang terus mengepak. Dan ia terus melambungkan setiap asa anak-anaknya ke angkasa tanpa lelah.
* * *
Malam ini, lembaran demi lembaran kenangan foto ayahku kembali hadir. Ia kusaksikan berterbangan dalam screen saver komputer. Meski rambutnya telah memutih, namun tubuhnya terlihat masih segar bugar. Dua tahun silam, di usianya yang kian senja itu, langkah kakinya mulai tertatih. Ketika waktu terus merambat, rasa sakit itu menjalar ke seluruh tubuhnya hingga membuatnya tak berdaya sama sekali selain hanya terbaring di dipan pembaringan. Setiap pagi hari tiba, ayahku selalu tertekur di teras rumah di kursi roda. Ia pandangi setiap aktifitas orang-orang kampung yang hilir mudik ke pasar, ke kantor-kantor, ke sekolah-sekolah, atau ke mana saja rimba raya membawanya. Terkadang, air matanya berlinang sendiri dan sesaat kemudian terdiam lama. Ia selalu terkenang kawan-kawanya yang kini telah tiada. Ia sadar bahwa kelak suatu hari ia juga akan menyusul kawan-kawan sebayanya itu. Dalam kata-kata yang susah dipahami, terkadang dia bertanya,
“Kapan, maut akan menjemputku?”
“Ssttt…jangan bilang begitu, Ngger. Tak baik,” kata simbokku menasihati ayah.
Mbokku sendiri hingga kini masih tegak berdiri dan kenes bicaranya. Kegesitanya setiap subuh berjalan dari rumah ke mesjid membuat orang-orang kampung tak satu pun yang mencemaskan kesehatannya. “Mbokmu itu kayaknya ditakdirkan usianya panjang, Le. Adiknya-adiknya saja sudah tiada, tapi Mbokmu masih kuat cari kayu bakar sendiri,” kata tetanggaku.
* * *
Setahun lalu, ayahku mulai kerap mengigau. Ia juga mulai mengalami sakit amnesia. Setiap hari, disebut-sebut nama anak-anaknya dalam lelap tidurnya. Ia mungkin begitu mendamba keempat anaknya bisa berkumpul dalam dekapannya seperti dahulu kala ketika masih kecil-kecil.
Namun, ibuku selalu membujuk bahwa anak-anak akan pulang besok pagi. “Sekarang sudah malam dan waktunya tidur,” kata ibuku. Ayahku pun langsung terdiam dan tak lagi menyebut-nyebut anaknya. Dia pun berharap agar pagi hari segera tiba dan lekas menyambut kedatangan anak-anaknya seperti kata ibuku itu.
Esok hari, ketika aktifitas pasar dan jalan raya mulai menggeliat, ayahku sudah menanti di teras rumah di kursi roda. Seperti biasa, ia pandangi setiap aktifitas orang-orang kampung yang hilir mudik ke pasar, ke kantor-kantor, atau ke sekolah-sekolah. Namun, anak-anaknya yang ia nanti selama ini ternyata tak kunjung datang. Ayahku mungkin kecewa, karena yang datang bukanlah anak-anaknya, tapi rasa sepi yang terasa menyayat hati.
* * *
Kakakku nomer dua bermimpi gigi atasnya tanggal. Aku bermimpi ayah jatuh dari dipan. Bulekku juga bermimpi ayah tiba-tiba datang ke rumah saudara-saudaranya untuk berpamitan pulang. Seluruh keluarga merasakan ada firasat kurang enak. Mereka lantas menjenguk ayahku secara tiba-tiba, termasuk aku tekadkan pulang juga dari tanah rantau. Sungguh, ada kebahagiaan yang terpancar di wajah ayahku ketika melihat anak-anaknya pulang di akhir pekan bulan itu. Semua keraguan dalam firasat mimpi itu terhapus sudah. Dan ayahku, masih sehat bugar. Seluruh anak-anaknya menemaninya. Namun, akhir pekan ternyata terasa amat singkat seperti hendak merebut kembali keceriaan ayahku. Semua anak-anaknya pun harus pamitan. Inilah yang kembali membuat ayahku merasa ada yang tercerabut hilang dari sisi kanan kirinya. Saat seperti ini adalah saat yang paling memberatkan. Ayah pasti menangis seperti tak rela melepas buah hatinya jauh darinya. Namun, ia usap sendiri air matanya dan selalu menutupi tangisnya itu seraya berusaha tegak menjadi seorang ayah, “Pergilah, Nak! Kejarlah mimpimu. Ayah tak bisa memberimu apa-apa, selain doa,” ujarnya terbata-bata. Semua hanya bisa melambai tangan selamat tinggal...
* * *
Kini, baru aku sadari ternyata sebait doa ayah itu adalah doa terakhir kalinya kepada anak-anaknya. Dia sudah pamitan kepada saudara-saudaranya dan semuanya meski lewat isyarat mimpi. Dia tak meninggalkan warisan apa-apa, selain nilai-nilai cinta…
Solo, 16 Juli 2009 Pukul 22.20 WIB