Tragedi
itulah rupanya yang membuatnya gelisah. Peristiwa itu baginya adalah titik
balik dari perjalanan panjangnya sebagai pentolan Jemaah Islamiyah sejak 1984.
ABDUL Rahman Ayub, itulah namanya. Aku bertemu dan
berbincang dengannya suatu senja di Kota Bengawan pertengahan 2013 silam. Tak
kusangka, pertemuan itu sangat membekas di hatiku. Sampai saat ini, ketika isu
radikalisme digoreng menjadi santapan nikmat oleh sejumlah kelompok orang,
sosok Ayub mendadak hadir dalam ingatanku.
Wajah Ayub menyiratkan keseriusan ketika berkisah
kepadaku. Siapa sangka, lelaki sepuh dan berjenggot itu adalah bekas petinggi
Jamaah Islamiyah. Ia bahkan menjadi salah satu orang orang yang paling diincar
polisi Australia pascabom Bali I. Namun, gara-gara tragedi itulah, Ayub
menemukan jalan terang. Pria kelahiran 5 Maret 1963 silam ini sadar sepenuh jiwa,
pemahamannya tentang yang ia imani selama ini keliru.
Suatu malam, pertengahan Oktober 2002 silam, kisah Ayub,
ia dikejutkan sebuah berita pada tayangan televisi. Saat itu, ia saksikan asap
hitam membumbung tinggi di langit Legian, Kuta, Bali, 12 Oktober 2002. Sebuah
bom berdaya ledak tinggi menghancurkan Paddy’s Pub dan Sari Club (SC). Lebih
dari 200 nyawa melayang. Ratusan orang cedera dan terluka.
“Aku sudah menduga, itu pasti ulah Hambali, teman
seangkatan saya di Afghanistan ,” kata dia.
Aku tertegun mendengar kisah-kisahnya. Wajah Ayub masih
serius. Sekadar diketahui, Ayub pernah belajar di Akademi Militer (Akmil)
Mujahidin Afghanistan Kamp Ijtihad Islami Abdul Rasul Sayaf.
Tragedi itulah rupanya yang membuatnya gelisah. Peristiwa
itu baginya adalah titik balik dari perjalanan panjangnya sebagai pentolan
Jemaah Islamiyah sejak 1984.
Perlahan ia lantas meragukan sepak terjang organisasi JI
yang menurutnya telah keluar dari manhaj atau doktrin yang ia pelajari sejak
awal. Pemahaman keislaman Ayub pun mulai perlahan tercerahkan setelah intens
berdiskusi dengan para syekh asal Madinah yang membuatnya sangat terpukai oleh
kecerdasan dan kealimannya.
“Para ulama dari Madinah tak sekadar hafal Alquran.
Mereka bahkan hafal dan mengusasi tafsir tujuh kitab hadits termasyhur.”
Aku terpana ketika Ayub berkisah tentang kemahirannya
membikin bom. Baginya, merakit bom adalah aktivitas yang paling gampang. “Merem
pun, saya bisa bikin bom,” ujarnya.
Begitu pun soal doktrin, Ayub bahkan mengaku bisa mencuci
otak anak remaja hingga antipati kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) hanya dalam waktu dua jam. Ayub cukup beberkan kepingan fakta sejarah
NKRI hingga dalil-dalil agama yang intinya bahwa negara Indonesia ini kafir dan
harus diganti.
“Apalagi orang awam, dikasih tulisan berbahasa Arab saja
langsung dicium-cium. Padahal, bisa jadi itu iklan handphone,” ujarnya.
Ayub bergabung dengan JI ketika masih duduk di kelas II
STM Boedi Oetomo Lapangan Banteng Jakarta. Di usia yang 17 tahun kala itu, Ayub
ikut pengajian di salah satu masjid daerah Kramat Raya. Dari sanalah, lorong
samar itu terbentang. Ia lantas mengenal Sulaiman Mahmud, komandan Darul Islam
Aceh. Kemudian ia mengenal sejumlah petinggi Jamaah Islamiyah hingga ia dibaiat
untuk setia di Solo 1984.
Setahun berikutnya, Ayub menempuh ilmu kemiliteran di
Afghanistan selama lima tahun. Di sana, selain jago bertempur melawan Uni
Soviet (Rusia), Ayub juga seorang pengajar Akmil para milisi JI pimpinan Osamah
Bin Laden. Ia memiliki sejumlah murid asal Indonesia yang sudah “terkenal”,
antara lain Imam Amrozy dan Imam Samodra.
Untuk menjadi seorang pengajar, kata Ayub, mereka harus
diambil dari murid yang cerdas dan berbakat. Bagi murid yang dianggap kurang
cerdas, akan dikembalikan ke tanah airnya. Aku masih ingat, Ayub sempat menyebut
Hambali sebagai pelajar kurang cerdas. “Ia dipulangkan ke Indonesia gara-gara
dianggap kurang cerdas itu,” katanya.
Lima tahun berikutnya, Ayub bergerak di Sabah, Malaysia,
tepatnya di Sandakan, tak jauh dari Lahad Datu. Di sana, ia menjadi semacam
penghubung atau kurir bagi mujahidin yang hendak berlatih ke Moro, Filipina,
melalui jalur Malaysia. “Saya pernah mengirim Omar Patek, Abu Tolut dan banyak
lagi,’’ ungkapnya.
Pada 1997-2002, Ayub lantas ditugaskan petinggi JI ke
Australia. Alasannya, Ayub dinilai cukup mahir dalam berdakwah. Di sana, ia
masih menjabat sebagai pentolan Jamaah Islamiyah (JI) divisi kekuatan ekonomi
dan politik. Ia juga berdakwah dan memiliki murid cukup banyak. Salah satunya,
bernama Jack Roche, imigran asal Inggris yang memeluk Islam karena dakwahnya.
“Namun, dia ditangkap polisi lantaran merencanakan pengeboman Kedutaan Israel
di Canberra.”
Ayub hidup mapan di Australia. Ia tak boleh bekerja,
sebab segala kebutuhan hidupnya dicukupi oleh JI. Uang bulanannya saja saat itu
berkisar Rp5 juta/ bulan. Belum uang transport pesawat, dan lain-lainnya.
“Akses internet saat itu bagus. Saya sering berdiskusi dengan ulama Madinah
sampai akhirnya tercerahkan,” paparnya