Monday, April 7, 2008
catatan dari sudut kampus IV
--EMPAT—
Langgar Pers Kampus, Rabu 25 Februari 2004
Aku bisa membaca pikiran dan kemauannya. Seorang wanita diri, akan mencoba untuk tak menjatuhkan harkat dan harga dirinya di hadapan laki-laki. Itulah wanita yang terdidik dan terhormat. Sehebat apapun keinginannya untuk dikasih sayangi dan diperhatikan, dia akan berusaha untuk tak membeberkan di hadapan laki-laki itu. Naluri kewanitaannya yang bernama malu akan terus menyelimutinya. Dari kata-katanya yang terucap dan beberapa baris tulisan ungkapan hati, jelas terlihat bahwa dia sangat mendamba seorang yang dengan sepenuh hati menyayanginya. Ya, ia sangat mengharap itu.
Aku yakin, hatinya mulai bergemuruh, kasak-kusuk, merenungkan sang pujaan hatinya. Dia akan terus menunggu gayung dari lelaki itu dan melihat ketulusannya.
Dia ingin diperhatikan. Tak ingin diduakan, meski di benaknya terlintas bayangan, “Bagaimana jika lelaki itu meninggalkan diriku karena kepasifan sikapku?”
* * *
Rabu malam, 25 Februari 2004
Aku sedikit kecewa. Ternyata dia masih memendam keraguan dan ketidakpercayaan padaku. Aku sungguh tak tahu. Apakah ini memang watak seorang wanita yang selalu menanyakan kesetiaan. Mengejar dan terus mengorek hingga terobati kegelisahannya.
Sore tadi, buku harianku sedikit bisa membelokkan jalan fikirannya yang “kacau” itu. Semoga saja lewat goresan-goresan tintaku selama ini, mampu mendamaikan pertikaian batinnya.
Oh, iya, usai membaca buku harianku masa silam, ternyata ada perubahan sikap darinya. Ia menjadi terbuka dan sedikit percaya padaku. Ia juga curhat. Catatan hariannya ia sodorkan padaku agar aku mengetahui masa lalunya. Rapi dan bagus tulisan tangannya. Sepertinya ia punya bakat dalam kecermatan, sebagaimana layaknya wanita. Aku sedikit lega, karena ia ungkapkan rasa cinta itu dalam tembangnya Inka Christi, Gambaran Cinta.
* * *
Kamis Sore, 26 Februari 2004
Lama sudah aku tak duduk manis di bangku perkuliahan. Aktifitasku di pers
kampus yang tak kenal schedule, ternyata berdampak buruk. Kuliahku jadi berantakan. Banyak mata kuliah yang kutelantarkan, alias bolos. Nilai IPku anjlok drastis. Semula keluarga di rumah boleh berbangga lantaran IPku jauh di atas 3 koma sekian. Kini, merosot jauh di bawah 3. Bahkan sudah sangat mengkhawatirkan. Mendekati angka dua. Mengerikan!
Ingin rasanya aku tertawa sendiri melihat kegiatan belajar mengajar di kampus. Jenuh. Monoton. Tak ada hentakan-hentakan yang membangkitkan imaji dan emosional. Nggak kreatif! Model perkuliahannya laksana cangkir yang mulutnya menganga siap dijog air ceret. Dosen memberi. Mahasiswa menerima. Dosen aktif mengoceh. Mahasiswa pasif mendengar.
Padahal hentakan-hentakan itu sangat dibutuhkan untuk memberikan rangsangan. Ah, mengapa kondisi memprihatinkan ini terus saja berlangsung? Aku yakin, pemandangan aneh yang dianggap wajar di kampus ini juga menjadi keresahan banyak orang. Sayang, mereka yang berjiwa revolusioner tak semuanya punya ambisi untuk ke sana. Untuk merubah tatanan yang salah urus ini. Sayang, idealismenya hanya mengawang-uwung.
* * *
Jum’ at, 27 Februari 2004
Akankah kesibukan-kesibukan teknis di pers kampus melenakanku? Menyeret dan memaksaku untuk tak meluangkan waktu dan pikiran agar lebih menguatkan wacana keilmuan? Sudah beberapa pekan dan bulan ini, hobiku melahap buku terhenti. Penulisan peristiwa-peristiwa internal kampus lebih banyak menyita dan menguras energiku di hadapan mesin yang bernama komputer. Kurasa ada yang mencair dan semacam tak kental lagi. Dan tak terasa pula mulai ada pergeseran dalam diriku. Tak tahu, menggeser ke arah positif atau sebaliknya? Tapi biarlah. Aku yang memang harus pandai-pandai membagi waktu, meski yang kerap kali terjadi adalah terseok-seok.
* * *
Jum’at sore, 27 Februari 2004
Rasa sayang terkadang justru datang dari pihak luar. Rasa itu terus terbangun sedikit demi sedikit hingga menjelma bangunan cinta yang kokoh. Tak pernah aku bayangkan jika perjumpaanku dengan seorang yang sama sekali asing di hatiku, membuat sosok yang bersemayam di hatiku menjadi lebih unggul, mulia dan kharismatik. Banyaknya sinar rembulan yang bergiliran menampakkan sinarnya, menjadikanku semakin luas dan lapang menatap gemerlap dan remang-remangnya cahaya yang menggiurkan. Ah, kau Indani, semoga aku mampu menyayangimu selalu.
[Saat keluar dari ruang kelas, mendadak seorang mahasiswi tak kukenal menyapaku. Ia menanyakan namaku, kelasku, asalku dst. Ia anggun, sayang terlalu agresif]
* * *
Sabtu, 28 Februari 2004
Terasa sunyi sekali hatiku hingga pada muara yang paling dasar. Hanya rengekan tangis yang kuratapi dalam hening do’a. Setelah terjangan kuat dari kawanku, kini terjangan jauh lebih dahsyat menghantamku. Dan aku hampir terkapar putus asa kala
sekejap singgah di ruangan pers kampus itu. Aku merindukan-Nya. Ingin aku mendekap-Nya. merasakan belaian lembut-Nya. Ingin sekali!
Tuhanku, kasihani hamba. Hamba seperti busa di laut yang setiap saat terhempas badai.
* * *
Ahad, 29 februari 2004
Ada suatu hal yang sangat menarik di petang itu. Adalah Abah, dengan gaya khasnya menjadi nara sumber dalam percakapan yang mengalir nikmat di sebuah angkringan. Terasa damai sekali, meski penuh isyarat makna. Indani pun tak mau telat memanfaatkan moment itu. Sindiran-sindiran halus dan mengena antara aku denganya menjadi bumbu percakapan yang mengasyikkan malam itu. Sementara Yuhana dan Abayo juga asyik dengan percakapannya sendiri.
Aku akan terus untuk mencoba membaca kemauannya. Seorang wanita kadangkala bersikap jual mahal serta tak sudi menjadi obyek. Ia lebih nyaman jika ada seorang yang memperhatikan dan melindunginya. Di sisi lain hatinya sering berbohong agar jangan mengejarnya lagi. “Kau pasti akan menyesal kelak,” itu senjata ancamannya. Padahal yang diinginkan sebenarnya adalah, “Ayo kejar aku lebih jauh lagi.”
Sampai detik ini aku tetap tak mengerti akan sikapnya. Memang sebuah jawaban, bagiku tidak selamanya menunjukkan suara hati yang hakiki. Bisa saja itu sekedar kamuflase. Itulah sebabnya aku tak berani menarik suatu kesimpulan.
Tapi apakah selamanya aku terombang-ambing dalam lautan kebimbangan dan ketidakjelasan arah. Dan barangkali yang paling menyakitkan adalah ketika meletus rasa kecewa, setelah mengetahui ternyata selama ini hanya dipermainkan dengan sia-sia.
Tapi apakah sebenarnya ada sesuatu yang sia-sia di dunia ini? Bukankah setiap peristiwa selalu meninggalkan jejak dan kenangan tersendiri.
Tuhan aku sudah terlanjur bermain dengan bara api. Jika tak tahu arah, maka terbakarlah daku yang malang ini.
* * *
Senin, 1 Maret 2004
Kegelisahan merambat lambat. Namun pasti. Rasa itu mengarah ke kecewaaan. Keragu-raguannya selama ini kian hari kian tak terbendung. Keraguan itu menjelma menjadi raksasa yang menakutkan. Aku yang dengan sepenuh hati mencoba untuk mencintaimu, mulai sedikit demi sedikit meragukan kesungguhanmu. Aku mencoba untuk tak peduli atas sandiwara yang kau mainkan. Aku sudah terlanjur basah kuyub. Akankah engkau menyakitiku dengan ungkapan-ungkapanmu yang semakin meremang itu? “Areta, aku takut mencintaimu. Aku takut menyakiti perasaanmu,” itulah kata-katanya yang terus membuatku gelisah dan bingung.
* * *
Senin, 20.00 WIB. 1 Maret 2004
Mengapa malam ini rembulan enggan menampakkan kelembutan cahayanya? Sungguh, aku tak mengerti.
Indani, aku bukanlah seorang yang mendagangkan cinta. Cinta yang hanya meraup keuntungan-keuntungan picisan. Setiap gerak dan langkah selalu menimbang-
nimbang antara untung dan rugi. Pada muara akhirnya setiap keputusan pun akan berkiblat kepada kaidah untung-rugi. Manusia semacam itu tidak mampu menatap kesucian dan keagungan cinta. Dia tak mampu menangkap esensinya. Hanya lantaran urusan yang remeh-temeh, instrumental, dan duniawiyah, ia akan menjadikan cinta sebagai tumbal. Wahai jiwa-jiwa yang kerdil, kerdil karena ulahmu sendiri, tak kusangka keteguhan hatimu begitu mudah berpaling.
Bukankah semestinya karena cinta kita terbang menggapai keluhuran budi. Bukankah semestinya karena cinta kita harus berpijak, melangkah dan menempuh segala badai dan resiko. Cintalah yang semestinya sebagai penggerak utama untuk mengobarkan api semangat. Ia harus mampu mengubah jati diri dari egois menjadi lebih sosialis, humanis. Dari individualis menjadi manusia universal dan spiritual.
Sepulangku dari kos Indani, kegelisahan itu merundungku hingga aku tergolek tak berdaya di langgar pers kampus. Menjelang Ashar, tak ada tanda-tanda kebangkitan. Alam pikiranku masih bergelanyutan ke sana-kemari hingga memecah konsentrasiku.
Masih di hari yang dirundung kegelisahan. Sore itu latihan teater juga senasib denganku. Lesu. Tak bersemangat. Ada kebekuan yang menyelimuti hati kawan-kawan. Akibatnya, sore yang murung itu menjadi ajang pembantaian dan makian. Sutradara yang biasanya cengegesan, tiba-tiba menjelma menjadi mahluk berwajah dingin. Menakutkan. Tatapan matanya tajam. Omongnya sekecap, tapi menohok dalam. Kami pun menciut. Tak berani angkat kepala. Pun angkat suara.
Tapi, setiap cerita tragis memang kerapkali menemukan celah yang tersembunyi. Begitu juga tragedi yang menimpa di senja itu. Robby, si asisten sutradara, tiba-tiba melempar usulan yang radikal. “Jalan-jalan ke Malioboro saja!” Ya, itulah usulan segar yang mencuat yang spontan menggugah rasa. Seketika terlihat dengan jelas perubahan raut wajah kawan-kawanku; Sumringah dan kegirangan! “OK. Malam ini kita habiskan di Malioboro!” teriak kami kompak. Kulirik, sutradara dan punggawa-punggawanya ikut tersenyum.
Mungkin ini takdir Tuhan. Ketika kami menyusuri jalan Adi Sucipto, tanpa diundang tiba-tiba benda cair dari langit mengguyur Jogjakarta. Tapi jangan anggap kami manusia robot yang miskin inspirasi. Hujan tak membuat surut tekad kami. Hujan boleh mengguyur kami, tapi semangat berlatih kami pantang menyerah.
Adalah Galeria, sebuah mall raksasa berdiri gagah di jantung kota. Bangunan yang berada persis di sudut perempatan jalan raya itu menjadi sasaran kami setelah menanti hujan tak kunjung reda. Ya, di sanalah kami membuang rasa suntuk. Di pusat perbelanjaan orang berkantong tebal itulah kami berlatih teater. Di pusat halusinasi dan tempat orang mengobati dahaga akan konsumtifisme itulah kami membaca puisi bersama, mengahafal naskah bersama dan ngamen bersama.
Semua mata tertuju pada kami. Mengelilingi kami, sosok manusia-manusia yang mungkin dianggap aneh di mata mereka. Tak punya rasa malu. Berteriak semaunya, bernyanyi sekenanya, berekspresi senalurinya.
* * *
2 Maret 2004
Selasa pagi. Sudah satu minggu aku bersamanya, bertemu dalam suasana yang lain dari yang lainnya. Kali ini Indani memintaku untuk datang di tempat yang menjadi sejarah bisu pertemuan awal kami, samping Hall Kampus.
Terkuak sudah kegelisahan-kegelisahannya selama ini. Kegelisahan yang telah membuat sikapnya menjadi sangat absurd kepadaku. Pagi itu dia berterus terang kepadaku. Dengan nada terbata-bata, dia mengatakan,
“Areta, aku tak ingin menyakiti perasaanmu.”
“Aku tak sanggup membalas cintamu.”
“Aku akan meninggalkanmu kelak.”
“Itulah yang aku takutkan selama ini.” demikian berondongan kalimat yang terucap di hadapanku. Aku berusaha tetap tenang. Berusaha menjadi pendengar yang baik.
Maka kami pun mulai lebih intim membicarakan kegelisahan yang meradangnya. Berharap ada titk temunya. Kami juga sudah tak menghiraukan lalu lalang mahasiswa yang mulai ramai. Setelah terjadi percakapan yang lama dan dalam, kuketahui ternyata ia terpenjara dalam kungkungan tradisi kolot yang kuat. Dijodohkan!
“Areta, apakah engkau masih tetap pada pendirianmu?” aku menganggukan kepala penuh keyakinan dan penuh tatapan.
“Meski, usiaku di atas usiamu?!”
“Ya!”
“Dengan segala resikonya?!”
“Ya!” jawabku mantap.
Jawaban yang kuberikan penuh keyakinan itu akhirnya mampu mengurangi beban-beban hatinya selama ini. Raut wajahnya saat itu seketika cerah. Senyumnya sedikit mengembang, meski terasa masih ia sembunyikan.
“Indani, aku ingin berguru pada kesetiaan,” itulah kata dalam hatiku yang kupendam dalam-dalam. Yang tak ingin kuucapkan di hadapannya. Tapi kelak ingin kuwujudkan.
* * *
Rabu, 3 Maret 2004
Indani sedikit memperoleh tambahan kekuatan dari dalam. Paling tidak, aku sudah tak menjadi beban pikirannya. Sore, bakda Maghrib itu dia bersedia kuajak jalan-jalan mengenang masa lalu.
* * *
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment