Sabtu wage di pagi hari. Kabar duka itu datang ketika jarum jam merayap sekitar pukul 05.53 WIB. Supriadi, bapak setengah baya itu sungguh tak menyangka bahwa pagi itu adalah awal cerita nestapa baginya. Sebuah gempa bumi hebat mengoyak tempat tinggalnya tepat pada 27 Mei 2006 silam. Tubuhnya pun tertimpa reruntuhan bangunan sebelum akhirnya ia duduk di kursi roda. “Tapi saya tak ingin dibelas kasihani. Berikan hak kami sebagai warga negara, kami ingin mandiri!” tegasnya ketika berbincang di gedung DPRD akhir pekan lalu.
Supriadi sengaja datang ke gedung wakil rakyatnya bersama puluhan rekan-rekannya yang bernasib sama. Kedatanganya kala itu dengan membawa segudang harapan sekaligus awal perjuangan dalam menuntut terpenuhinya hak-hak kaum difabel. Namun, baru tiba di depan pendapa gedung Dewan, Supriadi langsung mengernyitkan kening. Ia berpikir, betapa sulitnya bagi seorang difabel untuk memasuki gedung wakil rakyatnya itu. “Setiap pintu gedung ini sama sekali tak ada jalan untuk kursi roda. Semua memakai tangga,” keluhnya.
Apa daya, Supriadi dan kawan-kawan lainnya pun terpaksa meminta bantuan orang lain. “Kami sebenarnya tak ingin menyusahkan orang lain, tapi kalau akses bagi kami tak diberi, bagaimana kami bisa mandiri?” tanyanya lagi.
Menyerahkah Supriadi? Tidak! Di gedung dewan itu, Supriadi bicara dengan lantang akan nasib para penyandang cacat korban gempa Klaten 2006. Ia bicara dengan kejujuran hatinya tentang segala penderitaan para korban gempa yang mulai kehilangan harapan. Banyak orang—tak terkecuali pemerintah—menyangka bahwa tragedi gempa itu telah berlalu. Namun, bagi penyandang cacat, itu adalah awal mula penderitaan mereka. Sebagai kepala keluarga, mereka tak lagi bisa kerja. Anak-anak mereka sekolah putus, sebagian dari mereka bahkan telah meregang nyawa lantaran terserang penyakit dicubitus. “Kami mulai merepotkan keluarga, membebani orang lain, dan dianggap sebelah mata oleh masyarakat,” jelasnya.
Beruntung, Supriadi tak kehilangan pijar harapan itu. Bersama rekan-rekannya, ia bangkit. Mereka pun membentuk Spinal Cord Injury (SCI), sebuah organisasi kaum cacat untuk memperjuangkan hak-haknya, berbagi pengetahuan, serta wadah untuk berbagi kegiatan yang berguna bagi orang lain. Atas perjuangannya itu pula, mereka bahkan telah menghasilkan film dokumenter yang kesemua prosesnya dikerjakan di atas kursi roda. “Dan film ini adalah kesaksian kami,” pungkasnya.