Monday, January 17, 2011
penjaga makam...
Pria bersongkok itu duduk bersila di depan makam Ki Ageng Gribik. Seulas senyum langsung mengembang dari wajahnya yang berseri sesaat setelah aku datang. Sambil membenahi silanya, ia pun menyalami penuh kehangatan. “Jelang sebaran apem seperti ini, peziarah biasanya mulai berdatangan,” katanya.
Pria itu bernama Panji Supardi. Ia adalah seseorang yang ikut menjaga kelestarian peninggalan Ki Ageng Gribik. Tak ada gaji atau kedudukan yang membuatnya betah bersila di sana, selain ketulusannya dalam mencintai semangat perjuangan sang penyebar agama Islam di wilayah Klaten, khususnya di Jatinom itu. “Sebenarnya, saya pernah merantau ke Jakarta selama 2,5 tahun. Namun, garis hidup saya ternyata harus kembali ke sini lagi,” kisahnya.
Panji hanyalah orang biasa yang merasa terpanggil untuk menjaga kelestarian makam Ki Ageng Gribik. Sebelum takdir menitahkannya sebagai juru kunci di sana, ia pernah bertanya penuh gamang dalam dirinya “Masak hidup saya hanya sebagai juru makam terus seperti ini? Bagaimana dengan keluarga dan anak-anak saya nantinya,” tanyanya suatu hari.
Pertanyaan itu terus menggelisahkan batinnya. Suatu ketika di penghujung tahun 1978, ia pun memutuskan untuk pamitan dan merantau ke tanah Jakarta mencari jawab atas teka-teki hidupnya itu. “Di Jakarta, saya bekerja apa saja untuk bertahan hidup,” jelasnya.
Pengembaraanya ke kota yang keras persaingan itu, mungkin membuat Panji merasa lelah dan kalah. Dalam kesepian itu, ia tiba-tiba kembali teringat Mbah Gito Atmojo, penjaga Makam Ki Ageng Gribik yang selama ini mengajarinya tentang kematangan hidup. “Saya akhirnya memutuskan kembali ke kampung halaman. Saya yakin, rezeki itu sudah ada yang mengatur,” jelasnya.
Tahun 1980 di usianya yang baru menginjak 23 tahun, Panji memutuskan menikah. Ia memulai lembaran baru dengan bekal bahwa rezeki pasti datang selama manusia mau mengejar. “Saya memutuskan menjaga Makam Ki Ageng Gribik. Tapi, saya harus tetap bekerja.”
Saat itulah, Panji bekerja sekaligus mengabdi. Ia mencintai keduanya sebagai panggilan hati dan tanggungjawab keluarga. Sebagai ayah dua anak, ia bekerja sepenuh hati dalam jual beli kendaraan bermotor. “Alhamdulillah, rezekinya selalu ada. Dua anak saya, saya kuliahkan semua di Jogja.”
Sebagai juru makam, Panji merasa tersirami hatinya. Di sana, ia merasa ada pesan tauhid, toleransi, dan kesejatian hidup dari Ki Ageng Gribik yang selalu menuntunnya. Salah satu pesan yang terkenal adalah saling memaafkan dan mohon ampunan seperti dalam tradisi sebaran apem di Bulan Safar itu. “Asal kata apem itu kan afwun, artinya memaafkan. Jadi, kita harus saling berebut maaf,” jelasnya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment