Thursday, August 12, 2010
tiga biji kurma pembuka puasa...
Tiga bulan lalu, Setiawan merantau ke Solo meningalkan tanah kelahirannya Madiun Jawa Timur untuk sebuah nasib lebih baik. Tak ada modal yang ia miliki kala itu, selain hanya kemampuannya menjajakan minuman es kacang hijau bersama gerobaknya di kawasan alun-alun utara. Dan ketika bulan puasa tiba, anak dan isterinya di rumah harus siap menerima pendapatannya yang tak seberapa itu. “Makanya, saya ikut berbuka puasa di sini. Bisa menghemat uang,” terangnya.
Hidangan pembuka puasa itu mungkin sungguh berarti bagi Setiawan. Betapa pun hanya ditemani sepotong tahu dan sayur oseng kacang panjang, acara itu sungguh menyentuh langsung pesan universal puasa, yakni kesederhanaan. “Kalau setiap hari begini, saya akan ajak anak-anak saya berbuka puasa di sini,” sahut orang di samping Setiawan yang beseragam pegawai. Orang itu barangkali sadar, menyantap hidangan di tengah-tengah orang yang serba terbatas dan fakir, akan mengajari betapa pentingnya empati sosial. “Kesederhaan ini sangat baik untuk mendidik anak-anak kita,” sambungnya penuh bijak.
Ya, puasa bagi mereka barangkali memang bukan sekadar ritual menahan makan, minum, atau hasrat syahwati lainnya. Puasa adalah sebuah laku batin, belajar menahan keinginan tamak, rakus, dan loba—termasuk keinginan makan sepuas-puasnya ketika tiba berbuka puasa. Dan pesan universal itu sungguh tertangkap orang-orang kecil semacam Setiawan dan juga seratusan orang-orang di Masjid Agung itu. Ketika sebagian orang menanti datangnya waktu berbuka dengan mendatangi restoran mahal atau warung makan dengan aneka menu mewah, maka tak demikian bagi Setiawan. Segelas air teh, tiga biji kurma, serta sebungkus nasi ditemani sepotong tahu bacem cukuplah untuk mengisi perutnya. Dan tradisi yang demikian itu, sesungguhnya terselip pesan akan pentingnya empati sosial…
Solo, Kamis (11/8) 2010.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment