Friday, June 26, 2009

kidung rumah tangga

Siapa sangka usia rumah tangga mereka mampu bertahan hingga di tahun ke-35 ini. Jauh hari sebelum cincin kawin melingkar di jari manis ibu separuh baya itu, orang-orang dulu menyangsikan kelanggengan rumah tangga mereka. Para ahli nujum dan juga ahli pawukon Jawa telah mensabdakan melalui ketajaman intuisinya bahwa hari kelahiran sepasang insan itu adalah tibo rampas. Keduanya bagai dua arah mata angin yang tak akan pernah saling bertemu. Keduanya menyimpan pusat egoisme yang kuat. Selaksa gada yang menghantam sepotong besi, maka ketika sepasang insan itu dipertemukan pasti bakal memercikkan api, menolak segala unsur kebaikan, serta menutup pintu-pintu langit. Begitulah isyarat yang diujarkan para ahli pawukon Jawa kala itu. Tapi kenyataan hingga hari ini mengabarkan lain. Mereka tetap hidup serumah satu atap dan dikarunia empat orang anak yang telah memberi arti hidup, meski bagi mereka sendiri. Dan perkawinan yang diawali nyaris tanpa pertautan asmara itu, tetap langgeng tanpa ujung perceraian seperti yang diramal orang-orang selama ini.

Ibu paruh baya itu, terkenang masa lalunya saat detik-detik pernikahannya tiba. Tahun itu ialah 1974. Usinya masih terlalu hijau untuk menapak rumah tangga dan mencernak seabrek persoalannya. Namun, lazimnya tradisi pernikahan zaman dulu, dia hanya bisa menganggukkan kepala ketika orangtunya menuntunnya ke sebuah acara sakral, yakni lamaran. Siapa calonnya, dari mana latar belakangnya, namanya siapa, berapa usianya, dia tak pernah tahu. “Usia saya saat itu masih 13 tahun. Tiba-tiba, emak-bapak menggandengku ke ruang tamu. Di ruang itu ternyata sudah ada banyak orang berdandan rapi,” kenangnya mengisahkan prosesi lamaran saat itu. Semua seolah berlangsung sekejap mata saja. Acara pernikahan pun dihelat dengan menggelar tayub besar-besaran semalam suntuk. Semua bersuka cita. Mempelai perempuan seakan merayakan kebanggannya kepada ribuan mata khalayak bahwa anak perempuan mereka telah laku. Begitupun temanten laki-laki yang saat itu selisih usianya ialah 14 tahun lebih tua dari pasangannya, juga ingin menunjukkan bukti kegagahannya bahwa dia tak perlu susah mencari pasangan hidup.

Dalam perjalanannya, kisah rumah tangga mereka memang tak semeriah pesta pernikahannya. Prahara selalu muncul ke permukaan seiring dengan kelahiran buah hati mereka satu demi satu. Ada yang dipicu persoalan ekonomi, perasaan yang mudah tersinggung, serta sederet persoalan rumah tangga yang susah mereka urai. Anehnya, setiap kali prahara memuncak dan mengancam perceraian, selalu saja ada sesuatu yang mencoba meredamnya. Mereka pun kembali saling memohon maaf atas khilaf. Sayang, pelajaran berharga itu tak pernah mereka petik ibrohnya. Dan api amarah begitu mudah tersulut hanya sepercik masalah yang muncul tiba-tiba. Pertengkaran dan cekcok menjadi lagu lama. Anak-anak mereka yang masih kecil-kecil jadi korban. Anak-anak lugu dan polos itu kian menjadi pemurung di tengah kawan-kawannya, sekolahnya, dan diri mereka sendiri. Dalam pikirannya yang amat sederhana, mereka selalu bertanya kenapa tingkah orangtuanya tak ubahnya anak-anak kecil, tak ada yang mengalah, dan selalu memaksakan kehendak? Dan kenapa perselisihan harus dirayakan seperti perang bharatayudha? Serentetan pertanyaan absurd itulah yang menggiring anak-anak kecil mereka tercerabut dari kebahagiaannya di masa riang.

Mengenang kenyataan pahit itu, ada yang terasa menyesakkan dada. Ibu paruh baya itu seakan kembali teringat petuah para ahli pawukon Jawa dulu kala, bahwa biduk rumah tangganya memanglah tibo rampas alias bernasib sial. Pawukon, dalam pengertiannya yang paling sederhana, memanglah ada meski tak harus diyakini. Namun, serentetan kenyataan tiada henti yang menimpa dirinya, secara perlahan telah membersitkan kebenaran lain dari ramalan itu. Mungkin karena itulah, ibu itu kini menjadi banyak diam dan termenung.

Bertahun-tahun aku mencoba memahaminya. Kini, aku baru sadari, termenungnya dia bukan karena larut dalam penyesalan lantas mengharap bintang kejora jatuh seraya sekonyong-konyong membalik nasibnya. Namun, karena dia sedang menghimpun kekuatan dari dalam hati, memantapkan tekad, dan menginsyafi seluruhnya bahwa semua memang telah menjadi kehendak mutlak-Nya. Dia benar-benar menjadi manusia taslim,seorang insan yang menyerahkan jiwa seutuhnya kepada pemilik sejati hidunya. Karena, hidup, mati, dan perjalanan hidup, sesungguhnya milik Tuhan semesta alam. Dirinya yang disangka orang dan ahli pawukon sebagai orang bernasib sial, bagi dia sendiri itu telah tiada. Fana’...

Hari sudah petang. Ibu itu menutup jendela rumahnya. Suara batuk-batuk terdengar berat dari sebuah kamar suaminya yang mewariskan empat anak dan sejuta kenangan pahit namun menjelmakan kemanisan. Kini, jiwa ibu itu telah menjadi telaga yang siap menampung segala keluh-kesah hidup dari berjuta anak sungai. “Sesungguhnya hidupku, matiku, dan perjalananku, total milik Tuhan semesta alam…” ujarnya.


Pare, Rabu 6 Mei 2009; 18.36 PM


No comments:

Post a Comment

Tentang Blog

Ini hanya cerita tentang orang biasa. Tentang ketegarannya, kesabarannya, ketekunannya, kebesaran jiwanya, dan kepasrahan hidupnya kepada pemangku jagad ini.

Terpopuler

Designed ByBlogger Templates