Sunday, December 26, 2010

orkestra cinta

Pesan singkat itu datang di sepertiga malam. Aku pun terbangun. Aku telah menduga, itu pasti darimu. “Don’t let me alone...” sebaris kalimat penuh cemas itu kuketik di layar ponselku. Lalu kukirim penuh harap. Dan hatiku pun terus terjaga di antara gelisah dan harapan. Waktu terus merambat. Namun tak kunjung datang balasan darimu. Aku berpikir, mungkin dirimu sengaja menyampaikan pesan tersirat kepadaku sebagaimana pesan yang pernah kau sampaikan sehari sebelumnya dalam sekejap waktu yang hilang. Lalu kau biarkan diriku gelisah dalam kesendirian.
Aku pun ngungun dalam kebisuan. “Maafkan aku...” kataku penuh sesal. Namun, engkau masih berdiri di ujung waktu yang samar tanpa memberi jawab meski sepatah kata.
* * *
Malam itu, engkau bertanya kepadaku tentang maafku. Tahukah, sejak dirimu menghilang dari sisiku di suatu petang itu, aku sebenarnya begitu menanti datangnya pesan darimu. Aku hanya ingin meminta maaf. Itu saja. Namun, engkau tak kunjung datang. Aku hanya bisa menduga mungkinkah itu pesan tersiratmu bahwa engkau terusik dengan pertanyaan dan pernyataanku tentang orkestra cinta kita?
“Maafkan aku...” kataku sebelum tidur malam itu. Lima jam kemudian engkau baru membalas.
“Kenapa, Kanda?” jawabmu begitu tenang.
“Don’t let me alone...” jawabku penuh kecemasan. Setelah itu, aku tak lagi menemukan dirimu. Aku sebenarnya ingin bertanya lagi. Namun, ketenangan jiwamu sungguh membuatku merasa tak pantas bertanya lebih kepadamu. Biarlah malam ini hanya terisi dalam kebeningan doa.
* * *
Cinta terkadang memang seperti kebisuan. Di situlah kegelisahan kerap datang. Namun, di antara kata yang tak terucap itu sebenarnya juga menaburkan berjuta rasa dan asa. Engkau mungkin bersembunyi di balik misteri kata-kata. Namun, diam-diam aku yakin engkau sebenarnya perlahan mulai membangun kekuatan cinta dari samudera hati. Dari caramu hadir dalam malamku itu, engkau sebenarnya ingin menyampaikan pesan bahwa tak selamanya cinta selalu berbuih kata. Selalu ada kata di balik kata-kata, sebagaimana selalu ada makna di balik diam. Dan diammu sesungguhnya ingin mengajakku untuk bermain orkestra cinta yang sesungguhnya.
* * *
Sayup-sayup suara azan subuh berkumandang membelah fajar. Aku yang masih tertekur dalam doa itu tiba-tiba menemukan pertunjukan orkestra cinta yang sesungguhnya darimu.

Solo, 26 Desember 2010.
Read More

Sunday, December 12, 2010

cerita di pagi hari...


Pagi hari usai sembahyang subuh itu, aku berangkat mengayuh sepeda menyusuri jalan raya. Jalanan yang lebar dan mulus itu kini memang terasa bersahabat sepekan sekali setiap tanggal merah. Tak ada deru kendaraan bermesin yang beradu kecepatan apalagi melintas. Yang ada adalah pengayuh sepeda sepertiku, pejalan kaki, pegiat senam, aktivitas olahraga dan olahrasa lainnya. Jika dinamakan lapangan olahraga terpanjang sedunia, mungkin tak salah. Sebab, semua orang mulai remaja, dewasa, manula, hingga Balita pun bisa menikmati lapangan beraspal sepanjang 4 kilometer itu secara cuma-cuma. Tak terbayang olehku bahwa jalan raya ternyata tak selamanya berkisah tentang tragedi berjuta nyawa melayang atau laju keserakahan ekonomi kapital. Jalan raya ternyata juga bisa berkisah tentang manusia yang menemukan kembali keutuhan dirinya secara fitrah dan alami. Mereka bisa saling menyapa, tersenyum, menghirup udara segar, mengayuh tanpa beban pekerjaan atau bersimpangan tanpa adu gengsi sosial.
* * *
Di titik nol kilometer kota tua itu, laju sepedaku membelok ke kanan dan membuntuti terus rombongan para pengayuh sepeda. Satu persatu mozaik kerajaan penerus Mataram yang masih tersisa seakan berjalan ke belakang seiring dengan laju sepedaku. Ada gapura yang mengingatkanku akan kehebatan raja PB X. Ada masjid agung yang menjadi inti spiritualitas bangunan-banguan keraton nan megah itu. Selintas saja pandanganku menoleh kori kamandungan. Di sana, ingatanku memutar kembali pada berderet cerita panjang di balik tembok tinggi yang mengelilingi keraton itu; tentang kesaksian kepahlawanan, pengkhianatan, kesetiaan, juga darah dan air mata yang telah terkubur dalam sejarah kerajaan yang berdiri beratus tahun silam itu. Ada yang masih terbungkus rapi dalam lembaran manuskrip kuno atau cerita-cerita rakyat. Ada pula yang telah terkubur masa, hilang bersama segala kenangannya.
* * *
Tiba di ujung utara bangunan kuno kerajaan itu, rombongan sepeda langsung disambut beberapa ekor kerbau bule keturunan Kiai Slamet. Anak-anak kecil bersama kedua orangtuanya begitu riang memberi makan rumput kerbau-kerbau asuhan Gunadi “Babeh” itu. Kerbau bule itu—betapapun lugunya—tetaplah menyimpan eksotisme terutama di malam 1 Sura. Kehadirannya sebagai cucuk lampah acara sakral keraton, telah membuktikan diri bahwa mereka mampu menyedot ribuan warga dari beribu penjuru desa dan kota. “Ia adalah simbol kesuburan,” kata seorang kerabat keraton Satrio Hadinagoro. Sejarah Sura memang ada yang berkisah tentang Karbala, sebuah kekejian politik yang telah memenggal leher cucu Nabi Muhammad SAW, Hasan dan Husain di balik pengkhianatan agama. Namun, Sura juga berkisah tentang harapan. 1 Sura menjadi amat sakral sebab kehadirannya menjadi awal catatan bagi manusia antara yang baik dan yang kelam. 1 Sura adalah sejarah perjalanan (hijrah) kaum muhajirin dari Mekah ke Madinah. 1 Sura adalah inspirasi jutaan orang untuk melakukan hijrah dari kegelapan menuju cahaya.
* * *
Tiba di tanah lapang alun-alun itu, aku tiba-tiba merasakan seperti setitik noktah di tengah ribuan manusia. Saat-saat seperti itu, aku selalu merasakan betapa diriku adalah bagian tak terpisahkan dari mereka, orang-orang kecil yang terus mencoba bertahan melawan ketidakpastian nasib. Aku sadar betapa diriku hanyalah orang kecil yang sejajar—atau bahkan jauh lebih kecil—dari mereka itu. Seperti juga di pasar-pasar tradisional di tepi jalan yang kumuh, di situlah kurasakan segala kepongahanku, gengsi sosialku, serta dunia mayaku runtuh. Aku nyaris tak memiliki kemampuan seperti mereka; tentang kematangan hidupnya, tentang pengalaman hidupnya, atau tentang ketegarannya. Dan pagi itu aku sungguh mendapatkan pelajaran hidup berharga bahwa Tuhan sesungguhnya selalu bersemayam di hati mereka...
Read More

Saturday, December 11, 2010

Jambret vs rencana nikah


Pemuda itu melangkah dengan kepala merunduk. Seragam biru tua bernomer 29 dan celana kolor masih membalut tubuhnya. Ia mencoba memalingkan mukanya ketika kamera wartawan membidiknya. Tak ada sepatah kata yang terucap dari bibirnya, selain rasa sesal. “Saya menyesal, Pak,” ujar dia di hadapan Kasatreskrim Klaten, AKP Edy Suranta S di Mapolres Klaten, Sabtu (11/12).
Darmadi, pemuda asal Sukoharjo Kota itu masih ingat betul hari Jumat (26/11) dua pekan lalu. Hari itu, dia dan calon istrinya semestinya duduk bersanding penuh bahagia di singgasana pernikahan. Namun, angan-angan itu tiba-tiba meruap begitu saja ketika dirinya ditangkap aparat kepolisian Klaten beberapa hari sebelum hari H pernikahannya. “Dia kami tangkap di rumahnya bersama kawannya yang juga penjambret,” kata Edy.
Darmadi, pemuda yang masih berusia 21 tahun itu memang mengakui bahwa dirinya telah empat kali melakukan aksi jambretnya. Bersama rekan setianya, Sutarman, ia sungguh terlatih memepet pengendara bermotor terutama kaum perempuan di tempat sepi. Ibarat tupai yang melompat ke sana kemari, Darmadi telah menjelajah di Kecamatan Juwiring, Trucuk, dan Polanharjo demi merampas tas dari pemiliknya. Kelihaiannya melompat mencari mangsa seakan kian tak bisa dihentikan ketika aparat kepolisian disangkanya tak mengendusnya. Ia bahkan mulai kian nekad ketika hari H pernikahannya telah di depan mata. “Saya nyari kerja nggak dapat-dapat. Padahal, mau nikah. Akhirnya, ketika diajak teman njambret, ikut saja,” akunya.
Darmadi mungkin lupa bahwa sepandai-pandai tupai melompat pasti akan jatuh juga. Dan serapat mungkin ia membungkus aksi nekadnya itu, lama-lama juga akan terendus. Alhasil, atas perbuatannya itu ia bukan saja terjatuh, namun juga tertimpa tangga. Calon isterinya, juga keluarganya serasa tertampar menahan malu tak terperikan mengetahui dirinya adalah seorang penjambret. “Sekarang, calon isteri dan keluarganya tahu semua. Mereka akhirnya memutuskan sepihak rencana pernikahan kami,” katanya pelan.
Darmadi, kini harus rela meringkuk di penjara Mapolres Klaten yang pengap. Ia bukan saja kehilangan calon istri yang lama ia damba untuk bisa mendampingi hidup serumah dalam suka atau duka itu. Namun, ia juga mulai merasakan hari-hari depannya yang terasa suram seperti tanpa harapan itu....
Read More

Bercanda dengan lahar Merapi demi sesuap nasi....


Hari masih gelap ketika Ny Partini terbangun dari tidur lelapnya. Pagi hari selepas sembahyang subuh, ia pun melangkah ke Kali Woro. Tak ada bekal yang ia bawa, selain sekup, keranjang, dan niat dalam hati untuk mencari sesuap nasi dari limpahan pasir Merapi. “Kalau tak ada hujan, bisa dapat dua rit sehari. Tapi, akhir-akhir ini hujan terus,” ujar Partini, warga Desa Talun Kecamatan Kemalang.
Jumat (10/12) siang itu, Partini memang kurang beruntung. Hujan yang tiba-tiba mengguyur deras, membuatnya harus menepi dan beristirahat di bibir Kali Woro. Padahal, ia bersama delapan perempuan penggali pasir lainnya belum genap mengumpulkan satu rit pasir yang telah dipesan. Dan di bawah gubuk reot penuh celah berlubang itulah, mereka pun menanti hujan reda sambil bercerita tentang pasir-pasir Merapi yang tersohor karena kualitas supernya. “Lumayanlah, hasilnya bisa untuk beli beras,” sahut Ny Jumini, pencari pasir lainnya.
Partini dan kawan-kawannya adalah potret perempuan perkasa dari lereng Merapi. Mereka tak berpangku tangan meski baru saja dilanda bencana. Mereka bangkit dan kembali memutar roda ekonomi keluarganya meski harus berkawan risiko. Setiap kabut pagi tiba, mereka selalu bergegas ke Kali Woro. Bersama delapan orang lainnya, mereka pun saling membahu menggali dan menaikkan pasir Kali Woro ke dalam bak truk terbuka. “Satu rit-nya dihargai Rp 170.000. Jadi, setelah kami bagi delapan, ya dapat sekitar Rp 21.000,” terang Jumini.
Uang sebanyak itu memang tak seberapa dibanding kerja keras mereka dan segala risikonya. Sebab, untuk bisa mengumpulkan satu rit pasir, mereka harus berangkat pagi buta. Jika hujan deras datang, mereka pun harus berhenti dengan menyimpan perasaan penuh waswas. “Kalau hujan, sering banjir lahar dingin. Kami pilih menjauhi Kali Woro agar truk tak kejebak,” terang Joko Pariyatno, sopir truk penadah pasir.
Perempuan-perempuan itu menggali pasir bukan semata dengan cucuran keringatnya. Namun juga dengan semangat hidup dan cinta kasihnya kepada keluarga dan anak-anaknya. Rasa cemas itu memang ada. Namun, siapa yang sanggup mencegah sebuah tekad untuk kembali bangkit setelah bencana Merapi itu lewat. “Dulu mereka itu hanya merumput. Namun, sejak berkah pasir Kali Woro meluap, ibu-ibu itu rela menjadi penggali pasir setiap hari. Kami hanya pesan agar tetap berhati-hati,” papar Kepala Desa Talun, Jumarno.
Read More

Wednesday, December 8, 2010

mimpi-mimpi indah...


DALAM suasana sepi, hatiku selalu larut terbawa sepi. Beginilah yang senantiasa kurasakan; hari pertama tiba di kota nan jauh dari purnama hati, rasa sepi itu selalu menyayat hati. Aku membayangkan dia saat ini tengah bergelut dengan setumpuk tugas-tugas kantornya. Dia di Kota Pahlawan. Aku di Kota Bengawan. Namun, hati kami tetap tak terpisahkan. Semoga sampai akhir hayat nanti...
* * *
Aku mengagumi dia dalam segalanya; talentanya, kecerdasannya, kelembutan, dan kejernihan hatinya. Dia yang kukenal empat tahun silam di sebuah panggung pementasan itu juga memiliki kesetian dan kejujuran yang tak pernah kuragukan. Dia bersahaja, tekun, namun tetap luas hati dan pikirannya.
Dia begitu istimewa di mataku. Nyaris tak kutemukan kekurangan dalam dirinya. Sebab, cinta kami selalu mengajari betapa kekurangan adalah kelebihan. Dan itulah keindahan cinta; setiap kelebihan selalu memendam kerinduan.
* * *
SETIA, demikian aku menyerunya. Nama itu sungguh indah, mencerminkan kesetian hatinya kepada jalan hidupnya. Aku mengikrarkan janji setia dengannya melalui cara yang sangat sederhana, yakni lewat selarik sms. Begitulah cinta kami; menjunjung tinggi semangat kesederhanaan. Selama dua tahun lebih, kami menguji kesetiaan itu. Kami sama-sama berjuang melawan ancaman kekalahan hidup hanya berbekal ikrar setia. Kami sama-sama memanjat pohon asa meski didera rasa rindu. Setia sama sekali tak pernah meragukan kesetianku, sama sepertiku yang tak pernah meragukan kesetiannya. Kami dianugerahi rasa saling percaya yang tumbuh dan berkembang jauh sebelum kami bertemu. Dan aku menghargai dia sebagai kaum hawa yang sejajar dengan kaum adam.
* * *
SETIA...kita selalu menanti saat-saat purnama itu tiba. Kita juga selalu menanti hari nan fitri itu segera datang. Juga hari bersejarah kita semoga kembali berputar. Lalu kita sama-sama merayakannya dengan cara kita masing-masing. Engkau, akan berkirim pesan pendek kepadaku. Begitupun aku, akan bercanda denganmu meski hanya lewat kata-kata. Sungguh, begitu sederhananya kita dalam merawat cinta ini. Dan tanpa terasa, telah tiga kali kita melewati malam-malam penuh kembang api itu. Terakhir kali, saat kita bertemu di tepi kota di sebuah kolam pemancingan, aku melihatmu kian matang. Usiamu memang empat tahun lebih muda dariku, namun cara pandangmu jauh lebih panjang dariku. Engkau membeberkan tentang masa depan kita kelak, namun engkau tak melupakan masa depan adik dan ibu tunggalmu; tentang kesehatannya, sekolahnya, tempat tinggalnya, juga hari senjanya.
* * *
SETIA....aku ingin mencintaimu dengan sederhana, seperti kata Sapardi dalam sajaknya. Kita pernah saling bercerita bahwa suatu saat nanti kita akan tinggal di sebuah rumah mungil di sudut desa. Lalu di pekarangan rumah belakang yang tak luas itu, kita bangun gazebo. Di terasnya, kau sendiri yang meminta akan ditata taman-taman bunga agar selalu sejuk. Kau pernah memintaku untuk membuatkan tiga kamar agar saudara-saudara kita yang sewaktu-waktu ingin berkunjung tetap bisa bermalam. Aku sungguh bahagia mendengar impianmu yang ingin tetap bekerja, tetap bisa beraktualisasi diri di lingkungan sosial, meski kita telah berumahtangga kelak. Engkau pernah mendamba jika anak pertama kita lahir seorang perempuan, maka engkaulah yang akan menyematkan sebuah nama di jiwanya. Aku sungguh bahagia ternyata kita sama-sama mendamba seorang anak yang lahir pertamakali ialah perempuan. Kita juga sama-sama tak menginginkan anak kita kelak sekolah di lembaga yang menerapkan pelajaran sehari penuh. Biarlah anak-anak kita menemukan dunia bermainnya sendiri tanpa dibebani setumpuk pelajaran. Biarlah anak-anak kelak kita tumbuh dan mencercap cahaya ilmu dengan cara yang alami, bukan dibonsai. Ah...sungguh indahnya mimpi kita itu. Semoga Tuhan memeluk mimpi-mimpi kita itu....aminnn...

Solo, 7 Desember 2010
Read More

Monday, December 6, 2010

Memenuhi janji ...


Aku telah menantinya penuh kerinduan. Senja itu diguyur hujan. Akhir-akhir ini, kotaku memang tak pernah absen disiram hujan. Kadang disertai angin kencang, kadang banjir bandang, kadang juga listrik turut padam. Tapi, belum pernah ada catatan dalam sejarah hidupku bahwa hujan mampu menciutkan nyaliku untuk menjemputnya. Seperti Sabtu (4/12) petang hari itu, dia pulang dari Kota Pahlawan untuk memenuhi sebuah janji. “Adik naik patas, Mas. Tapi, tetap banyak yang berdiri,” kata dia dalam selarik pesan pendek itu.
Aku meluncur ke perempatan jalan, tempat yang biasa jadi pemberhentian bus penumpang. Di sana, aku melihatnya menepi di teras toko menahan hawa dingin. Aku tersenyum, sebab dia sungguh nampak istimewa. Dengan balutan batik khas Kota Bengawan, purnama itu terlihat anggun. “Ayo naik. Ibu telah menanti di rumah,” kataku.
Kami pulang membelah hujan di bawah lindungan mantel. Sepanjang perjalanan itu, kami bersama-sama berbagi cerita dan bersenandung cinta. Kami diliputi rasa senang dan bahagia. Kami pulang untuk memenuhi panggilan hati. Kami pulang untuk menyongsong harapan. Itulah barangkali yang membuat perjalanan terasa indah, termasuk hujan yang kian deras petang itu. Tiba di sudut kota di simpang jalan, tiba-tiba kami merasakan keganjilan. Roda belakang motor kami terasa bergoyang-goyang. Lama-lama, pelegnya seperti menyentuh aspal.
“Oo..oo...” rupanya bocor.
“Di sana ada vulkanisir, Mas,” teriak abang becak dari kejauhan. Aku pun dorong kendaraan menepi. Hujan masih cukup tinggi. Irama kencang musik dangdut dari dalam gubuk vulkanisir kian menambah bising suasana.
“Bocornya di bagian dop-nya, Mas! Harus ganti ban,” teriak tukang bengkel itu dari gubuk reotnya.
“Ganti saja, Bang!” sahutku tak kalah kencang.
“Nih, pakai saja sepeda pancalku,” tawarnya.
“Untuk apa, Bang?” tanyaku.
“Beli ban motormu,” sahutnya.
“Lho??”
“Saya nggak jualan ban,” tegasnya.
“Asemmm!” batinku.

* * *

Esok hari, aku benar-benar mencatat peristiwa yang mendebarkan dalam sejarah hidupku. Bersamanya, kami mencoba meyakinkan kepada saudara-saudaranya bahwa kami adalah sepasang insan yang siap mengarungi bahtera kehidupan. Kami benar-benar tak menyangka bahwa perjalanan seharian itu, lidah dan hatiku telah mengucap sebuah tekad. “Insyallah, pertengahan tahun depan,” kataku.
Mereka menatap wajah kami penuh keyakinan. Tak ada secuil keraguan. Semua malah menegaskan, “Jika itu memang keputusan kalian, kami hanya bisa menitip doa restu!” sebuah jawaban indah mendarat di telinga kami. Kami semakin yakin bahwa tangga kehidupan itu memang telah dekat. Terbayang saat itu sebuah tanggungjawab besar, jalan yang panjang, berlubang, dan berdaki. Dan kami sadar bahwa memang itulah kehidupan kami nanti...

Pare, 6 Desember 2010.
Read More

Thursday, December 2, 2010

kisah religi : aku, kawan lamaku, dan masjid agung surakarta


Setelah lama bernazar, akhirnya kuputuskan untuk memulai perjalanan sunyi itu. Petang hari selepas salat Maghrib, kupacu kendaraanku di tengah rinai gerimis. Aku tiba di sebuah dusun kecil di tengah sawah. Dusun itu hanya berjarak sekitar sepuluh kilometer dari tempat singgahku sementara. Di sana seorang kawan lamaku masih seperti dulu; berperawakan kurus, selalu berbalut sarung dan tak lepas dari songkoknya. Dia menyalamiku layaknya saudara yang lama berpisah. Ia tak pernah mengutarakan harapan yang besar apalagi cita-cita muluk layaknya anak muda penuh gelora asa. Ia sudah merasa cukup jika bisa mengajak anak-anak kampung menghapal juz amma dan bermain rebana. Selebihnya, ia tetap ingin tinggal di kampungnya itu, mendampingi seorang kiai yang ia takzimi itu. “Yo wes ngeneki rutinitasku, Kang. Ngakeh-akehi solawat marang Kanjeng Nabi. Iku wes cukup. Arep lapo maneh,” serunya.
Perjumpaanku dengannya kala itu sungguh mengingatkanku pada seorang pemuda desa di tempat kelahiranku dulu yang setiap hari selalu menjadi juru azan di surau. Jangan dibayangkan suaranya sangat indah dan menggetarkan hati layaknya seorang muazin di layar kaca. Ia hanya memiliki pita suara pendek yang terdengar serak dan tak jelas mahraj hurufnya. Jika azan Subuh, terdengar dengan jelas bagaimana suaranya yang khas bangun tidur itu seperti ayam kluruk. Orang-orang kampung kerap menyindirnya. Namun, ia tak berkecil hati, apalagi berputus asa. Setiap tiba waktu salat Subuh, Dhuhur, serta Ashar—waktu yang paling sering dilupakan orang pergi ke surau—dialah yang paling bisa diharapkan untuk menyeru salat berjemaah di surau. Selebihnya—Magrib dan Isyak—ia memilih mengalah, sebab pada waktu-waktu itu surau sudah ramai orang-orang yang berebut azan.
* * *
Perjalanan memenuhi nazar itu kulanjutkan. Kali ini, gerimis telah mereda. Namun, hari semakin gelap. Kuputuskan untuk singgah sementara di sebuah kota. Aku lepas tas punggungku. Di sana, bekal pakaian dan segala kebutuhan perjalanan telah kusiapkan. Tak terkecuali bijih tasbih yang terbuat dari kayu stigi warna hitam gelap. Aku bergegas membaringkan tubuhku di alas lantai dan memejamkan mata selepas salat Isyak. Dalam tidurku, kutahan sekuat tenaga rasa lapar yang menyerangku. Aku telah berjanji untuk tak memasukkan seteguk air atau sebutir nasi sekalipun ke lambungku hingga esok petang kembali datang. Biarlah rasa lapar ini membakar jiwaku, nafsuku, dan ragaku. “Dalam perut yang kosong, suara bedug itu akan terdengar indah,” begitulah kata Rumi yang kuingat.
* * *
Azan Subuh terdengar dari daun jendela. Aku terbangun. Aku mulai merasakan suara bedug terdengar dari dalam perutku yang kosong. Namun, aku belum menemukan keindahannya seperti kata Rumi. “Mungkin, perjalanannku masih panjang,” batinku. Aku bergegas dan mengemasi perbekalanku. Aku kembali melanjutkan perjalanan. Kali ini aku memilih mengayuh sepeda. Aku susuri jalan raya yang terang, riuh, dan terik itu. Satu kendaraan dengan kendaraan yang lain seakan saling berebut jalan, saling meniup klakson penuh ketaksabaran. Semua merasa paling berhak melewati jalan itu. Semua beradu gengsi dengan mobil-mobil mewahnya. Mereka mungkin akan siap beradu mulut atau baku hantam andai mobil mereka bersenggolan sedikit saja satu sama lain.
* * *
Mentari mulai membujur di atas kepala. Aku tiba di sebuah masjid tua di sudut kota dengan peluh bercucuran. Mataku kurasakan seperti keluar beribu kunang-kunang. Kakiku melangkah namun seperti melayang. Aku benar-benar lelah. Dan aku pun langsung terkapar tak sadarkan diri begitu rebah di lantai serambi masjid itu. Sesekali saja, aku terbangun oleh gigitan semut merah yang merayap di lantai. Setelah itu, aku kembali terhempas dalam irama lelah nafas. Dalam tidurku itu, terlihat samar olehku selintas langkah kaki tertatih orang tua. Aku menyangka itu hanyalah halusinasi karena perutku yang kosong. Namun, ternyata bukan. Langkah tertatih orang tua itu rupanya benar adanya. Bukan dalam mimpiku. Aku melihatnya di barisan belakang shof salat. Kadang aku melihatnya bersandar pada dinding masjid, pada tiang masjid, dan pada pintu masjid. Bibirnya tak berucap apa-apa selain mengulum zikir. Jari-jarinya berirama memutar bijih tasbih. Jika tiba waktu salat, ia akan mengambil air wudhu di samping masjid dengan langkahnya yang tertatih itu.
* * *
Senja memerah di ujung barat. Bedug ditabuh disusul suara azan dari puncak menara. Derap langkah kaki pun berdatangan. Mereka kenakan mukena putih bersih bersinar memancarkan keanggunan seorang wanita salehah. Tak lama setelah diseru iqomah, lima barisan shof telah berjajar rapi. Aroma minyak kasturi, za’faron dan melati meruap di barisan shalat di masjid tua itu. Semua nampak berbaju rapi, wangi, dan wajah berseri. Dengan fasih dan merdu sekali anak muda itu memimpin upacara agung itu. Semua seperti terhanyut dalam irama salat hingga tak terasa telah tiba di penghujung doa. “Assalamualaikum warahmatullah...,” kutengok wajahku ke kanan dengan segenap doa bagi saudaraku di penjuru bumi di sisi kanan. Di sana, kulihat orang tua itu bersimpuh dengan kepala tertunduk. “Assalamualaikum warahmatullah...,” kutengok wajahku ke kiri dengan segenap doa bagi saudaraku di penjuru bumi di sisi kiri. Aku sungguh terkejut. Sebab, orang tua itu kembali kulihat bersimpuh masih dengan kepala tertunduk di sisi kiriku. Siapakah dia gerangan?
Read More

Monday, November 29, 2010

Tak ada yang tersisa, selain bau bangkai dan abu....


Pagi hari selepas salat Idul Adha, langit di ujung Merapi masih terlihat cerah. Hari itu, rombongan ekspedisi Merapi telah berkumpul di pelataran Kecamatan kemalang Klaten. Tak ada bekal yang mendorong perjalanan berbahaya ke lereng Merapi kala itu, selain rasa penasaran. “Yuk, kita berangkat!” kata Camat Kemalang, Suradi.
Perjalanan diawali dengan sepucuk doa dan memasang masker. Jembatan Kali Woro adalah saksi awal perjalanan menaiki puncak Merapi itu. Satu persatu, rombongan ekspedisi mulai waswas. Tepat ketika tiba di gapura masuk Desa Balerante Kecamatan Kemalang sebuah pemandangan muram terpampang. Semua terkesiap. Di sepanjang jalan itu, nampak pemandangan pohon-pohon meranggas dan tumbang menghadang di tengah jalan. Rumah-rumah penduduk penuh lumpur tebal mengeras. Debu-debu beterbangan di sepanjang jalan. “Ini baru memasuki Dusun Talun. Sebentar lagi bakal tiba di Dusun Gondangrejo. Terus kita bakal naik lagi ke Sambungrejo,” kata Suradi.
Dua dusun itu kerap disebut-sebut sebagai kawasan mati yang berada di ujung Desa Balerante Kecamatan Kemalang. Masih ada lagi dusun yang tak kalah tragisnya, yakni Dusun Banjarsari dan Ngipiksari. “Totalnya ada empat dusun yang kini seperti kuburan setelah diterjang awan panas,” sahut Sumanto, anggota TNI dari Koramil Kemalang.
Laju kendaraan terus merabas jalan-jalan berkelok, menanjak, dan berlubang. Semakin mendekat, panorama Merapi penuh bebukitan gundul kian tertangkap mata telanjang. Dan begitu tiba di ujung Dusun Talun, tiba-tiba kendaraan terhenti. Sejumlah petugas dan warga bermasker menarik portal ke tengah jalan. “Ini kawasan terlarang. Dilarang masuk!” kata petugas dengan muka berdebu.
Suradi, Camat Kemalang itu turun tangan. Namun, tak satu pun warga dan petugas yang mengenalnya sebab ia mengenakan kaos oblong. “Permisi, Pak! Kami ingin menengok kondisi kampung warga kami,” kata Suradi pelan. Proses negosiasi pun berlangsung. Namun, tak lama. Sekitar 10 menit kemudian, lilitan kawat yang mengunci portal pun dibuka warga.
Perjalanan menjelajahi kampung kuburan pun berlanjut. Kali ini, tim yang terdiri dari TNI, aku, serta Camat Kemalang itu benar-benar merinding ketakutan. Sebab, baru beberapa ratus meter kendaraan menaiki puncak di Dusun Gondangrejo dan Sambungrejo, tiba-tiba terpampang pemandangan luas penuh asap mengepul. Mendongakkan kepala ke utara, nampak Gunung Merapi menjulang perkasa dengan asap sulvatara yang membumbung ke langit. Begitu pintu mobil dibuka, bau busuk bangkai langsung menusuk ke dalam rongga hidung. “Pakai masker! Jangan mendekat! Bangkai ternak menularkan penyakit kolera!” teriak petugas dari kejauhan. Semua rombongan langsung menjingkat dan berlarian berhamburan. Ada yang langsung masuk ke dalam mobil dan menutup pintu rapat. Ada pula yang masih menyempatkan diri—termasuk aku—dengan mengabadikan pemandangan yang seakan di alam mimpi itu. Terbayang saat itu sebuah cerita tentang padang mahysar di mana terdampar alam luas tempat manusia dibangkitkan setelah kematian. Di sana-sini penuh dengan reruntuhan bangunan, ternak-ternak terpanggang, pohon-pohon bak sepotong lidi yang menancap di tanah. Dan di sana, sungguh tak ada yang tersisa selain bau bangkai dan asap sisa keganasan Merapi. “Ayo cepat kembali! Lokasi masih berbahaya!” kembali terdengar peringatan dari kejauhan.
Tim segera bergegas masuk ke mobil dan meluncur ke bawah. Semua saling bertanya seakan tak percaya dengan yang dilihatnya. “Itu tadi karena awan panas?!” tanyaku setengah tak percaya.
Awan bergerak naik ke atas. Laju kendaraan mulai menuruni jalan dan mengibaskan kepulan debu jalanan. Di sepanjang jalan yang memisahkan Kabupaten Klaten Jateng dengan Cangkringan DIY itu berderet-deret rumah hancur, hutan-hutan terbakar, pohon-pohon melintang di tengah jalan, dan lumpur-lumpur bercampur sampah berserakan. “Semua yang berada di sepanjang Kali Gendol itu, tersapu habis oleh keganasan wedhus gembel,” kata salah seorang warga Balerante yang selamat, Sukamto.
Hingga tiba di kawasan yang aman di ujung Desa Balerante, semua tim masih bertanya-tanya penuh keheranan. “Merapi...oh Merapi...!!”
Read More

Wednesday, November 24, 2010

Mbok Wiyono dan ketiga cucunya...


Bocah itu tertidur pulas di alas tikar. Di sampingnya, duduk perempuan renta yang menjaganya. Ia tak terbangun meski di sekelilingnya penuh suara gaduh sound. Sesekali saja, ia memiringkan tubuhnya yang tirus itu tanpa sadar. “Ia mungkin kelelahan. Seharian bermain terus,” kata Mbok Wiyono, nenek yang menjaganya itu.
Arif Rahman Hakim, demikian nama indah anak itu. Usianya baru 3,5 tahun. Sejak Merapi meletus Jumat (5/11) silam, bocah itu tak pernah lagi menatap wajah kedua orangtuanya. Neneknya akan selalu mencari sejuta alasan ketika Rahman bertanya keberadaan orangtuanya sekarang. “Ayah dan ibu pergi mencari uang, Le,” kata Mbok Wiyono saat mencoba menutupi keberadaan orantua bocah itu.
Namun, lambat laun Mbok Wiyono tak mampu lagi merahasiakan keberadaan ayah ibu bocah itu. Rizal Hakim, salah satu kakak Arif Rahman Hakim yang telah berusia 11 tahun, rupanya mengetahui bahwa ayah ibu mereka telah tiada tersambar awan panas Merapi. Kakaknya yang satu lagi, Taufik Rahman, 5, juga mengetahui kabar bahwa ayah ibu mereka telah pergi untuk selama-lamanya. “Saat itu, saya dan ketiga cucu saya naik mobil dengan selamat. Namun, orangtua anak-anak naik motor keburu tersambar wedhus gembel,” kisah Mbah Wiyono di pengungsian Balaidesa Tlogo, Prambanan, Klaten, Rabu (24/11).
Orangtua anak-anak malang itu, Suroso dan Mariyam pergi tanpa sepucuk pesan apapun. Kepergiannya sungguh telah menorehkan kesepian di tengah keriangan anak-anak mereka. Ketika teman-teman mereka belajar dengan riang ditemani ayah ibunya, ketiga bocah yatim piatu itu hanya ditemani sepi dan kesedihan. “Sejak tinggal di pos pengungsian, kedua cucu saya yang besar selalu mengajak pulang. Padahal, rumah kami di Glagaharjo, Cangkringan, sudah tak tahu bagaimana kondisinya,” lanjut Mbok Wiyono penuh gamang.
Perempuan yang hanya bekerja sebagai buruh tani itu sudah hampir tiga pekan tinggal di pengungsian di Baladesa Tlogo, Prambanan. Di pengungsian itu, ia hidup bersama ketiga cucunya dari uluran tangan-tangan dermawan. Tak ada sisa harta yang ia selamatkan selain nyawa dan beberapa potong baju bersalin. Selebihnya, adalah kisah kepedihan dari letusan Merapi, termasuk anak sulungnya, Suroso dan menantunya, Mariam. “Saya sudah ikhlas. Ini memang kehendak Yang Maha Kuasa,” katanya tegar.
Arif Rahman Hakim, cucunya paling kecil itu barangkali terlalu dini untuk berpisah dengan kedua orangtuanya. Begitu pun kedua kakaknya, Rizal Hakim dan Taufik Rahman. Mereka adalah anak-anak yang masih panjang hari depannya. Di hadapan Ny Lisa Mustofa Abubakar, istri menteri BUMN yang berkunjung kepadanya, Mbok Wiyono tak terlalu berharap. Ia hanya mengutarakan tentang masa depan anak-anak itu, terutama tentang pendidikanya. “Saya akan tetap mengasuh cucu-cucu saya sebisanya. Masih ada sepetak sawah di desa untuk digarap,” harap Mbok Wiyono.
Read More

Tuesday, November 23, 2010

Pasar Butuh...


Lima hari lalu, Sutarmi menjenguk kiosnya di deretan bangunan tua di Pasar Butuh Kecamatan Kemalang. Ia lega, sebab kiosnya itu masih utuh. Namun, sampah-sampah mengeras berserakan di terasnya. “Debunya setebal ini,” kata dia sambil mengacungkan jari kelingkingnya untuk menunjukkan ketebalan abu vulkanik yang mengendap di lantai kiosnya.Ia pun singsikan lengan bajunya saat itu juga.
Sutarmi sungguh mencintai kiosnya itu. Dengan sisa harapannya, warga Desa Sapen Kecamatan Manirenggo itu pun akhirnya memberanikan diri membuka pintu-pintu kiosnya. Dari raut mukanya terbaca dengan jelas betapa ibu itu tak sanggup berpisah dari Pasar Butuh, sebuah pasar yang menjadi sumber penghidupan utamanya sejak 21 tahun silam. “Sejak anak pertama saya lahir, saya sudah berjualan dan mencari nafkah di sini,” kata dia.
Butuh adalah sebuah nama pasar tradisional—selain nama dukuh di Desa Bawukan, Kemalang—yang tumbuh dan berkembang di lereng Merapi. Sejak puluhan tahun silam, pasar yang terdiri dari lapak-lapak kayu dan deretan kios usang itu telah menjadi denyut kehidupan ribuan orang-orang kecil dari berbagai wilayah. Bahkan, jalan raya yang menjadi batas antara Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Klaten di Pasar Butuh itu seakan menyatu oleh aktivitas pasar. “Kalau hari-hari biasa, jalan itu dipenuhi penjual dan pembeli. Ada yang dari Jogja dan Klaten,” kenang Rubbiyo, tokoh warga Dusun Butuh Bawukan Kemalang.
Namun, sejak Merapi menyemburkan isi lambungnya dengan hebat, keriuhan orang-orang kecil di sana tak lagi terdengar. Pasar itu seakan tenggelam dalam pangkuan Gunung Merapi. Para pedagang dan pembelinya lari tunggang langgang. Mereka meninggalkan Pasar Butuh, betapapun mereka sebenarnya akan selalu membutuhkannya. “Semua pedagang nggak ada yang berani jualan. Semua mengungsi,” cerita Sutarmi.
Kini, Merapi sedikit mereda meski sirene tanda bahaya sesekali terdengar. Pasar Butuh yang hilang kumandangange itu kini kembali hadir meski tanpa aliran listrik. Pagi hari ketika kabut tiba, para pedagang mulai memberanikan diri membuka dasaran di tepian jalan. Pembeli pun berdatangan penuh harapan. “Masih sedikit pedagang yang buka. Tapi, ya lumayan ketimbang sepi nyeyet,” terang Sutarmi sambil menengok deretan kios di kanan kirinya yang masih terkunci rapat. Hari semakin siang. Sutarmi mulai khawatir berjualan seorang diri. Ia pun bergegas mengemasi barang dagangannya. Dan Pasar Butuh itu pun kembali sepi...
Read More

Saturday, November 20, 2010

memulai sejarah tanpa kaki dan keluarga...


Perempuan itu masih terbelalak matanya. Dari hidungnya terjulur selang penyuplai oksigen. Lama ia memandang kosong langit-langit ruang ICU Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Soeradji Tirtonegoro Klaten, Sabtu (20/11). Pelan-pelan, tiba-tiba terdengar suara syahadat yang menuntunnya. “Ibu Barriyah masih shock berat berat. Ia mengalami gangguan kejiwaan,” kata tetangga Ny Barriyah, Heri Harianto.
Ny Barriyah adalah salah satu korban letusan Merapi, Jumat (5/11) silam. Kedua kakinya mengalami luka bakar hingga membusuk. Ketika dokter memutuskan kedua kakinya harus diamputasi, perempuan yang hidup sebatang kara itu menjerit histeris. “Dia menolak diamputasi. Sebab, tak ada keluarga yang memberinya motivasi. Sedang, anak angkat satu-satunya telah mati tersapu awan panas,” sahut dr Puspita Laksmintari Sp KK, Kepala Bidang Pelayanan Medik RSUP Klaten.
Derita Ny Barriyah kian panjang, sebab rumahnya di Binomartani Ngemplak Sleman juga lenyap tak berbekas ditelan letusan Merapi. Ia pun kehilangan segalanya; rumahnya, hartanya, anak angkatnya, kakinya, dan juga harapannya. “Kami telah meminta dokter agar diamputasi. Sebab, penyakitnya akan menggerogoti seluruh tubuhnya,” lanjut keluarga Ny Barriyah, Haris sambil membawa satu kantong darah untuk persiapan operasi amputasi Ny Barriyah.
Tak jauh dari ruangan ICU RSUP Klaten, seorang ibu setengah baya terbaring tanpa kedua kaki. Ia adalah salah satu korban letusan Merapi yang selamat, meski kedua kakinya harus diamputasi. “Saat itu, saya mencoba berlari. Namun, kaki saya malah menginjak pasir panas ke dalam,” kata ibu itu, Waginem.
Waginem, buruh tani dari Desa Binomartani Ngemplak Sleman Jogja itu sungguh tak menyimpan rasa sesal sedikitpun meski kedua kakinya kini telah tiada. Dari rona wajahnya yang berseri, seperti ada harapan yang tersimpan di sana. “Saya sudah ikhlas. Ini semua demi kesembuhan saya,” katanya. Kini, Waginem hanya bisa membayangkan hari-hari depannya yang berkawan kursi roda.
Heri Harianto, seorang pemuda yang menjenguk saudara korban Merapi di RSUP Klaten kala itu masih terlihat tegar. Dua pekan lalu, ketika dia bergegas pulang dari Jakarta usai mendengar kabar bahwa kampungnya tersapu letusan Merapi, ia hanya terpaku. Didapatinya, seorang ayahnya telah mati tanpa rupa. Ibu dan adik semata wayangnya juga mati tanpa dikenali lagi. Kini, Harianto hidup sebatang kara; tanpa orangtua, tanpa saudara, tanpa rumah. “Sampai saat ini, rumah kami tak ditemukan di mana lokasinya,” paparnya.
Namun, Harianto tak kehilangan harapannya. Sama seperti Waginem yang tak lagi memiliki sepasang kakinya itu, Harianto rupanya telah siap melanjutkan sejarah hidupnya dalam suka dan duka di tanah kelahirannya di lereng Merapi. “Saya telah putuskan keluar kerja di Jakarta. Saya akan kembali ke kampung halaman dan mengurusi sawah-sawah milik orangtua,” katanya penuh harap.
Read More

Jalan sujud Mbah Maridjan....


Di sebuah rumah yang telah porak poranda itu, Mbah Maridjan ditemukan bersujud. Wajahnya masih bersih berseri. Namun, ia telah pergi di pangkuan Merapi, gunung yang selalu menaburkan kesuburuan dan berjuta kekayaan kepada umat manusia. Ia mungkin tak meninggalkan harta berharga selama hidupnya, selain kebersahajaannya, keteguhannya, kejujurannya, kerendahan hatinya, serta dedikasinya menjaga amanah.
* * *
Mbah Maridjan mungkin sebuah enigma. Dia dan Gunung Merapi seperti satu kesatuan yang utuh. Ketika orang mengeksploitasi Merapi tanpa henti, Simbah tetap menjaga sepenuh hati. Ia rela melakukan laku batin ke Merapi, betapapun selalu dikebiri orang-orang rasional, tak terkecuali HB X, rajanya di Keraton Kasultanan Yogyakarta. Ia dicemooh melakukan perbuatan tahayul, khurafat, dan kebodohan.
Namun, Mbah Maridjan tetap teguh.
Ia bukanlah manusia egois dan ringkih yang selalu mengaitkan ikatan batin kepada alam sebagai sebuah kekufuran. Mbah Maridjan adalah manusia ruang yang membaca ayat kauniyah tidak dari kacamata yang sempit. Ia membaca alam dari kebeningan hatinya. Ia percaya bahwa alam akan selalu berdialektika dengan perilaku manusia. Lapisan bumi memiliki sekian lempengan yang bisa bergeser sewaktu-waktu jika minyak dan seluruh isi di dalamnya dikuras habis. Permukaan bumi juga memiliki sekian hutan dan strukturnya yang bisa bergulung jika telah digundul dan dkeruk. Begitu pun cuaca memiliki tata ukur cahaya yang bisa memicu radiasi dan iklim ekstrem jika perilaku manusia telah over. Dan itulah hukum alam, setiap ketidakharmonian akan melahirkan anomali.
* * *
Orang-orang modern kerap memandang alam sebagai benda mati. Mereka hanya mau melihat alam dari sisi keuntungan, tanpa mau menyimak dunia batin di dalamnya yang menyamudera luas.
Namun Mbah Maridjan memandang alam sebagai sebuah kehidupan. Karena cintanya itu, ia menjalin ikatan batin dengan Merapi begitu mendalam sebagaimana ikatan batin yang dilakukan Nabi Sulaiman dengan alam dan binatang. Ia rajin berjalan kaki ke lereng Merapi untuk sebuah doa dan harapan yang mulia, yakni keselamatan bagi umat manusia. Ia bahkan rela pasang badan ketika Merapi meletus kala itu. Adakah yang salah dalam diri Mbah Maridjan—pria sepuh yang selalu rajin salat malam itu—dengan kecintaannya ini?
* * *
Tahun 2006 silam, ketika Merapi erupsi, siapakah yang sanggup memastikan berapa jarak titik aman kala itu? Pengetahuan modern memvonis kediaman Mbah Maridjan yang berjarak 5 Km dari puncak Merapi bakal tergulung awan panas. Namun, Mbah Maridjan kala itu keluar rumah dan berucap penuh keyakinan, “Assalamu’alaikum. Allahuakbar...Allahuakbar...Allahuakbar!” Atas izin Yang Menguasai Ilmu, awan panas kala itu hanya berhenti di belakang pelataran Mbah Maridjan.
* * *
Mbah Maridjan—sebagaimana yang kerap ia sampaikan sendiri—bahwa dirinya bukanlah manusia sakti. Ia sama seperti manusia lainnya, yang hanya bisa berdoa dan memohon kepada pemilik hidupnya. Pengakuannya itu sesungguhnya telah meneguhkan ketauhidanya yang sejati kepada Tuhannya bahwa memang tak ada daya dan upaya selain dari-Nya (lahaula walaa quata illa billah) termasuk nyawa satu-satunya itu.
Namun, keyakinan Mbah Maridjan cukuplah hanya dia dan Tuhannya saja yang tahu. Manusia hanya bisa menyangka, sama seperti pengetahuan manusia yang hanya bisa menerka. Dan di usia senjanya 83 tahun itu, Mbah Maridjan akhirnya pulang ke pangkuan Tuhan untuk selama-lamanya. Ia memilih jalan sujud di rumahnya selepas Salat Maghrib berjemaah. Ia tak memilih berlari atau berteriak-teriak ketakutan. Ia sadar betapa kecepatan luncur material vulkanik 100 Km/ jam dari puncak Merapi kala itu tak kan tertandingi oleh larinya. Dan sujud Mbah Maridjan sungguh keputusan yang tepat. Ia menghadapkan jiwanya kehadirat Tuhan sebagaimana firman dalam kitab suci, “Dan kemanapun kau hadapkan wajahmu, maka akan kau jumpai wajah-Ku.”
* * *
Mbah Maridjan telah pergi dengan berjuta pesan. Manusia tawadhu’ yang tak pernah merasa paling tahu itu seakan memungkasi perseteruan sengit antara dunia logos dan mitos. Kakek yang tak pernah menikmati bayaran iklannya lantaran selalu habis dibagi-bagikan kepada warga desa di sekitarnya itu juga memberi pesan tauhid mendalam. Kuburannya yang kini tak lagi diketahui keberadaanya karena tersapu material vulkanik, sebenarnya mengingatkan bahwa dirinya bukanlah orang sakti yang harus dikenang. Ia hanya ingin mengatakan, “Marilah menjalin hubungan yang baik kepada Tuhan, kepada alam, dan kepada sesama manusia. Sebab, itulah hakikat bertuhan.”
Amanah itu kini telah diselesikan Mbah Maridjan dengan sempurna. Raden Ngabehi Suraksohargo itu kini telah kembali ke pangkuan Tuhan dengan jiwanya yang tenang. Selamat jalan Sang Penjaga Merapi...

Klaten, 20 November 2010 pukul 00.29 WIB.
Read More

Friday, November 19, 2010

Cinta Mariyati tak bertepi...


Cinta Mariyati tak bertepi. Ketika kekasihnya, Jumarno, 22, terkapar penuh luka bakar disapu awan panas Merapi, ia tetap tak berpaling hati. Ia sadar bahwa kesetiaan adalah guru sejati hidupnya. “Saya tetap mencintai Mas Marno. Tubuhnya memang penuh luka bakar, namun hatinya masih utuh untukku,” kata Mariyati, gadis berusia 20 tahun itu di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Soeradji Tirtonegoro Klaten, Jumat (19/11).
Sudah dua pekan ini, Mariyati selalu menemani Jumarno yang terkapar di RSUP Klaten. Setiap pagi, warga Desa Jiwan, Karangnongko, Klaten itu tak lupa menyuapi Jumarno, belahan jiwanya yang ia kenal setahun lalu di sebuah kesempatan yang tak pernah disangka-sangka. Ia bahkan juga membersihkan kotoran debu dan sisa-sisa luka bakar yang masih melekat di sekujur tubuh dan muka kekasihnya itu. Semua itu ia lakukan dengan sepenuh hati, tanpa sedikitpun menyimpan rasa sesal.
Jika Jumarno merasa kesepian, maka Mariyati-lah orang pertamakali yang setia mendengarkan cerita panjang Jumarno pada detik-detik lolosnya ia dari amukan awan panas di malam gulita itu. “Saat itu saya bertahan di dalam lemari. Tapi, nenek saya mati tersambar awan panas begitu pintu rumah dibukanya,” cerita Jumarno dengan suara tersengal-sengal. Sejenak kemudian, Jumarno menarik nafas dalam. Namun, ia pun kembali mengeluarkan batuk-batuk. “Tenggorokan dan pernafasannya kemasukan abu vulkanik. Jadi, dia sering muntah-muntah dan berdahak,” sahut dr Puspita Laksmintari Sp KK, Kepala Bidang Pelayanan Medik RSUP Klaten seraya meminta kembali Jumarno untuk beristirahat.
Lima hari sebelum letusan Merapi memporakporankan tempat tinggal Jumarno di Desa Glagahharjo, Cangkringan, Sleman, sepasang kekasih itu rupanya telah mengikat janji untuk tetap setia sehati dalam acara tunangan. Tragedi Merapi di tengah malam itu memang sempat memisahkan mereka. Namun, kekuatan cinta mereka yang kudus, akhirnya mempertemukan kembali kedua insan itu meski dalam suasana duka di RSUP Klaten. “Kami sama-sama mengungsi. Bedanya, Mas Jumarno mengungsi ke rumah sakit dengan sekian luka bakar di sekujur tubuhnya,” lanjut Mariyati.
Mariyati dan Jumarno barangkali adalah potret kesetiaan sepasang kekasih yang dipertemukan oleh Merapi. Cinta mereka sungguh tak padam didera goda dan masa bagai samudera luas yang tak melihat harta, tahta, dan rupa...
Read More

Thursday, November 18, 2010

"Pak Bupati...ternak saya mati semua..."


Tanda-tanda kehidupan itu masih belum terlihat. Hanya kabut tebal dan kepulan asap sisa kebakaran yang masih menyelimuti lereng Merapi. Dari arah puncak, samar-samar terlihat seorang pria setengah baya menuruni jalanan penuh debu. Tiba di depan Masjid Al Qodar di simpang jalan, ia langsung menghentikan langkahnya. Pria berusia 48 tahun itu tertegun. Dengan gontai, ia lalu melangkah mendekati rombongan Bupati Klaten, Sunarna yang tengah mengamati puing-puing kehancuran di Desa Gondang, Kemalang. “Pak Bupati, ternak saya mati semua,” ujar dia memelas.
Pria itu bernama Barjowiyono. Ia hanyalah orang kecil. Sehari-harinya beternak sapi dan menggali pasir di Kali Gendol untuk menghidupi keluarganya. Namun, sejak Merapi memuntahkan isi perutnya, Barjo mengungsi dengan meninggalkan sejuta kepedihan dan ketakutan. Rumahnya di RT 1/ RW I Dusun Sambungrejo—sebuah kawasan yang hanya berjarak 4 Km dari puncak Merapi—pun ia tinggalkan. “Saya ngungsi di Posko Bawukan lalu pindah lagi ke Gor Gelarsena. Tapi, empat ternak saya tertinggal di kandang,” kisahnya.
Dua pekan setelah Gunung Merapi meletus hebat, desa yang berada di ujung Kecamatan Kemalang itu memang masih mencekam. Aroma bangkai menyebar di segala penjuru. Rumah-rumah di perkampungan hancur berserakan seperti usai dbombardir pesawat tempur. Tak ada kehidupan, apalagi aktivitas para penggali pasir atau pencari rumput. Bahkan, dusun tempat Barjo lahir dan dibesarkan itu masih belum bisa ditembus tim evakuator. “Status masih Awas, jadi masih membahayakan,” kata Camat Kemalang, Suradi.
Namun, Barjo memberanikan diri. Dengan sekerat harapan yang tersisa, ia pun naik dan menjenguk rumahnya dengan harapan masih ada harta benda yang terselamatkan. Namun, harapan Barjo tinggalah harapan. “Rumah kami tak ikut ambruk. Tapi, sudah tak bisa ditempati. Dapur dan seluruh isi rumah hangus,” sahut istri Barjo, Jumini.
Barjo tak bisa berkata banyak di hadapan bupati Sunarna. Pikirannya barangkali serasa buntu menatap hari depan yang suram, berat, dan hampa. “Kami orang tak punya. Empat ternak kami adalah titipan adik titipan orangtua. Tapi, semua sudah mati terpanggang,” ceritanya.
Keluhan Barjo sungguh bisa dipahami. Bupati Sunarna pun hanya berani menembus Dusun Gondangrejo Balerante. Selebihnya—Dusun Ngipiksari dan Sambungrejo—hanya mampu dilihat dari kejauhan penuh kepulan asap. “Yang tabah, ya, Pak!” kata Sunarna sambil menjabat erat tangan Barjo.
Barjo dan istrinya pun mohon pamit usai mengutarakan isi hatinya. Mereka lalu melanjutkan langkahnya menuruni jalan lereng Merapi yang berdebu itu. Mereka ingin pulang, namun bukan ke rumahnya yang hangus tersapu awan panas itu. Melainkan, ke pos pengungsian. Entahlah, sampai kapan....
Read More

Monday, November 15, 2010

setelah Merapi....


Mentari kian tegak di atas, ketika debu-debu jalanan mulai beterbangan. Seorang bocah berseragam merah putih melangkah pelan di tepi jalan penuh lubang. Ia berjalan sendiri tanpa seorang teman. Sesekali ditolehnya gedung SD di belakangnya yang terasa sepi. Namun, sejenak saja ia pun terus bergegas melangkah seperti gundah mencari teman-temannya. “Saat ini memang baru SD Keputran yang buka. Tapi, ya masih sedikit siswa yang masuk,” kata Camat Kemalang, Suradi singkat.
Senin (15/11) siang itu, jalan utama Kecamatan Kemalang Klaten terasa sedikit menggeliat. Pasar Kembang yang lama tenggelam dalam sepi, kini serasa mengembang. Truk-truk pengangkut ternak sesekali hilir mudik. Para warga pun mulai bergotong royong memotong dahan pohon yang tumbang melintang. Sebuah harapan akan kehidupan pun muncul di sana. “Tadi banyak juga warga yang ke sini (Kantor Kecamatan-red). Mereka menanyakan, ada sisa bahan makanan nggak,” kata Suradi setengah menyesal.
Suradi memang menyesal. Dalam kondisi darurat seperti itu, pasokan makanan memang seperti barang langka. Ketika sejumlah warganya pulang kampung menengadahkan tangan minta makanan, dia tak sangup menjawab. “Di sini, hanya tersisa debu. Tak ada makanan, apalagi bahan logistik di gudang,” lanjutnya.
Namun, pria yang sejak awal tekun mendampingi warganya dalam pengungsian itu tak menyerah. Ia pun mencoba mengontak rekan-rekannya dengan segala kerendahhatiannya. Upayanya itu membuahkan hasil. Sejumlah wakil rakyat menyatakan siap menerjunkan bahan logistik siang itu juga, tak terkecuali SOLOPOS yang tiba-tiba datang menyalurkan bantuan dari para pembacanya. “Saya tak menduga. Akhirnya, ada bantuan datang. Saya tak bisa bayangkan, andai harus minta ke Pemkab, terlalu ribet prosesnya!” akunya.
Ya, warga Kecamatan Kemalang kini memang telah pulang kampung. Tak semuanya, hanya sebagian warga yang tinggal di desa-desa dalam radius lebih 10 Km. Selanjutnya, waktulah yang akan menentukan bagaimana perjalanan warga lereng Merapi itu meretas hari depannya. “Proses recovery inilah yang nantinya akan memakan waktu panjang dan melelahkan,” sahut petugas camat lainnya, Yoko.
Mereka sadar bahwa bencana kemanusiaan itu bukan hanya sekali saat terjadi. Namun, ketika sebagian orang-orang menganggap bencana telah lewat, maka sesungguhnya tugas berat itu sebenarnya baru akan dimulai. Itulah proses rehabilitasi dan recovery. Mulai dari pemulihan tempat tinggal, pemulihan ekonomi, pemulihan tata sosial, hingga pemulihan mental psikis. “Dan itu semua harus menjadi tanggungjawab kita bersama,” kata Suradi.
Pesan Camat Kemalang yang bakal pensiun di tahun baru 2011 itu sungguh mengingatkan betapa bencana Merapi belumlah selesai. Masih ada lagi yang harus dikerjakan bersama-sama. Sebab, letusan Merapi adalah sepengal episode dari perjalanan panjang warga pengungsian untuk bangkit kembali...
Read More

Wednesday, November 10, 2010

harta termahal di pengungsian...


Kisah para pengungsi tak selamanya bertutur tentang luka dan air mata. Seperti kisah perjalanan kaum muhajirin dan kaum anshor di abad VII Masehi era kepemimpinan Nabi Muhammad, kedatangan para pengungsi dari lereng Merapi itu tak jarang disambut penuh cinta oleh warga setempat. Mereka bukan saja saling membalut luka, namun juga saling berbagi tawa menatap hari depan, meski ancaman Merapi masih membayangi mereka. “Kami benar-benar menemukan saudara baru di pengungsian ini. Mereka sangat pehatian dengan kami,” kata Mbah Narto, warga pengungsian dari lereng Merapi Desa Deles Sidorejo Kemalang ketika baru tiba posko pengungsian gedung serbaguna Desa Manjung Kecamatan Ngawen Klaten, Selasa (9/11).
Mbah Narto bersama 600-an warga lainnya mengungsi bukan di pendapa atau di pos-pos pengungsian yang disediakan Pemkab Klaten. Melainkan di rumah-rumah warga di Desa Manjung Kecamatan Ngawen yang sebelumnya tak mereka kenal sama sekali. Mereka tiba-tiba saling mengenal setelah dipertemukan dalam suasana pengungsian. Dalam pengungsian itu, mereka tiba-tiba saling membalut luka. Ada yang menyerahkan baju, ada yang memasak makanan, ada yang merebus air, menata tikar, hingga menyiapkan kandang ternak serta rumputnya. Semua itu dilakukan hanya diikat oleh semangat kemanusiaan. “Kami merasa sangat lega. Seluruh warga di sini menyambut kami dengan tangan terbuka,” kata Sukiman, tokoh masyarakat Sidorejo.
Inilah barangkali yang membuat kecemasan warga pengungsian itu menyingkir seketika. Mereka tak lagi mencemasan persiapan baju untuk salin esok hari. Sebab, berdus-dus pakaian baru dan pakaian layak pantas langsung membanjir tak lama setelah mereka tiba. Mereka juga tak lagi mencemaskan nasib ternak mereka, sebab kandang dan rumput telah disediakan warga setempat. Mereka juga tak lagi mencemaskan logistik, sebab tangan-tangan sukarela tak terduga datang penuh kasih sayang membantu mereka. “Warga yang memiliki kemampuan merumput, ya mencarikan rumput. Yang punya keahlian memasak, ya memasak. Semua saling membahu dengan kemampuannya masing-masing,” sahut Kepala Desa Manjung, AB Amanto.
Inilah fakta yang sesungguhnya warga setempat di tengah bencana Merapi. Mereka, warga di lereng Merapi itu memang kehilangan sebagian harta kekayaannya setelah awan panas dan abu vulkanik menyapu kampung mereka. Namun, mereka sesungguhnya masih memiliki harta termahal, yakni ikatan batin sosial yang mengakar kuat selama ini. “Kami benar-benar salut dengan warga di sini. Mulai pemuda dan orang dewasa menyambut kedatangan kami,” lanjut Sukiman.
Read More

Berkawan dengan ancaman Kali Woro...


Mbah Sugiyem tetap bertahan, meski gelombang pengungsian warga lereng Merapi terus bersusulan. Ia bahkan tak gemetar sama sekali ketika gemuruh suara Merapi terus menggetarkan dinding-dinding rumahnya siang malam. Di dalam rumahnya yang berdiri hanya beberapa jengkal dari Kali Woro itu, ia hanya mempercayai suara hatinya bahwa Merapi tak akan mengusiknya. “Lahar Merapi sampun kulo larang liwat Kali Woro mriki (lahar Merapi sudah saya larang melewati Kali woro di sini-red),” tampik perempuan renta berusia 70 tahun itu ketika sejumlah aparat Desa dan Kecamatan Manisrenggo mencoba merajuknya agar lekas mengungsi ke daerah aman, Senin (8/11).
Mbah Sugiyem adalah potret perempuan masa lalu yang begitu gigih memegang keyakinannya. Ia mungkin memang tak tahu bahwa ribuan warga di sekelilingnya telah eksodus besar-besaran menuju daerah aman sejak tingkah Gunung Merapi kian mengerikan. Siang malam suara gemuruh dari dalam perut bumi tiada henti. Malam hari, pijar api tampak seperti seekor ular merah menuruni lereng Merapi. “Kaca-kaca rumah kami bergetar. Kalau malam mencekam,” kata warga lainnya, Ny Siyono yang kini mengungsi di Prambanan Klaten.
Namun, tak demikian dengan nenek renta yang hidup sebatang kara itu. Di tepi Kali Woro di ujung Desa Borangan Kecamatan Manisrenggo itu, ia tetap setia merawat kedua kambingnya dan 19 ekor ayam berteman seekor anjing kampung. Di ruangan sempit berukuran 2 x 3 meter tanpa lampu penerang itu, Mbah Sugiyem tidur bersama 19 ayamnya beralas jerami. “Jerami alas tidurnya itu baru diganti setelah ada penen padi,” sambung Camat Manisrenggo, Gandung Wahyudi.
Sebelum nasib Mbah Sugiyem berkawan sunyi seorang diri di tepi Kali Woro itu, dia pernah hidup berdua bersama seorang adiknya dan sembilan anjing peliharaanya. Namun, setelah diserang stres menahun, lama-lama adik semata wayangnya itu pun pergi meninggalkannya di gubuk mungil itu. Satu persatu, anjing-anjingnya pun dijual demi menyambung hidupnya. Ia juga tak lupa untuk terus mencari daun jamu sambiroto yang kemudian dijual ke pasar setiap harinya. “Kalau dapat rizki, uangnya buat beli Raskin. Kalau nggak ada, ya masak ketela,” sambung Kadus I Borangan, Sri Kuswanto.
Mbah Sugiyem adalah saksi hidup keganasan lahar Merapi. Dulu, kisah Gandung, kampung yang bernama Ngglinggang tersebut dihuni puluhan warga yang hidup penuh kedamaian. Namun, letusan dahsyat Merapi di tahun 1930-an telah memprokaporandakan kampung dengan sekian kehidupannya. “Warganya saat itu banyak yang mengungsi dan mati diterjang lahar dari Kali Woro,” katanya.
Kini, ketika Merapi kembali bergolak, ingatan warga Borangan akan kisah kelam masa lalu dari Kali Woro seakan kembali hadir. Ribuan warga di sana pun telah mengungsi seiring dengan batas zona bencana yang mencapai 20 Km. Namun, Mbah Sugiyem sama sekali tak bergeming. Ia tetap menganggap Kali Woro sebagai bagian kehidupannya. “Neng kene aman. Mboten wonten napa-napa (Di sini aman. Tak akan ada apa-apa-red),” kata Mbah Sugiyem menegaskan penolakannya untuk mengungsi.
Read More

Tuesday, November 9, 2010

kemanakah dia cari anak dan istrinya...?


Lima hari sudah, Ragil Mulyono, 29, pulang dengan tangan hampa. Hatinya kini serasa hampa, sehampa harapannya mencari jejak kedua anak dan istrinya yang hilang tertelan bencana letusan Merapi, Jumat (5/11) dini hari. Dari tatapannya yang kosong, tersirat sebuah keputus asaan. Warga Dukuh Deles Desa Sidorejo Kecamatan Kemalang Klaten itu pun hanya termangu bertopang dagu di depan bangku di Dusun Manjung Ngawen Klaten. “Anak-anak dan istri saya sudah tak ada kabarnya lagi,” katanya datar.
Selasa (9/11) sore itu, Mulyono baru saja pulang dari Jogja. Ia tak sedang melepas lelah setelah berkali-kali pindah dari satu pengungsian ke pengungsian lain. Melainkan, tengah mencari jawaban atas kerisauannya selama ini tentang keberadaan delapan keluarganya yang hilang disapu awan panas, termasuk kedua anaknya yang masih Balita serta istri semata wayangnya.
Namun, pencariannya itu tak pernah menemukan jawaban. Berpuluh-puluh pos pengungsian dan rumah sakit telah dia datangi. Pencariannya itu, bahkan hingga ke Kabupaten Gunung Kidul Jogja. Namun, hasilnya tetap sama; nihil! “Kami, hanya menemukan kakak iparnya, Wiryadi Santosa mati penuh luka bakar. Itu saja yang baru teridentifikasi saat kami tinjau ke RS Sardjito,” kata Sri Widadi, Kadus II Sidorejo yang selalu menemani Mulyono dalam mencari keluargnya yang hilang itu.
Mulyono masih teringat detik-detik sebelum petaka Merapi menerjang dan melumat habis seluruh isi rumah mertuanya itu. Petang hari sebelum waktu salat isak tiba, Mulyono sempat menelpon istri dan anak-anaknya di rumah ibunya Dukuh Mbrongang Argomulyo Cangkringan Sleman. Gemuruh Merapi yang mencekam kala itu, memaksa Mulyono tak sempat menyusul istri dan kedua anaknya di Cangkringan. Melalui Ponselnya, dia hanya berpesan singkat, agar istri dan anak-anaknya lekas menjauhi Kali Gendol. “Saat itu saya mengungsi ke lapangan Keputran bersama warga lainnya. Istri dan anak saya memilih mengungsi di Cangkringan!” kisahnya.
Malam hari, ketika kabut tebal menyelimuti Merapi, terdengarlah letusan dahsyat. Mulyono bersama ratusan warga pengungsian kala itu terbangun dalam kepanikan. Ia pun langsung menghubungi istrinya. Namun, sejak itulah tak lagi terdengar nada dering dari telpon genggamnya. Mulyono kehilangan kontak istrinya, mertuanya, kakak iparnya, dan juga kedua buah hatinya untuk selamanya. “Saya sedih melihat Mulyono malam itu kebingungan sendiri. Ia mondar-mandir tak karuan,” sahut Ketua RW IX, Sarjoko.
Azan subuh dari kejauhan terdengar berkumandang. Mulyono bersama warga pengungsian lainnya langsung bergegas meluncur ke RS Sardjito Jogja. Di sana, ia saksikan mayat-mayat tanpa rupa bergelimpangan. Tak satupun ia mengenalinya. Hatinya perih, limbung, dan ketakutan setiap menyaksikan mayat-mayat menghitam. Terbayang olehnya Noval Alindra Ismail, puteranya yang masih berusia 11 bulan. Sebentar kemudian terbayang Aprina Rindra Wulandari, puteranya yang masih kelas II SD, juga istri tercintanya, Marsini, 28. “Setelah itu, kami terima kabar dari tim evakuator bahwa mereka menemukan sejumlah jenasah yang ditemukan dalam satu rumah yang hangus terbakar. Namun, sudah tak lagi dikenali wujudnya,” lanjut Sri Widadi.
Kabar itu sungguh menggoncang jiwa Mulyono. Namun, Mulyono masih tak percaya sebelum menyaksikan secara langsung jenasah keluarganya yang ia kenali itu. “Kami akan tetap membantu mencari keluarganya itu. Entahlah sampai kapan...” kata Sri Widadi pasrah.
Read More

Saturday, November 6, 2010

pelipur luka lara...


Sugeng dan istri tercintanya, Sri Rahayu akhirnya tak lagi diselimuti awan muram penuh kecemasan. Sabtu (6/11) pagi hari, ketika jarum jam bergeser pukul 8.30 WIB, seorang bayi yang lama dirindukannya itu akhirnya lahir dengan selamat di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) dr Soeradji Tirtonegoro Klaten. Jerit tangisnya yang pecah kala itu sungguh telah menghapus luka lara Sugeng, warga Desa Balerante Kecamatan Kemalang Klaten yang sejak sebelas hari tinggal di barak pengungsian dengan berjuta kecemasannya. “Padahal, selama hamil tua, istri saya ngungsi terus dari satu tempat ke tempat lain,” kata Sugeng dengan wajah berbinar.
Sugeng sama seperti ribuan pengungsi lainnya di Lereng Merapi yang sehari-hari hanyalah seorang petani kecil. Mereka meninggalkan ternak sapi yang tiap hari terus membayangi tidur malamnya; tentang makanannya, tentang kesehatannya, juga tentang nasibnya jika sewaktu-waktu gunung teraktif di dunia itu memuntahkan isi lambungnya. “Tiap hari ketar-ketir terus. Padahal, ada enam ekor. Empat milik ibu saya,” katanya.
Namun, sejak petaka Merapi meletus Jumat (5/11) dini hari dengan dahsyatnya, Sugeng tersentak, betapa nyawa anaknya, dirinya, dan juga keluarganya itu jauh lebih berharga di atas segalanya. Kala itu ia merasakan betapa semburan pasir basah menyerupai lumpur di sekujur tubuhnya itu sangat dahsyat. Ia juga merasakan bagaimana kepanikan relokasi pengungsian besar-besaran di malam yang mencekam itu. Peristiwa itulah yang kini membuat Sugeng menemukan ilmu kerelaan. Ia pun melepas ternak-ternaknya—harta berharga satu-satunya itu—dengan segala kebesaran jiwanya. “Kami sudah merelakan. Ternak kan masih bisa dicari. Kalau nyawa?” kata ibu Sugeng, Mbah Tomo dengan bijak.
Sugeng dan keluarganya kini tak lagi mencemaskan nasib ternak-ternaknya, meski tinggal di kandang yang berjarak hanya 5 kilometer dari mulut Merapi. Dia juga tak lagi nekad merumput ke lereng Merapi, seperti yang pernah ia lakukan sebelumnya bersama warga lainnya. Sugeng sungguh pasrah dengan kebesaran jiwanya. “Sejak Merapi meletus, malam itu (Jumat, 5/11-red-), kami sudah tak lagi menjenguk sapi. Kami ikhlas,” paparnya.
Sugeng adalah orang kecil yang terpaksa tinggal di pengungsian lantaran tak punya saudara di daerah aman. Setiap hari, ia bertahan dan berpikir atas keselamatan bayinya itu. Ia bahkan tak tahu sama sekali bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah mengeluarkan kebijakan agar pemerintah membeli hewan-hewan ternak milik warga lereng Merapi atau menggantinya jika mati karena letusan Merapi. “Saya nggak tahu itu. Kalau dapat ganti, saya malah bersyukur,” katanya.
Apa yang menimpa Sugeng—baik bencana Merapi dengan segala kepedihannya itu ataupun anugerah sang buah hatinya—sungguh telah membuatnya sadar betapa Tuhan sangat menyayanginya. Meski ia bersama keluargnya harus berlarian dengan ancaman Merapi, namun ia terus berharap tanpa putus asa. Ia rela berteduh di barak pengungsian demi menanti kelahiran sang buah hatinya itu. “Saat ini, kami sudah tak khawatir lagi. Sudah ada bayi yang membuat kami bahagia,” katanya.
Read More

kisah pasir merapi...


Telapak kaki kiri Suyanto, 35, masih terbalut perban. Dia terbaring lemah di ruang darurat (RD) Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Soeradji Tirtonegoro Klaten, Jumat (5/11). Ketika aku mencoba mendekatinya, warga Guling Argomulyo Cangkringan Sleman itu mencoba memalingkan wajahnya yang masih menyisakan kekalutan. “Saya ingin istirahat dulu, Mas,” katanya pelan.
Namun, tak lama seberapa lama, ia pun memberanikan diri bertutur dengan segala ingatan yang masih melekat di sanubarinya. “Malam itu sangat gelap. Listrik padam. Suara Merapi terus menggelegar. Jalanan penuh dengan api membara,” kisah Suyanto dengan terputus-putus.
Tragedi Merapi yang meletus tengah malam itu sungguh menjadi awal cerita panjang Suyanto yang tak kan pernah terlupakan. Malam yang mencekam itu sekitar pukul 00.30 WIB, Suyanto bersama kelima saudaranya meluncur ke bawah dengan kendaraan pikap setelah terdengar letusan menggelegar berkali-kali dari Gunung Merapi. Dalam kepanikan dan kegelapan, kendaraan yang ia tumpangi melaju tanpa arah yang jelas. Tiba di ujung perbatasan desanya, mendadak ban mobilnya meletus keras. “Saat saya tengok, ternyata ban mobil terendam pasir panas hingga meleleh,” kenangnya.
Di situlah awal petaka terjadi. Adiknya, Triyono bersama istri dan anaknya yang masih Balita meregang nyawa di atas butiran pasir dan kerikil yang menyala api. Semua itu ia saksikan di depan mata telanjangnya tanpa ia mampu berbuat sedikit pun. “Saat itu saya bersembunyi di bak belakang mobil pikap. Namun, ketika ban mobil meletus, adik saya malah keluar mobil,” kenangnya.
Triyono yang menyetir mobil malam itu langsung tersungkur di atas pasir dan kerikil membara. Mengetahui suaminya dalam bahaya, istri Triyono, Lili yang menggendong bayinya, Adit, 3, mencoba keluar mobil dan ikut menolong. Namun, nahas benar nasibnya. Lili dan Balita semata wayangnya itu pun ikut tersungkur di atas pasir muntahan Merapi. “Ibu saya, Waginem pun ikut-ikutan keluar mobil, namun begitu menginjakkan kaki, langsung saya tarik ke bak pikap.” urainya.
Suyanto bersama ibunya dan tetangganya, Wawan yang bertahan di bak mobil kala itu selamat. Namun, adiknya bersama istri dan Balitanya mati terpanggang tepat di depan matanya. Selama setengah jam bersembunyi di bak mobil pikap itu, Suyanto tak henti merapal doa dan mantra di bawah selimut sarung. “Saat itu saya membayangkan seperti di neraka. Di mana-mana api menyala. Kami terjebak di tengah jalan di lautan api. Besi-besi mobil mulai panas. Kami siap mati malam itu,” kenangnya.
Doa Suyanto kala itu mungkin terkabul. Dalam ratapan doa tiada henti, mendadak turun hujan dari langit. Pasir dan kerikil membara setinggi roda mobil kala itu pun langsung padam. Perlahan-lahan hawa panas menyingkir bersama kepulan asap putih. “Yang saya takutkan kala itu ialah jika mobil meledak. Beruntung hujan turun malam itu,” paparnya.
Teringat Ponsel yang terselip di saku celananya, Suyanto pun mencoba menghubungi siapa saja yang ia kenal, terutama istrinya, Kartini yang telah mengungsi terlebih dahulu dengan selamat. Ada harapan terang di sana. Sebab, tak seberapa lama, mobil relawan dari kegelapan malam perlahan naik dan memjemputnya. “Saya hanya mengalami luka bakar di kaki kiri. Tapi, adik saya dan keluarganya telah mati,” pungkasnya. (poto:Agoes R)
Read More

Thursday, November 4, 2010

ternak adalah kehidupan kami...


Tak ada yang lebih menggelisahkan perasaan Sutarno, Suwanto, dan Sumidjan selain ternak-ternak mereka di rumah. Setiap malam menjelang, pikiran mereka hanya terkenang harta satu-satunya yang paling berharga itu. Itulah barangkali yang membuat mereka selalu memilih pulang meninggalkan barak pengungsian dan kembali ke lereng Merapi ketika pagi hari tiba. “Kalau nggak pulang, siapa yang bakal mengurus ternak kami di rumah. Itu kehidupan kami,” kata Sutarno, warga Girtengah Tegalmulyo Kemalang, Rabu (3/10).
Sutarno adalah petani kecil biasa. Ladang dan tegalannya di rumah telah hangus tertimbun abu vulkanik Merapi. Untuk menyambung hidup hewan ternaknya itu, bapak berputera dua itu terpaksa merogoh saku celananya demi memperoleh seikat rumput. “Satu ikatnya seharga Rp 10.000. Untuk makan dua ekor sapi sehari, ya butuh tiga hingga empat ikat,” jelasnya.
Harga rumput seperti itu rupanya terlalu berat baginya. Sebab, Sutarno masih harus menyisihkan uang lagi untuk membeli konsentrat dan garam makan sapi sehari-hari. “Kalau dihitung rata-rata, sehari habis Rp 40.000 untuk makan ternak saja. Padahal, di sini kami tak ada pemasukan sama sekali,” katanya.
Tinggal di barak pengungsian, bagi Sutarno dan juga ribuan warga pengungsi lainnya memang sebuah pilihan, betapapun pahitnya. Di sana, mereka sama sekali tak terbayang akan kisah suka cita dan bertabur keindahan. Yang ada hanyalah kecemasan yang terus menggiris perasaan mereka. “Malam hari kami tak bisa tidur. Apalagi kalau ada kabar Merapi mengeluarkan wedhus gembel, saya teringat sapi terus,” kisahnya.
Kegelisahan Sutarno kian tak menentu jika mengingat kedua puteranya yang kini masih kecil-kecil. Kedua buah hatinya itu rupanya tak henti selalu merengek minta uang jajan di lokasi pengungsian. Setiap harinya, tak kurang Rp 20.000 hingga Rp 30.000 yang harus dilepas Sutarno hanya untuk jajan dua orang anaknya itu. “Kalau di rumah mana ada penjual makanan keliling, tapi di pengungsian aneka jajanan ada semua,” sahut warga lainnya dari Dukuh Pajekan Tegalmulyo Kemalang, Suwanto.
Sutarno sungguh gelisah. Begitu pun Suwanto dan Sumidjan. Mereka yang selama sepekan lebih tinggal di pengungsian itu seperti kembali tertimpa bencana sosial kedua. Pendapatan mereka sehari-hari nihil. Namun, pengeluaran terus mengalir tanpa henti. Harta satu-satunya yang paling berharga pun, kini juga telah mereka tinggalkan dengan berjuta kecemasan. Mereka hanya berharap ada pihak yang memperhatikan nasib ternak-ternak mereka itu. “Semoga ada bantuan bagi ternak-ternak kami. Sebab, ternak kami adalah kehidupan kami,” harap Suwanto.
Penyuluh Pertanian Kecamatan Kemalang, Sugiyanto mencatat, sedikitnya ada 6.000 ternak yang tersebar di kawasan rawan bencana (KRB) III di Kecamatan Kemalang. Jumlah sebanyak itu bukanlah sekadar angka-angka yang tertera tanpa makna. Namun, benar-benar sebuah penyangga kehidupan warga lereng Merapi selama ini selain sebagai penambang pasir. “Padahal, saat ini sedang terjadi krisis rumput. Harga jerami menembus Rp 500.000 per rit. Jika tak segera dapat bantuan, maka ternak-ternak itu akan kurus, tak laku jual dan berujung kematian.”
Read More

hikayat kesetiaan Kali Woro


Hikayat Kali Woro adalah tentang kesetiaan alam kepada kehidupan manusia. Namun, ia juga bersaksi atas kerakusan manusia. Pagi hari, ketika Gunung Merapi telah berdiri di ujung kali itu, ribuan penambang pasir telah merayap dan menggali rezeki di sana. Namun, hasrat manusia yang tak pernah terpuaskan telah mengubah segalanya. Kali yang selama ribuan tahun menjadi diorama Kecamatan Kemalang dan Manisrenggo Klaten itu pun dibanjiri mesin-mesin berat penuh keserakahan milik pemodal dan pejabat. Di situlah awal mula kerusakan alam dimulai. “Tanggul-tanggul di sepanjang Kali Woro juga hancur dikeruk warga setiap hari. Akibatnya, ketika lahar dingin lewat, alirannya mengancam dusun-dusun di sekitarnya,” kata Camat Manisrenggo Klaten, Gandung Wahyudi, Kamis (4/11).
Kali Woro adalah kanal-kanal lahar yang tercipta alam dengan sedemikian rupa. Ia menjadi bagian tak terpisahkan dari Gunung Merapi yang melegenda itu. Setiapkali Merapi memuntahkan isi perutnya, setiap itu pula Kali Woro menjadi lumbung kehidupan ribuan bahkan jutaan penduduk di Jateng dan DIY. “Bahkan, pasir Kali Woro yang terkenal paling bagus itu juga sampai ke Jawa Timur dan Jawa Barat,” sahut Sri Sumanta, tim pengawas penambangan galian C Kemalang Klaten. Mungkin karena itulah, Kali Woro seakan tak pernah sepi dari aktivitas penambangan. Bahkan, sejak penambangan galian C di Kabupaten Magelang ditutup tiga tahun silam, jumlah pemburu pasir di Kali Woro mencapai ribuan dengan sekian persoalannya yang kompleks. Jalan-jalan rusak, debu-debu beterbangan, korban berjatuhan. Kali Woro pun berduka. “Sebenarnya, alam itu bersahabat dengan kita. Kita saja yang terlalu rakus,” kecam pegiat lingkungan hidup Kemalang, Sukiman.
Kini, Kali Woro seperti tengah bertapa. Sungai yang membelah daratan di ujung utara Kabupaten Klaten itu begitu tenang penuh wibawa seiring dengan bergolaknya Merapi sepekan terakhir ini. Ribuan pemburu pasir tak satupun yang berani mendekat. Warga di radius 200 meter dari pesisir Kali Woro, seperti Desa Kecemen, Sukorini, Borangan, Sapen, Ngemplak Seneng serta desa-desa lainya di Kemalang dan Manisrenggo terus diambang kecemasan akan datangnya banjir lahar dingin di perut Kali Woro itu. “Namun, percayalah Kali Woro akan tetap setia memberi kehidupan kepada manusia,” pungkas Sukiman.
Read More

Monday, November 1, 2010

bayi-bayi bertahan di pengungsian...


Santi adalah seorang bayi yang selalu ditinggal ibunya pergi setiap pagi. Ketika ia terbangun, didapatinya seorang renta yang tengah menggendongnya. Ia tak menangis, meski perutnya belum terisi seiris roti pagi itu. Dari kedua bola matanya yang sayu, ia amati orang-orang di sekililingnya. Namun, tak lama kemudian, bayi yang usianya belum genap setahun itu terpejam lagi. “Padahal, dia belum makan sama sekali. Ibunya cari rumput ke atas setiap pagi,” kata nenek itu, Mbah Karso Utami, 70, sambil menggendong Santi di lokasi pengungsian Dompol Kemalang, Sabtu (30/10).
Sudah lima hari ini, Mbah Karso menjadi ibu Santi kedua di pengungsian. Usianya yang rapuh, telah membuatnya tak bisa berbuat banyak selain hanya mengasuh cucunya itu sebisanya. Tiap pagi, ia mencari bubur di warung-warung di pinggir jalan. Kadang, dititipi biskuit ibunya Santi untuk campuran makanan Santi. “Saya telah coba dulang mie, tapi tetap nggak mau. Saya bingung,” kata Mbah Karso gelisah.
Dengan segala keterbatasan pengetahuanya itu, Mbah Karso sungguh tak tahu apakah cucunya itu tertidur pulas karena lelah atau karena lapar. Menatap pias wajah cucunya itu, warga Dukuh Grintingan Desa Tegalmulyo Kemalang itu hanya berharap ibunya lekas pulang. “Biasanya jam segini ibunya sudah pulang. Tapi, ini kok belum pulang-pulang,” lanjutnya kian cemas.
Mbah Karso memang bukan seorang diri yang bertugas mengasuh bayi-bayi di pengungsian. Bersama nenek-nenek renta yang lain—Mbah Sartowiyono dan Mbah Madyo Sukarto—mereka menjalankan perannya sebagai orangtua kedua bagi bayi-bayi malang itu meski hanya sebatas menggendong dan menyuapi makanan semampunya. “Di rumah kan masih ninggal sapi. Jadi, orangtuanya yang nyari rumput, kami yang mengasuh cucu,” sahut Mbah Sartowiyono sambil menggendong Ariyanto, cucunya yang baru berusia sembilan bulan itu.
Nasib Ariyanto tak berbeda dengan bayi-bayi yang lain. Saban hari, ia hanya dibelikan bubur di pinggir-pinggir jalan seadanya tanpa gizi mencukupi. Kenyataan itu bukan semata karena ketidaktahuan para nenek-nenek yang mengasuh mereka, namun juga karena bekal mereka di pengungsian sangat terbatas. “Biasanya memang dibelikan bubur SUN, satu bungkus Rp 6.500 untuk dua hari. Tapi di pengungsian, nggak punya uang,” keluhnya.
Kisah Santi, Ariyanto dan juga bayi-bayi lainnya itu sungguh amat mencemaskan. Mereka adalah bayi-bayi yang semestinya mendapatkan asupan mencukupi meski di pengungsian. Ketika Merapi mengancam keselamatan keluarga dan ternak mereka, sebenarnya mereka juga terancam bencana sosial kedua berupa kekurangan gizi. Kenyataan ini, menurut Kepala Dinas Kesehatan Klaten Ronny Roekmito, sebenarnya tak perlu terjadi jika masing-masing koordinator posko bersikap proaktif. Sebab, di posko pengungsian memang telah tersedia makanan khusus untuk bayi. Namun, soal pendistribusiannya itu, inilah yang memang masih menjadi masalah. “Harus satu pintu. Dan itu bukan wewenang kami,” kata Ronny seraya menjelaskan jumlah total Balita di pengungsian sebanyak 600-an jiwa.
Nenek-nenek yang mengasuh para bayi itu barangkali memang tak mengerti. Mungkin pula karena terlalu rumitnya prosedur untuk mendapatkan bantuan, sehingga mereka pun tak pernah terlintas untuk berebut bantuan bagi cucu-cucunya itu. “Untunglah, cucu saya ini tak rewel. Semoga saja ibunya lekas pulang,” harap Mbah Karso.
Read More

Saturday, October 23, 2010

Sepengal harapan mereka di lereng Merapi....


Kabut tebal turun lebih awal sore itu. Jalanan yang terjal nan menanjak telah memaksa perjalananku terhenti di sana. Di ujung jalan di depan gardu pandang itulah, tiba-tiba terdengar suara gemuruh beberapa kali.
“Suara apa itu, Pak?” tanyaku kepada dua lelaki setengah baya yang melintas.
“Itu suara guguran batu Merapi, Mas,” jawabnya.
Aku terheran dalam batin, sebab orang itu sama sekali tak menampakkan ekspresi terkejut ketika mendengar suara gemuruh dari Merapi. Barulah aku sadar, betapa
perjalananku sore itu rupanya telah tiba di Dukuh Deles, sebuah dukuh yang hanya berjarak empat kilometer dari puncak Merapi. Di lokasi paling ujung dari Desa Sidorejo Kecamatan Kemalang Klaten itulah, tampak olehku sejumlah anak-anak muda berjaga di sebuah ruangan yang dilengkapi pemancar radio. Mereka ialah relawan yang tergabung dalam Paguyuban Siaga Merapi (Pasag). Di sana, sinyal handy talk(HT) tak henti mendenging. Sesekali terdengar meliuk-liuk panjang seperti ada gangguan frekuensi. “Kalau suaranya tak normal seperti itu, artinya ada guguran batu Merapi,” urai Sarjino, relawan Pasag.
Malam kian larut. Suara gemuruh juga masih kerap terdengar. Sesekali terdengar suara anjing melonglong dari kejauahan. “Warga di sini itu sudah kapok diungsikan, Mas. Bikin sengsara warga saja,” celetuk warga lainnya, Kopral dengan kesal. Aku mulai tertarik dan menyimak penuturan warga di sana.
Rupanya, pengalaman evakuasi di tahun 2006 silam telah menjelma kenangan kelam dan menjadi sumbu kekesalan warga. Sebab, mereka yang diungsikan pemerintah kala itu bukannya selamat dari bencana, melainkan malah tertimpa bencana. Selama tiga bulan lamannya, mereka rupanya dipaksa menjalani masa pengungsian tanpa kerja, tanpa kesiapan logistik, serta tanpa bantuan yang memadai. “Warga dikasih makan lauk gereh asin tiap hari. Mereka juga harus membayar sendiri ongkos transportasi Rp 10.000 per hari. Ternak tabungan banyak yang dijual karena kehabisan bekal,” kisahnya.
Niat pemerintah mengevakuasi kala itu barangkali sangat mulia. Namun, siapakah yang mengerti betapa tindakan evakuasi kala itu penuh dengan kamuflase dan kecerobohan. Warga yang kala itu masih tenang, tiba-tiba dipaksa mengungsi lantaran Gubernur Jawa Tengah bakal mengunjungi Kemalang. “Padahal, saat itu status Merapi masih belum siaga. Orang kecil malah dikorbankan,” gugat Sarjino.
Peristiwa itu sungguh melukai hati warga di kawasan rawan bencana Kemalang. Sebab, warga harus menanggung derita tiga bulan lamanya di tenda pengungsian yang tak siap pakai itu. Harta mereka terkuras untuk biaya operasional evakuasi. Anak-anak mereka terserang diare. Ternak mereka pun kurus tak terurus. “Dan setelah logistik di tenda habis lantaran Merapi tak kunjung meletus, warga baru disuruh kembali ke rumah,” jelasnya.
Namun, di sinilah luka warga kian menganga. Sebab begitu warga kembali ke rumah masing-masing, sekejap kemudian Merapi memuntahkan isi perutnya. Mereka pun pulang disambut dengan debu bercampur lumpur. “Inilah akibat keputusan yang diambil dengan gegabah,” tandasnya.
Warga mungkin telanjur kecewa. Namun, mereka hanya bisa menghela napas panjang kala itu. Mereka adalah orang kecil yang tak terbiasa bersikap kamuflase. Mereka hanya ingin selamat dari bencana Merapi. Bukan mengada-ada membikin program atas nama bencana Merapi. Itu saja yang mereka harapkan. Tak lebih!
Read More

Monday, October 11, 2010

Mawar Melati itu...

Mawar dan Melati adalah dua bocah kembar. Usianya masih lima tahunan. Ketika mereka lahir, ada tangis bahagia dan tangis duka. Sebab, ibunya telah mendahului pergi ke alam baka bersamaan dengan kelahiran dua bocah itu. Dan seperti anak-anak yatim yang lain, Mawar dan Melati pun harus menjalani hidup tanpa pernah menatap wajah ibunya meski sekilas. Untuk mengisi hari-harinya, mereka pun diasuh bibinya, Marsih, 50, di Dukuh Klebengan Desa Juwiran Kecamatan Juwiring Klaten. “Ayahnya merantau ke Jakarta untuk menghidupi dan menata masa depan Mawar Melati,” kisah seorang pengacara, Gino, penuh iba. Senin (11/10) siang itu, Mawar dan Melati tak bermain riang di taman kanak-kanak (TK) bersama teman sebayanya. Mereka bermain di emperan Pengadilan Negeri (PN) Klaten bersama bibinya dan sejumlah saudaranya. Kedua bocah itu sama-sama berpakaian serba merah, namun bukan simbol marah. Mereka datang untuk menjadi saksi korban atas rentetan malapetaka yang menimpanya selama setahun ini. “Mawar dan Melati bukan saja telah dicabuli. Namun, telah disetubuhi,” tegas Gino dengan marah tertahan. Sejak awal, Gino memanggil dua bocah kembar itu dengan nama samaran Mawar dan Melati. Panggilan itu bukan sekadar untuk melindungi identitas mereka yang masih panjang masa depannya. Namun, memang semestinya Mawar-Melati diperlakukan seperti bunga yang tumbuh dan disiram penuh kasih sayang. “Sayang, sejak Agustus 2009 hingga Juli 2010, Mawar-Melati telah menjadi korban pelampiasan nafsu seorang ramaja lulusan SMP yang suka nonton film porno,” jelas Gino. Malapateka itu sungguh terasa menyakitkan. Sebab, korban bukan saja seorang bocah yang masih lugu. Namun, juga seorang anak yatim sejak lahir. Lebih memprihatinkan, pelaku yang masih berusia 17 tahun itu, Ar, bukan sekali dua kali menuruti nafsu bejatnya. Namun, lebih dari empat kali hingga selaput dara dua bocah kembar itu robek. “Kesaksian korban menyebutkan empat kali. Namun, saya yakin lebih dari tujuh kali, sebab korban masih bocah yang tak mengingat betul kejadiannya,” urai Gino. Terkuaknya kisah itu bermula dari kesaksian Marsih yang kerap melihat bercak warna merah di pakaian dalam Mawar-Melati saat memulai aktivitasnya mencuci. Warna merah itu rupanya bukanlah warna biasa. Melainkan warna merah darah. “Semula bibinya tak menaruh curiga sama sekali. Namun, ketika Mawar-Melati mengeluh sakit, mereka pun diperiksakan ke dokter hingga ke dukun. Hasilnya, ada luka robek serius di selaput daranya,” ceritanya.Semua terkejut, terpukul, dan marah. Ibu kedua bocah kembar itu barangkali akan menangis tersedu andai menyaksikan buah hati yang ia lahirkan dengan taruhan nyawanya itu diperdaya oleh remaja yang masih tetangganya sendiri. Dan seperti yang sudah diduga, pelaku yang diancam UU Perlindungan Anak dengan kurungan maksimal 15 tahun penjara itu mengaku menyesali kelakuannya. “Saya sangat menyesal,” katanya lirih kepada Gino, penasehat hukumnya yang ditunjuk PN. Rasa sesal memang selalu datang di kemudian hari. Dan remaja itu baru menyadari betapa dirinya selama ini telah terpedaya oleh kemajuan teknologi tanpa batas itu. “Jika bukan orangtua dan keluarga, siapa lagi yang akan menjaga anak-anak kita dari gempuran kemajuan teknologi itu,” pesan Gino.
Read More

Monday, October 4, 2010

negeri KTP

Negeri ini, kata orang-orang, konon tak hanya salah urus. Tapi juga salah membikinnya, salah mengandungnya dan salah melahirkannya.

Seorang anak yang sejak lahir sudah menginjak tanah negerinya sendiri, dibilang bukan warga negara ini hanya karena tak punya KTP. Fatalnya lagi, gara-gara telat memperpanjang KTP, dia diangap batal status kewarganegaraannya. Di sejumlah daerah, malah telah disiapkan Perda yang mengatur denda bagi warga yang telat memperbarui KTP. Sebentar lagi, mungkin bakal ada Perda yang lebih galak. Barangsiapa telat memperbarui KTP, maka masuk pelanggaran pidana!

Di Kecamatan Jatinom Klaten, seorang ibu rumah tangga yang hanya buruh batu bata ditolak berobat dengan kartu Jamkesmas-nya hanya gara-gara KTP-nya belum diperbarui. Ibu itu barangkali tak hanya bingung memahami KTP lantaran dia memang buta huruf. Namun, dia juga absurd memahami KTP yang ternyata jauh lebih penting ketimbang nyawa dan kandungannya itu.

KTP—kartu tanda penduduk itu—barangkali kini telah menjadi ironi baru. Ia tak hanya dianggap sekedar pelengkap administrasi. Namun telah membius dan menembus segala lini kehidupan. Ia bahkan menjadi lebih esensi ketimbang pemegangnya.

Saya pernah ditugasi untuk meliput sebuah acara di kompleks TNI. Sampai di depan gerbang pintu, ada beberapa petugas berwajah galak mengadang. Dan satu pertanyaan yang mereka lontarkan, “Mana KTP-nya?”

Saya heran. Selembar kertas yang dipress plastik bening itu ternyata jauh lebih berharga ketimbang kedatangan tamu. Ini negera seolah-olah dihuni KTP, bukan nyawa, jiwa, raga, dan berjuta rakyat dengan peradabannya. Mungkin karena kesal itulah, saya bohongi petugas jaga malam itu. “Maaf, Pak. Saya tak bawa KTP!”

Saya pun disuruh pulang mengambil KTP dan tak pernah kembali lagi masuk komplek TNI itu.

Saya pulang dari sana bukan mengangkut kekalahan. Namun merayakan kemenangan. Sebab, status KTP itu telah aku taklukkan. Dalam hati kecilku, saya bertanya, apakah selembar KTP menjadi lebih subtansial ketimbang pemegangnya. Jika tujuan KTP tidak lebih hanya untuk mempermudah negara dalam mengidentifikasi warganya, kenapa bukan negara—pejabatnya, atau siapa saja yang digaji negara—yang memberi KTP warga? Kenapa justru penduduk asli yang harus merengek-rengek dibuatkan KTP?

Posisi seperti ini sebenarnya mengandaikan bahwa tanpa KTP warga tidaklah sah menjadi warga negara. Dan ini bukan saja bentuk perampasan status penduduk. Namun, juga bentuk pengalihan hak kemanusiaan yang paling utuh penghuni sah negeri kepada selembar KTP.
Read More

Friday, September 24, 2010

Dari teras rumah ingin membelah dunia

Sanggar itu bernama Lima Benua, sebuah nama yang melukiskan betapa besarnya cita-cita yang digantung di sana. Lokasinya yang berada di ujung jalan Dukuh Gritan Belang Wetan Klaten Utara, tak membuat sanggar itu seperti terasing. Justru yang tampak adalah terbitnya sebuah harapan. Sebab, anak-anak miskin telantar yang menimba ilmu di sana seperti kembali menemukan ruang berkreativitas yang selama ini terampas oleh takdir sosial. “Mereka itu sebenarnya bukan beban negara. Berikan mereka ruang berkreativitas, maka mereka akan menjelma potensi raksasa,” kata pendiri sanggar tempa Lima Benua, Hari Purnama di hadapan rombongan Menteri Sosial (Mensos) Salim Segaf Al Jufri saat berkunjung ke sanggarnya, Kamis (23/9).
Anak-anak, di mata Hari Purnama barangkali adalah cahaya purnama. Mereka memberi harapan yang terang ketika nasib sebuah bangsa dipertaruhkan masa depannya. Dan anak-anak itu adalah embrio yang akan melanjutkan sejarah kebesaran Nusantara ini. Itulah sebabnya, lelaki berambut gondrong ini seakan menggenggam cahaya terang ketika sanggar Lima Benua itu ia rintis bersama istri tercintanya, Hidayati sepuluh tahun silam. “Dulu hanya tempat bermain anak-anak di teras rumah. Tapi, ke depannya kami ingin nasib anak-anak di sini bisa terangkat hingga tingkat dunia,” kata Hidayati.
Mimpi Hidayati itu barangkali tak ubahnya lamunan kosong di siang bolong. Namun, siapakah yang sanggup membendung mimpi besar setiap insan. Di sana, memang tak tersedia gedung raksasa atau perabotan mewah layaknya sekolah-sekolah bertaraf internasional. Di sana, juga tak ada para penyandang dana besar dari para pengusaha berkelas. Di sana, sekali lagi, hanyalah sebuah sekolah untuk kaum miskin papa yang mungkin telah dilupakan orang. “Namun, kami mengajarkan kemauan yang keras, tekad yang kuat, dan keyakinan bahwa Tuhan akan memeluk setiap mimpi kita,” katanya.
Selama sepuluh tahun berdiri, sanggar Lima Benua memang telah membuktikan jati dirinya menjadi rumah penempa ratusan kaum miskin dan anak telantar. Mereka ditempa untuk menjadi desainer, menjadi musisi, menjadi seniman, dan menjadi siapa saja asal memiliki kepercayaan diri. Semua itu, mereka tebus bukan dengan modal uang, namun dengan kemauan dan niat yang kuat. “Sebenarnya, sekolah ini digratiskan bagi anak-anak yang benar-benar tak mampu. Namun, yang sekolah ke sini ternyata dari kalangan tak mampu semua,” pungkas Hidayati.
Read More

membuka mata desa...

Pria itu tak menaiki mobil mewahnya. Ia memilih kereta bendi yang ditarik seekor kuda. Sosok yang memiliki 90 lebih karya riset itu juga tak mengenakan jas mlipit atau bersepatu kantoran. Ia hanya berpakain sorjan Jawa dan bertopi caping. Kedua kakinya pun melangkah kesana kemari tanpa alas kaki. Padahal, rumahnya di Krakitan Bayat Klaten sebentar lagi kedatangan orang nomer satu di daerahnya, Bupati Sunarna beserta rombongannya. Namun, bapak berputra tiga ini memiliki cara tersendiri dalam menyambut bupatinya itu.
Bersama warganya, ia sajikan menu makan seadanya dari hasil ladang dan sawahnya. Ada ubi-ubian, ketela, kacang tanah, jagung rebus, kelapa muda, rambutan, atau pisang rebus. Semuanya dikemas dalam balutan budaya rakyat kecil; tarian, salawatan, karawitan, musik lesung, hingga aneka dolanan anak-anak. “Kita ini bangsa agraris. Jadi, memang demikianlah sajiannya,” katanya merendah di sela-sela peresmian Museum Pertanian di kediamannya, Kamis (16/9) lalu.
Pria itu bernama Suratman Worosuprojo. Ia biasa dipanggil Suratman. Beberapa tahun terakhir ini, namanya begitu lekat di telinga warga Klaten, khususnya Desa Krakitan Bayat. Bukan soal gelar keprofesorannya atau seabrek karya risetnya yang telah memposisikannya dia sebagai Pengurus Pusat Ikatan Geografi Indonesia (IGI). Namun, hanya karena satu hal, yakni kecintaannya kepada desa kelahirannya. “Dulu, Pak Suparlan (ayah Suratman-red) pernah wasiat agar desanya ini ada yang melestarikan,” kata Darsono, tetangga Suratman.
Wasiat itu ternyata begitu terngiang di telinga Suratman. Dan ketika perjalanannya menempuh pelbagai riset tentang tanah dan lingkungan telah menobatkannya sebagai guru besar UGM, bapak kelahiran 6 Juni 1954 ini seperti terus terpanggil untuk mewujudkan mimpi ayahnya itu. “Yang terpikir saat itu, betapa bapak saya sangat mencintai tanah desa. Tanah tumpah darahnya, tanah negerinya sendiri,” katanya.
Sejarah itu bermula pada tahun 2000 ketika Suratman bertekad menyingsingkan lengan bajunya. Desa Krakitan yang sejauh mata memandang dipenuhi hamparan tegalan, kebun, perbukitan dan rawa seluas 180 hektare itu didesain ulang hingga mencitrakan kampung wisata yang eksotik. Rumah warisan orangtuanya, ia sulap menjadi Museum Tani Indonesia—satu-satunya museum di Klaten yang ia bangun dengan modal sendiri.
Ia juga menggarap home stay melalui rumah-rumah penduduk, menata infrastruktur praktek bertani, outbond di alam desa, memancing, upacara tradisi, festival tani serta menyaksikan upacara tradisi. Selain itu, ia juga membikin konsep agar wisatawan bisa terlibat langsung dalam berbagai permainan tradisional, tari-tarian, membaca di perpustakaan tani, serta memetik buah langsung dari pohon. “Setidaknya ada 25 kegiatan yang kami himpun dalam desa wisata ini. Semua itu disengkuyung oleh warga dan hasilnya juga dinikmati oleh warga,” urainya.
Tanah, di mata pakar geografi jebolan UGM ini bukanlah sesuatu yang sekadar menyimpan kekayaan alam. Namun, aneka budaya, pranata sosial beserta kearifan lokalnya juga tumbuh dan berkembang di sana. Itulah sebabnya, Suratman tak ingin membangun desa wisata hanya bertumpu pada potensi alam. Namun, harus dibangun berdasarkan nilai-nilai tradisi dan kearifan lokal. “Alam ini hanya mampu memenuhi kebutuhan manusia, tapi tak akan pernah mampu memenuhi kerakusan manusia,” kata dia mengutip ungkapan Mahatma Gandhi.
Al hasil, tanah peninggalan orangtuanya seluas dua haktare itu ia wakafkan demi terwujudnya museum pertanian. Sisa lahan di sampingnya, ia bangun taman bacaan, panggung mini untuk pentas budaya, serta budidaya ternak yang menyebar di pekarangan milik warga. Ada penangkaran burung Jalak Uren, ada yang beternak bebek, kambing, sapi, burung puyuh, hingga pembibitan aneka tanaman. Dia juga menggerakkan warga untuk bersama-sama merekayasa setiap jengkal tanah agar mampu mendatangkan manfaat. “Ibaratnya itu, selokan saja di mata Suratman jangan sampai sia-sia. Sebab, masih bisa untuk budidaya lele atau diolah agar ramah tetap lingkungan,” lanjut saudara Suratman, Sugiyanto.
Salah satu kisah kesuksesan yang dirasakan warga sejak 2 tahun terakhir ialah berkembangnya budidaya burung Jalak Uren—mamalia dengan kemampuan bersuara 32 jenis. Hewan yang tergolong langka itu rupanya mampu mendongkrak penghasilan warga rata-rata Rp 2 juta per bulan. Gara-gara Jalak Uren ini pula, warga meraih penghargaan di bidang lingkungan dari pusat Penyuluhan Kehutanan Jakarta sekitar dua bulan lalu. “Dari perangkat desa dengan gaji pasa-pasan hingga pemuda pengangguran, kini sama-sama menekuni budidaya ini. Kesannya memang main-main. Tapi, di tangan Suratman hasilnya bukan main,” kata Rahmanto.
Kehadiran Suratman ke tengah-tengah masyarakat, menurut kepala Desa Krakitan Sunudi, memang memiliki momentum yang tepat. Ketika kebanyakan profesor “bertapa” di menara gading, Suratman justru turun gunung. Ia memilih kembali ke desa tempat dia dilahirkan untuk memperkuat jati diri desa. “Dia itu pioner. Sosok yang mampu menggali dan merangkum segala kemungkinan potensi desa yang ada,” katanya.
Atas jasa Suratman itulah, Bupati Klaten Sunarna mengaku terharu bercampur bangga. Baginya, jerih payah Suratman dalam memberdayakan warganya di bidang lingkungan dan ekonomi kerakyatan adalah aset terbesar yang pernah dimiliki Kabupaten Klaten. “Saya hanya bisa haturkan terimakasih mendalam kepada Pak Suratman, pemrakarsa berdirinya desa wisata dan museum tani Indonesia ini,” kata Sunarna dalam sambutannya itu.
Read More

Tentang Blog

Ini hanya cerita tentang orang biasa. Tentang ketegarannya, kesabarannya, ketekunannya, kebesaran jiwanya, dan kepasrahan hidupnya kepada pemangku jagad ini.

Terpopuler

Designed ByBlogger Templates