Saturday, November 6, 2010

pelipur luka lara...


Sugeng dan istri tercintanya, Sri Rahayu akhirnya tak lagi diselimuti awan muram penuh kecemasan. Sabtu (6/11) pagi hari, ketika jarum jam bergeser pukul 8.30 WIB, seorang bayi yang lama dirindukannya itu akhirnya lahir dengan selamat di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) dr Soeradji Tirtonegoro Klaten. Jerit tangisnya yang pecah kala itu sungguh telah menghapus luka lara Sugeng, warga Desa Balerante Kecamatan Kemalang Klaten yang sejak sebelas hari tinggal di barak pengungsian dengan berjuta kecemasannya. “Padahal, selama hamil tua, istri saya ngungsi terus dari satu tempat ke tempat lain,” kata Sugeng dengan wajah berbinar.
Sugeng sama seperti ribuan pengungsi lainnya di Lereng Merapi yang sehari-hari hanyalah seorang petani kecil. Mereka meninggalkan ternak sapi yang tiap hari terus membayangi tidur malamnya; tentang makanannya, tentang kesehatannya, juga tentang nasibnya jika sewaktu-waktu gunung teraktif di dunia itu memuntahkan isi lambungnya. “Tiap hari ketar-ketir terus. Padahal, ada enam ekor. Empat milik ibu saya,” katanya.
Namun, sejak petaka Merapi meletus Jumat (5/11) dini hari dengan dahsyatnya, Sugeng tersentak, betapa nyawa anaknya, dirinya, dan juga keluarganya itu jauh lebih berharga di atas segalanya. Kala itu ia merasakan betapa semburan pasir basah menyerupai lumpur di sekujur tubuhnya itu sangat dahsyat. Ia juga merasakan bagaimana kepanikan relokasi pengungsian besar-besaran di malam yang mencekam itu. Peristiwa itulah yang kini membuat Sugeng menemukan ilmu kerelaan. Ia pun melepas ternak-ternaknya—harta berharga satu-satunya itu—dengan segala kebesaran jiwanya. “Kami sudah merelakan. Ternak kan masih bisa dicari. Kalau nyawa?” kata ibu Sugeng, Mbah Tomo dengan bijak.
Sugeng dan keluarganya kini tak lagi mencemaskan nasib ternak-ternaknya, meski tinggal di kandang yang berjarak hanya 5 kilometer dari mulut Merapi. Dia juga tak lagi nekad merumput ke lereng Merapi, seperti yang pernah ia lakukan sebelumnya bersama warga lainnya. Sugeng sungguh pasrah dengan kebesaran jiwanya. “Sejak Merapi meletus, malam itu (Jumat, 5/11-red-), kami sudah tak lagi menjenguk sapi. Kami ikhlas,” paparnya.
Sugeng adalah orang kecil yang terpaksa tinggal di pengungsian lantaran tak punya saudara di daerah aman. Setiap hari, ia bertahan dan berpikir atas keselamatan bayinya itu. Ia bahkan tak tahu sama sekali bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah mengeluarkan kebijakan agar pemerintah membeli hewan-hewan ternak milik warga lereng Merapi atau menggantinya jika mati karena letusan Merapi. “Saya nggak tahu itu. Kalau dapat ganti, saya malah bersyukur,” katanya.
Apa yang menimpa Sugeng—baik bencana Merapi dengan segala kepedihannya itu ataupun anugerah sang buah hatinya—sungguh telah membuatnya sadar betapa Tuhan sangat menyayanginya. Meski ia bersama keluargnya harus berlarian dengan ancaman Merapi, namun ia terus berharap tanpa putus asa. Ia rela berteduh di barak pengungsian demi menanti kelahiran sang buah hatinya itu. “Saat ini, kami sudah tak khawatir lagi. Sudah ada bayi yang membuat kami bahagia,” katanya.


No comments:

Post a Comment

Tentang Blog

Ini hanya cerita tentang orang biasa. Tentang ketegarannya, kesabarannya, ketekunannya, kebesaran jiwanya, dan kepasrahan hidupnya kepada pemangku jagad ini.

Terpopuler

Designed ByBlogger Templates