Tuesday, November 23, 2010

Pasar Butuh...


Lima hari lalu, Sutarmi menjenguk kiosnya di deretan bangunan tua di Pasar Butuh Kecamatan Kemalang. Ia lega, sebab kiosnya itu masih utuh. Namun, sampah-sampah mengeras berserakan di terasnya. “Debunya setebal ini,” kata dia sambil mengacungkan jari kelingkingnya untuk menunjukkan ketebalan abu vulkanik yang mengendap di lantai kiosnya.Ia pun singsikan lengan bajunya saat itu juga.
Sutarmi sungguh mencintai kiosnya itu. Dengan sisa harapannya, warga Desa Sapen Kecamatan Manirenggo itu pun akhirnya memberanikan diri membuka pintu-pintu kiosnya. Dari raut mukanya terbaca dengan jelas betapa ibu itu tak sanggup berpisah dari Pasar Butuh, sebuah pasar yang menjadi sumber penghidupan utamanya sejak 21 tahun silam. “Sejak anak pertama saya lahir, saya sudah berjualan dan mencari nafkah di sini,” kata dia.
Butuh adalah sebuah nama pasar tradisional—selain nama dukuh di Desa Bawukan, Kemalang—yang tumbuh dan berkembang di lereng Merapi. Sejak puluhan tahun silam, pasar yang terdiri dari lapak-lapak kayu dan deretan kios usang itu telah menjadi denyut kehidupan ribuan orang-orang kecil dari berbagai wilayah. Bahkan, jalan raya yang menjadi batas antara Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Klaten di Pasar Butuh itu seakan menyatu oleh aktivitas pasar. “Kalau hari-hari biasa, jalan itu dipenuhi penjual dan pembeli. Ada yang dari Jogja dan Klaten,” kenang Rubbiyo, tokoh warga Dusun Butuh Bawukan Kemalang.
Namun, sejak Merapi menyemburkan isi lambungnya dengan hebat, keriuhan orang-orang kecil di sana tak lagi terdengar. Pasar itu seakan tenggelam dalam pangkuan Gunung Merapi. Para pedagang dan pembelinya lari tunggang langgang. Mereka meninggalkan Pasar Butuh, betapapun mereka sebenarnya akan selalu membutuhkannya. “Semua pedagang nggak ada yang berani jualan. Semua mengungsi,” cerita Sutarmi.
Kini, Merapi sedikit mereda meski sirene tanda bahaya sesekali terdengar. Pasar Butuh yang hilang kumandangange itu kini kembali hadir meski tanpa aliran listrik. Pagi hari ketika kabut tiba, para pedagang mulai memberanikan diri membuka dasaran di tepian jalan. Pembeli pun berdatangan penuh harapan. “Masih sedikit pedagang yang buka. Tapi, ya lumayan ketimbang sepi nyeyet,” terang Sutarmi sambil menengok deretan kios di kanan kirinya yang masih terkunci rapat. Hari semakin siang. Sutarmi mulai khawatir berjualan seorang diri. Ia pun bergegas mengemasi barang dagangannya. Dan Pasar Butuh itu pun kembali sepi...


No comments:

Post a Comment

Tentang Blog

Ini hanya cerita tentang orang biasa. Tentang ketegarannya, kesabarannya, ketekunannya, kebesaran jiwanya, dan kepasrahan hidupnya kepada pemangku jagad ini.

Terpopuler

Designed ByBlogger Templates