Thursday, November 18, 2010

"Pak Bupati...ternak saya mati semua..."


Tanda-tanda kehidupan itu masih belum terlihat. Hanya kabut tebal dan kepulan asap sisa kebakaran yang masih menyelimuti lereng Merapi. Dari arah puncak, samar-samar terlihat seorang pria setengah baya menuruni jalanan penuh debu. Tiba di depan Masjid Al Qodar di simpang jalan, ia langsung menghentikan langkahnya. Pria berusia 48 tahun itu tertegun. Dengan gontai, ia lalu melangkah mendekati rombongan Bupati Klaten, Sunarna yang tengah mengamati puing-puing kehancuran di Desa Gondang, Kemalang. “Pak Bupati, ternak saya mati semua,” ujar dia memelas.
Pria itu bernama Barjowiyono. Ia hanyalah orang kecil. Sehari-harinya beternak sapi dan menggali pasir di Kali Gendol untuk menghidupi keluarganya. Namun, sejak Merapi memuntahkan isi perutnya, Barjo mengungsi dengan meninggalkan sejuta kepedihan dan ketakutan. Rumahnya di RT 1/ RW I Dusun Sambungrejo—sebuah kawasan yang hanya berjarak 4 Km dari puncak Merapi—pun ia tinggalkan. “Saya ngungsi di Posko Bawukan lalu pindah lagi ke Gor Gelarsena. Tapi, empat ternak saya tertinggal di kandang,” kisahnya.
Dua pekan setelah Gunung Merapi meletus hebat, desa yang berada di ujung Kecamatan Kemalang itu memang masih mencekam. Aroma bangkai menyebar di segala penjuru. Rumah-rumah di perkampungan hancur berserakan seperti usai dbombardir pesawat tempur. Tak ada kehidupan, apalagi aktivitas para penggali pasir atau pencari rumput. Bahkan, dusun tempat Barjo lahir dan dibesarkan itu masih belum bisa ditembus tim evakuator. “Status masih Awas, jadi masih membahayakan,” kata Camat Kemalang, Suradi.
Namun, Barjo memberanikan diri. Dengan sekerat harapan yang tersisa, ia pun naik dan menjenguk rumahnya dengan harapan masih ada harta benda yang terselamatkan. Namun, harapan Barjo tinggalah harapan. “Rumah kami tak ikut ambruk. Tapi, sudah tak bisa ditempati. Dapur dan seluruh isi rumah hangus,” sahut istri Barjo, Jumini.
Barjo tak bisa berkata banyak di hadapan bupati Sunarna. Pikirannya barangkali serasa buntu menatap hari depan yang suram, berat, dan hampa. “Kami orang tak punya. Empat ternak kami adalah titipan adik titipan orangtua. Tapi, semua sudah mati terpanggang,” ceritanya.
Keluhan Barjo sungguh bisa dipahami. Bupati Sunarna pun hanya berani menembus Dusun Gondangrejo Balerante. Selebihnya—Dusun Ngipiksari dan Sambungrejo—hanya mampu dilihat dari kejauhan penuh kepulan asap. “Yang tabah, ya, Pak!” kata Sunarna sambil menjabat erat tangan Barjo.
Barjo dan istrinya pun mohon pamit usai mengutarakan isi hatinya. Mereka lalu melanjutkan langkahnya menuruni jalan lereng Merapi yang berdebu itu. Mereka ingin pulang, namun bukan ke rumahnya yang hangus tersapu awan panas itu. Melainkan, ke pos pengungsian. Entahlah, sampai kapan....


No comments:

Post a Comment

Tentang Blog

Ini hanya cerita tentang orang biasa. Tentang ketegarannya, kesabarannya, ketekunannya, kebesaran jiwanya, dan kepasrahan hidupnya kepada pemangku jagad ini.

Terpopuler

Designed ByBlogger Templates