Saturday, November 20, 2010

Jalan sujud Mbah Maridjan....


Di sebuah rumah yang telah porak poranda itu, Mbah Maridjan ditemukan bersujud. Wajahnya masih bersih berseri. Namun, ia telah pergi di pangkuan Merapi, gunung yang selalu menaburkan kesuburuan dan berjuta kekayaan kepada umat manusia. Ia mungkin tak meninggalkan harta berharga selama hidupnya, selain kebersahajaannya, keteguhannya, kejujurannya, kerendahan hatinya, serta dedikasinya menjaga amanah.
* * *
Mbah Maridjan mungkin sebuah enigma. Dia dan Gunung Merapi seperti satu kesatuan yang utuh. Ketika orang mengeksploitasi Merapi tanpa henti, Simbah tetap menjaga sepenuh hati. Ia rela melakukan laku batin ke Merapi, betapapun selalu dikebiri orang-orang rasional, tak terkecuali HB X, rajanya di Keraton Kasultanan Yogyakarta. Ia dicemooh melakukan perbuatan tahayul, khurafat, dan kebodohan.
Namun, Mbah Maridjan tetap teguh.
Ia bukanlah manusia egois dan ringkih yang selalu mengaitkan ikatan batin kepada alam sebagai sebuah kekufuran. Mbah Maridjan adalah manusia ruang yang membaca ayat kauniyah tidak dari kacamata yang sempit. Ia membaca alam dari kebeningan hatinya. Ia percaya bahwa alam akan selalu berdialektika dengan perilaku manusia. Lapisan bumi memiliki sekian lempengan yang bisa bergeser sewaktu-waktu jika minyak dan seluruh isi di dalamnya dikuras habis. Permukaan bumi juga memiliki sekian hutan dan strukturnya yang bisa bergulung jika telah digundul dan dkeruk. Begitu pun cuaca memiliki tata ukur cahaya yang bisa memicu radiasi dan iklim ekstrem jika perilaku manusia telah over. Dan itulah hukum alam, setiap ketidakharmonian akan melahirkan anomali.
* * *
Orang-orang modern kerap memandang alam sebagai benda mati. Mereka hanya mau melihat alam dari sisi keuntungan, tanpa mau menyimak dunia batin di dalamnya yang menyamudera luas.
Namun Mbah Maridjan memandang alam sebagai sebuah kehidupan. Karena cintanya itu, ia menjalin ikatan batin dengan Merapi begitu mendalam sebagaimana ikatan batin yang dilakukan Nabi Sulaiman dengan alam dan binatang. Ia rajin berjalan kaki ke lereng Merapi untuk sebuah doa dan harapan yang mulia, yakni keselamatan bagi umat manusia. Ia bahkan rela pasang badan ketika Merapi meletus kala itu. Adakah yang salah dalam diri Mbah Maridjan—pria sepuh yang selalu rajin salat malam itu—dengan kecintaannya ini?
* * *
Tahun 2006 silam, ketika Merapi erupsi, siapakah yang sanggup memastikan berapa jarak titik aman kala itu? Pengetahuan modern memvonis kediaman Mbah Maridjan yang berjarak 5 Km dari puncak Merapi bakal tergulung awan panas. Namun, Mbah Maridjan kala itu keluar rumah dan berucap penuh keyakinan, “Assalamu’alaikum. Allahuakbar...Allahuakbar...Allahuakbar!” Atas izin Yang Menguasai Ilmu, awan panas kala itu hanya berhenti di belakang pelataran Mbah Maridjan.
* * *
Mbah Maridjan—sebagaimana yang kerap ia sampaikan sendiri—bahwa dirinya bukanlah manusia sakti. Ia sama seperti manusia lainnya, yang hanya bisa berdoa dan memohon kepada pemilik hidupnya. Pengakuannya itu sesungguhnya telah meneguhkan ketauhidanya yang sejati kepada Tuhannya bahwa memang tak ada daya dan upaya selain dari-Nya (lahaula walaa quata illa billah) termasuk nyawa satu-satunya itu.
Namun, keyakinan Mbah Maridjan cukuplah hanya dia dan Tuhannya saja yang tahu. Manusia hanya bisa menyangka, sama seperti pengetahuan manusia yang hanya bisa menerka. Dan di usia senjanya 83 tahun itu, Mbah Maridjan akhirnya pulang ke pangkuan Tuhan untuk selama-lamanya. Ia memilih jalan sujud di rumahnya selepas Salat Maghrib berjemaah. Ia tak memilih berlari atau berteriak-teriak ketakutan. Ia sadar betapa kecepatan luncur material vulkanik 100 Km/ jam dari puncak Merapi kala itu tak kan tertandingi oleh larinya. Dan sujud Mbah Maridjan sungguh keputusan yang tepat. Ia menghadapkan jiwanya kehadirat Tuhan sebagaimana firman dalam kitab suci, “Dan kemanapun kau hadapkan wajahmu, maka akan kau jumpai wajah-Ku.”
* * *
Mbah Maridjan telah pergi dengan berjuta pesan. Manusia tawadhu’ yang tak pernah merasa paling tahu itu seakan memungkasi perseteruan sengit antara dunia logos dan mitos. Kakek yang tak pernah menikmati bayaran iklannya lantaran selalu habis dibagi-bagikan kepada warga desa di sekitarnya itu juga memberi pesan tauhid mendalam. Kuburannya yang kini tak lagi diketahui keberadaanya karena tersapu material vulkanik, sebenarnya mengingatkan bahwa dirinya bukanlah orang sakti yang harus dikenang. Ia hanya ingin mengatakan, “Marilah menjalin hubungan yang baik kepada Tuhan, kepada alam, dan kepada sesama manusia. Sebab, itulah hakikat bertuhan.”
Amanah itu kini telah diselesikan Mbah Maridjan dengan sempurna. Raden Ngabehi Suraksohargo itu kini telah kembali ke pangkuan Tuhan dengan jiwanya yang tenang. Selamat jalan Sang Penjaga Merapi...

Klaten, 20 November 2010 pukul 00.29 WIB.


No comments:

Post a Comment

Tentang Blog

Ini hanya cerita tentang orang biasa. Tentang ketegarannya, kesabarannya, ketekunannya, kebesaran jiwanya, dan kepasrahan hidupnya kepada pemangku jagad ini.

Terpopuler

Designed ByBlogger Templates