Thursday, November 4, 2010

ternak adalah kehidupan kami...


Tak ada yang lebih menggelisahkan perasaan Sutarno, Suwanto, dan Sumidjan selain ternak-ternak mereka di rumah. Setiap malam menjelang, pikiran mereka hanya terkenang harta satu-satunya yang paling berharga itu. Itulah barangkali yang membuat mereka selalu memilih pulang meninggalkan barak pengungsian dan kembali ke lereng Merapi ketika pagi hari tiba. “Kalau nggak pulang, siapa yang bakal mengurus ternak kami di rumah. Itu kehidupan kami,” kata Sutarno, warga Girtengah Tegalmulyo Kemalang, Rabu (3/10).
Sutarno adalah petani kecil biasa. Ladang dan tegalannya di rumah telah hangus tertimbun abu vulkanik Merapi. Untuk menyambung hidup hewan ternaknya itu, bapak berputera dua itu terpaksa merogoh saku celananya demi memperoleh seikat rumput. “Satu ikatnya seharga Rp 10.000. Untuk makan dua ekor sapi sehari, ya butuh tiga hingga empat ikat,” jelasnya.
Harga rumput seperti itu rupanya terlalu berat baginya. Sebab, Sutarno masih harus menyisihkan uang lagi untuk membeli konsentrat dan garam makan sapi sehari-hari. “Kalau dihitung rata-rata, sehari habis Rp 40.000 untuk makan ternak saja. Padahal, di sini kami tak ada pemasukan sama sekali,” katanya.
Tinggal di barak pengungsian, bagi Sutarno dan juga ribuan warga pengungsi lainnya memang sebuah pilihan, betapapun pahitnya. Di sana, mereka sama sekali tak terbayang akan kisah suka cita dan bertabur keindahan. Yang ada hanyalah kecemasan yang terus menggiris perasaan mereka. “Malam hari kami tak bisa tidur. Apalagi kalau ada kabar Merapi mengeluarkan wedhus gembel, saya teringat sapi terus,” kisahnya.
Kegelisahan Sutarno kian tak menentu jika mengingat kedua puteranya yang kini masih kecil-kecil. Kedua buah hatinya itu rupanya tak henti selalu merengek minta uang jajan di lokasi pengungsian. Setiap harinya, tak kurang Rp 20.000 hingga Rp 30.000 yang harus dilepas Sutarno hanya untuk jajan dua orang anaknya itu. “Kalau di rumah mana ada penjual makanan keliling, tapi di pengungsian aneka jajanan ada semua,” sahut warga lainnya dari Dukuh Pajekan Tegalmulyo Kemalang, Suwanto.
Sutarno sungguh gelisah. Begitu pun Suwanto dan Sumidjan. Mereka yang selama sepekan lebih tinggal di pengungsian itu seperti kembali tertimpa bencana sosial kedua. Pendapatan mereka sehari-hari nihil. Namun, pengeluaran terus mengalir tanpa henti. Harta satu-satunya yang paling berharga pun, kini juga telah mereka tinggalkan dengan berjuta kecemasan. Mereka hanya berharap ada pihak yang memperhatikan nasib ternak-ternak mereka itu. “Semoga ada bantuan bagi ternak-ternak kami. Sebab, ternak kami adalah kehidupan kami,” harap Suwanto.
Penyuluh Pertanian Kecamatan Kemalang, Sugiyanto mencatat, sedikitnya ada 6.000 ternak yang tersebar di kawasan rawan bencana (KRB) III di Kecamatan Kemalang. Jumlah sebanyak itu bukanlah sekadar angka-angka yang tertera tanpa makna. Namun, benar-benar sebuah penyangga kehidupan warga lereng Merapi selama ini selain sebagai penambang pasir. “Padahal, saat ini sedang terjadi krisis rumput. Harga jerami menembus Rp 500.000 per rit. Jika tak segera dapat bantuan, maka ternak-ternak itu akan kurus, tak laku jual dan berujung kematian.”


No comments:

Post a Comment

Tentang Blog

Ini hanya cerita tentang orang biasa. Tentang ketegarannya, kesabarannya, ketekunannya, kebesaran jiwanya, dan kepasrahan hidupnya kepada pemangku jagad ini.

Terpopuler

Designed ByBlogger Templates