Tuesday, November 9, 2010

kemanakah dia cari anak dan istrinya...?


Lima hari sudah, Ragil Mulyono, 29, pulang dengan tangan hampa. Hatinya kini serasa hampa, sehampa harapannya mencari jejak kedua anak dan istrinya yang hilang tertelan bencana letusan Merapi, Jumat (5/11) dini hari. Dari tatapannya yang kosong, tersirat sebuah keputus asaan. Warga Dukuh Deles Desa Sidorejo Kecamatan Kemalang Klaten itu pun hanya termangu bertopang dagu di depan bangku di Dusun Manjung Ngawen Klaten. “Anak-anak dan istri saya sudah tak ada kabarnya lagi,” katanya datar.
Selasa (9/11) sore itu, Mulyono baru saja pulang dari Jogja. Ia tak sedang melepas lelah setelah berkali-kali pindah dari satu pengungsian ke pengungsian lain. Melainkan, tengah mencari jawaban atas kerisauannya selama ini tentang keberadaan delapan keluarganya yang hilang disapu awan panas, termasuk kedua anaknya yang masih Balita serta istri semata wayangnya.
Namun, pencariannya itu tak pernah menemukan jawaban. Berpuluh-puluh pos pengungsian dan rumah sakit telah dia datangi. Pencariannya itu, bahkan hingga ke Kabupaten Gunung Kidul Jogja. Namun, hasilnya tetap sama; nihil! “Kami, hanya menemukan kakak iparnya, Wiryadi Santosa mati penuh luka bakar. Itu saja yang baru teridentifikasi saat kami tinjau ke RS Sardjito,” kata Sri Widadi, Kadus II Sidorejo yang selalu menemani Mulyono dalam mencari keluargnya yang hilang itu.
Mulyono masih teringat detik-detik sebelum petaka Merapi menerjang dan melumat habis seluruh isi rumah mertuanya itu. Petang hari sebelum waktu salat isak tiba, Mulyono sempat menelpon istri dan anak-anaknya di rumah ibunya Dukuh Mbrongang Argomulyo Cangkringan Sleman. Gemuruh Merapi yang mencekam kala itu, memaksa Mulyono tak sempat menyusul istri dan kedua anaknya di Cangkringan. Melalui Ponselnya, dia hanya berpesan singkat, agar istri dan anak-anaknya lekas menjauhi Kali Gendol. “Saat itu saya mengungsi ke lapangan Keputran bersama warga lainnya. Istri dan anak saya memilih mengungsi di Cangkringan!” kisahnya.
Malam hari, ketika kabut tebal menyelimuti Merapi, terdengarlah letusan dahsyat. Mulyono bersama ratusan warga pengungsian kala itu terbangun dalam kepanikan. Ia pun langsung menghubungi istrinya. Namun, sejak itulah tak lagi terdengar nada dering dari telpon genggamnya. Mulyono kehilangan kontak istrinya, mertuanya, kakak iparnya, dan juga kedua buah hatinya untuk selamanya. “Saya sedih melihat Mulyono malam itu kebingungan sendiri. Ia mondar-mandir tak karuan,” sahut Ketua RW IX, Sarjoko.
Azan subuh dari kejauhan terdengar berkumandang. Mulyono bersama warga pengungsian lainnya langsung bergegas meluncur ke RS Sardjito Jogja. Di sana, ia saksikan mayat-mayat tanpa rupa bergelimpangan. Tak satupun ia mengenalinya. Hatinya perih, limbung, dan ketakutan setiap menyaksikan mayat-mayat menghitam. Terbayang olehnya Noval Alindra Ismail, puteranya yang masih berusia 11 bulan. Sebentar kemudian terbayang Aprina Rindra Wulandari, puteranya yang masih kelas II SD, juga istri tercintanya, Marsini, 28. “Setelah itu, kami terima kabar dari tim evakuator bahwa mereka menemukan sejumlah jenasah yang ditemukan dalam satu rumah yang hangus terbakar. Namun, sudah tak lagi dikenali wujudnya,” lanjut Sri Widadi.
Kabar itu sungguh menggoncang jiwa Mulyono. Namun, Mulyono masih tak percaya sebelum menyaksikan secara langsung jenasah keluarganya yang ia kenali itu. “Kami akan tetap membantu mencari keluarganya itu. Entahlah sampai kapan...” kata Sri Widadi pasrah.


No comments:

Post a Comment

Tentang Blog

Ini hanya cerita tentang orang biasa. Tentang ketegarannya, kesabarannya, ketekunannya, kebesaran jiwanya, dan kepasrahan hidupnya kepada pemangku jagad ini.

Terpopuler

Designed ByBlogger Templates