Sunday, August 19, 2012

Jika ingin menyaksikan indahnya kebersamaan beragama, tengoklah jemaah Masjid Al Hikmah dan jemaah Gereja Kristen Jawa (GKJ) Joyodiningratan Kratonan Solo. Mereka tak hanya disatukan dalam dua rumah ibadah yang bergandengan, namun juga terbiasa bergandengan hidup dalam keyakinan yang berbeda. Pagi hari di awal Lebaran itu, Minggu (19/8), seribuan lebih umat Muslim berduyun-duyun memadati pelataran Masjid Al Hikmah. Suara takbir kemenangan pun menggema. Tepat di sebelah selatan masjid itu, sebuah gereja bersejarah yang dibangun sejak 1929 tampak hening dan tenang. Pintu pagarnya terkunci rapat. Tak ada suara puji-pujian atau senandung doa seperti hari-hari biasanya. Namun, di balik keheningan itu tersimpan sejuta makna. Pelataran geraja yang kosong dan luas itu rupanya sengaja dihadirkan untuk memberi tempat bagi umat muslim yang akan menunaikan sembahyang Salat Idul Fitri. Tak hanya itu, emperan toko-toko milik warga non muslim juga dihadirkan untuk tempat salat Idul Fitri. “Padahal, pagi pukul 06.00 WIB ini, mestinya jemaah GKJ Joyodiningratan juga ada kebaktian. Namun, demi kami, mereka mengundur acara kebaktiannya pukul 10.00 WIB nanti,” kata M Nasir Abu Bakar, Ketua Takmir Masjid Al Hikmah Kratonan
seusia salat Idul Fitri. Ya, Masjid Al Hikmah dan GKJ Joyodiningratan memang melekat dalam satu tembok. Keduanya memiliki alamat yang sama, yakni Jl Gatot Subroto No 222. Sejarah berdirinya dua tempat ibadah itu pun diilhami oleh semangat universal yang sama, yakni menjaga nilai-nilai cinta antarumat beragama. “Masjid Al Hikmah ini berdiri di atas tanah wakaf Gereja. Para pendiri ingin mengajarkan keindahan hidup berdampingan dalam perbedaan,” jelas Nasir seraya menunjukkan sebuah spanduk besar bertuliskan Selamat Hari Raya Idul Fitri di pagar GKJ Joyodiningratan. Semangat kebersamaan itu tak hanya dalam simbol bangunan. Dalam praktek keseharian pun, kedua jemaah itu rupanya seperti kedua tangan yang saling membutuhkan. Ketika menjelang Lebaran, sebagian jemaah gereja dan warga non muslim di sekitarnya menitipkan zakat, serta seperangkat alat salat di Masjid Al Hikmah. Sebaliknya, ketika gereja punya sejumlah program kemanusiaan, para pemuda masjid langsung menyingsikan lengan baju membantunya. “Saat acara buka puasa bersama, sebagian jemaah gereja juga kerap membantu makanan dan minuman untuk buka puasa kami,” terangnya. Inilah potret kebersamaan jemaah GKJ Joyodiningratan dan Masjid Al Hikmah sejak berpuluh-puluh tahun silam. Kini, ketika kerukunan antarumat beragama di sejumlah daerah kerap terkoyak, dua bangunan cagar budaya itu tetap menjadi saksi betapa hidup berdampingan dalam perbedaan adalah keindahan. Untuk mengenang kerukunan yang tak ternilai harganya itulah, para sesepuh GKJ Joyodingratan dan Masjid Al Hikmah menancapkan sebongkah prasasti menyerupai tugu Lilin di sepetak lahan di antara dua tempat ibadah itu. “Tugu inilah yang akan selalu mengingatkan kami betapa para sesepuh kami dulu ternyata sudah memiliki sikap toleransi beragama,” sahut Bambang Wirawan, Majelis GKJ Joyodingratan.
Read More

Sunday, April 29, 2012

Eko dan Madun Berjuang Untuk Hidup...

Madun! Demikian
sapaan akrabnya. Meski baru berusia 2,5 tahunan, namun monyet kecil asal Tasikmalaya, Jawa barat itu pandai benar beratraksi. Minggu (29/4) siang itu misalnya, Madun kembali unjuk gigi.

Di kawasan lampu bangjo persimpangan Panggung, Jebres Solo, ia berlenggak-lenggok di atas egrang kayu bak peragawati. Siapa sangka, penampilan Madun di tengah lalu lalang kendaraan dan terik mentari itu, rupanya menciptakan oase tersendiri.

Madun beraksi layaknya manusia. Ia kenakan kaos ala Madura serta topeng lucu nan menggemaskan.. Dan begitu lampu bangjo menyala merah, Madun pun menari-nari lincah di atas egrang mengiringi saron anak-anak yang dimainkan Eko, sang majikannya. “Ayah-ayah... itu monyet lucu sekali,” teriak anak kecil dari balik kaca mobil ketika menyaksikan Madun berjoged. Madun dan Eko memang seperti sahabat karib. Mereka hidup dan saling menghidupi melalui sebuah pertunjukkan jalanan topeng monyet.

Setiap hari, Eko yang masih membujang itu berperan sebagai penabuh saron mengiringi joged Madun di atas egrang. Ia juga harus mempersiapkan segala bekal dan property yang dibutuhkan rekan kerjanya itu. “Mulai baju, topeng, egrang, gerobak mainan, payung, kacamata, dan lain-lainnya, saya yang menyiapkannya,” kata Eko saat berbincang di sela-sela istirahatnya.

Kerjasama yang apik itu, akhirnya menciptakan sebuah pertunjukkan yang menghibur. Jalan raya yang membakar kulit sekalipun, seakan tak lagi terasa panas begitu menyaksikan atraksi Madun. Penampilan Madun dan Eko sesungguhnya juga menyiratkan sebuah pesan mendalam betapa hidup memang harus tetap diperjuangkan betapa pun harus memilih jalan yang pahit.

“Kalau udaranya panas kayak begini, saya sering kasihan lihat Madun kehausan. Makanya, kalau sudah siang, saya pulang,” ujar Eko yang kali itu mengaku mampu mengumpulkan uang recehan dari pengguna jalan senilai Rp 25.000. Sejak setahun lalu, Madun dan Eko memang memilih merantau ke Kota Solo. Di sebuah kontarakan mungil di kawasan Bibis Wetan, Banjarsari, Solo, di sanalah mereka tingal.

Layaknya seorang sahabat, Eko setiap hari tak pernah lupa membikinkan susu kesukaan Madun. “Kalau makannya, nggak begitu rewel. Cuma minumnya, harus susu. Kalau nggak ada susu, ya beli minuman kemasan lainnya,” ujar Eko yang mengaku warga Kabupaten Pati ini. Sebelum beranjak pulang, Eko sempat mengutarakan mimpinya. Melalui reportoar jalanannya itu, Eko ingin bisa menabung untuk masa depan yang lebih baik. “Saya juga pingin menikah dan hidup lebih baik seperti orang-orang lainnya,” ujarnya
Read More

Saturday, January 14, 2012

Syahadatain dan sekaten

Sekaten, konon berasal dari kata syahadatain, yakni sebuah kesaksian tentang keesaan Tuhan dan risalah kenabian. Seiring perjalanan waktu, perhelatan religi itu pun menjelma tradisi rutin yang tak jarang telah kehilangan ruh dan maknanya. Adalah Gusti Puger, pengageng Keraton Kasunanan Surakarta yang ikut gelisah atas penggerusan makna luhur sekaten. Dengan segala ingatannya, putera PB XII itu pun mencoba mengangkat kembali falsafah sekaten di tengah ingar bingar budaya konsumerisme yang mengepung sekarang ini. “Dulu di zaman Para Wali, orang-orang yang mau masuk ke masjid dan mendengarkan gamelan, mereka diajak dulu membaca syahadat. Jadilah sekarang acara sekaten itu,” kata Gusti Puger mengawali perbincangannya dengan di Siti Hinggil Keraton Kasunanan Surakarta, Jumat (13/1).
Sekaten memang selalu identik dengan pasar malam, sebuah pasar rakyat yang digelar malam hari selama berhari-hari berturut-turut. Keramaian pasar malam, menurut Puger adalah tertirah atas keriuhan hidup dengan segenap pilihannya. Namun, di tengah ceruk keramaian itulah, manusia harus tetap mampu menemukan nilai hidup yang mencerahkan. “Makanya, dalam pasar malam selalu dijumpai penjual pecut (cambuk-red), golekkan (boneka-red) atau celengan (benda tempat menabung uang-red). Itu semua adalah sanepan (perumpamaan-red),” urainya.
Seperti fungsinya, pecut atau cambuk adalah gambaran bahwa hidup harus rela dijalani penuh ketaatan dengan segenap risikonya. “Jika mulai melenceng dari aturan, maka harus dicambuk. Pecut juga simbol optimisme hidup,” urainya.
Begitupun dengan golekkan atau boneka adalah perumpamaan nilai-nilai humanisme universal. Bahwa cinta dan kasih sayang kepada sesama harus menjadi yang utama di atas segalanya. Sama halnya dengan celengan, ia mengajarkan bahwa jika ingin hidup bahagia di akhirat kelak, maka orang harus senantiasa menabung kebaikan sejak dini. “Jangan lihat rupa celengannya. Namun, lihatlah fungsinya,” jelasnya.
Nilai-nilai luhur itulah yang bakal disuguhkan kembali dalam perayaan Sekaten selama tiga pekan ke depan di Alun-Alun Utara Keraton Kasunanan Surakarta. Dan puncaknya ialah ketika seperangkat gamelan di pelataran Masjid Agung ditabuh untuk menyongsong Maulid Nabi Muhammad. Perputaran zaman, memang telah mengubah wajah sekaten sekarang ini. Namun, pesan dan falsafah sekaten harus tetap seperti itu.
Read More

Tentang Blog

Ini hanya cerita tentang orang biasa. Tentang ketegarannya, kesabarannya, ketekunannya, kebesaran jiwanya, dan kepasrahan hidupnya kepada pemangku jagad ini.

Terpopuler

Designed ByBlogger Templates