Saturday, January 14, 2012
Syahadatain dan sekaten
Sekaten memang selalu identik dengan pasar malam, sebuah pasar rakyat yang digelar malam hari selama berhari-hari berturut-turut. Keramaian pasar malam, menurut Puger adalah tertirah atas keriuhan hidup dengan segenap pilihannya. Namun, di tengah ceruk keramaian itulah, manusia harus tetap mampu menemukan nilai hidup yang mencerahkan. “Makanya, dalam pasar malam selalu dijumpai penjual pecut (cambuk-red), golekkan (boneka-red) atau celengan (benda tempat menabung uang-red). Itu semua adalah sanepan (perumpamaan-red),” urainya.
Seperti fungsinya, pecut atau cambuk adalah gambaran bahwa hidup harus rela dijalani penuh ketaatan dengan segenap risikonya. “Jika mulai melenceng dari aturan, maka harus dicambuk. Pecut juga simbol optimisme hidup,” urainya.
Begitupun dengan golekkan atau boneka adalah perumpamaan nilai-nilai humanisme universal. Bahwa cinta dan kasih sayang kepada sesama harus menjadi yang utama di atas segalanya. Sama halnya dengan celengan, ia mengajarkan bahwa jika ingin hidup bahagia di akhirat kelak, maka orang harus senantiasa menabung kebaikan sejak dini. “Jangan lihat rupa celengannya. Namun, lihatlah fungsinya,” jelasnya.
Nilai-nilai luhur itulah yang bakal disuguhkan kembali dalam perayaan Sekaten selama tiga pekan ke depan di Alun-Alun Utara Keraton Kasunanan Surakarta. Dan puncaknya ialah ketika seperangkat gamelan di pelataran Masjid Agung ditabuh untuk menyongsong Maulid Nabi Muhammad. Perputaran zaman, memang telah mengubah wajah sekaten sekarang ini. Namun, pesan dan falsafah sekaten harus tetap seperti itu.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment