Saturday, December 31, 2011

Bendera setengah tiang & penjual terompet Tahun Baru


Langit kelabu menggantung di Kota Solo, Jumat (30/12) pagi itu. Sebuah mobil dengan bak terbuka, tiba-tiba datang dan berhenti di bundaran Gladak. Tanpa upacara ceremonial, tanpa orasi, sejumlah aktivis itu langsung mengerek bendera merah putih setengah tiang. Aparat dan pengguna jalan tercengang. Di empat penjuru patung Slamet Riyadi, para aktivis kembali memancangkan bambu diikat bendera kebangsaan setengah tiang. “Kita berkabung. Demokrasi dan keadilan di negeri ini telah mati,” kata Mudrick Sangidu, koordinator aksi kepada wartawan yang mengerumuminya.

Aktivis yang menamakan diri Aliansi Rakyat Bergerak (ARB) itu lantas bergerak ke Balaikota Solo. Di sana, mereka yang diawasi aparat kepolisan dan TNI itu kembali mengibarkan bendera setengah tiang sambil terus membagi-bagikan selebaran berisi seruan
pengibaran bendera setengah tiang kepada setiap pengendara yang lewat. “Ini adalah bentuk perlawanan moral atas ketidakadilan di Negara kita,” kata Mudrick sambil terus menuntut SBY mundur dan mengecam sikap aparat polisi yang kian tak bisa melindungi rakyatnya. “Mulai kasus Mesuji, Bima, Freeport, hingga aksi mahasiswa, polisi selalu bersikap represif. SBY harus mundur!” pekiknya.

Sama dengan aksi bisu jahit mulut, atau cap darah, aksi Mudrick mengibarkan bendera setengah tiang di sejumlah jalan protokol dan instansi Kota Solo, juga mengundang keheranan banyak kalangan. Apalagi, aksi yang dilakukan tokoh Mega Bintang itu tanpa koordinasi atau memberitahuan kepada kepolisian sama sekali. “Buat apa memberitahu polisi. Kami ingin mengibarkan bendera, bukan merobek bendera bangsa,” tegasnya.

Bendera setengah tiang, barangkali memang bukan lagi sekadar bermakna kabar duka di lingkungan TNI atau pada upacara peringatan hari-hari Nasional. Pengibaran bendera setengah tiang itu, kini telah menjelma tamparan keras bagi para pemimpin atas akumulasi ketidakadilan. “Kalau di lingkungan TNI, biasanya hanya dikibarkan saat ada perwira meninggal,” ujar salah satu anggota TNI yang mengawasi aksi Mudrick. “Aku kirain tadi, bendera setengah tiang itu malah untuk menyambut Tahun Baru,” sahut Sumini, salah satu penjual terompet Tahun Baru di kawasan Gladak dengan polosnya.

Apa yang dilontarkan Sumini, penjaja terompet asal Wonogiri itu barangkali sebuah sindiran betapa rakyat telah jenuh dengan dengan pemerintahan saat ini. Tahun Baru 2012, bagi mereka barangkali sama saja dengan tahun-tahun sebelumnya. Semua serba dalam ketidakpastian. Dan bendera setengah tiang adalah sebentuk protes sosial mereka. Sebab, bendera setengah tiang adalah cermin yang retak atas kejujuran, penegakan hukum dan kekuasaan. Ia menjadi cara baru dalam menyuarakan hati nurani, meski tak sedikit cara itu hanya dikebiri para pemimpin yang bebal telinganya. “Melalui bendera setengah tiang ini, kami ingin mengetuk kesadaran bahwa saatnya kita bangkit dan harus merebut kembali kedaulatan rakyat yang telah dicuri penguasa,” pungkas Mudrick.
Read More

Friday, March 25, 2011

30 Menit melepas rindu...


Perempuan bercadar itu berjalan bergegas sambil memeluk seorang anak Balita. Di belakangnya, seorang bocah dan perempuan setengah baya sambil menggendong anak Balita membuntutinya. Ketika tiba di depan pintu Pengadilan Negeri (PN) Klaten, langkah mereka tiba-tiba terhenti. Aparat kepolisian dari Polres Klaten, rupanya tak memberinya izin masuk ke PN. “Tolong, kami ingin masuk. Kami kangen suami,” kata Evi, perempuan bercadar dan berjubah serba hitam itu kepada petugas di PN Klaten, Kamis (24/3).
Evi hanya berdiri sesaat sebelum akhirnya kembali dengan perasaan kecewa. Ia tak bercakap banyak. Ia hanya mencemaskan anak Balita di pelukannya yang terus mencari tempat berteduh dari sengatan mentari siang itu. Sambil menyusuri trotoar bersama ketiga anak serta mertuanya itu, ia pun terus berharap semoga bisa bertemu suaminya yang kini dihadirkan sebagai saksi mahkota dalam persidangan perkara terorisme. “Ibu itu mencari Roki Aprisdianto, suaminya yang kini menjadi tersangka teroris,” kata aparat kepada wartawan.
Roki Aprisdianto, 29, adalah salah satu tersangka teroris yang dibekuk Tim Densus 88 akhir Januari 2011 bersama rekannya di Klaten. Ketiga korp burung hantu menciduknya, warga Desa Tegalwaru, Kecamatan Baki, Sukoharjo itu meninggalkan seorang istri dan ketiga anaknya yang masih kecil-kecil. Sejak peristiwa penangkapan itulah, Evi seperti kehilangan separuh jiwanya. Evi tinggal di Sukoharjo sebagai ibu rumah tangga yang harus membesarkan ketiga anaknya. Sementara, Roki mendekam di ruang tahanan Mabes Polri Jakarta sebagai tersangka teroris.
Perpisahan barangkali memang sungguh menyakitkan. Wajar, jika harapan Evi langsung terbit begitu mendengar kabar bahwa suaminya bakal dihadirkan di PN Klaten. Bersama keluarga dan mertuanya, Evi pun berangkat dari Sukoharjo meski menyewa kendaraan tetangganya. “Kami datang jauh-jauh hanya untuk melihat suami saya,” katanya setelah akhirnya dipersilakan aparat untuk bertemu suaminya di PN Klaten.
Evi dan Roki akhirnya bertemu untuk kali pertama setelah perpisahan itu. Di sebuah ruangan Jaksa PN Klaten, Evi melepas rindu dan melepas cadarnya seperti tak lagi menghiraukan juru kamera atau aparat bersenjata lengkap. Selama 30 menit, Roki dan Evi telah menghabiskan waktu dalam canda tawa. Mereka mencoba melupakan sejenak beban di pundaknya bersama ketiga anaknya yang masih lucu-lucu itu. Pukul 13.30 WIB ketika jam kunjungan telah habis, Roki dan Evi kembali berpisah. Entah untuk berapa lama lagi...
Read More

Sunday, February 27, 2011

Cerita di sudut pasar sepeda kebo


Pasar itu berdiri di simpang jalan di samping tugu Desa Borangan, Kecamatan Manisrenggo, Klaten. Setiap pasaran Wage dan Pahing, puluhan lelaki berusia senja berdatangan satu persatu, mengayuh sepeda kebo tuanya yang telah dilap mengkilap. Mereka lalu saling bertukar cerita sambil menyeduh teh Ginastel (legi,panas, tur kentel-red) di kedai sederhana di tengah pasar itu. “Kalau ada yang beli, ya dilayani. Kalau tak ada, ya tak apa-apa. Yang penting kami bisa saling bertemu,” kata Lasno Subroto, sesepuh Paguyuban Dagang Sepeda Borangan (PDSB).
Pertemuan barangkali memang sebuah kenikmatan. Betapapun tak ada keuntungan materi yang memadai, namun anggota PDSB rela berdatangan dari berbagai kota dan daerah demi pertemuan itu. Di sana, mereka berbincang apa saja untuk mengisi hari senja mereka. Mulai soal pertanian, soal arisan, soal anak-anak mereka, hingga aneka sepeda kebo bermerek gazale hingga simplex. “Ketika Merapi meletus, pasar ini sempat sepi. Kami sempat kebingungan mencari tempat bertemu,” lanjut Subroto.

PDSB bukanlah sebuah pasar yang sengaja dirancang melalui kalkulasi matematis. Ketika ada transaksi jual beli yang deal, pengurus PDSB hanya memperoleh uang kas senilai Rp 3.000 sekadar uang jasa pembuatan kuitansi. “Padahal, dalam sehari belum tentu ada sepeda yang laku terjual atau terbeli,” terangnya.
PDSB barangkali hanyalah pasar yang cocok untuk ajang berkumpul dalam kehangatan persaudaraan. Ketika kebanyakan orang berlomba bergerak cepat dalam kesibukan kerja, pasar yang berdiri di sepetak lahan seluas 200 meter persegi itu justru menawarkan gerak pelan mengikuti irama senja. Mereka mengayuh sepeda dengan ketenangan, lega, dan damai di hati. “Kami ini kan sudah tua, sebagian adalah pensiunan. Jadi, kami ingin menikmati hari tua sambil bersepeda,” sahut Mardi, pengurus PDSB lainnya.
Kini, usia pasar sepeda kebo itu telah mencapai 31 tahun. Namun wajah dan suasananya tetap alami bersahaja; penuh para lelaki bertopi ala koboi. Kedai soto dan teh Ginastel bergula batu tetap begitu dari dulu. Di sampingnya selalu mangkal tukung cukur tradisional dan penjual barang onderdil bekas. Semua seakan menjadi saksi dari kisah pasar sepeda kebo di sudut desa yang selalu menawarkan suasana tempo dulu.
Belakangan, Camat Mansirenggo Gandung Wahyudi sempat mencemaskan eksistensi pasar sepeda kebo itu. Penyebabnya, pasar itu berdiri di tanah hak milik warga. Gandung yang juga pecinta sepeda kebo itu terpikir untuk menyiapkan tanah kas desa di samping pasar untuk merelokasinya. “Kalau pemilik tanah memintanya, mau tak mau pasar ini kan harus menyingkir,” katanya.
Read More

Sunday, January 23, 2011

berjuang di atas kursi roda


Sabtu wage di pagi hari. Kabar duka itu datang ketika jarum jam merayap sekitar pukul 05.53 WIB. Supriadi, bapak setengah baya itu sungguh tak menyangka bahwa pagi itu adalah awal cerita nestapa baginya. Sebuah gempa bumi hebat mengoyak tempat tinggalnya tepat pada 27 Mei 2006 silam. Tubuhnya pun tertimpa reruntuhan bangunan sebelum akhirnya ia duduk di kursi roda. “Tapi saya tak ingin dibelas kasihani. Berikan hak kami sebagai warga negara, kami ingin mandiri!” tegasnya ketika berbincang di gedung DPRD akhir pekan lalu.
Supriadi sengaja datang ke gedung wakil rakyatnya bersama puluhan rekan-rekannya yang bernasib sama. Kedatanganya kala itu dengan membawa segudang harapan sekaligus awal perjuangan dalam menuntut terpenuhinya hak-hak kaum difabel. Namun, baru tiba di depan pendapa gedung Dewan, Supriadi langsung mengernyitkan kening. Ia berpikir, betapa sulitnya bagi seorang difabel untuk memasuki gedung wakil rakyatnya itu. “Setiap pintu gedung ini sama sekali tak ada jalan untuk kursi roda. Semua memakai tangga,” keluhnya.
Apa daya, Supriadi dan kawan-kawan lainnya pun terpaksa meminta bantuan orang lain. “Kami sebenarnya tak ingin menyusahkan orang lain, tapi kalau akses bagi kami tak diberi, bagaimana kami bisa mandiri?” tanyanya lagi.
Menyerahkah Supriadi? Tidak! Di gedung dewan itu, Supriadi bicara dengan lantang akan nasib para penyandang cacat korban gempa Klaten 2006. Ia bicara dengan kejujuran hatinya tentang segala penderitaan para korban gempa yang mulai kehilangan harapan. Banyak orang—tak terkecuali pemerintah—menyangka bahwa tragedi gempa itu telah berlalu. Namun, bagi penyandang cacat, itu adalah awal mula penderitaan mereka. Sebagai kepala keluarga, mereka tak lagi bisa kerja. Anak-anak mereka sekolah putus, sebagian dari mereka bahkan telah meregang nyawa lantaran terserang penyakit dicubitus. “Kami mulai merepotkan keluarga, membebani orang lain, dan dianggap sebelah mata oleh masyarakat,” jelasnya.
Beruntung, Supriadi tak kehilangan pijar harapan itu. Bersama rekan-rekannya, ia bangkit. Mereka pun membentuk Spinal Cord Injury (SCI), sebuah organisasi kaum cacat untuk memperjuangkan hak-haknya, berbagi pengetahuan, serta wadah untuk berbagi kegiatan yang berguna bagi orang lain. Atas perjuangannya itu pula, mereka bahkan telah menghasilkan film dokumenter yang kesemua prosesnya dikerjakan di atas kursi roda. “Dan film ini adalah kesaksian kami,” pungkasnya.
Read More

Monday, January 17, 2011

penjaga makam...


Pria bersongkok itu duduk bersila di depan makam Ki Ageng Gribik. Seulas senyum langsung mengembang dari wajahnya yang berseri sesaat setelah aku datang. Sambil membenahi silanya, ia pun menyalami penuh kehangatan. “Jelang sebaran apem seperti ini, peziarah biasanya mulai berdatangan,” katanya.
Pria itu bernama Panji Supardi. Ia adalah seseorang yang ikut menjaga kelestarian peninggalan Ki Ageng Gribik. Tak ada gaji atau kedudukan yang membuatnya betah bersila di sana, selain ketulusannya dalam mencintai semangat perjuangan sang penyebar agama Islam di wilayah Klaten, khususnya di Jatinom itu. “Sebenarnya, saya pernah merantau ke Jakarta selama 2,5 tahun. Namun, garis hidup saya ternyata harus kembali ke sini lagi,” kisahnya.
Panji hanyalah orang biasa yang merasa terpanggil untuk menjaga kelestarian makam Ki Ageng Gribik. Sebelum takdir menitahkannya sebagai juru kunci di sana, ia pernah bertanya penuh gamang dalam dirinya “Masak hidup saya hanya sebagai juru makam terus seperti ini? Bagaimana dengan keluarga dan anak-anak saya nantinya,” tanyanya suatu hari.
Pertanyaan itu terus menggelisahkan batinnya. Suatu ketika di penghujung tahun 1978, ia pun memutuskan untuk pamitan dan merantau ke tanah Jakarta mencari jawab atas teka-teki hidupnya itu. “Di Jakarta, saya bekerja apa saja untuk bertahan hidup,” jelasnya.
Pengembaraanya ke kota yang keras persaingan itu, mungkin membuat Panji merasa lelah dan kalah. Dalam kesepian itu, ia tiba-tiba kembali teringat Mbah Gito Atmojo, penjaga Makam Ki Ageng Gribik yang selama ini mengajarinya tentang kematangan hidup. “Saya akhirnya memutuskan kembali ke kampung halaman. Saya yakin, rezeki itu sudah ada yang mengatur,” jelasnya.
Tahun 1980 di usianya yang baru menginjak 23 tahun, Panji memutuskan menikah. Ia memulai lembaran baru dengan bekal bahwa rezeki pasti datang selama manusia mau mengejar. “Saya memutuskan menjaga Makam Ki Ageng Gribik. Tapi, saya harus tetap bekerja.”
Saat itulah, Panji bekerja sekaligus mengabdi. Ia mencintai keduanya sebagai panggilan hati dan tanggungjawab keluarga. Sebagai ayah dua anak, ia bekerja sepenuh hati dalam jual beli kendaraan bermotor. “Alhamdulillah, rezekinya selalu ada. Dua anak saya, saya kuliahkan semua di Jogja.”
Sebagai juru makam, Panji merasa tersirami hatinya. Di sana, ia merasa ada pesan tauhid, toleransi, dan kesejatian hidup dari Ki Ageng Gribik yang selalu menuntunnya. Salah satu pesan yang terkenal adalah saling memaafkan dan mohon ampunan seperti dalam tradisi sebaran apem di Bulan Safar itu. “Asal kata apem itu kan afwun, artinya memaafkan. Jadi, kita harus saling berebut maaf,” jelasnya.
Read More

Tuesday, January 4, 2011

Merangkai mimpi di gubuk Merapi...


Darmi, pria berusia 38 tahun itu tinggal di gubuk sederhana di atas tanah bekas puing-puing rumahnya. Gubuk itu hanya berukuran dua meter persegi dengan atap genteng lawas. Tiangnya diambil dari sisa-sisa bambu yang tertimbun abu vulkanik. Namun, ia sungguh merasa tenteram tinggal di sana bersama istri dan anak semata wayangnya. “Kalau tinggal di Depo terus-terusan bosen! Lagian juga capek jika harus bolak-balik,” kata Darmi, warga Dukuh Sambungrejo, Balerante, Kemalang, Selasa (4/1).
Gubuk beranyam bambu seadanya itu rupanya sungguh berarti bagi Darmi. Sebab, di sana ia bisa merangkai kembali mimpi-mimpinya tentang rumah masa depannya yang telah hancur disapu awan panas Merapi. Ia percaya bahwa tragedi Merapi pasti berlalu. Dan rumah yang menemaninya sejak ia dilahirkan itu, harus kembali berdiri betapapun tanpa kepastian. “Mau pindah ke mana lagi. Di sini, kami sudah tinggal sejak lahir,” lanjutnya.
Hampir dua bulan lamanya, Darmi tinggal di Depo Pendidikan Latihan Tempur (Dodiklatpur) Klaten. Di lokasi pengungsian itu, Darmi tak berharap banyak selain bisa kembali pulang dan menghirup udara segar di tanah kelahirannya itu. Namun, harapan itu tetap menggantung meski Merapi telah mereda. “Saya juga sudah kangen kembali ke rumah. Makanya, bikin gubuk ala kadarnya untuk tinggal di sini,” jelasnya.
Darmi memang bukan seorang diri yang begitu merindukan kampung halamannya. Laksono, warga Dukuh Banjarsari, Balerante, Kemalang itu malah rela menempati puing-puing rumahnya yang masih tersisa satu kamar bersama anak dan juga istrinya. “Di sini kan bisa sambil membersihkan puing-puing rumah. Lumayan, mumpung ada tetangga desa yang membantu,” terangnya.
Rumah Laksono terpaksa dirobohkan lantaran rapuh setelah tersapu awan panas Merapi bersama keempat hewan ternaknya. Meski kini telah terbayarkan gantinya, namun masih ada perasaan gundah yang menyelelimutinya. Itulah, rumah impian tempat ia berkumpul bersama keluarganya dalam kehangatan. “Saya dengar-dengar rumah kami mau dibangun kembali. Tapi, kapan itu, kami tak tahu,” harapnya.
Laksono dan juga Darmi sebenarnya sungguh merindukan rumah mereka. Betapapun berdiri di pangkuan Merapi yang membahayakan, namun bagi mereka rumah yang dibangun dengan keringat dan kerja keras itu tetaplah surga mereka. Sebab, dari rumah itulah mereka bisa kembali merajut dan melanjutkan sejarah serta kehidupan sebagai warga lereng Merapi. Namun, entah sampai kapan rumah mereka bakal terwujud kembali...
Read More

Tentang Blog

Ini hanya cerita tentang orang biasa. Tentang ketegarannya, kesabarannya, ketekunannya, kebesaran jiwanya, dan kepasrahan hidupnya kepada pemangku jagad ini.

Terpopuler

Designed ByBlogger Templates