Tuesday, January 4, 2011

Merangkai mimpi di gubuk Merapi...


Darmi, pria berusia 38 tahun itu tinggal di gubuk sederhana di atas tanah bekas puing-puing rumahnya. Gubuk itu hanya berukuran dua meter persegi dengan atap genteng lawas. Tiangnya diambil dari sisa-sisa bambu yang tertimbun abu vulkanik. Namun, ia sungguh merasa tenteram tinggal di sana bersama istri dan anak semata wayangnya. “Kalau tinggal di Depo terus-terusan bosen! Lagian juga capek jika harus bolak-balik,” kata Darmi, warga Dukuh Sambungrejo, Balerante, Kemalang, Selasa (4/1).
Gubuk beranyam bambu seadanya itu rupanya sungguh berarti bagi Darmi. Sebab, di sana ia bisa merangkai kembali mimpi-mimpinya tentang rumah masa depannya yang telah hancur disapu awan panas Merapi. Ia percaya bahwa tragedi Merapi pasti berlalu. Dan rumah yang menemaninya sejak ia dilahirkan itu, harus kembali berdiri betapapun tanpa kepastian. “Mau pindah ke mana lagi. Di sini, kami sudah tinggal sejak lahir,” lanjutnya.
Hampir dua bulan lamanya, Darmi tinggal di Depo Pendidikan Latihan Tempur (Dodiklatpur) Klaten. Di lokasi pengungsian itu, Darmi tak berharap banyak selain bisa kembali pulang dan menghirup udara segar di tanah kelahirannya itu. Namun, harapan itu tetap menggantung meski Merapi telah mereda. “Saya juga sudah kangen kembali ke rumah. Makanya, bikin gubuk ala kadarnya untuk tinggal di sini,” jelasnya.
Darmi memang bukan seorang diri yang begitu merindukan kampung halamannya. Laksono, warga Dukuh Banjarsari, Balerante, Kemalang itu malah rela menempati puing-puing rumahnya yang masih tersisa satu kamar bersama anak dan juga istrinya. “Di sini kan bisa sambil membersihkan puing-puing rumah. Lumayan, mumpung ada tetangga desa yang membantu,” terangnya.
Rumah Laksono terpaksa dirobohkan lantaran rapuh setelah tersapu awan panas Merapi bersama keempat hewan ternaknya. Meski kini telah terbayarkan gantinya, namun masih ada perasaan gundah yang menyelelimutinya. Itulah, rumah impian tempat ia berkumpul bersama keluarganya dalam kehangatan. “Saya dengar-dengar rumah kami mau dibangun kembali. Tapi, kapan itu, kami tak tahu,” harapnya.
Laksono dan juga Darmi sebenarnya sungguh merindukan rumah mereka. Betapapun berdiri di pangkuan Merapi yang membahayakan, namun bagi mereka rumah yang dibangun dengan keringat dan kerja keras itu tetaplah surga mereka. Sebab, dari rumah itulah mereka bisa kembali merajut dan melanjutkan sejarah serta kehidupan sebagai warga lereng Merapi. Namun, entah sampai kapan rumah mereka bakal terwujud kembali...


No comments:

Post a Comment

Tentang Blog

Ini hanya cerita tentang orang biasa. Tentang ketegarannya, kesabarannya, ketekunannya, kebesaran jiwanya, dan kepasrahan hidupnya kepada pemangku jagad ini.

Terpopuler

Designed ByBlogger Templates