Monday, November 1, 2010

bayi-bayi bertahan di pengungsian...


Santi adalah seorang bayi yang selalu ditinggal ibunya pergi setiap pagi. Ketika ia terbangun, didapatinya seorang renta yang tengah menggendongnya. Ia tak menangis, meski perutnya belum terisi seiris roti pagi itu. Dari kedua bola matanya yang sayu, ia amati orang-orang di sekililingnya. Namun, tak lama kemudian, bayi yang usianya belum genap setahun itu terpejam lagi. “Padahal, dia belum makan sama sekali. Ibunya cari rumput ke atas setiap pagi,” kata nenek itu, Mbah Karso Utami, 70, sambil menggendong Santi di lokasi pengungsian Dompol Kemalang, Sabtu (30/10).
Sudah lima hari ini, Mbah Karso menjadi ibu Santi kedua di pengungsian. Usianya yang rapuh, telah membuatnya tak bisa berbuat banyak selain hanya mengasuh cucunya itu sebisanya. Tiap pagi, ia mencari bubur di warung-warung di pinggir jalan. Kadang, dititipi biskuit ibunya Santi untuk campuran makanan Santi. “Saya telah coba dulang mie, tapi tetap nggak mau. Saya bingung,” kata Mbah Karso gelisah.
Dengan segala keterbatasan pengetahuanya itu, Mbah Karso sungguh tak tahu apakah cucunya itu tertidur pulas karena lelah atau karena lapar. Menatap pias wajah cucunya itu, warga Dukuh Grintingan Desa Tegalmulyo Kemalang itu hanya berharap ibunya lekas pulang. “Biasanya jam segini ibunya sudah pulang. Tapi, ini kok belum pulang-pulang,” lanjutnya kian cemas.
Mbah Karso memang bukan seorang diri yang bertugas mengasuh bayi-bayi di pengungsian. Bersama nenek-nenek renta yang lain—Mbah Sartowiyono dan Mbah Madyo Sukarto—mereka menjalankan perannya sebagai orangtua kedua bagi bayi-bayi malang itu meski hanya sebatas menggendong dan menyuapi makanan semampunya. “Di rumah kan masih ninggal sapi. Jadi, orangtuanya yang nyari rumput, kami yang mengasuh cucu,” sahut Mbah Sartowiyono sambil menggendong Ariyanto, cucunya yang baru berusia sembilan bulan itu.
Nasib Ariyanto tak berbeda dengan bayi-bayi yang lain. Saban hari, ia hanya dibelikan bubur di pinggir-pinggir jalan seadanya tanpa gizi mencukupi. Kenyataan itu bukan semata karena ketidaktahuan para nenek-nenek yang mengasuh mereka, namun juga karena bekal mereka di pengungsian sangat terbatas. “Biasanya memang dibelikan bubur SUN, satu bungkus Rp 6.500 untuk dua hari. Tapi di pengungsian, nggak punya uang,” keluhnya.
Kisah Santi, Ariyanto dan juga bayi-bayi lainnya itu sungguh amat mencemaskan. Mereka adalah bayi-bayi yang semestinya mendapatkan asupan mencukupi meski di pengungsian. Ketika Merapi mengancam keselamatan keluarga dan ternak mereka, sebenarnya mereka juga terancam bencana sosial kedua berupa kekurangan gizi. Kenyataan ini, menurut Kepala Dinas Kesehatan Klaten Ronny Roekmito, sebenarnya tak perlu terjadi jika masing-masing koordinator posko bersikap proaktif. Sebab, di posko pengungsian memang telah tersedia makanan khusus untuk bayi. Namun, soal pendistribusiannya itu, inilah yang memang masih menjadi masalah. “Harus satu pintu. Dan itu bukan wewenang kami,” kata Ronny seraya menjelaskan jumlah total Balita di pengungsian sebanyak 600-an jiwa.
Nenek-nenek yang mengasuh para bayi itu barangkali memang tak mengerti. Mungkin pula karena terlalu rumitnya prosedur untuk mendapatkan bantuan, sehingga mereka pun tak pernah terlintas untuk berebut bantuan bagi cucu-cucunya itu. “Untunglah, cucu saya ini tak rewel. Semoga saja ibunya lekas pulang,” harap Mbah Karso.


No comments:

Post a Comment

Tentang Blog

Ini hanya cerita tentang orang biasa. Tentang ketegarannya, kesabarannya, ketekunannya, kebesaran jiwanya, dan kepasrahan hidupnya kepada pemangku jagad ini.

Terpopuler

Designed ByBlogger Templates