Wednesday, November 10, 2010

Berkawan dengan ancaman Kali Woro...


Mbah Sugiyem tetap bertahan, meski gelombang pengungsian warga lereng Merapi terus bersusulan. Ia bahkan tak gemetar sama sekali ketika gemuruh suara Merapi terus menggetarkan dinding-dinding rumahnya siang malam. Di dalam rumahnya yang berdiri hanya beberapa jengkal dari Kali Woro itu, ia hanya mempercayai suara hatinya bahwa Merapi tak akan mengusiknya. “Lahar Merapi sampun kulo larang liwat Kali Woro mriki (lahar Merapi sudah saya larang melewati Kali woro di sini-red),” tampik perempuan renta berusia 70 tahun itu ketika sejumlah aparat Desa dan Kecamatan Manisrenggo mencoba merajuknya agar lekas mengungsi ke daerah aman, Senin (8/11).
Mbah Sugiyem adalah potret perempuan masa lalu yang begitu gigih memegang keyakinannya. Ia mungkin memang tak tahu bahwa ribuan warga di sekelilingnya telah eksodus besar-besaran menuju daerah aman sejak tingkah Gunung Merapi kian mengerikan. Siang malam suara gemuruh dari dalam perut bumi tiada henti. Malam hari, pijar api tampak seperti seekor ular merah menuruni lereng Merapi. “Kaca-kaca rumah kami bergetar. Kalau malam mencekam,” kata warga lainnya, Ny Siyono yang kini mengungsi di Prambanan Klaten.
Namun, tak demikian dengan nenek renta yang hidup sebatang kara itu. Di tepi Kali Woro di ujung Desa Borangan Kecamatan Manisrenggo itu, ia tetap setia merawat kedua kambingnya dan 19 ekor ayam berteman seekor anjing kampung. Di ruangan sempit berukuran 2 x 3 meter tanpa lampu penerang itu, Mbah Sugiyem tidur bersama 19 ayamnya beralas jerami. “Jerami alas tidurnya itu baru diganti setelah ada penen padi,” sambung Camat Manisrenggo, Gandung Wahyudi.
Sebelum nasib Mbah Sugiyem berkawan sunyi seorang diri di tepi Kali Woro itu, dia pernah hidup berdua bersama seorang adiknya dan sembilan anjing peliharaanya. Namun, setelah diserang stres menahun, lama-lama adik semata wayangnya itu pun pergi meninggalkannya di gubuk mungil itu. Satu persatu, anjing-anjingnya pun dijual demi menyambung hidupnya. Ia juga tak lupa untuk terus mencari daun jamu sambiroto yang kemudian dijual ke pasar setiap harinya. “Kalau dapat rizki, uangnya buat beli Raskin. Kalau nggak ada, ya masak ketela,” sambung Kadus I Borangan, Sri Kuswanto.
Mbah Sugiyem adalah saksi hidup keganasan lahar Merapi. Dulu, kisah Gandung, kampung yang bernama Ngglinggang tersebut dihuni puluhan warga yang hidup penuh kedamaian. Namun, letusan dahsyat Merapi di tahun 1930-an telah memprokaporandakan kampung dengan sekian kehidupannya. “Warganya saat itu banyak yang mengungsi dan mati diterjang lahar dari Kali Woro,” katanya.
Kini, ketika Merapi kembali bergolak, ingatan warga Borangan akan kisah kelam masa lalu dari Kali Woro seakan kembali hadir. Ribuan warga di sana pun telah mengungsi seiring dengan batas zona bencana yang mencapai 20 Km. Namun, Mbah Sugiyem sama sekali tak bergeming. Ia tetap menganggap Kali Woro sebagai bagian kehidupannya. “Neng kene aman. Mboten wonten napa-napa (Di sini aman. Tak akan ada apa-apa-red),” kata Mbah Sugiyem menegaskan penolakannya untuk mengungsi.


No comments:

Post a Comment

Tentang Blog

Ini hanya cerita tentang orang biasa. Tentang ketegarannya, kesabarannya, ketekunannya, kebesaran jiwanya, dan kepasrahan hidupnya kepada pemangku jagad ini.

Terpopuler

Designed ByBlogger Templates