Monday, November 29, 2010

Tak ada yang tersisa, selain bau bangkai dan abu....


Pagi hari selepas salat Idul Adha, langit di ujung Merapi masih terlihat cerah. Hari itu, rombongan ekspedisi Merapi telah berkumpul di pelataran Kecamatan kemalang Klaten. Tak ada bekal yang mendorong perjalanan berbahaya ke lereng Merapi kala itu, selain rasa penasaran. “Yuk, kita berangkat!” kata Camat Kemalang, Suradi.
Perjalanan diawali dengan sepucuk doa dan memasang masker. Jembatan Kali Woro adalah saksi awal perjalanan menaiki puncak Merapi itu. Satu persatu, rombongan ekspedisi mulai waswas. Tepat ketika tiba di gapura masuk Desa Balerante Kecamatan Kemalang sebuah pemandangan muram terpampang. Semua terkesiap. Di sepanjang jalan itu, nampak pemandangan pohon-pohon meranggas dan tumbang menghadang di tengah jalan. Rumah-rumah penduduk penuh lumpur tebal mengeras. Debu-debu beterbangan di sepanjang jalan. “Ini baru memasuki Dusun Talun. Sebentar lagi bakal tiba di Dusun Gondangrejo. Terus kita bakal naik lagi ke Sambungrejo,” kata Suradi.
Dua dusun itu kerap disebut-sebut sebagai kawasan mati yang berada di ujung Desa Balerante Kecamatan Kemalang. Masih ada lagi dusun yang tak kalah tragisnya, yakni Dusun Banjarsari dan Ngipiksari. “Totalnya ada empat dusun yang kini seperti kuburan setelah diterjang awan panas,” sahut Sumanto, anggota TNI dari Koramil Kemalang.
Laju kendaraan terus merabas jalan-jalan berkelok, menanjak, dan berlubang. Semakin mendekat, panorama Merapi penuh bebukitan gundul kian tertangkap mata telanjang. Dan begitu tiba di ujung Dusun Talun, tiba-tiba kendaraan terhenti. Sejumlah petugas dan warga bermasker menarik portal ke tengah jalan. “Ini kawasan terlarang. Dilarang masuk!” kata petugas dengan muka berdebu.
Suradi, Camat Kemalang itu turun tangan. Namun, tak satu pun warga dan petugas yang mengenalnya sebab ia mengenakan kaos oblong. “Permisi, Pak! Kami ingin menengok kondisi kampung warga kami,” kata Suradi pelan. Proses negosiasi pun berlangsung. Namun, tak lama. Sekitar 10 menit kemudian, lilitan kawat yang mengunci portal pun dibuka warga.
Perjalanan menjelajahi kampung kuburan pun berlanjut. Kali ini, tim yang terdiri dari TNI, aku, serta Camat Kemalang itu benar-benar merinding ketakutan. Sebab, baru beberapa ratus meter kendaraan menaiki puncak di Dusun Gondangrejo dan Sambungrejo, tiba-tiba terpampang pemandangan luas penuh asap mengepul. Mendongakkan kepala ke utara, nampak Gunung Merapi menjulang perkasa dengan asap sulvatara yang membumbung ke langit. Begitu pintu mobil dibuka, bau busuk bangkai langsung menusuk ke dalam rongga hidung. “Pakai masker! Jangan mendekat! Bangkai ternak menularkan penyakit kolera!” teriak petugas dari kejauhan. Semua rombongan langsung menjingkat dan berlarian berhamburan. Ada yang langsung masuk ke dalam mobil dan menutup pintu rapat. Ada pula yang masih menyempatkan diri—termasuk aku—dengan mengabadikan pemandangan yang seakan di alam mimpi itu. Terbayang saat itu sebuah cerita tentang padang mahysar di mana terdampar alam luas tempat manusia dibangkitkan setelah kematian. Di sana-sini penuh dengan reruntuhan bangunan, ternak-ternak terpanggang, pohon-pohon bak sepotong lidi yang menancap di tanah. Dan di sana, sungguh tak ada yang tersisa selain bau bangkai dan asap sisa keganasan Merapi. “Ayo cepat kembali! Lokasi masih berbahaya!” kembali terdengar peringatan dari kejauhan.
Tim segera bergegas masuk ke mobil dan meluncur ke bawah. Semua saling bertanya seakan tak percaya dengan yang dilihatnya. “Itu tadi karena awan panas?!” tanyaku setengah tak percaya.
Awan bergerak naik ke atas. Laju kendaraan mulai menuruni jalan dan mengibaskan kepulan debu jalanan. Di sepanjang jalan yang memisahkan Kabupaten Klaten Jateng dengan Cangkringan DIY itu berderet-deret rumah hancur, hutan-hutan terbakar, pohon-pohon melintang di tengah jalan, dan lumpur-lumpur bercampur sampah berserakan. “Semua yang berada di sepanjang Kali Gendol itu, tersapu habis oleh keganasan wedhus gembel,” kata salah seorang warga Balerante yang selamat, Sukamto.
Hingga tiba di kawasan yang aman di ujung Desa Balerante, semua tim masih bertanya-tanya penuh keheranan. “Merapi...oh Merapi...!!”


No comments:

Post a Comment

Tentang Blog

Ini hanya cerita tentang orang biasa. Tentang ketegarannya, kesabarannya, ketekunannya, kebesaran jiwanya, dan kepasrahan hidupnya kepada pemangku jagad ini.

Terpopuler

Designed ByBlogger Templates