Thursday, December 2, 2010

kisah religi : aku, kawan lamaku, dan masjid agung surakarta


Setelah lama bernazar, akhirnya kuputuskan untuk memulai perjalanan sunyi itu. Petang hari selepas salat Maghrib, kupacu kendaraanku di tengah rinai gerimis. Aku tiba di sebuah dusun kecil di tengah sawah. Dusun itu hanya berjarak sekitar sepuluh kilometer dari tempat singgahku sementara. Di sana seorang kawan lamaku masih seperti dulu; berperawakan kurus, selalu berbalut sarung dan tak lepas dari songkoknya. Dia menyalamiku layaknya saudara yang lama berpisah. Ia tak pernah mengutarakan harapan yang besar apalagi cita-cita muluk layaknya anak muda penuh gelora asa. Ia sudah merasa cukup jika bisa mengajak anak-anak kampung menghapal juz amma dan bermain rebana. Selebihnya, ia tetap ingin tinggal di kampungnya itu, mendampingi seorang kiai yang ia takzimi itu. “Yo wes ngeneki rutinitasku, Kang. Ngakeh-akehi solawat marang Kanjeng Nabi. Iku wes cukup. Arep lapo maneh,” serunya.
Perjumpaanku dengannya kala itu sungguh mengingatkanku pada seorang pemuda desa di tempat kelahiranku dulu yang setiap hari selalu menjadi juru azan di surau. Jangan dibayangkan suaranya sangat indah dan menggetarkan hati layaknya seorang muazin di layar kaca. Ia hanya memiliki pita suara pendek yang terdengar serak dan tak jelas mahraj hurufnya. Jika azan Subuh, terdengar dengan jelas bagaimana suaranya yang khas bangun tidur itu seperti ayam kluruk. Orang-orang kampung kerap menyindirnya. Namun, ia tak berkecil hati, apalagi berputus asa. Setiap tiba waktu salat Subuh, Dhuhur, serta Ashar—waktu yang paling sering dilupakan orang pergi ke surau—dialah yang paling bisa diharapkan untuk menyeru salat berjemaah di surau. Selebihnya—Magrib dan Isyak—ia memilih mengalah, sebab pada waktu-waktu itu surau sudah ramai orang-orang yang berebut azan.
* * *
Perjalanan memenuhi nazar itu kulanjutkan. Kali ini, gerimis telah mereda. Namun, hari semakin gelap. Kuputuskan untuk singgah sementara di sebuah kota. Aku lepas tas punggungku. Di sana, bekal pakaian dan segala kebutuhan perjalanan telah kusiapkan. Tak terkecuali bijih tasbih yang terbuat dari kayu stigi warna hitam gelap. Aku bergegas membaringkan tubuhku di alas lantai dan memejamkan mata selepas salat Isyak. Dalam tidurku, kutahan sekuat tenaga rasa lapar yang menyerangku. Aku telah berjanji untuk tak memasukkan seteguk air atau sebutir nasi sekalipun ke lambungku hingga esok petang kembali datang. Biarlah rasa lapar ini membakar jiwaku, nafsuku, dan ragaku. “Dalam perut yang kosong, suara bedug itu akan terdengar indah,” begitulah kata Rumi yang kuingat.
* * *
Azan Subuh terdengar dari daun jendela. Aku terbangun. Aku mulai merasakan suara bedug terdengar dari dalam perutku yang kosong. Namun, aku belum menemukan keindahannya seperti kata Rumi. “Mungkin, perjalanannku masih panjang,” batinku. Aku bergegas dan mengemasi perbekalanku. Aku kembali melanjutkan perjalanan. Kali ini aku memilih mengayuh sepeda. Aku susuri jalan raya yang terang, riuh, dan terik itu. Satu kendaraan dengan kendaraan yang lain seakan saling berebut jalan, saling meniup klakson penuh ketaksabaran. Semua merasa paling berhak melewati jalan itu. Semua beradu gengsi dengan mobil-mobil mewahnya. Mereka mungkin akan siap beradu mulut atau baku hantam andai mobil mereka bersenggolan sedikit saja satu sama lain.
* * *
Mentari mulai membujur di atas kepala. Aku tiba di sebuah masjid tua di sudut kota dengan peluh bercucuran. Mataku kurasakan seperti keluar beribu kunang-kunang. Kakiku melangkah namun seperti melayang. Aku benar-benar lelah. Dan aku pun langsung terkapar tak sadarkan diri begitu rebah di lantai serambi masjid itu. Sesekali saja, aku terbangun oleh gigitan semut merah yang merayap di lantai. Setelah itu, aku kembali terhempas dalam irama lelah nafas. Dalam tidurku itu, terlihat samar olehku selintas langkah kaki tertatih orang tua. Aku menyangka itu hanyalah halusinasi karena perutku yang kosong. Namun, ternyata bukan. Langkah tertatih orang tua itu rupanya benar adanya. Bukan dalam mimpiku. Aku melihatnya di barisan belakang shof salat. Kadang aku melihatnya bersandar pada dinding masjid, pada tiang masjid, dan pada pintu masjid. Bibirnya tak berucap apa-apa selain mengulum zikir. Jari-jarinya berirama memutar bijih tasbih. Jika tiba waktu salat, ia akan mengambil air wudhu di samping masjid dengan langkahnya yang tertatih itu.
* * *
Senja memerah di ujung barat. Bedug ditabuh disusul suara azan dari puncak menara. Derap langkah kaki pun berdatangan. Mereka kenakan mukena putih bersih bersinar memancarkan keanggunan seorang wanita salehah. Tak lama setelah diseru iqomah, lima barisan shof telah berjajar rapi. Aroma minyak kasturi, za’faron dan melati meruap di barisan shalat di masjid tua itu. Semua nampak berbaju rapi, wangi, dan wajah berseri. Dengan fasih dan merdu sekali anak muda itu memimpin upacara agung itu. Semua seperti terhanyut dalam irama salat hingga tak terasa telah tiba di penghujung doa. “Assalamualaikum warahmatullah...,” kutengok wajahku ke kanan dengan segenap doa bagi saudaraku di penjuru bumi di sisi kanan. Di sana, kulihat orang tua itu bersimpuh dengan kepala tertunduk. “Assalamualaikum warahmatullah...,” kutengok wajahku ke kiri dengan segenap doa bagi saudaraku di penjuru bumi di sisi kiri. Aku sungguh terkejut. Sebab, orang tua itu kembali kulihat bersimpuh masih dengan kepala tertunduk di sisi kiriku. Siapakah dia gerangan?


No comments:

Post a Comment

Tentang Blog

Ini hanya cerita tentang orang biasa. Tentang ketegarannya, kesabarannya, ketekunannya, kebesaran jiwanya, dan kepasrahan hidupnya kepada pemangku jagad ini.

Terpopuler

Designed ByBlogger Templates