Sunday, December 12, 2010

cerita di pagi hari...


Pagi hari usai sembahyang subuh itu, aku berangkat mengayuh sepeda menyusuri jalan raya. Jalanan yang lebar dan mulus itu kini memang terasa bersahabat sepekan sekali setiap tanggal merah. Tak ada deru kendaraan bermesin yang beradu kecepatan apalagi melintas. Yang ada adalah pengayuh sepeda sepertiku, pejalan kaki, pegiat senam, aktivitas olahraga dan olahrasa lainnya. Jika dinamakan lapangan olahraga terpanjang sedunia, mungkin tak salah. Sebab, semua orang mulai remaja, dewasa, manula, hingga Balita pun bisa menikmati lapangan beraspal sepanjang 4 kilometer itu secara cuma-cuma. Tak terbayang olehku bahwa jalan raya ternyata tak selamanya berkisah tentang tragedi berjuta nyawa melayang atau laju keserakahan ekonomi kapital. Jalan raya ternyata juga bisa berkisah tentang manusia yang menemukan kembali keutuhan dirinya secara fitrah dan alami. Mereka bisa saling menyapa, tersenyum, menghirup udara segar, mengayuh tanpa beban pekerjaan atau bersimpangan tanpa adu gengsi sosial.
* * *
Di titik nol kilometer kota tua itu, laju sepedaku membelok ke kanan dan membuntuti terus rombongan para pengayuh sepeda. Satu persatu mozaik kerajaan penerus Mataram yang masih tersisa seakan berjalan ke belakang seiring dengan laju sepedaku. Ada gapura yang mengingatkanku akan kehebatan raja PB X. Ada masjid agung yang menjadi inti spiritualitas bangunan-banguan keraton nan megah itu. Selintas saja pandanganku menoleh kori kamandungan. Di sana, ingatanku memutar kembali pada berderet cerita panjang di balik tembok tinggi yang mengelilingi keraton itu; tentang kesaksian kepahlawanan, pengkhianatan, kesetiaan, juga darah dan air mata yang telah terkubur dalam sejarah kerajaan yang berdiri beratus tahun silam itu. Ada yang masih terbungkus rapi dalam lembaran manuskrip kuno atau cerita-cerita rakyat. Ada pula yang telah terkubur masa, hilang bersama segala kenangannya.
* * *
Tiba di ujung utara bangunan kuno kerajaan itu, rombongan sepeda langsung disambut beberapa ekor kerbau bule keturunan Kiai Slamet. Anak-anak kecil bersama kedua orangtuanya begitu riang memberi makan rumput kerbau-kerbau asuhan Gunadi “Babeh” itu. Kerbau bule itu—betapapun lugunya—tetaplah menyimpan eksotisme terutama di malam 1 Sura. Kehadirannya sebagai cucuk lampah acara sakral keraton, telah membuktikan diri bahwa mereka mampu menyedot ribuan warga dari beribu penjuru desa dan kota. “Ia adalah simbol kesuburan,” kata seorang kerabat keraton Satrio Hadinagoro. Sejarah Sura memang ada yang berkisah tentang Karbala, sebuah kekejian politik yang telah memenggal leher cucu Nabi Muhammad SAW, Hasan dan Husain di balik pengkhianatan agama. Namun, Sura juga berkisah tentang harapan. 1 Sura menjadi amat sakral sebab kehadirannya menjadi awal catatan bagi manusia antara yang baik dan yang kelam. 1 Sura adalah sejarah perjalanan (hijrah) kaum muhajirin dari Mekah ke Madinah. 1 Sura adalah inspirasi jutaan orang untuk melakukan hijrah dari kegelapan menuju cahaya.
* * *
Tiba di tanah lapang alun-alun itu, aku tiba-tiba merasakan seperti setitik noktah di tengah ribuan manusia. Saat-saat seperti itu, aku selalu merasakan betapa diriku adalah bagian tak terpisahkan dari mereka, orang-orang kecil yang terus mencoba bertahan melawan ketidakpastian nasib. Aku sadar betapa diriku hanyalah orang kecil yang sejajar—atau bahkan jauh lebih kecil—dari mereka itu. Seperti juga di pasar-pasar tradisional di tepi jalan yang kumuh, di situlah kurasakan segala kepongahanku, gengsi sosialku, serta dunia mayaku runtuh. Aku nyaris tak memiliki kemampuan seperti mereka; tentang kematangan hidupnya, tentang pengalaman hidupnya, atau tentang ketegarannya. Dan pagi itu aku sungguh mendapatkan pelajaran hidup berharga bahwa Tuhan sesungguhnya selalu bersemayam di hati mereka...


No comments:

Post a Comment

Tentang Blog

Ini hanya cerita tentang orang biasa. Tentang ketegarannya, kesabarannya, ketekunannya, kebesaran jiwanya, dan kepasrahan hidupnya kepada pemangku jagad ini.

Terpopuler

Designed ByBlogger Templates