Monday, December 6, 2010

Memenuhi janji ...


Aku telah menantinya penuh kerinduan. Senja itu diguyur hujan. Akhir-akhir ini, kotaku memang tak pernah absen disiram hujan. Kadang disertai angin kencang, kadang banjir bandang, kadang juga listrik turut padam. Tapi, belum pernah ada catatan dalam sejarah hidupku bahwa hujan mampu menciutkan nyaliku untuk menjemputnya. Seperti Sabtu (4/12) petang hari itu, dia pulang dari Kota Pahlawan untuk memenuhi sebuah janji. “Adik naik patas, Mas. Tapi, tetap banyak yang berdiri,” kata dia dalam selarik pesan pendek itu.
Aku meluncur ke perempatan jalan, tempat yang biasa jadi pemberhentian bus penumpang. Di sana, aku melihatnya menepi di teras toko menahan hawa dingin. Aku tersenyum, sebab dia sungguh nampak istimewa. Dengan balutan batik khas Kota Bengawan, purnama itu terlihat anggun. “Ayo naik. Ibu telah menanti di rumah,” kataku.
Kami pulang membelah hujan di bawah lindungan mantel. Sepanjang perjalanan itu, kami bersama-sama berbagi cerita dan bersenandung cinta. Kami diliputi rasa senang dan bahagia. Kami pulang untuk memenuhi panggilan hati. Kami pulang untuk menyongsong harapan. Itulah barangkali yang membuat perjalanan terasa indah, termasuk hujan yang kian deras petang itu. Tiba di sudut kota di simpang jalan, tiba-tiba kami merasakan keganjilan. Roda belakang motor kami terasa bergoyang-goyang. Lama-lama, pelegnya seperti menyentuh aspal.
“Oo..oo...” rupanya bocor.
“Di sana ada vulkanisir, Mas,” teriak abang becak dari kejauhan. Aku pun dorong kendaraan menepi. Hujan masih cukup tinggi. Irama kencang musik dangdut dari dalam gubuk vulkanisir kian menambah bising suasana.
“Bocornya di bagian dop-nya, Mas! Harus ganti ban,” teriak tukang bengkel itu dari gubuk reotnya.
“Ganti saja, Bang!” sahutku tak kalah kencang.
“Nih, pakai saja sepeda pancalku,” tawarnya.
“Untuk apa, Bang?” tanyaku.
“Beli ban motormu,” sahutnya.
“Lho??”
“Saya nggak jualan ban,” tegasnya.
“Asemmm!” batinku.

* * *

Esok hari, aku benar-benar mencatat peristiwa yang mendebarkan dalam sejarah hidupku. Bersamanya, kami mencoba meyakinkan kepada saudara-saudaranya bahwa kami adalah sepasang insan yang siap mengarungi bahtera kehidupan. Kami benar-benar tak menyangka bahwa perjalanan seharian itu, lidah dan hatiku telah mengucap sebuah tekad. “Insyallah, pertengahan tahun depan,” kataku.
Mereka menatap wajah kami penuh keyakinan. Tak ada secuil keraguan. Semua malah menegaskan, “Jika itu memang keputusan kalian, kami hanya bisa menitip doa restu!” sebuah jawaban indah mendarat di telinga kami. Kami semakin yakin bahwa tangga kehidupan itu memang telah dekat. Terbayang saat itu sebuah tanggungjawab besar, jalan yang panjang, berlubang, dan berdaki. Dan kami sadar bahwa memang itulah kehidupan kami nanti...

Pare, 6 Desember 2010.


No comments:

Post a Comment

Tentang Blog

Ini hanya cerita tentang orang biasa. Tentang ketegarannya, kesabarannya, ketekunannya, kebesaran jiwanya, dan kepasrahan hidupnya kepada pemangku jagad ini.

Terpopuler

Designed ByBlogger Templates