Friday, September 24, 2010

membuka mata desa...

Pria itu tak menaiki mobil mewahnya. Ia memilih kereta bendi yang ditarik seekor kuda. Sosok yang memiliki 90 lebih karya riset itu juga tak mengenakan jas mlipit atau bersepatu kantoran. Ia hanya berpakain sorjan Jawa dan bertopi caping. Kedua kakinya pun melangkah kesana kemari tanpa alas kaki. Padahal, rumahnya di Krakitan Bayat Klaten sebentar lagi kedatangan orang nomer satu di daerahnya, Bupati Sunarna beserta rombongannya. Namun, bapak berputra tiga ini memiliki cara tersendiri dalam menyambut bupatinya itu.
Bersama warganya, ia sajikan menu makan seadanya dari hasil ladang dan sawahnya. Ada ubi-ubian, ketela, kacang tanah, jagung rebus, kelapa muda, rambutan, atau pisang rebus. Semuanya dikemas dalam balutan budaya rakyat kecil; tarian, salawatan, karawitan, musik lesung, hingga aneka dolanan anak-anak. “Kita ini bangsa agraris. Jadi, memang demikianlah sajiannya,” katanya merendah di sela-sela peresmian Museum Pertanian di kediamannya, Kamis (16/9) lalu.
Pria itu bernama Suratman Worosuprojo. Ia biasa dipanggil Suratman. Beberapa tahun terakhir ini, namanya begitu lekat di telinga warga Klaten, khususnya Desa Krakitan Bayat. Bukan soal gelar keprofesorannya atau seabrek karya risetnya yang telah memposisikannya dia sebagai Pengurus Pusat Ikatan Geografi Indonesia (IGI). Namun, hanya karena satu hal, yakni kecintaannya kepada desa kelahirannya. “Dulu, Pak Suparlan (ayah Suratman-red) pernah wasiat agar desanya ini ada yang melestarikan,” kata Darsono, tetangga Suratman.
Wasiat itu ternyata begitu terngiang di telinga Suratman. Dan ketika perjalanannya menempuh pelbagai riset tentang tanah dan lingkungan telah menobatkannya sebagai guru besar UGM, bapak kelahiran 6 Juni 1954 ini seperti terus terpanggil untuk mewujudkan mimpi ayahnya itu. “Yang terpikir saat itu, betapa bapak saya sangat mencintai tanah desa. Tanah tumpah darahnya, tanah negerinya sendiri,” katanya.
Sejarah itu bermula pada tahun 2000 ketika Suratman bertekad menyingsingkan lengan bajunya. Desa Krakitan yang sejauh mata memandang dipenuhi hamparan tegalan, kebun, perbukitan dan rawa seluas 180 hektare itu didesain ulang hingga mencitrakan kampung wisata yang eksotik. Rumah warisan orangtuanya, ia sulap menjadi Museum Tani Indonesia—satu-satunya museum di Klaten yang ia bangun dengan modal sendiri.
Ia juga menggarap home stay melalui rumah-rumah penduduk, menata infrastruktur praktek bertani, outbond di alam desa, memancing, upacara tradisi, festival tani serta menyaksikan upacara tradisi. Selain itu, ia juga membikin konsep agar wisatawan bisa terlibat langsung dalam berbagai permainan tradisional, tari-tarian, membaca di perpustakaan tani, serta memetik buah langsung dari pohon. “Setidaknya ada 25 kegiatan yang kami himpun dalam desa wisata ini. Semua itu disengkuyung oleh warga dan hasilnya juga dinikmati oleh warga,” urainya.
Tanah, di mata pakar geografi jebolan UGM ini bukanlah sesuatu yang sekadar menyimpan kekayaan alam. Namun, aneka budaya, pranata sosial beserta kearifan lokalnya juga tumbuh dan berkembang di sana. Itulah sebabnya, Suratman tak ingin membangun desa wisata hanya bertumpu pada potensi alam. Namun, harus dibangun berdasarkan nilai-nilai tradisi dan kearifan lokal. “Alam ini hanya mampu memenuhi kebutuhan manusia, tapi tak akan pernah mampu memenuhi kerakusan manusia,” kata dia mengutip ungkapan Mahatma Gandhi.
Al hasil, tanah peninggalan orangtuanya seluas dua haktare itu ia wakafkan demi terwujudnya museum pertanian. Sisa lahan di sampingnya, ia bangun taman bacaan, panggung mini untuk pentas budaya, serta budidaya ternak yang menyebar di pekarangan milik warga. Ada penangkaran burung Jalak Uren, ada yang beternak bebek, kambing, sapi, burung puyuh, hingga pembibitan aneka tanaman. Dia juga menggerakkan warga untuk bersama-sama merekayasa setiap jengkal tanah agar mampu mendatangkan manfaat. “Ibaratnya itu, selokan saja di mata Suratman jangan sampai sia-sia. Sebab, masih bisa untuk budidaya lele atau diolah agar ramah tetap lingkungan,” lanjut saudara Suratman, Sugiyanto.
Salah satu kisah kesuksesan yang dirasakan warga sejak 2 tahun terakhir ialah berkembangnya budidaya burung Jalak Uren—mamalia dengan kemampuan bersuara 32 jenis. Hewan yang tergolong langka itu rupanya mampu mendongkrak penghasilan warga rata-rata Rp 2 juta per bulan. Gara-gara Jalak Uren ini pula, warga meraih penghargaan di bidang lingkungan dari pusat Penyuluhan Kehutanan Jakarta sekitar dua bulan lalu. “Dari perangkat desa dengan gaji pasa-pasan hingga pemuda pengangguran, kini sama-sama menekuni budidaya ini. Kesannya memang main-main. Tapi, di tangan Suratman hasilnya bukan main,” kata Rahmanto.
Kehadiran Suratman ke tengah-tengah masyarakat, menurut kepala Desa Krakitan Sunudi, memang memiliki momentum yang tepat. Ketika kebanyakan profesor “bertapa” di menara gading, Suratman justru turun gunung. Ia memilih kembali ke desa tempat dia dilahirkan untuk memperkuat jati diri desa. “Dia itu pioner. Sosok yang mampu menggali dan merangkum segala kemungkinan potensi desa yang ada,” katanya.
Atas jasa Suratman itulah, Bupati Klaten Sunarna mengaku terharu bercampur bangga. Baginya, jerih payah Suratman dalam memberdayakan warganya di bidang lingkungan dan ekonomi kerakyatan adalah aset terbesar yang pernah dimiliki Kabupaten Klaten. “Saya hanya bisa haturkan terimakasih mendalam kepada Pak Suratman, pemrakarsa berdirinya desa wisata dan museum tani Indonesia ini,” kata Sunarna dalam sambutannya itu.


No comments:

Post a Comment

Tentang Blog

Ini hanya cerita tentang orang biasa. Tentang ketegarannya, kesabarannya, ketekunannya, kebesaran jiwanya, dan kepasrahan hidupnya kepada pemangku jagad ini.

Terpopuler

Designed ByBlogger Templates