Thursday, September 16, 2010

ketika khatib ditinggal pendengarnya

Catatan yang tersisa di hari fitri


Dia berdiri di barisan terdepan dengan tangan bersedekap. Selembar surban melilit di lehernya, lengkap dengan songkok hitamnya. Tatapannya seperti burung elang, tajam, menyiratkan sinisme. Sesekali ia mengeluarkan batuk-batuk kecil seperti ingin sekali menjaga kewibawaan. Ketika ratusan jamaah salat Idul Fitri menyerukan takbir sambil bersimpuh di atas tikar di tanah lapang, pria tua itu masih termanggut-manggut menghitung jemaah yang terus berdatangan. “Salat Id akan kita mulai. Bagi jemaah yang belum menempati shof, mohon segera mengisi barisan yang masih kosong,” demikian sebuah maklumat yang terdengar sebelum ceremonial agung itu dimulai.
Waktu yang dinanti pun tiba. Ratusan jemaah berdiri di tanah lapang. Mereka bertakbir membentangkan tangannya. Mereka bertakbir merukuk, bersujud, bersimpuh dan mengagungkan Tuhannya Yang Esa. “Tuhan tak memandang jasad kita, pangkat kita, kekayaan kita, atau status sosial kita. Tapi, Dia memandang di kedalaman hati kita,” demikian sepenggal nasehat sang imam yang sempat kuingat kala itu.
Usai salam, satu persatu besek amal pun berjalan di antara puluhan shof. Ada yang memberi uang seribu, dua ribu, sepuluh ribu, ada pula yang memasukkan uang recehan. Tentu saja, tak sedikit yang membiarkan besek plastik itu berjalan sendiri tanpa menghampiri jemaah.
“Ehmmm-ehmmm….!!” pria berkalung serban itu kembali mengeluarkan suara batuk berdehem. Kali ini, dia tak lagi berdiri shof terdepan. Namun, sudah berdiri gagah di podium sambil membenahi posisi mikrofon. Wajar, jika kemudian dia berdehem, meski penuh tanda tanya. Mungkin sindiran, mungkin pula ingin mencuri perhatian jemaah bahwa dirinyalah yang akan mengisi khutbah Salat Idul Fitri itu.
“Tolong kotak amalnya itu diisi yang banyak. Jangan diisi recehan,” kata dia sebelum mengawali khutbahnya. Jemaah terheran, tak terkecuali aku.
“Tadi, saya dikeluhi panitia salat Id. Katanya jemaah salat Id di sini pelit-pelit,” lanjutnya sambil menatap ke arah jemaah.
“Sudah bertahun-tahun salat Id di sini, sound sistem aja nggak punya. Ayo, cemplungin uang yang banyak, biar nggak sewa sound terus waktu salat Id,” tegasnya.
Salah satu jemaah di sampingku mulai gusar. Dia sepertinya terusik dengan pesan yang disampaikan sang khatib itu.
“Apa hubungan antara jemaah yang datang hanya setahun sekali dengan tak adanya sound sistem,” gerutu dia mendengar pesan khatib yang terkesan memaksa itu.
Benih-benih ketidaksimpatikan pun mulai bersemai. Jemaah yang lain mungkin juga merasakan hal serupa.
Mulailah, sang khatib mengawali khutbahnya dengan memekikkan takbir. Suaranya menggetarkan. Berulangkali ia mencontohkan dirinya yang telah renta, namun tetap semangat mengejar kebajikan. Ia tamsilkan betapa pahala kebajikan sanggup menghapus segala dosa manusia. “Jadi, kalau usia saya sudah 65 tahun saat ini, saya sejak 10 tahun lalu sudah tak punya dosa,” katanya penuh bangga.
Lima belas menit telah berlalu. Namun, doa di penghujung khutbah tak kunjung terdengar. Sang khatib masih bersuara lantang membaca teks khutbah yang berlembar-lembar. Ia mungkin lupa, betapa masih banyak jemaah yang juga ingin mengejar kebajikan dan menyambung silaturahmi bersama sanak keluarga dan teman di rumah dan kampung halamannya. Ia mungkin juga tak menyadari bagaimana beban psikologi jemaah yang lama tersiksa oleh nasehat-nasehatnya yang menggurui itu. Ia mungkin beranggapan, memanjangkan isi khutbah bisa mendatangkan dua macam pahala. Pertama, akan ada setumpuk pesan yang ia desakan ke memori jemaah betapapun tanpa tauladan. Kedua, dengan begitu ia memberi kesempatan kepada panitia salat Id untuk menghitung jumlah infak yang terkumpul pagi itu.
Waktu terus mengalir. Sinar mentari mulai terasa membakar kulit. Jemaah yang gusar terus meluas. Entah dari mana asal muasalnya, tiba-tiba di shof tengah, jemaah membubarkan diri. Jemaah lainnya terperangah. Mereka pun terprovokasi ikut-ikutan melipat sajadahnya dan beranjak meninggalkan tanah lapangan. Aksi pembubaran jemaah pun seakan menjadi dramatikal yang tak terpisahkan dari salat Id. Namun, sang khatib tetap bergeming. Ia sepertinya tak menghiraukan kekesalan jemaah. Ia masih terus membaca teks khutbah tanpa koma, tanpa titik. Namun, kian lama kian cepat bacaannya, seperti dikejar janji yang terlanjur ia sampaikan kepada jemaah bahwa isi khutbahnya tak akan lebih dari 15 menit. Lama-lama, isi khutbahnya kian tak tereja jelas. Takbir dan ayat-ayat yang ia baca tak lagi berintonasi seperti di permulaannya. Jemaah pun kian dibikin bingung dengan materi khutbahnya. Dan ketika tiba doa di penghujung khutbah, jumlah jemaah yang masih setia duduk di atas sajadah rupanya tinggalah ibu-ibu yang sejak lama ngerumpi soal baju barunya, soal anak-anaknya yang sukses di perantauan, atau soal makanan favoritnya, serta seabrek lagi obrolan pengiring khutbah yang terasa hambar bagai angin lalu itu.


No comments:

Post a Comment

Tentang Blog

Ini hanya cerita tentang orang biasa. Tentang ketegarannya, kesabarannya, ketekunannya, kebesaran jiwanya, dan kepasrahan hidupnya kepada pemangku jagad ini.

Terpopuler

Designed ByBlogger Templates