Monday, October 4, 2010

negeri KTP

Negeri ini, kata orang-orang, konon tak hanya salah urus. Tapi juga salah membikinnya, salah mengandungnya dan salah melahirkannya.

Seorang anak yang sejak lahir sudah menginjak tanah negerinya sendiri, dibilang bukan warga negara ini hanya karena tak punya KTP. Fatalnya lagi, gara-gara telat memperpanjang KTP, dia diangap batal status kewarganegaraannya. Di sejumlah daerah, malah telah disiapkan Perda yang mengatur denda bagi warga yang telat memperbarui KTP. Sebentar lagi, mungkin bakal ada Perda yang lebih galak. Barangsiapa telat memperbarui KTP, maka masuk pelanggaran pidana!

Di Kecamatan Jatinom Klaten, seorang ibu rumah tangga yang hanya buruh batu bata ditolak berobat dengan kartu Jamkesmas-nya hanya gara-gara KTP-nya belum diperbarui. Ibu itu barangkali tak hanya bingung memahami KTP lantaran dia memang buta huruf. Namun, dia juga absurd memahami KTP yang ternyata jauh lebih penting ketimbang nyawa dan kandungannya itu.

KTP—kartu tanda penduduk itu—barangkali kini telah menjadi ironi baru. Ia tak hanya dianggap sekedar pelengkap administrasi. Namun telah membius dan menembus segala lini kehidupan. Ia bahkan menjadi lebih esensi ketimbang pemegangnya.

Saya pernah ditugasi untuk meliput sebuah acara di kompleks TNI. Sampai di depan gerbang pintu, ada beberapa petugas berwajah galak mengadang. Dan satu pertanyaan yang mereka lontarkan, “Mana KTP-nya?”

Saya heran. Selembar kertas yang dipress plastik bening itu ternyata jauh lebih berharga ketimbang kedatangan tamu. Ini negera seolah-olah dihuni KTP, bukan nyawa, jiwa, raga, dan berjuta rakyat dengan peradabannya. Mungkin karena kesal itulah, saya bohongi petugas jaga malam itu. “Maaf, Pak. Saya tak bawa KTP!”

Saya pun disuruh pulang mengambil KTP dan tak pernah kembali lagi masuk komplek TNI itu.

Saya pulang dari sana bukan mengangkut kekalahan. Namun merayakan kemenangan. Sebab, status KTP itu telah aku taklukkan. Dalam hati kecilku, saya bertanya, apakah selembar KTP menjadi lebih subtansial ketimbang pemegangnya. Jika tujuan KTP tidak lebih hanya untuk mempermudah negara dalam mengidentifikasi warganya, kenapa bukan negara—pejabatnya, atau siapa saja yang digaji negara—yang memberi KTP warga? Kenapa justru penduduk asli yang harus merengek-rengek dibuatkan KTP?

Posisi seperti ini sebenarnya mengandaikan bahwa tanpa KTP warga tidaklah sah menjadi warga negara. Dan ini bukan saja bentuk perampasan status penduduk. Namun, juga bentuk pengalihan hak kemanusiaan yang paling utuh penghuni sah negeri kepada selembar KTP.


No comments:

Post a Comment

Tentang Blog

Ini hanya cerita tentang orang biasa. Tentang ketegarannya, kesabarannya, ketekunannya, kebesaran jiwanya, dan kepasrahan hidupnya kepada pemangku jagad ini.

Terpopuler

Designed ByBlogger Templates