Sunday, January 23, 2011

berjuang di atas kursi roda


Sabtu wage di pagi hari. Kabar duka itu datang ketika jarum jam merayap sekitar pukul 05.53 WIB. Supriadi, bapak setengah baya itu sungguh tak menyangka bahwa pagi itu adalah awal cerita nestapa baginya. Sebuah gempa bumi hebat mengoyak tempat tinggalnya tepat pada 27 Mei 2006 silam. Tubuhnya pun tertimpa reruntuhan bangunan sebelum akhirnya ia duduk di kursi roda. “Tapi saya tak ingin dibelas kasihani. Berikan hak kami sebagai warga negara, kami ingin mandiri!” tegasnya ketika berbincang di gedung DPRD akhir pekan lalu.
Supriadi sengaja datang ke gedung wakil rakyatnya bersama puluhan rekan-rekannya yang bernasib sama. Kedatanganya kala itu dengan membawa segudang harapan sekaligus awal perjuangan dalam menuntut terpenuhinya hak-hak kaum difabel. Namun, baru tiba di depan pendapa gedung Dewan, Supriadi langsung mengernyitkan kening. Ia berpikir, betapa sulitnya bagi seorang difabel untuk memasuki gedung wakil rakyatnya itu. “Setiap pintu gedung ini sama sekali tak ada jalan untuk kursi roda. Semua memakai tangga,” keluhnya.
Apa daya, Supriadi dan kawan-kawan lainnya pun terpaksa meminta bantuan orang lain. “Kami sebenarnya tak ingin menyusahkan orang lain, tapi kalau akses bagi kami tak diberi, bagaimana kami bisa mandiri?” tanyanya lagi.
Menyerahkah Supriadi? Tidak! Di gedung dewan itu, Supriadi bicara dengan lantang akan nasib para penyandang cacat korban gempa Klaten 2006. Ia bicara dengan kejujuran hatinya tentang segala penderitaan para korban gempa yang mulai kehilangan harapan. Banyak orang—tak terkecuali pemerintah—menyangka bahwa tragedi gempa itu telah berlalu. Namun, bagi penyandang cacat, itu adalah awal mula penderitaan mereka. Sebagai kepala keluarga, mereka tak lagi bisa kerja. Anak-anak mereka sekolah putus, sebagian dari mereka bahkan telah meregang nyawa lantaran terserang penyakit dicubitus. “Kami mulai merepotkan keluarga, membebani orang lain, dan dianggap sebelah mata oleh masyarakat,” jelasnya.
Beruntung, Supriadi tak kehilangan pijar harapan itu. Bersama rekan-rekannya, ia bangkit. Mereka pun membentuk Spinal Cord Injury (SCI), sebuah organisasi kaum cacat untuk memperjuangkan hak-haknya, berbagi pengetahuan, serta wadah untuk berbagi kegiatan yang berguna bagi orang lain. Atas perjuangannya itu pula, mereka bahkan telah menghasilkan film dokumenter yang kesemua prosesnya dikerjakan di atas kursi roda. “Dan film ini adalah kesaksian kami,” pungkasnya.
Read More

Monday, January 17, 2011

penjaga makam...


Pria bersongkok itu duduk bersila di depan makam Ki Ageng Gribik. Seulas senyum langsung mengembang dari wajahnya yang berseri sesaat setelah aku datang. Sambil membenahi silanya, ia pun menyalami penuh kehangatan. “Jelang sebaran apem seperti ini, peziarah biasanya mulai berdatangan,” katanya.
Pria itu bernama Panji Supardi. Ia adalah seseorang yang ikut menjaga kelestarian peninggalan Ki Ageng Gribik. Tak ada gaji atau kedudukan yang membuatnya betah bersila di sana, selain ketulusannya dalam mencintai semangat perjuangan sang penyebar agama Islam di wilayah Klaten, khususnya di Jatinom itu. “Sebenarnya, saya pernah merantau ke Jakarta selama 2,5 tahun. Namun, garis hidup saya ternyata harus kembali ke sini lagi,” kisahnya.
Panji hanyalah orang biasa yang merasa terpanggil untuk menjaga kelestarian makam Ki Ageng Gribik. Sebelum takdir menitahkannya sebagai juru kunci di sana, ia pernah bertanya penuh gamang dalam dirinya “Masak hidup saya hanya sebagai juru makam terus seperti ini? Bagaimana dengan keluarga dan anak-anak saya nantinya,” tanyanya suatu hari.
Pertanyaan itu terus menggelisahkan batinnya. Suatu ketika di penghujung tahun 1978, ia pun memutuskan untuk pamitan dan merantau ke tanah Jakarta mencari jawab atas teka-teki hidupnya itu. “Di Jakarta, saya bekerja apa saja untuk bertahan hidup,” jelasnya.
Pengembaraanya ke kota yang keras persaingan itu, mungkin membuat Panji merasa lelah dan kalah. Dalam kesepian itu, ia tiba-tiba kembali teringat Mbah Gito Atmojo, penjaga Makam Ki Ageng Gribik yang selama ini mengajarinya tentang kematangan hidup. “Saya akhirnya memutuskan kembali ke kampung halaman. Saya yakin, rezeki itu sudah ada yang mengatur,” jelasnya.
Tahun 1980 di usianya yang baru menginjak 23 tahun, Panji memutuskan menikah. Ia memulai lembaran baru dengan bekal bahwa rezeki pasti datang selama manusia mau mengejar. “Saya memutuskan menjaga Makam Ki Ageng Gribik. Tapi, saya harus tetap bekerja.”
Saat itulah, Panji bekerja sekaligus mengabdi. Ia mencintai keduanya sebagai panggilan hati dan tanggungjawab keluarga. Sebagai ayah dua anak, ia bekerja sepenuh hati dalam jual beli kendaraan bermotor. “Alhamdulillah, rezekinya selalu ada. Dua anak saya, saya kuliahkan semua di Jogja.”
Sebagai juru makam, Panji merasa tersirami hatinya. Di sana, ia merasa ada pesan tauhid, toleransi, dan kesejatian hidup dari Ki Ageng Gribik yang selalu menuntunnya. Salah satu pesan yang terkenal adalah saling memaafkan dan mohon ampunan seperti dalam tradisi sebaran apem di Bulan Safar itu. “Asal kata apem itu kan afwun, artinya memaafkan. Jadi, kita harus saling berebut maaf,” jelasnya.
Read More

Tuesday, January 4, 2011

Merangkai mimpi di gubuk Merapi...


Darmi, pria berusia 38 tahun itu tinggal di gubuk sederhana di atas tanah bekas puing-puing rumahnya. Gubuk itu hanya berukuran dua meter persegi dengan atap genteng lawas. Tiangnya diambil dari sisa-sisa bambu yang tertimbun abu vulkanik. Namun, ia sungguh merasa tenteram tinggal di sana bersama istri dan anak semata wayangnya. “Kalau tinggal di Depo terus-terusan bosen! Lagian juga capek jika harus bolak-balik,” kata Darmi, warga Dukuh Sambungrejo, Balerante, Kemalang, Selasa (4/1).
Gubuk beranyam bambu seadanya itu rupanya sungguh berarti bagi Darmi. Sebab, di sana ia bisa merangkai kembali mimpi-mimpinya tentang rumah masa depannya yang telah hancur disapu awan panas Merapi. Ia percaya bahwa tragedi Merapi pasti berlalu. Dan rumah yang menemaninya sejak ia dilahirkan itu, harus kembali berdiri betapapun tanpa kepastian. “Mau pindah ke mana lagi. Di sini, kami sudah tinggal sejak lahir,” lanjutnya.
Hampir dua bulan lamanya, Darmi tinggal di Depo Pendidikan Latihan Tempur (Dodiklatpur) Klaten. Di lokasi pengungsian itu, Darmi tak berharap banyak selain bisa kembali pulang dan menghirup udara segar di tanah kelahirannya itu. Namun, harapan itu tetap menggantung meski Merapi telah mereda. “Saya juga sudah kangen kembali ke rumah. Makanya, bikin gubuk ala kadarnya untuk tinggal di sini,” jelasnya.
Darmi memang bukan seorang diri yang begitu merindukan kampung halamannya. Laksono, warga Dukuh Banjarsari, Balerante, Kemalang itu malah rela menempati puing-puing rumahnya yang masih tersisa satu kamar bersama anak dan juga istrinya. “Di sini kan bisa sambil membersihkan puing-puing rumah. Lumayan, mumpung ada tetangga desa yang membantu,” terangnya.
Rumah Laksono terpaksa dirobohkan lantaran rapuh setelah tersapu awan panas Merapi bersama keempat hewan ternaknya. Meski kini telah terbayarkan gantinya, namun masih ada perasaan gundah yang menyelelimutinya. Itulah, rumah impian tempat ia berkumpul bersama keluarganya dalam kehangatan. “Saya dengar-dengar rumah kami mau dibangun kembali. Tapi, kapan itu, kami tak tahu,” harapnya.
Laksono dan juga Darmi sebenarnya sungguh merindukan rumah mereka. Betapapun berdiri di pangkuan Merapi yang membahayakan, namun bagi mereka rumah yang dibangun dengan keringat dan kerja keras itu tetaplah surga mereka. Sebab, dari rumah itulah mereka bisa kembali merajut dan melanjutkan sejarah serta kehidupan sebagai warga lereng Merapi. Namun, entah sampai kapan rumah mereka bakal terwujud kembali...
Read More

Tentang Blog

Ini hanya cerita tentang orang biasa. Tentang ketegarannya, kesabarannya, ketekunannya, kebesaran jiwanya, dan kepasrahan hidupnya kepada pemangku jagad ini.

Terpopuler

Designed ByBlogger Templates