Wednesday, July 8, 2009


Hari terakhir pekan ini, genap empat hari ruh ayah melepas raganya. Handai taulan, termasuk ibuku selalu bilang,"Kasihan Le, bapakmu sekarang sendirian di kubur," begitu katanya selepas mengenang tiga hari kepergian ayah dengan berjuta iringan tahlil di rumah. Aku tak pernah menganggap ayahku sendirian di kubur tanpa cahaya penerang yang menemani. Bagaimana bapak bisa sendirian di alam kubur, sementara nyaris seluruh usia bapak sebagian besar hak-haknya telah diserahkan kepada sesama. Bahkan, haknya yang paling asasi untuk bekerja serta hak bercita-cita juga nyaris tak dimiliki ayahku. Bapakku telah terbiasa hidup dengan sekian beban kewajiban, tanpa memiliki hak-haknya.

Aku masih teringat suatu hari, ketika warga kampung membangun mesjid. Ayahku diam-diam mengirimkan separoh lebih kayu dagangannya ke mesjid, tanpa seorang pun tahu siapa pemberinya. Ibuku saat itu, aku tahu persis begitu mendongkol dengan keputusan yang diambil ayah kala itu. Ibuku dengan watak kecemasannya yang berpikir praktis untuk urusan kebutuhan dapur dan makan anak-anakanya esok hari, terus terang keberatan. Mestinya, bapak bisa menyumbangkan beberapa potong kayu saja karena itu nilainya sudah berjuta. Namun ayahku tetap tak mau berpikir sepotong-potong. Ia tetap pada keputusannya itu, meski modal untuk berdagang bulan depan belum ia pikirkan sama sekali.
Satu dari sekian kelemahan yang dimilikli ayahku ialah selalu mudah percaya kepada siapa saja. Apalagi kepada rekan kerja, bapakku tak pernah menyimpan secuil keraguan. Itulah sebabnya, tak jarang usaha bapakku harus bangkrut berkali-kali karena kiriman barang selalu dibawa kabur sopir atau rekan kerja. Jika sudah seperti ini, ibuku-lah orang yang pertama kali selalu uringan-uringan karena menilai bapak tak becus bekerja denga menaruh kepercayaan 100% kepada sesama. Dalam kondisi seperti ini, bapakku hanya bertanya penuh arti lantaran dia tak bisa memahami tingkah manusia saat ini; kenapa dirinya yang selama ini dituduh orang-orang tak memiliki Tuhan, namun justru dikhianati orang-orang yang mengaku bertuhan ketika dirinya berusaha menjalankan amanat Tuhan itu dengan tulus.
Bapakku mungkin memang tak memiliki batas perbedaan selain rasa senasib atas sesama. Di usianya yang sudah senja itu, bapakku selalu mendatangi kawan-kawannya, para tetangganya, serta orang-orang tercintanya dengan membawa oleh-oleh yang mampu ia beli. Ia tak akan bisa istirahat jenak jika mendengar kabar saudaranya yang masih hidup dalam kesusahan. Padahal, dirinya sendiri kala itu penyakitnya sudah menjalar ke seluruh tubuhnya hingga membuatnya susah bergerak. Namun, itulah ayahku yang tetap ingin hidup dalam nasib saudaranya.
Masih di ujung usianya itu, bapakku juga tak mau menyerah untuk tetap bekerja. Kakak-kakakku sudah berulangkali menasehatinya agar istirahat saja di rumah. Namun, kemauan bapakku memang sekeras batu. Rasa tanggungjawabnya sebagai kepala rumah tangga ternyata telah mengusik hatinya agar tak hanya duduk di kursi sambil menanti hari tua. Baginya, menyongsong hari tua dan juga hari kematian akan lebih terhormat jika tak hanya menjadi beban orang lain, termasuk anak-anaknya.

Ah, bapakku...aku masih teringat di hari-hari terakhir sebelum kepergiannmu. Engkau masih sempat bergurau denganku sambil menikmati jajan selera rakyat jelata kesukaanmu itu; ketela goreng. Malam itu, aku sempatkan ke alun-alun kota ketika pulang kampung hanya untuk membeli ketela goreng itu. Dan di atas kursi roda itu, engkau bertanya kabar tentang anak-anakmu, tentang kisah-kisah lucu masa lalu, juga tentang anekdot-anekdot mantan presiden Gus Dur yang kau idolakan setelah presiden Soekarno itu. Sebaliknya, Soehato adalah presiden lembaran kusam yang menggoreskan luka masa lalumu. Engkau selalu mengatakan, presiden Indonesia yang paling berkesan itu hanya Soekarno, Soeharto, dan Gus Dur. Presiden yang terakhir itu, kerap kau sebut-sebut sebagai Soekarno masa kini lantaran kau nilai sebagai sosok yang tahu peliknya persoalan masa lalu bangsa ini, sosok yang mengilhami rekonsiliasi politik antara kaum santri dengan kaum abangan, hingga sosok presiden yang paling kocak sepanjang sejarah di dunia ini. “Gus Dur itu ya le, gitu-gitu presiden yang berani mengatakan bahwa tingkah polah DPR itu kayak anak-anak TK. Tapi, juga presiden paling lucu. Presiden kok pakai celana kolor pendek di hadapan rakyatnya,” ujarnya yang langsung menyentak tawa terkekeh.
Ah, ayah ku...Selamat jalan ....

Pare, Sabtu 4 Juni 2009 pukul 07.50 WIB.


No comments:

Post a Comment

Tentang Blog

Ini hanya cerita tentang orang biasa. Tentang ketegarannya, kesabarannya, ketekunannya, kebesaran jiwanya, dan kepasrahan hidupnya kepada pemangku jagad ini.

Terpopuler

Designed ByBlogger Templates