Wednesday, August 25, 2010

juru warta...

Dua hari ini aku dalam pengasingan. Di daerah yang sama sekali baru ini, tugasku masih sama seperti sebelumnya yakni sebagai juru warta. Namun, akhir-akhir ini aku selalu bertanya dalam hati, akankah aku terus bergelut dengan dunia ini? Dunia aneh yang terkadang remeh temeh.
Orang barangkali menganggap profesi wartawan sebagai pekerjaan yang memiliki gengsi sosial tinggi di masyarakat, sama seperti polisi atau pengacara. Wartawan diposisikan sebagai agen anti kemapanan yang serba tahu. Barangkali ia memang memberi manfaat kepada publik lantaran tugasnya memburu fakta meski tak dibekali senjata seperti polisi atau pengacara. Ia barangkali menjadi sandaran bagi kelompok yang lemah sebab wartawan melakukan kontrol sosial dengan insting yang dicetak untuk selalu mengorek kejanggalan. Dan semua itu memang demikian adanya. Pers menempati posisi penting di sebuah masyarakat dan negara.
Namun, orang mungkin lupa bahwa profesi ini sebenarnya seperti orang yang berdiri di atas mainan egrang. Ia terlihat tinggi di atas yang lain, namun sejatinya sangatlah ringkih. Ringkih dalam segalanya—kemapanan ekonomi, keselamatan kerja, termasuk kemandirian sikap dan pilihan hidup masa depannya.
Kode etik yang selama ini didoktrinkan kepada wartawan terkadang tak ubahnya jimat yang tak masuk akal. Wartawan diatur sedemikian rupa hingga menyerupai malaikat. Sementara, mereka sendiri tak pernah tahu polah bosnya yang menertawakan kode etik itu. Wartawan didoktrin untuk menatap kode etik layaknya seorang siswa mematuhi P4 dalam pemerintahan Orde Baru. Kode etik itu didewa-dewakan bagai pelaksanaan upacara bendera yang menghormati sang saka merah putih sepenuh hati. Namun, nasib wartawan sendiri—seperti kata saya tadi—begitu sangat ringkih.
Wartawan dalam konteksnya sebagai individu, seakan tak henti diserang rasa gundah, sepi, dan cemas. Namun, kecemasan itu bukan atas fakta sosial atau karut marutnya tatanan yang ia temukan di lapangan. Melainkan, kecemasan atas nasibnya sendiri. Tentang ketercukupan ekonominya, keselamatan kerjanya, atasannya, kemandirian sikapnya, dan terbengkalainya cita-cita mulianya sebagai pribadi di luar profesinya sebagai juru warta.
Saben hari, wartawan dipaksa bekerja bagai mesin serba cepat dalam keterbatasan waktu. Ia menelusuri satu medan ke medan yang lain tanpa perlindungan diri. Menemui orang-orang yang dianggap penting dalam hitungan detik. Dan semua tugas itu harus ditaklukkan wartawan secara perfectionis dengan segenap kemampuan dirinya.
Wartawan sebagai salah satu pilar demokrasi mestinya tak bisa dipandang sebagai profesi yang bekerja secara sendiri. Namun, ia musti ditatap sebagai sebuah institusi yang memiliki sistem kerja komunal. Sebab, jika hanya dipandang sebagai profesi yang melekat pada individu, maka ia hanya memiliki dua pilihan; menjadi martir atau melacur!


No comments:

Post a Comment

Tentang Blog

Ini hanya cerita tentang orang biasa. Tentang ketegarannya, kesabarannya, ketekunannya, kebesaran jiwanya, dan kepasrahan hidupnya kepada pemangku jagad ini.

Terpopuler

Designed ByBlogger Templates