Sunday, August 1, 2010

Sepenggal cerita menjelang Ramadan...


Ada sepenggal cerita di bawah pohon tua di permulaan malam itu. Sebuah batu nisan bertuliskan Mbah Demang Jebres berdiri dengan tenang seperti tengah mewedarkan kisah-kisah masa silam yang mulai terhapus ingatan. “Dia adalah cikal bakal Kelurahan Jebres,” kata lelaki tua itu, Mbah Soejoko dengan suara pelan. Angin mulai mendesis di antara dedaunan pohon-pohon di kawasan Pedaringan Jebres, Jumat (30/7) malam. Mbah Soejoko—lelaki yang ke mana-mana gemar berjalan kaki itu—pun melanjutkan ceritanya dengan segala ingatan yang masih melekat di sanubarinya. Dahulu, kisahnya, kawasan pedaringan adalah tanah yang penuh dengan makam. Pada tahun 1977 terdengar kabar yang menggegerkan bahwa makam-makam di sana akan digusur untuk proyek besar-besaran. “Saat itu, semua makam dipindahkan. Namun, ada satu makam yang tak bisa dipindah, tanpa tahu sebabnya,” lanjut bekas lurah di era tahun 1983-1987 itu. Warga pun sudah menduga. Satu makam yang tertinggal itu tak lain ialah makam Mbah Demang Jebres. Lalu, tergeraklah hati warga untuk menjaga keberadaan makam yang berusia ratusan tahun itu. Tak ada yang tahu persis kapan Mbah Jebres bersemayam di sana. Namun, berdasarkan saksi dan petilasan yang terbaca, makam itu ada sekitar tahun 1800. “Dia dulu seorang abdi dalem Keraton Kasultanan Yogyakarta,” lanjut sesepuh warga Jebres lainnya, Hadi Suparto.
Nama Mbah Demang Jebres inilah—dalam tradisi pitutur atau cerita rakyat—kerap disandingan dengan nama salah satu pengusaha Belanda yang tinggal di Solo, yakni tuan Jefres. “Tapi, kelahiran tuan Jefres jauh setelah nama Mbah Demang Jebres ada,” sahut Soejoko, warga lainnya yang ikut nyadran di sana.
Makam Mbah Jebres kini bak seutas tali. Dia adalah satu di antara beratus situs yang menyambungkan masa lalu dengan masa sekarang. Melalui sebuah penanda yang ada, makam itu seakan memperkaya sejarah dan menceritakan sisi lain tentang arsip kota tua ini. “Sayang, makam Mbah Demang Jebres ini belum tercatat sebagai salah satu situs budaya di Kota Solo,” sambut Lurah Jebres, Tamso. Betapa pun telah terlupakan zaman, namun masih saja ada satu atau dua orang yang setia menziarahinya. Belakangan, ada yang mulai membangunkan rumah di atas makam itu. “Namun, baru mendirikan tiang, dia mendapatkan firasat agar tak meneruskan. Kayaknya, Mbah Jebres tak berkenan,” kata Budi Hartono, tokoh Jebres lainnya.


No comments:

Post a Comment

Tentang Blog

Ini hanya cerita tentang orang biasa. Tentang ketegarannya, kesabarannya, ketekunannya, kebesaran jiwanya, dan kepasrahan hidupnya kepada pemangku jagad ini.

Terpopuler

Designed ByBlogger Templates