Thursday, August 19, 2010

keong racun dan zaman kalatida

Keong Racun mendadak meroket di dunia maya. Lagu yang telah menembus 2,3 juta lebih pengunjung di YouTube itu barangkali adalah pameo pedas atas keruwetan bangsa ini. Ketika semua berharap bakal datang sang penawar, obat, atau satrio piningit bagi bangsa yang sakit, maka bukan zat antitoksin yang ditawarkan, melainkan racun, bisa, dan zat-zat adiktif berbahaya lainnya. Semua seakan ikut mengamini ketika negeri ini menyongsong era baru dengan menyanyikan lagu “Bersama Kita Bisa!” Dengan kata lain, kebersamaan yang diharap-harapkan itu tak ubahnya racun, toksin, atau zat adiktif lainnya yang berbahaya. Sebab, kebersamaan yang dirayakan bareng-bareng itu hingga kini tak pernah memberikan harapan yang lebih baik.

Keong dalam tradisi dongeng nenek moyang kita, memiliki posisi di hati rakyat. Sebab, betapapun langkahnya sangat lamban, namun keong dikenal sebagai salah satu binatang yang mampu menumbangkan kesombongan kancil, hewan yang terkenal cerdik dan licik. Keong yang bersatu itu adalah simbol keutuhan rakyat kecil. Mereka mampu mengalahkan kecepatan lari kancil meski tak memiliki kuasa dan kekuatan seperti kancil.

Dalam serat kancil yang diadopsi dari Kisah Jataka dari Negara India, Kancil sebenarnya menemukan kesadaran diri dan kebijaksanaan setelah berguru kepada keong. Kancil yang memasuki gua garba keong itu lantas menemukan dunia sunyi dan menjadi terang jalan hidupnya. Kisah itu, sama persis dengan kisah perjalanan spiritual Dewa Ruci yang menjadikan Bima sebagai seorang ksatria. Dan kisah-kisah di atas, betapapun hanya dongeng namun sejatinya mengajarkan teladan bahwa sebuah kekuatan yang lemah seperti keong pun, tetap mampu mengalahkan kancil yang licik.

Rakyat dalam berbagai personifikasi selalu ditempatkan sebagai pihak yang lemah seperti keong. Di sisi lain, rakyat juga selalu digambarkan sebagai suara Tuhan yang memiliki kekuatan. Dalam nostalgia perjuangan masa lampau misalnya, rakyat yang digerakkan oleh perasaan senasib itu menjelma kekuatan raksasa yang mampu menggulingkan segala kediktatoran dan kelicikan penjajah. Namun, seperti hukum alam bahwa kesadaran bersama itu akan perlahan luntur dengan sendirinya ketika musuh bersama itu hanya tersisa dalam selimut. Dan lahirlah musuh-musuh dalam selimut.

Hikayat keong melawan kancil barangkali kini tercermin dalam sejarah negeri ini. Keong yang merupakan gambaran rakyat rupanya tak kunjung menemukan kesadaran diri ketika penguasa terus melangsungkan manuver kelicikannya sebagai musuh dalam selimut. Rakyat justru mengalami polarisasi strategi perjuangan, mengalami krisis moral dan etika. Kerusuhan berbau etnis kedaerahan telah jamak meletus di mana-mana. Rasa saling menghargai bukan lagi diikat oleh keutuhan kemanusiaan, senasib dan setanah air. Melainkan, tercerai berai oleh suku, agama, dan ras (SARA). Warna masyarakat bukan lagi seperti yang tersemboyan dalam bhineka tunggal ika, melainkan dalam gelanggang penonjolan identitas partai politik dan ormas-ormas puritan primordial.

Rakyat—seperti dalam judul lagu Keong Racun itu—memang benar-benar terserang racun berbisa. Negeri ini bahkan mungkin telah kenyang menghirup aneka zat berbisa. Penyair besar Ranggawarsita, di pertengahan abad 19, menggambarkan zaman pancaroba itu sebagai Kalatida dan Kalabendu. Zaman Kalatida adalah zaman ketika akal sehat diremehkan. Perbedaan antara benar dan salah, baik dan buruk, adil dan tak adil, tidak digubris. Krisis moral adalah buah dari krisis akal sehat. Kekuasaan korupsi merata dan merajalela karena erosi tata nilai terjadi di lapisan atas dan bawah.

Zaman Kalabendu adalah zaman yang mantap stabilitasnya, tetapi alat stabilitas itu adalah penindasan. Ketidakadilan malah didewakan. Ulama-ulama mengkhianati kitab suci. Penguasa lalim tak bisa ditegur. Korupsi dilindungi. Kemewahan dipamerkan di samping jeritan kaum miskin dan tertindas. Penjahat dipahlawankan, orang jujur ditertawakan dan disingkirkan.

Dalam berbagai lini kehidupan sosial, ekonomi, hukum, politik, budaya, maupun agama, aneka racun itu begitu terasa menjalar kemana-mana. Kentalnya semangat individualisme misalnya, telah menembus di berbagai tata kehidupan sosial kemasyarakatan. Tata kehidupan ekonomi pun tak ubahnya mesin penghisap bagi mereka yang lemah dan kecil. Hukum kita bagai sebilah pedang yang bermata tajam ketika menghadap ke bawah dan tumpul ketika mendongak ke atas. Berbagai penanganan kasus orang besar selalu berujung kabur. Namun, begitu cepat mengeluarkan vonis bagi nenek renta pencuri tiga biji kokao.

Panggung politik kita nyaris dipenuhi sandiwara konyol nan bebal oleh para politisi. Dari dana aspirasi, absensi, hingga tanpa prestasi. Kehidupan budaya pun ikut-ikutan mengalami pembusukan secara berkala baik yang lahir di tengah masyarakat maupun melalui birokratisasi. Tak kalah dengan tata kehidupan beragama masyarakat yang terus mengalami kamuflase dan pendangkalan nilai-nilai transendensi dan humanisasi.

Setelah Kalatida dan Kalabendu, seperti kata Ronggowarsito itu, kelak akan muncul zaman Kalasuba, yaitu zaman stabilitas dan kemakmuran. Dan agar orang bisa selamat di masa Kalatida, maka mereka harus selalu eling lan waspodo, tidak ikut dalam permainan gila. Sedang, di masa Kalabendu orang harus berani prihatin, sabar, tawakal dan selalu berada di jalan lurus sebagaimana tercantum di dalam kitab suci-Nya. Maka nanti akan datang secara tiba-tiba masa Kalasuba yang ditegakkan oleh Ratu Adil.

Urutan zaman Kalatida, Kalabendu, dan Kalasuba ini pernah menimpa di berbagai belahan dunia. Di Yunani purba, di Romawi, di Reich pertama Germania, di Perancis, di Spanyol, Portugal, Italia, Iran, Irak, India, Russia, Korea, Cina, di manapun dan kapanpun. Demikian pula republik Indonesia, juga tidak luput dari pergolakan zaman serupa itu.

Negeri ini membutuhkan zat antitoksin untuk sembuh. Sebab, hakikat racun adalah keterceraiberaian. Negeri ini perlu kembali berguru kepada kerendahhatian keong agar menemukan kebijaksanaan, bukan lagi kesombongan dan kelicikan.


No comments:

Post a Comment

Tentang Blog

Ini hanya cerita tentang orang biasa. Tentang ketegarannya, kesabarannya, ketekunannya, kebesaran jiwanya, dan kepasrahan hidupnya kepada pemangku jagad ini.

Terpopuler

Designed ByBlogger Templates