Thursday, August 5, 2010

televisi, hati dan bulan suci...

Tulisan ini, saya awali dari sepenggal cerita puasa yang digeber guru mengaji saya di suatu hari di sebuah surau. Puasa itu, Nak! kata guru saya, adalah ibadah yang sungguh intim. Saking intimnya, ibadah itu hanya sanggup diketahui oleh hamba dan Sang Khaliknya. Sebab, puasa bukanlah semata urusan tak makan dan tak minum atau menahan keinginan syahwati. Namun, berurusan langsung dengan kesucian hati. Makanya, benar kata Nabi, ada banyak orang yang berpuasa, namun sesungguhnya mereka tak mencercap apa pun, selain lapar dan dahaga. Begitulah kira-kira pesan terakhir guru saya sepuluh tahun lalu.

Bulan puasa, dalam gerak zaman yang mengalami kompleksitas persoalan seperti sekarang ini, memang telah mengalami transformasi sosial luar biasa. Ibadah puasa bukan saja menjadi laku ritual. Namun, juga telah menjadi sebentuk fenomena yang mungkin amat sukar didefinisikan macam apakah gerangan fenomena itu?

Atas nama menghormati bulan puasa misalnya, kita merasakan privilese, semacam hak istimewa untuk dihormati. Aneka warung makan, hiburan, dan tempat-tempat usaha yang dianggap profan terpaksa harus ditutup, betapa pun kita tak pernah terpikir bagaimana nasib mereka selanjutnya. Dengan dalih memerangi kemaksiatan, kita tiba-tiba menjadi manusia yang sukar memberi empati, bersikap berlebihan dan mengabaikan gerak dan kesucian hati yang menjadi inti bulan suci. Sebegitu ringkihkah iman kita—mengutip istilah Kiai Mustofa Bisri Rembang—hingga orang yang mencari penghidupan pun merasa ketakutan atas sikap kita di bulan puasa?

Menghormati, tentu saja berangkat dari keikhlasan hati. Bukan karena aturan pemerintah apalagi karena tekanan dari berbagai golongan tertentu. Sebab, jika demikian kenyatannya, sikap menghormati yang diperlihatkan beramai-ramai di publik itu jangan-jangan hanya karena keterpaksaan dengan hati menggerutu.

* * *

Di berbagai acara televisi, kita juga akan dibikin terkejut. Si kotak ajaib itu tiba-tiba saja berubah wujud dari menjelang sahur hingga kembali sahur. Semua acara mendadak beraroma religi. Dari acara yang remeh remeh—kuis, sinetron, lagu-lagu, reality show—hingga yang agak serius, menjadi penuh keislam-islaman. Kenyataan itu seolah-olah memercikkan harapan bahwa selama Ramadan ada upaya untuk menguatkan spiritual yang mulai keropos terkikis keriuhan duniawi. Dan tanpa kita nyana, sesungguhnya fenomena itu tak ubahnya bentuk lain dari pendangkalan nilai-nilai agama.

Menyitir klasifikasi Ashadi Siregar tentang realitas yang dibangun media, maka jenis realitas tontonan dan permainan nampaknya masih padat menjejali acara TV kita. Lihatlah, acara kuis yang dari waktu ke waktu, materinya melulu hanya itu-itu saja. Pertanyaan yang diajukan pun bersifat superficial, permukaan, karikatif, dan hanya sebatas peristilahan-peristilahan yang jauh dari subtansial makna puasa. Cukup menjawab pertanyaan apa rukun Islam kelima atau apa yang membatalkan puasa, pemirsa sudah dipersiapkan hadiah yang menggiurkan hasrat dan naluri syahwat.

Begitu pun pengisi materi yang tak jarang hanyalah orang-orang tak jelas kualifikasi keilmuan agamanya. Mereka bisa siapa saja, asal siap didapuk untuk selalu melawak. Tak penting apa materi inti yang disampaikan, sebab yang penting bisa membikin hiburan atau membuat terkekeh pemirsa. Pesan agama seakan telah dipresentasikan sebagai sesuatu yang lucu dan layak untuk disampaikan penuh kekocakan. Meski dalam beberapa kasus, tak bisa dipungkiri masih ada sejumlah pengisi acara yang memang memiliki disiplin ilmu.

* * *

TV sungguh tahu bagaimana bersahabat dengan bulan puasa termasuk menjadikannya komoditi. Semua stasiun TV berlomba memanfaatkan Ramadan untuk menayangkan program-program unggulan berbau dakwah. Iklan terus membanjir dengan tampilan kian menarik seperti tak henti memaksa hasrat konsumtif dan konsumeris pemirsa di bulan Ramadan.

Tanpa disadari, kita sebenarnya telah teraliri budaya baru bernama hipokrit penuh kepura-puraan. Para artis, penyanyi, bintang film, pelawak dan pemain sinetron berhamburan di layar kaca. Yang lelaki memakai sarung, baju koko, songkok, pendek kata berdandan penuh pesona. Begitu pula yang muslimah, pakai jilbab, kerudung, pakai baju rapi tertutup. Semuanya indah-indah, cakep-cakep. Semua punya ciri yang sama, penuh kombinasi warna warni. Gemerlap, gemebyar, dan tentu saja ngejreng! Idiom Assalamualaikum, Insyalaah, Alhamdulillah tiba-tiba menjadi bahasa karib mereka. Kita sebagai pemirsa pun terkagum-kagum, seakan nilai-nilai Ramadan benar-benar merasuk dan menjadi pakaian budaya kaum selebiritis.

Persis sebuah pementasan drama, ketika syuting usai maka usai pula peran yang dimainkan. Dan potret indah penuh simbol agama itu pun akan usai dengan sendirinya begitu Ramadan usai. Nilai-nilai Ramadan pun meruap begitu saja tanpa bekas. Mereka pun kembali menanggalkan busana muslimahnya, mempertontonkan auratnya, kembali glamour. Dan meniti nilai agama sungguh tak ubahnya sebuah pementasan drama atau telenovela. Semua penuh kepura-puraan…

TV sebagai sebuah industri mungkin tak bisa disalahkan. Sebab, memang demikianlah hakikat bisnis jual beli. Setiap detik adalah logika pembiayaan dan untung rugi. Sehingga, setiap acara harus berkorelasi langsung dengan sumber untung rugi, laku atau tidak, apa sih yang dimaui pasar, jangan bertanya apa kaitannya dengan nilai Ramadan.

Ramadan yang penuh nilai-nilai kebersahajaan dan etos sosial pun runtuh. Semua telah berbau materialistik-konsumtif. Budaya massif yang memvirus di mana-mana—makanan yang lezat, baju terbaru, model terbaru, perabotan mewah—telah melipatkan anggaran keseharian kita. Dan kita pun lantas bertanya, demikiankah cara kita menghormati bulan suci?
Kini, bulan suci akan tiba. Rahmat-Nya meluas bagai samudera. Semoga puasa kita adalah ibadah yang menjaga gerak dan kesucian hati, bukan hanya memperoleh lapar dan dahaga...

Solo, Kamis, 5 Agustus 2010 pukul 23.25 WIB


No comments:

Post a Comment

Tentang Blog

Ini hanya cerita tentang orang biasa. Tentang ketegarannya, kesabarannya, ketekunannya, kebesaran jiwanya, dan kepasrahan hidupnya kepada pemangku jagad ini.

Terpopuler

Designed ByBlogger Templates