Thursday, March 13, 2008

wanita perkasa


Warti tak berkeluh kesah, meski peluhnya terus bercucuran. Sesekali saja wanita berusia 45 tahun itu istirahat, sambil mengibaskan topinya untuk mengusir hawa gerah yang dipancarkan matahari, Selasa (11/3) siang itu. Sejenak kemudian, ibu berputera dua ini bangkit dan menjinjing keranjangnya. Dia kembali menuruni jalan setapak menuju Sungai Kedung Gondang, Sempukerep, Sidoharjo. Di tepi sungai itu, rupanya gundukan pasir telah menanti keranjangnya. Pasir penuh di keranjang, warga Sempukerep ini pun kembali mengangkutnya ke tepi jalan raya dengan sisa-sisa tenaganya. Dia terus mengulangi lagi. Mengangkut pasir, menuruni jalan setapak, serta menaiki jalan setapak itu lagi.
“Ya, untuk biaya sekolah anak, Mas. Suami saya hanya buruh tani,” ujar Warti kepada dengan nafas yang masih ngos-ngosan.
Warti barangkali adalah gambaran ketegaran hidup seorang ibu. Pasir-pasir yang dikais Warti dari sungai itu adalah tumpuan harapannya. Jika nasib mujur, dia tak perlu menanti terlalu lama para pembeli pasir datang dan memberinya lembaran uang. “Satu rit biasanya dihargai Rp 50.000. Kira-kira, butuh dua hari untuk mengumpulkan satu rit. Kalau berdua, satu hari bisa,” lanjutnya.
Satu rit, katanya, adalah ukuran untuk mengumpulkan pasir sebanyak satu bak kendaraan pengangkut barang.
Memang, nasib baik tak selalu berpihak kepadanya. Jika pasir masih bercampur air, maka beban pasir itu seolah semakin menambah beban hidupnya. “Soalnya sudah ada pesanan, namun pasir belum siap. Jadi ya harus diangkut basah-basah,” terangnya.
Meski demikian, Warti tak mau menyerah dengan beban berat pasir itu. Beban pasir, baginya akan terasa lebih berat jika dia tak mampu menanggung beban hidupnya untuk menyelolahkan anak-anaknya. Buktinya, sejak pagi hari ketika ayam berkokok, Warti telah berangkat menantang matahari di tepian Sungai Kedunggondang itu. “Saya berangkat sekitar pukul 06.00 WIB, dan pulang sore hari pukul 17.00 WIB,” paparnya.
Lain lagi ceritanya dengan Satimin, 50, yang juga warga Sempukerep ini. Satimin rupanya lebih gesit perkara angkut-mengangkut pasir. Dia mengaku mampu mengumpulkan pasir sebanyak dua rit dalam sehari. “Tapi ya ngoyo sekali. Malamnya, badan rasanya pegel-pegel,” jelasnya.
Sepegal apa pun rasa badan, bagi Satimin, Warti dan para pengakut pasir lainnya, hal itu tak akan pernah menyurutkan nyali mereka untuk tetap mengais rupiah dari pasir. “Nyari kerja sekarang itu susah. Yang penting, bisa untuk makan, dan uang saku sekolah anak-anak itu sudah cukup,” ujar Satimin penuh kebersahajaan. aries susanto, wartawan solopos.



No comments:

Post a Comment

Tentang Blog

Ini hanya cerita tentang orang biasa. Tentang ketegarannya, kesabarannya, ketekunannya, kebesaran jiwanya, dan kepasrahan hidupnya kepada pemangku jagad ini.

Terpopuler

Designed ByBlogger Templates